250 Ribu Petisi Dukungan Publik Selamatkan Hutan Papua Diserahkan Ke Mahkamah Agung

Dua perwakilan masyarakat adat dari Papua: Suku Awyu dan Suku Moi, pejuang lingkungan hidup itu mendatangi kantor Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia (RI), pada Senin, 22 Juli 2024. Mereka jauh-jauh datang dari Papua Selatan dan Papua Barat Daya untuk kedua kalinya memperjuangkan hutan adat mereka yang terancam oleh sejumlah perusahaan sawit.

“Kami menerima 253.823 tanda tangan dalam petisi dukungan untuk suku Awyu dan Moi, yang hari ini akan diserahkan langsung ke MA. Petisi ini dan juga gerakan #AllEyesOnPapua yang viral beberapa saat lalu menjadi bukti kepedulian banyak orang pada perjuangan orang Awyu dan Moi,” kata Tigor Hutapea, anggota Tim Advokasi Selamatkan Hutan Papua dari Yayasan Pusaka Bentala Rakyat.

Kedatangan perwakilan Suku Awyu dan Sub Suku Moi Sigin ke MA tidak sendirian, mereka ditemani beberapa publik figur dari beragam latar belakang, seperti Melanie Subono, Farwiza Farhan, Kiki Nasution, dan Pendeta Ronald Rischard Tapilatu. Ada pula kelompok anak muda dan organisasi masyarakat sipil, seperti dari Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Extinction Rebellion, Ikatan Mahasiswa Papua (IMAPA), Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL), dan beberapa organisasi masyarakat sipil lainnya. Mereka bersolidaritas dengan membawa banner dan poster bertuliskan sejumlah pesan, seperti “All Eyes on Papua” dan “Selamatkan Hutan Adat dan Manusia Papua”.

Suku Awyu menari di hadapan kantor MA bersama koalisi selamatkan hutan Papua. Tarian ini sebagai pesan kepada pemerintah bahwa hutan Papua dalam ancaman kehadiran perusahaan sawit. Foto: Zulkifli/YMKL

Rombongan ini berkunjung ke MA dengan dua agenda: menyerahkan petisi dukungan untuk perjuangan masyarakat adat suku Awyu dan Moi Sigin, serta mempertanyakan perkembangan perkara kasasi yang diajukan pejuang lingkungan hidup dari Suku Awyu dan subsuku Moi Sigin ke MA, yang diajukan masing-masing pada Maret dan awal Mei lalu.

Pemilik siniar (podcast) Sabda Bumi, Kiki Nasution, mengungkapkan alasannya ikut menandatangani petisi untuk mendukung perjuangan Suku Awyu dan Subsuku Moi Sigin. Menurut Kiki, generasi muda mesti memperhatikan keterkaitan isu kerusakan lingkungan dengan isu-isu lainnya, seperti ketidakadilan terhadap masyarakat adat.

“Dulu saya melihat perubahan iklim itu semacam hitam-putih, dengan tidak memakai plastik itu sudah menyelamatkan Bumi. Namun setelah belajar dari masyarakat adat, saya baru sadar bahwa perubahan iklim itu isu yang interseksional, berhubungan dengan kesenjangan dan berbagai ketidakadilan lainnya. Wilayah adat yang akan diambil dari suku Awyu dan Moi cukup luas, dengan cadangan karbon yang juga besar. Jika kita tidak menghentikannya, dampaknya akan ke mana-mana,” kata Kiki, yang dikenal di media sosial dengan nama akun @kikitube ini.

Melani Subono menyerahkan petisi publik selamatkan hutan Papua. Foto: Zulkifli/YMKL

Diana Klafiyu, perempuan adat Moi Sigin, berterima kasih atas dukungan yang mengalir untuk perjuangan mereka.

“Saya merasa senang dengan dukungan dari semua orang yang sudah menandatangani petisi mendukung kami suku Moi dan suku Awyu. Harapan saya, semoga hakim mengambil keputusan mendukung kami masyarakat adat suku Moi dan suku Awyu,” ujarnya.

Sebelum penyerahan petisi ini, Hendrikus Woro mengajukan gugatan menyangkut izin kelayakan lingkungan hidup yang dikeluarkan Pemerintah Provinsi Papua untuk PT Indo Asiana Lestari (IAL). Perusahaan sawit ini mengantongi izin lingkungan seluas 36.094 hektare, atau lebih dari setengah luas DKI Jakarta, dan berada di hutan adat marga Woro—bagian dari suku Awyu.

Selain kasasi perkara PT IAL ini, sejumlah masyarakat adat Awyu juga tengah mengajukan kasasi atas gugatan PT Kartika Cipta Pratama dan PT Megakarya Jaya Raya, dua perusahaan sawit yang juga sudah dan akan berekspansi di Boven Digoel, atas keputusan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Putusan MA akan menentukan nasib hutan hujan seluas 65.415 hektare di konsesi PT KCP dan PT MJR.

“Hingga hari ini, kami belum mendapatkan informasi tentang nomor registrasi perkara kasasi yang kami masyarakat Awyu dan Moi Sigin daftarkan ke MA. Kami ingin menanyakan kepada Mahkamah, bagaimana perkembangan gugatan kami, apakah Mahkamah memprosesnya atau tidak? Kami sampai dua kali datang jauh-jauh dari Papua, ini karena kami menunggu-nunggu putusan yang menyelamatkan hutan adat kami,” kata Hendrikus Woro, pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu.

Hendrikus Woro, pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu datang ke Mahkamah Agung mengantarkan petisi publik atas gugatan selamatkan hutan Papua. Foto: Zulkifli/YMKL

Adapun sub suku Moi Sigin melawan PT Sorong Agro Sawitindo (SAS) yang akan membabat 18.160 hektare hutan adat untuk perkebunan sawit. PT SAS menggugat pemerintah pusat karena mencabut izin pelepasan kawasan hutan dan izin usaha mereka. Masyarakat Moi Sigin melawan dengan menjadi tergugat intervensi dalam perkara tersebut.

Bagi masyarakat Awyu dan Moi Sigin, hutan adat adalah warisan leluhur yang menghidupi mereka turun-temurun. Mereka bergantung kepada hutan yang menjadi tempat berburu dan ‘supermarket’ untuk berbagai sumber makanan hingga obat-obatan. Hutan juga merupakan identitas sosial dan budaya mereka sebagai masyarakat adat.

Hutan bagi masyarakat adat Papua adalah kehidupan. Menebang hutan sama saja menghilangkan ruang hidup bagi masyarakat Papua. Foto: Zulkifli/YMKL

“Menyelamatkan hutan Papua bukan hanya bakal memperkuat benteng kita menghadapi krisis iklim dan kepunahan biodiversitas, tapi juga menjaga kekayaan alam, sosial, dan budaya yang kita miliki dalam peradaban ini. Hari ini kita menyaksikan solidaritas mengalir begitu deras untuk Papua, selanjutnya giliran Mahkamah Agung menggunakan keyakinan dan hati nuraninya berpihak pada masyarakat adat dan hutan Papua,” kata Sekar Banjaran Aji, anggota Tim Advokasi Selamatkan Hutan Papua dari Greenpeace Indonesia.

Dalam aksi hari ini, perwakilan masyarakat adat Awyu dan Moi menyerahkan secara langsung petisi dukungan publik kepada lima hakim dari Biro Hubungan Masyarakat MA. Menurut Tigor Hutapea, para hakim tersebut menyampaikan akan meneruskan petisi ini kepada hakim agung di kamar Tata Usaha Negara.

“Mereka menyatakan MA sudah berkomitmen melakukan pelindungan lingkungan hidup, termasuk juga melindungi masyarakat adat. Hakim juga akan mencoba menerapkan PMA Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup. Ini sedikit kabar baik. Semoga perkara yang sedang ditelaah membuahkan hasil baik untuk masyarakat adat dan masa depan hutan Papua,” tegas Tigor.

Koalisi selamatkan hutan Papua mengantarkan petisi publik ke kantor Mahkamah Agung. Foto/Zulkifli

Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua

Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), Pusaka Bentala Rakyat Papua, Greenpeace Indonesia, Satya Bumi, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), WALHI Papua, PILNet Indonesia, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Perkumpulan HuMa Indonesia

Kontak Media:

Tigor Hutapea, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, +62 812-8729-6684

Sekar Banjaran Aji, Greenpeace Indonesia, +62 812-8776-9880

Budiarti Putri, Greenpeace Indonesia, +62 811-1463-105

 

 

Hartati, perempuan berusia 56 tahun ini menggerakan semangat kelompok perempuan tani di Desa Sungai Paur dalam mempertahankan hak atas tanah mereka dari perusahaan HTI.

Kisah Hartati: Penggerak Petani Perempuan dari Jambi

Perempuan desa yang hidupnya bergantung pada sumber daya alam kebanyakan menjadi kelompok yang paling terdampak dalam persoalan status hak atas tanah. Pada banyak komunitas pedesaan, perempuan lah yang melakukan sebagian besar kegiatan pertanian sebagai sumber penghidupan keluarga. Karenanya, begitu terjadi persoalan yang terkait dengan status hak atas tanah yang menutup akses perempuan pada tanah dan penghidupan, mereka lah yang kemudian paling terdampak. 

Hartati, petani perempuan yang berasal dari Desa Sungai Paur, Kecamatan Renah Mendaluh, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Provinsi Jambi, itu kaget. Tanah yang selama ini menjadi warisan tanah garapan datuk atau tanah leluhur yang dibuktikan dengan tanda-tanda alam seperti adanya pohon karet tua, kini telah menjadi bagian dari areal perusahaan Hutan Tanam Industri (HTI) yang telah melakukan pembersihan lahan. 

“Rata semua dengan tanah,” tegas Hartati. 

Perempuan berusia 56 tahun itu memang sudah lama tak menggarap lahannya. Hartati menerapkan praktik berpindah ladang yang memang pada umumnya lekat dengan masyarakat Desa Sungai Paur. Ia meninggalkan tanah itu untuk sementara waktu saja. Lahan yang ditinggalkan bukan berarti sudah tidak berpemilik, tapi dibiarkan untuk tidak digarap agar tanah menjadi subur secara alami. 

Hartati akhirnya geram. Tanah peninggalan dari leluhurnya tak bisa dikuasai lagi. Sebab perusahaan telah mengambil penguasaan hak atas tanah seluas 211 ha di desanya. Dia tidak sendiri, ada beberapa masyarakat khususnya para perempuan desa yang tanahnya juga masuk dalam konsesi perusahaan. Ia kemudian berinisiatif bergabung dengan Kelompok Tani Semantung Bersama di Desa Sungai Paur, yang turut terlibat dalam memperjuangkan hak atas tanah mereka yang telah dikuasai oleh perusahaan.

Persoalan status hak atas tanah di Jambi setiap tahunnya terjadi. Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jambi mencatat, penguasaan lahan oleh perusahaan atas tanah-tanah masyarakat sudah terjadi sekian lama dan banyak kasus yang belum terselesaikan. Dari data yang dikumpulkan Walhi Jambi sendiri, sejak tahun 2017 sampai 2022 sebanyak 196 persoalan agraria yang belum terselesaikan.

“Sektor tambang menyumbang 123 kasus, lalu disusul sektor Hutan Tanam Industri (HTI) sebanyak 49 kasus dan sektor perkebunan 24 kasus,” sumber data Walhi Jambi tahun 2022.

Hartati dan kelompoknya tak surut langkah. Mereka bertekad untuk merebut kembali tanah leluhur dengan cara damai, salah satunya adalah dengan menanami kembali tanah leluhur mereka. Strategi ini ternyata mengundang respon berupa intimidasi dengan kekerasan dari pihak yang tidak bersepakat dengan cara ini. Anak Hartati menjadi korban intimidasi. 

Intimidasi yang diterima oleh Hartati dan kelompoknya tak membuat mereka patah arah. Tekad mereka tetap bulat untuk mengupayakan penyelesaian status hak atas tanahnya. Namun, Hartati dan beberapa anggota kelompok tani belum memiliki pengetahuan tentang skema-skema penyelesaian status hak atas tanah dan aspek hukumnya masih terbatas. Buntut dari ketidaktahuan itu, mereka mendapatkan intimidasi. 

Hartati dan kelompoknya sadar, mereka harus memperkuat diri melalui peningkatan kapasitas kelompok sebagai upaya pembelajaran untuk memperkuat pengetahuan mereka dalam memperjuangkan hak-haknya. 

Berangkat dari kesadaran ini, Hartati dan anggota Kelompok Tani Semantung Bersama kemudian aktif mengikuti beberapa kegiatan penguatan kapasitas yang diselenggarakan oleh Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL) atas dukungan dari Ford Foundation dan Kementerian Dalam Negeri. 

Hartati dan kelompoknya mendapatkan pelatihan hukum hak atas tanah dan pelatihan hukum kritis. Kegiatan peningkatan kapasitas ini juga diikuti dengan diskusi kampung yang rutin diselenggarakan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dalam aspek hukum dan sosial budaya untuk mendorong penyelesaian status hak atas tanah. 

Diskusi kampung yang digelar juga menjadi forum untuk menyampaikan kebijakan Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) sebagai tawaran jalan keluar bagi penyelesaian status hak atas tanah warga yang bersengketa dengan perusahaan. Dan untuk menghasilkan rencana strategis masyarakat dalam mempercepat proses penyelesaian kasus di wilayah mereka. 

Setelah selesai mengikuti berbagai pelatihan, Hartati memastikan ilmu yang dia dapat tidak berhenti pada dia seorang. Ia melatih anggota Kelompok Tani Semantung Bersama, khususnya kepada petani perempuan yang lain. Hal ini ia lakukan dengan harapan agar seluruh petani perempuan yang menjadi anggota Kelompok Tani Semantung Bersama tak hanya memiliki semangat juang semata, tapi memiliki pengetahuan yang berguna dalam membantu mereka mengupayakan penyelesaian status hak atas tanah. 

Hartati juga menggerakkan petani perempuan untuk terus mengelola wilayah yang sedang mereka perjuangkan untuk dapat dikembalikan kepada mereka sebagai pemilik tanah. Salah satunya dengan melakukan penanaman tanaman pokok untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti sayur mayur dan palawija. 

Saat ini, Hartati dan anggota Kelompok Tani Semantung Bersama telah membekali diri mereka dengan dokumen subyek dan obyek hak dan peta subyek dan obyek klaim masyarakat. Keduanya akan digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi para pihak dalam upaya bersama menyelesaikan persoalan status hak atas lahan.  

Hartati berharap besar bahwa kebijakan pemerintah tentang Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) akan menjadi jawaban untuk persoalan status hak atas lahan yang sudah berlangsung selama beberapa tahun ini. 

Berbekal pengetahuan dan pendampingan yang didapatkan oleh kelompoknya, Hartati bersama 105 anggota kelompok yang lain akan meneruskan perjuangan mereka dengan mengajukan skema TORA. Ia hanya memiliki satu harapan yaitu hak atas tanah dikembalikan dan tanah yang telah memberi penghidupan bagi komunitas akan terus memberikan penghidupan bagi anak cucu mereka nanti.

Para Puan dari Kalimantan: Lahan Masyarakat Bukan Untuk Ditambang

Lahan-lahan masyarakat di Kalimantan, khususnya di Barito Timur, Kalimantan Tengah, kini dalam ancaman industri ekstraktif pertambangan. Wilayah-wilayah masyarakat yang dulu dijadikan sebagai lahan garapan atau ladang pertanian semakin terdesak akibat maraknya jual beli lahan yang diperuntukan untuk aktivitas pertambangan. 

Di Barito Timur sendiri, setidaknya ada 5 desa yang masuk dalam desa-desa lingkar tambang. Desa-desa itu antara lain; Desa Didi, Pianggu, Tangkan, Bamban, dan Matarah. Lima desa ini yang terancam industri ekstraktif pertambangan. 

Padahal sebelum hadirnya tambang, masyarakat hidup berkecukupan dengan sumber dayanya yang ada. Humus tanah yang subur membuat ladang pertanian dan perkebunan memenuhi sumber pangan untuk rumah tangga masyarakat. 

Kelompok Ibu-ibu sangat bersemangat menggarapa lahan pekarangan mereka untuk ditanami bibit lokal sebagai sumber pangan masyarakat.

Mereka yang terdampak ini mayoritas Suku Dayak Ma’anyan, yang kesehariannya sebagai petani dan pekebun. Namun, pola kehidupan mereka berubah sejak masyarakat mulai melakukan transaksi jual beli lahan untuk dijadikan lokasi pertambangan. Dan saat itulah kehidupan masyarakat yang ada di lima desa di lingkar tambang ikut berubah. 

Melihat ada ancaman terhadap ruang hidupnya, kelompok perempuan di Barito Timur secara sepakat mengampanyekan tolak aktivitas tambang demi keberlanjutan lingkungan, pangan lokal, dan kehidupan masyarakat desa.

Kampanye ini juga mempertegas bahwa keberadaan perempuan dalam menjaga lingkungan ialah satu hal yang penting. Apalagi dalam ruang lingkup kehidupan sosial. 

Gerakan yang dibangun oleh kelompok perempuan ini dengan mulai mengolah kembali lahan-lahan yang tersisa, seperti lahan pekarangan yang jarang dimanfaatkan sebagai sumber pangan untuk memenuhi kebutuhan dapur.

Kelompok perempuan dari Barito Timur meyakini, menjual lahan untuk aktivitas pertambangan sama saja mematikan roda kehidupan masyarakat desa, sedangkan mulai mengolah lahan-lahan dari pekarangan rumah warga dapat menjamin sumber penghidupan masyarakat .

Salah satu aktivitas yang dilakukan adalah mulai menanam kembali bibit lokal di pekarangan. Lahan pekarangan dipilih untuk ditanami karena secara wilayah belum dikuasai oleh tambang.

Mengolah kembali pekarangan rumah untuk sumber pangan merupakan bagian dari kegiatan agroekologi yang didukung langsung oleh Justice, Peace, and Integrity of Creation (JPIC) Kalimantan. JPIC sendiri adalah sebuah organisasi lembaga pengembangan dan pengorganisasaian masyarakat di Kalimantan yang mengangkat isu identitas dan mata pencaharian masyarakat. Prinsip yang digunakan adalah memperjuangkan keadilan, kedamaian, terciptanya integritas dan kelestarian lingkungan. Advokasi yang dilakukan JPIC juga berfokus pada berbagai isu, seperti tambang, sawit, hingga isu sosial seperti manajemen pertanian di struktur masyarakat adat maupun masyarakat lokal. 

Hello world!

Welcome to WordPress. This is your first post. Edit or delete it, then start writing!