Posts

Mahkamah Agung Tolak Kasasi Suku Awyu, Perjuangan Selamatkan Hutan Papua Semakin Berat

Pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu, Hendrikus Woro, dan Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua kecewa atas putusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak permohonan kasasi masyarakat adat Awyu dalam upaya mempertahankan hutan adatnya dari ekspansi korporasi sawit di Boven Digoel, Papua Selatan. Putusan ini menambah deretan kabar buruk bagi masyarakat adat dan komunitas lokal yang berjuang di meja hijau melawan ancaman perusakan lingkungan hidup.

“Saya merasa kecewa dan sakit hati karena saya sendiri sudah tidak ada jalan keluar lain yang saya harapkan untuk bisa melindungi dan menyelamatkan tanah dan manusia di wilayah tanah adat saya. Saya merasa lelah dan sedih karena selama saya berjuang tidak ada dukungan dari pemerintah daerah atau pemerintah pusat. Kepada siapa saya harus berharap dan saya harus berjalan ke mana lagi?” kata Hendrikus Woro.

Hendrikus Woro, pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu datang ke Mahkamah Agung mengantarkan petisi publik atas gugatan selamatkan hutan Papua. Foto: Zulkifli/YMKL

Hendrikus Woro mengajukan kasasi ke MA karena Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura dan PTTUN Makassar menolak gugatan serta bandingnya. Gugatan yang diajukan Hendrikus Woro tersebut menyangkut izin kelayakan lingkungan hidup yang dikeluarkan Pemerintah Provinsi Papua untuk PT Indo Asiana Lestari (IAL). Perusahaan sawit ini mengantongi izin lingkungan seluas 36.094 hektare, atau lebih dari setengah luas DKI Jakarta, dan berada di hutan adat marga Woro—bagian dari suku Awyu.

Dalam dokumen putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 458 K/TUN/LH/2024 itu, diketahui bahwa putusan tersebut diambil dalam rapat permusyawaratan Majelis Hakim pada 18 September lalu. Dari dokumen putusan lengkap yang baru bisa diakses pada 1 November 2024. Satu dari tiga hakim yang mengadili perkara ini, Yodi Martono Wahyunadi, mengeluarkan pendapat berbeda (dissenting opinion).

Salah satu poin penting dissenting opinion tersebut menyangkut tenggat waktu gugatan 90 hari–yang sebelumnya menjadi dalih PTTUN Makassar untuk menolak permohonan banding Hendrikus Woro. Dalam pertimbangannya, hakim Yodi merujuk Pasal 5 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 2018, bahwa perhitungan yang dimaksud hanya hari kerja. Perhitungan tenggat waktu juga mesti mencakup hari libur lokal Provinsi Papua. Namun, karena mempertimbangkan keadilan substantif ketimbang keadilan formal, hakim Yodi berpendapat pengadilan perlu mengesampingkan ketentuan tenggat waktu itu dengan melakukan invalidasi praktikal.

“Dari pertimbangan dissenting opinion menyangkut tenggat waktu tersebut, kami menilai Mahkamah Agung inkonsisten dalam menerapkan aturan yang mereka buat. Padahal Peraturan Mahkamah Agung adalah petunjuk yang digunakan peradilan internal,” kata Tigor Hutapea, anggota Tim Advokasi Selamatkan Hutan Adat Papua. “Putusan MA ini tidak berarti objek gugatan sudah benar karena dua hakim tidak memeriksa substansinya. Namun satu majelis hakim dalam dissenting opinion menyatakan bahwa penerbitan amdal terbukti belum mengakomodasi kerugian di wilayah kehidupan masyarakat adat, yang dikelola dan dimanfaatkan turun-temurun.”

Jerat merupakan teknik berburu orang Papua. Di hutan, orang-orang Papua bisa berburu dengan tombak. Sumber buruan semakin sulit, maka jerat akan dipasang untuk mendapatkan target buruan. Dokumentasi: Zuluz/YMKL

Hakim Yodi Martono berpendapat bahwa objek gugatan–surat izin lingkungan hidup untuk PT IAL–bertentangan dengan berbagai asas dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, sehingga harus dibatalkan. Namun, hakim Yodi kalah dalam pemungutan suara.

“Ini menjadi kabar duka kesekian bagi masyarakat Awyu karena pemerintah dan hukum belum berpihak kepada masyarakat adat. Perjuangan menyelamatkan hutan adat Papua akan lebih berat apalagi dengan pemerintahan hari ini yang berambisi membabat hutan di Papua Selatan untuk food estate. Hutan Papua adalah rumah bagi keanekaragaman hayati. Saat banyak orang di dunia sedang membahas bagaimana menyelamatkan keanekaragaman hayati global dari kepunahan, seperti yang berlangsung di COP16 CBD Kolombia saat ini, kita justru mendapat berita buruk makin terancamnya keanekaragaman hayati dan masyarakat adat di Tanah Papua,” kata Sekar Banjaran Aji, anggota Tim Advokasi Selamatkan Hutan Adat Papua.

Selain kasasi perkara PT IAL ini, sejumlah masyarakat adat Awyu juga tengah mengajukan kasasi atas gugatan PT Kartika Cipta Pratama dan PT Megakarya Jaya Raya, dua perusahaan sawit yang juga sudah dan akan berekspansi di Boven Digoel, atas keputusan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Putusan MA atas kasus PT IAL ini bisa jadi akan menentukan nasib hutan hujan seluas 65.415 hektare di konsesi PT KCP dan PT MJR.

Sebelumnya, saat menunggu kasus PT IAL diadili oleh MA, masyarakat adat Awyu mendapat petisi dukungan sebanyak 253.823 tanda tangan dari publik yang diserahkan langsung ke MA pada 22 Juli lalu. Saat itu publik Indonesia di media sosial ramai-ramai membahas perjuangan suku Awyu, yang puncaknya muncul tagar #AllEyesOnPapua. Sayangnya, dukungan publik untuk perjuangan itu tak cukup mengetuk pintu hati para hakim.

“Masyarakat adat Awyu tetap berhak atas hutan adat mereka–yang telah ada bersama mereka secara turun-temurun sejak pertama mereka menempati wilayah adat. Pada prinsipnya kepemilikan izin oleh perusahaan tidak menghilangkan hak masyarakat adat atas tanah, sebab jelas ada pemilik hak adat yang belum melepaskan haknya. Kami berharap dan meminta publik dapat terus mendukung perjuangan suku Awyu dan masyarakat adat di seluruh Tanah Papua yang berjuang mempertahankan tanah dan hutan adat. Ini adalah bagian dari agenda penegakan hukum pelindungan hak-hak masyarakat adat, yang telah dijamin dalam aturan lokal, nasional, dan internasional, sekaligus perjuangan melindungi Bumi dari pemanasan global. Masyarakat adat adalah penjaga alam tanpa pamrih dan Papua bukan tanah kosong!” kata Emanuel Gobay, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Papua.

***

Narahubung:

  1. Tigor Hutapea, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat — +62812-8729-6684
  2. Sekar Banjaran Aji, Greenpeace Indonesia — +62812-8776-9880
  3. Budiarti Putri, Greenpeace Indonesia — +62811-1463-105

Koalisi Selamatkan Hutan Papua:

Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), Pusaka Bentala Rakyat Papua, Greenpeace Indonesia, Satya Bumi, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), WALHI Papua, PILNet Indonesia, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Perkumpulan HuMa Indonesia.

250 Ribu Petisi Dukungan Publik Selamatkan Hutan Papua Diserahkan Ke Mahkamah Agung

Dua perwakilan masyarakat adat dari Papua: Suku Awyu dan Suku Moi, pejuang lingkungan hidup itu mendatangi kantor Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia (RI), pada Senin, 22 Juli 2024. Mereka jauh-jauh datang dari Papua Selatan dan Papua Barat Daya untuk kedua kalinya memperjuangkan hutan adat mereka yang terancam oleh sejumlah perusahaan sawit.

“Kami menerima 253.823 tanda tangan dalam petisi dukungan untuk suku Awyu dan Moi, yang hari ini akan diserahkan langsung ke MA. Petisi ini dan juga gerakan #AllEyesOnPapua yang viral beberapa saat lalu menjadi bukti kepedulian banyak orang pada perjuangan orang Awyu dan Moi,” kata Tigor Hutapea, anggota Tim Advokasi Selamatkan Hutan Papua dari Yayasan Pusaka Bentala Rakyat.

Kedatangan perwakilan Suku Awyu dan Sub Suku Moi Sigin ke MA tidak sendirian, mereka ditemani beberapa publik figur dari beragam latar belakang, seperti Melanie Subono, Farwiza Farhan, Kiki Nasution, dan Pendeta Ronald Rischard Tapilatu. Ada pula kelompok anak muda dan organisasi masyarakat sipil, seperti dari Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Extinction Rebellion, Ikatan Mahasiswa Papua (IMAPA), Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL), dan beberapa organisasi masyarakat sipil lainnya. Mereka bersolidaritas dengan membawa banner dan poster bertuliskan sejumlah pesan, seperti “All Eyes on Papua” dan “Selamatkan Hutan Adat dan Manusia Papua”.

Suku Awyu menari di hadapan kantor MA bersama koalisi selamatkan hutan Papua. Tarian ini sebagai pesan kepada pemerintah bahwa hutan Papua dalam ancaman kehadiran perusahaan sawit. Foto: Zulkifli/YMKL

Rombongan ini berkunjung ke MA dengan dua agenda: menyerahkan petisi dukungan untuk perjuangan masyarakat adat suku Awyu dan Moi Sigin, serta mempertanyakan perkembangan perkara kasasi yang diajukan pejuang lingkungan hidup dari Suku Awyu dan subsuku Moi Sigin ke MA, yang diajukan masing-masing pada Maret dan awal Mei lalu.

Pemilik siniar (podcast) Sabda Bumi, Kiki Nasution, mengungkapkan alasannya ikut menandatangani petisi untuk mendukung perjuangan Suku Awyu dan Subsuku Moi Sigin. Menurut Kiki, generasi muda mesti memperhatikan keterkaitan isu kerusakan lingkungan dengan isu-isu lainnya, seperti ketidakadilan terhadap masyarakat adat.

“Dulu saya melihat perubahan iklim itu semacam hitam-putih, dengan tidak memakai plastik itu sudah menyelamatkan Bumi. Namun setelah belajar dari masyarakat adat, saya baru sadar bahwa perubahan iklim itu isu yang interseksional, berhubungan dengan kesenjangan dan berbagai ketidakadilan lainnya. Wilayah adat yang akan diambil dari suku Awyu dan Moi cukup luas, dengan cadangan karbon yang juga besar. Jika kita tidak menghentikannya, dampaknya akan ke mana-mana,” kata Kiki, yang dikenal di media sosial dengan nama akun @kikitube ini.

Melani Subono menyerahkan petisi publik selamatkan hutan Papua. Foto: Zulkifli/YMKL

Diana Klafiyu, perempuan adat Moi Sigin, berterima kasih atas dukungan yang mengalir untuk perjuangan mereka.

“Saya merasa senang dengan dukungan dari semua orang yang sudah menandatangani petisi mendukung kami suku Moi dan suku Awyu. Harapan saya, semoga hakim mengambil keputusan mendukung kami masyarakat adat suku Moi dan suku Awyu,” ujarnya.

Sebelum penyerahan petisi ini, Hendrikus Woro mengajukan gugatan menyangkut izin kelayakan lingkungan hidup yang dikeluarkan Pemerintah Provinsi Papua untuk PT Indo Asiana Lestari (IAL). Perusahaan sawit ini mengantongi izin lingkungan seluas 36.094 hektare, atau lebih dari setengah luas DKI Jakarta, dan berada di hutan adat marga Woro—bagian dari suku Awyu.

Selain kasasi perkara PT IAL ini, sejumlah masyarakat adat Awyu juga tengah mengajukan kasasi atas gugatan PT Kartika Cipta Pratama dan PT Megakarya Jaya Raya, dua perusahaan sawit yang juga sudah dan akan berekspansi di Boven Digoel, atas keputusan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Putusan MA akan menentukan nasib hutan hujan seluas 65.415 hektare di konsesi PT KCP dan PT MJR.

“Hingga hari ini, kami belum mendapatkan informasi tentang nomor registrasi perkara kasasi yang kami masyarakat Awyu dan Moi Sigin daftarkan ke MA. Kami ingin menanyakan kepada Mahkamah, bagaimana perkembangan gugatan kami, apakah Mahkamah memprosesnya atau tidak? Kami sampai dua kali datang jauh-jauh dari Papua, ini karena kami menunggu-nunggu putusan yang menyelamatkan hutan adat kami,” kata Hendrikus Woro, pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu.

Hendrikus Woro, pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu datang ke Mahkamah Agung mengantarkan petisi publik atas gugatan selamatkan hutan Papua. Foto: Zulkifli/YMKL

Adapun sub suku Moi Sigin melawan PT Sorong Agro Sawitindo (SAS) yang akan membabat 18.160 hektare hutan adat untuk perkebunan sawit. PT SAS menggugat pemerintah pusat karena mencabut izin pelepasan kawasan hutan dan izin usaha mereka. Masyarakat Moi Sigin melawan dengan menjadi tergugat intervensi dalam perkara tersebut.

Bagi masyarakat Awyu dan Moi Sigin, hutan adat adalah warisan leluhur yang menghidupi mereka turun-temurun. Mereka bergantung kepada hutan yang menjadi tempat berburu dan ‘supermarket’ untuk berbagai sumber makanan hingga obat-obatan. Hutan juga merupakan identitas sosial dan budaya mereka sebagai masyarakat adat.

Hutan bagi masyarakat adat Papua adalah kehidupan. Menebang hutan sama saja menghilangkan ruang hidup bagi masyarakat Papua. Foto: Zulkifli/YMKL

“Menyelamatkan hutan Papua bukan hanya bakal memperkuat benteng kita menghadapi krisis iklim dan kepunahan biodiversitas, tapi juga menjaga kekayaan alam, sosial, dan budaya yang kita miliki dalam peradaban ini. Hari ini kita menyaksikan solidaritas mengalir begitu deras untuk Papua, selanjutnya giliran Mahkamah Agung menggunakan keyakinan dan hati nuraninya berpihak pada masyarakat adat dan hutan Papua,” kata Sekar Banjaran Aji, anggota Tim Advokasi Selamatkan Hutan Papua dari Greenpeace Indonesia.

Dalam aksi hari ini, perwakilan masyarakat adat Awyu dan Moi menyerahkan secara langsung petisi dukungan publik kepada lima hakim dari Biro Hubungan Masyarakat MA. Menurut Tigor Hutapea, para hakim tersebut menyampaikan akan meneruskan petisi ini kepada hakim agung di kamar Tata Usaha Negara.

“Mereka menyatakan MA sudah berkomitmen melakukan pelindungan lingkungan hidup, termasuk juga melindungi masyarakat adat. Hakim juga akan mencoba menerapkan PMA Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup. Ini sedikit kabar baik. Semoga perkara yang sedang ditelaah membuahkan hasil baik untuk masyarakat adat dan masa depan hutan Papua,” tegas Tigor.

Koalisi selamatkan hutan Papua mengantarkan petisi publik ke kantor Mahkamah Agung. Foto/Zulkifli

Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua

Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), Pusaka Bentala Rakyat Papua, Greenpeace Indonesia, Satya Bumi, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), WALHI Papua, PILNet Indonesia, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Perkumpulan HuMa Indonesia

Kontak Media:

Tigor Hutapea, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, +62 812-8729-6684

Sekar Banjaran Aji, Greenpeace Indonesia, +62 812-8776-9880

Budiarti Putri, Greenpeace Indonesia, +62 811-1463-105