Siaran Pers: Hasil Survei Lapangan Perubahan Sosial Masyarakat Di Sekitar Perkebunan Sawit

Masyarakat empat desa: Desa Parang Batang, Paring Raya, Sembuluh I, dan Sembuluh II, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah yang hidup di sekitar perkebunan sawit mengalami perubahan sosial yang siginifikan setelah investasi perkebunan sawit masuk ke wilayah desa. Perubahan sosial ini terlihat setelah Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL) melakukan survei lapangan terkait “Perubahan Sosial Masyarakat Di Sekitar Perkebunan Sawit” yang dilakukan pada bulan Oktober hingga November 2024.

Pekerjaan masyarakat dalam bertani tradisional dan berdagang pada era karet masih memungkinkan mereka untuk mengakses hutan dan danau. Namun, dengan adanya dominasi perkebunan sawit yang meluas di empat wilayah desa tersebut akses masyarakat ke sumber daya lahan, hutan dan danau semakin terbatas.

Akibatnya, kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat makin terhimpit karena kehilangan alat produksi dan struktur sosial yang mengaturnya. Satu-satunya pilihan yang tersedia adalah bekerja di Perusahaan sebagai buruh, karena lahan-lahan kebun masyarakat sudah beralih menjadi wilayah perkebunan sawit. Masyarakat bukan hanya kehilangan kontrol atas sumber utama mata pencaharian tradisional, namun terjebak dalam pola pekerjaan industrial di mana mereka tak punya daya kontrol dan adaptasi atas kerja mereka sebagai buruh. Kehidupan sosial ekonomi mereka hampir sepenuhnya dikuasai perusahaan.

Dari data yang diolah oleh Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL) menemukan ada 14 perusahaan perkebunan sawit yang tersebar di empat wilayah desa. Keempat belas perusahaan itu memiliki izin yang mencakup ribuan hectare tanah milik masyarakat desa hilang karena sudah dikavling oleh perusahaan.

Djayu Sukma Ifantara, Project Officer Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL) untuk Kalimantan saat memaparkan hasil temuan YMKL terkait survei lapangan tentang perubahan sosial masyarakat di sekitar perkebunan sawit yang berada di empat desa: Desa Sembuluh I, Sembuluh II, Parang Batang, Paring Raya, Seruyan, Kalimantan Tengah. Dokumentasi/YMKL

Di Desa Paring Raya misalnya, terdapat 2 perusahaan perkebunan sawit yang beroperasi aktif, di antaranya: PT Wana Sawit Subur Lestari II dengan luasan 1.242,48 ha dan PT Musirawas Citra Harpindo dengan luasan 1.622,63 ha dengan presentasi luasan lahan yang telah dibebani izin perkebunan sawit di Paring Raya sebesar 41 persen dan lahan yang tidak dibebani izin sekitar 59 persen.

Sementara itu, di Desa Parang Batang ada ada 3 perusahaan perkebunan sawit: PT Wana Sawit Subur Lestari II dengan luasan 3.521 ha. PT Sawitmas Nugraha Perdana dengan luasan 3.703,68 ha dan PT Musirawas Citra Harpindo dengan luasan 553.64 ha. Presentasi lahan yang dibebani izin perkebunan sawit sekitar 49 persen dan tidak dibebanai izin sekitar 51 persen.

Hal yang sama juga terjadi di Desa Sembuluh I. Ada 3 perusahaan perkebunan sawit yang aktif, yaitu, PT Keri Sawit Indonesia dengan luasan 9.801,12 ha, PT Rimba Harapan Sakti dengan luasan 1.386 ha, dan PT Salonok Ladang Mas dengan luasan 1.705,60 ha. Dengan presentasi lahan dibebani izin sekitar 71 persen dan tidak dibebani izin sekitar 29 persen.

Sedangkan untuk Desa Sembuluh II, ada 6 perusahaan perkebunan sawit; PT Keri Sawit Indonesia dengan luasan 4.099,92 ha, PT Mega Ika Kansa dengan luasan 724.110 ha, PT Salonok Ladang Mas dengan luasan 7.259,90 ha, PT Gawi Bahandep Sawit Mekar dengan luasan 3.807,069 ha, PT Sarana Titian Permata dengan luasan 72.586 ha, dan PT Sawitmas Nugraha Perdana dengan luasan 824.764 ha. Presentasi lahan yang dibebani izin perkebunan sawit sekitar 45 persen dan lahan yang belum terbebani izin perkebunan sawit sekitar 55 persen.

Perusahaan membuka kesempatan untuk skema plasma namun dengan syarat Masyarakat harus menyediakan lahan sementara Masyarakat sudah tak memiliki lahan. Manfaat ekonomi, kalaupun dikatakan manfaat, adalah upah sebagai buruh perkebunan sawit. Namun sebagian besar upah pekerja harian di desa jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hal ini perlu menjadi perhatian Perusahaan dan pemerintah daerah terkait perbaikan besaran upah.

“Perubahan besar akibat alih fungsi lahan menjadi perkebunan sawit di Kalimantan Tengah telah menyebabkan masyarakat kehilangan kontrol atas tanah mereka, beralih menjadi penerima plasma atau buruh dengan keterampilan mengelola lahan yang semakin hilang, sementara kemitraan koperasi dengan perusahaan sawit tidak memberikan kesempatan bagi mereka untuk mengelola lahan atau mengembangkan keterampilan yang diperlukan untuk ketahanan ekonomi jangka panjang, mengakibatkan ketergantungan pada perusahaan dan memperburuk ketimpangan sosial serta keberlanjutan ekonomi masyarakat,” kata Djayu Sukma Ifantara, Project Officer YMKL untuk Kalimantan.

Djayu menambahkan, adanya larangan pembakaran lahan dan peraturan yang membatasi pengelolaan tanah tradisional semakin memperlemah hubungan masyarakat dengan tanah mereka, memutuskan otonomi mereka dalam bertani, dan meningkatkan ketergantungan pada sistem ekonomi uang, sementara peraturan yang ada tidak memberikan kejelasan hak bagi masyarakat dalam mengelola lahan mereka.

Temuan YMKL juga menunjukkan, adanya perubahan tersebut ditandai dengan berkurangnya diversifikasi pekerjaan. Sebelum adanya perkebunan, masyarakat biasanya memiliki berbagai keterampilan, seperti bertani sekaligus berdagang, berburu, dan berkebun untuk kebutuhan hidup mereka.

Namun, dengan masuknya sistem perkebunan monokultur seperti sawit, banyak masyarakat menjadi pekerja upahan tanpa perlu menguasai keterampilan untuk mengelola lahan secara mandiri. Proses ini dikenal sebagai penurunan kemampuan atau deskilling, yaitu hilangnya keterampilan akibat terbatasnya akses untuk mengelola lahan. Dengan hanya bergantung pada pekerjaan di perkebunan perusahaan, kemampuan masyarakat untuk bertani secara mandiri menurun, sehingga mereka semakin bergantung pada perusahaan dan kehilangan kemandirian secara ekonomi dan hidup dalam was-was memikirkan sumber penghidupan.

“Perkebunan sawit menawarkan peluang ekonomi yang besar sebagai janji, tetapi dalam praktiknya sering mengabaikan hak dan akses terhadap tanah dan prinsip keberlanjutan bagi manusia yang tinggal di sekitarnya. Banyak masyarakat kehilangan hak atas tanah yang mereka tempati dan tidak memiliki kontrol atas apa pun yang tumbuh di atasnya. Analisa ini menjelaskan hadirnya perkebunan sawit mengubah struktur ekonomi masyarakat di Desa Paring Raya, Parang Batang, Sembuluh I dan SembuluhII,” tambah Astridningtyas, staf YMKL untuk Kalimantan.

Tim Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL) saat memaparkan hasil temuan dari survei lapangan yang dilakukan di empat desa di Seruyan, Kalimantan Tengah. Dokumentasi/YMKL

Selain perubahan dalam pekerjaan, kehadiran sawit juga menyebabkan pola kepemilikan lahan yang berbeda di setiap desa, akan tetapi, di setiap situasi mempunyai tingkat kerentanan terhadap kondisi tidak bertanah yang sama. Desa Paring Raya, meskipun mempunyai sisa lahan kepemilikan untuk berkebun, tapi tidak adanya surat tanah membuat rasa tidak aman untuk berkebun. Alhasil, masyarakat hidup dalam kebimbangan.

Kasus lainnya juga terjadi di Desa Parang Batang, minimnya lahan produktif untuk dikelola menyebabkan masyarakat bergantung pada pekerjaan menjadi Buruh Sawit. Pekerjaan harian di perkebunan sawit tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga karena upah yang hanya  Sebesar Rp. 80.000/hari.

Sedangkan di Desa Sembuluh I dan II, kepemilikan plasma dimiliki oleh koperasi sebagai badan hukum dengan kepemilikan bukan individu, tapi intitusi yang mewakili seluruh anggotanya atas nama satu entitas Badan Hukum. Kondisi kepemilikan para penerima plasma juga mengalami kerentanan karena tidak memiliki kontrol penuh atas lahan tersebut sehingga rawan kehilangan akses ketika terjadi perubahan kebijakan atau faktor eksternal lainnya.

Dari survei lapangan yang dilakukan YMML, ditemukan Kehadiran sawit menyebabkan masyarakat beralih dari pengelolaan lahan menjadi penerima plasma atau buruh, mengakibatkan hilangnya keterampilan tradisional dalam berladang dan menyebabkan deskilling serta kekurangan pengetahuan pengelolaan lahan pada generasi sekarang. Mekanisme atau manajemen plasma pun seluruhnya bergantung pada perusahaan, sehingga pertukaran ilmu tidak terjadi utamanya dalam keterampilan mengelola lahan. Maka dari itu, ada tiga temuan besar yang dipertegas, di antaranya:

  1. Bekerja sebagai buruh

Mayoritas masyarakat desa kini bekerja sebagai buruh harian di perkebunan sawit dengan penghasilan terbatas, yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tidak adanya transparansi pada manajemen perusahaan untuk berkonsultasi mengenai kondisi bekerja (Upah, Target Perusahaan).

  1. Terjadi deskilling atau hilangnya keterampilan produktif untuk memenuhi pemenuhan kebutuhan hidup

Kehilangan akses lahan membuat mereka kesulitan mencari pekerjaan sampingan, sementara sistem kerja yang tidak transparan dan ketergantungan terhadap utang yang  memperburuk kondisi ekonomi mereka.

  1. Diversifikasi pekerjaan menjadi berkurang dan alternatif pekerjaan menjadi sulit

Perubahan kepemilikan tanah berdampak pada menurunnya diversifikasi pekerjaan. Dulunya pekerjaan mudah dicari hanya dengan mengakses hutan dan kebun, dan biaya hidup lebih rendah karena banyak kebutuhan dipenuhi secara mandiri hanya dengan memanfaatkan hasil sumber daya alam di hutan. Hilangnya akses untuk mengelola tanah akibat perluasan perkebunan sawit perusahaan menutup kemungkinan untuk mencari sampingan pekerjaan.

Narahubung:

Djayu Sukma Ifantara (081327841074)

Project Officer YMKL untuk Kalimantan

Astridningtyas (082301836788)

Staf YMKL untuk Kalimantan

Cerita Perempuan Salu Bekerja di Perkebunan Sawit

Pagi yang buta di tanggal 8 Desember 2010, Nurtin Waminu bangun sebagaimana biasanya. Dia dan suaminya tinggal di wilayah perkebunan sawit milik PT WMP (Wira Mas Permai) anak perusahaan Kencana Agri yang berada di wilayah Desa Longkoga Barat. Mereka tinggal dan membuat rumah di wilayah perkebunan. Tempat tinggal itu mereka sebut kamp G10 beserta para pekerja lainnya yang telah lebih dulu menetap.

Akses yang jauh dari desa menuju perkebunan yang mengharuskan Nurtin tinggal di wilayah perkebunan. Dia juga turut membawa semua anak-anaknya untuk tinggal bersama di kamp G10 tersebut.

Hari itu, Nurtin melakukan aktivitas seperti biasanya. Mencuci piring, menyapu, menyiapkan sarapan bagi empat orang anaknya yang akan berangkat ke sekolah. Setelah anaknya pergi, perannya sebagai ibu rumah tangga hilang dan berganti menjadi buruh pekerja di perkebunan sawit.

Pukul 07.00 telah tiba. Waktunya Nurtin dan Muhdin suaminya bekerja. Meninggalkan tempat tinggalnya. Pemandangan dapur dan rumah berganti menjadi lahan sawit yang terbentang luas. Sawit yang dibibit dan dipupuk oleh Nurtin tumbuh dengan subur. Ia merawatnya sebagaimana mengasuh anak-anaknya sendiri. Sebab, dari situlah ia mendapatkan penghidupan.

Berbekal sebilah parang, dengan kedua tangan yang terbungkus, dan kedua kaki yang terlindungi dengan sepatu, Nurtin melangkah dengan pasti hari itu. Ia melaksanakan pekerjaannya seperti sedia kala.

“Tidak ada pekerjaan yang mudah, semua pasti berat, sekalipun bagi perempuan,” katanya.

Setelah beberapa jam bekerja, Nurtin merasakan ada yang aneh pada dirinya. Kepalanya mulai pusing, perutnya mulai sakit. Padahal waktu baru saja menunjukkan pukul 11.00 siang, dan tak seperti biasanya ia harus istirahat lebih dini dibandingkan hari-hari biasanya ia bekerja.

“Tolong, tolong, saya sudah tidak tahan,” teriak Nurtin mempraktikkannya.

Nafasnya tersengal-sengal. Menahan sakit. Matanya mulai lindap. Langit biru menjadi gelap.

“Di pikiran saya antara hidup dan mati. Saya sudah pasrah.”

Nurtin mencari tempat bersandar, tapi pilihannya terlambat. Dia jatuh terduduk di bawah pohon sawit yang masih remaja. Ia meringis kesakitan. Nurtin baru ingat, bahwa hari itu kandungannya sudah berumur sembilan bulan lebih. Sudah waktunya untuk melahirkan.

“Perut saya tiba-tiba sakit tak tertahankan. Saya mulai lemas, tapi saya tidak berhenti minta tolong,” katanya.

Bruaaarrrr.

“Air ketuban saya keluar. ”

Tidak lama Nurtin bangun dan segera mencari mandornya untuk minta izin.

Nurtin berjalan menuju kamp tempat tinggalnya. Di sana ia tak mendapati siapa pun. Kalimat  minta tolong kembali didengungkan. Tak lama kemudian, seorang pekerja menghampiri Nurtin yang telah setengah sadar.

Dengan kondisi yang semakin buruk, Nurtin langsung dilarikan ke kampung. Sejauh delapan kilometer jarak yang harus ditempuh untuk bisa sampai ke perkampungan, dengan kondisi jalan yang bergelombang yang mereka lalui.

“Perut saya tambah sakit saat perjalanan ke kampung. Saya minta diantarkan ke dukun beranak saja waktu itu,” ungkapnya.

Terik matahari sudah di atas kepala. Jam sudah menunjukkan pukul 12.00. Suara tangisan anak perempuan melengking hebat. Peluh membasuh tubuh Nurtin. Linangan mengucur deras. Anak kelimanya yang telah lama dinanti, akhirnya bisa melihat dunia. Anak perempuan itu diberi nama Sawitri. Sawitri Al-Haddad lebih tepatnya.

“Saya beri nama Sawitri karena dia yang menemani saya bekerja sampai dia hadir ke dunia ini,” ucap Nurtin sambil memagut Sawitri yang ada di samping.

Tiga hari telah berlalu. Nurtin bergegas balik ke kamp G10 tempat tinggalnya. Ia membawa Sawitri yang masih merah tinggal di atas kamp. Ia takut, jika keempat harinya tidak masuk kerja, maka ia akan menghadapi masalah besar, yakni pemecatan.

“Semua anak-anak saya hidupi dari makan gaji di perusahaan. Makanya harus cepat balik biar tidak kehilangan pekerjaan.”

Dia kembali bekerja sebagaimana biasa. Menebang pohon, memangkas gulma, dan memupuk tanaman.

“Waktu bekerja di perusahaan apa pun yang dikerjakan laki-laki, itu yang dikerja perempuan juga. Kalau laki-laki menghabiskan 100 pohon, kami juga bisa menghabiskan 100 pohon yang ditebang. Hujan dan panas kami bekerja, tak ada kata berhenti,” katanya dengan begitu tegas.

Nurtin perempuan asal Salu tersebut memang tangguh. Sawitri baru beranjak dua tahun, ia sudah mengandung lagi. Kali ini ia bisa memprediksi dengan tepat, kapan waktu anak keenamnya akan lahir, dan tidak akan bernasib sama dengan Sawitri.

Firdaus Al-Haddad, anak laki-lakinya paling bungsu itu lahir. Firdaus yang dilahirkan Nurtin tahun 2012 tumbuh menjadi anak yang aktif.

Kisahnya sama juga dengan Sawitri, menjadi teman setia ibunya saat mengais upah di perusahaan sawit tanpa mendapatkan hak cuti hamil.

Foto Perkebunan Sawit Milik PT WMP di Kecamatan Bualemo, Banggai, Sulteng. Dokumentasi:Zulkifli M.

***

Medio 2011. Nasib yang sama juga dialami oleh Irma (bukan nama sebenarnya). Di usia pernikahan mereka yang belum senja, ia sudah dikarunia seorang anak. Tapi sialnya, proses persalinan yang telah ia rencanakan secara normal harus diurungkan. Ia harus rela perutnya dilewati pisau operasi.

“Anak saya itu dilahirkan secara operasi di rumah sakit,” katanya.

“Sebenarnya saya sudah berpikir akan mati, karena sudah empat hari menahan sakit luar biasa hebatnya. Bayi di dalam perut tidak bisa keluar. Padahal sudah waktunya melahirkan.

Irma menduga, proses operasi yang harus ia jalani adalah buntut dari rutinitasnya yang bekerja sangat keras di perkebunan sawit.

“Dari awal positif hamil sampai dengan menjelang lahiran tetap bekerja,” katanya.

Kebutuhan ekonomi yang mendesak yang membawa Irma dengan gigih bekerja. Mengandalkan tubuhnya yang masih kuat agar tetap berdaya.

“Posisi saya waktu itu hanya pekerja lepas, saya juga tidak mendengar soal cuti hamil yang disampaikan perusahaan. Hanya pernah sempat mengajukan ke mandor waktu itu, tapi jawabannya kalau cuti hamil hanya bisa dua minggu bukan tiga bulan lamanya,” kata  Irma mempraktikkan perkataan mandornya waktu itu.

“Kalau saya berhenti bagaimana nasib anak-anak saya, dan anak yang saya kandung saat itu,” ucapnya dengan lirih.

Dan saat waktu melahirkan tiba, Irma memberanikan diri melapor ke pihak perusahaan melalui mandor yang bertanggung jawab terhadap para pekerja. Ia mendapatkan izin, tapi bayang-bayang harus bekerja setelah proses persalinan selesai terus menghantui pikirannya.

“Tiga hari tidak masuk akan dipecat,” begitu kata mandor perusahaan.

“Saat satu minggu telah lahiran, saya memaksakan diri langsung masuk kerja. Meski luka bekas sayatan di perut belum kering sepenuhnya. Saya tahan demi membiayai sang buah hati,” ucap Irma sekali lagi

Di masa-masa itulah, Irma mulai frustrasi dan merasa kesal dengan kehidupan yang ia jalani. Dengan beban kerja ganda yang dia pikul yang membuatnya sedikit putus asa dan patah arah.

“Saya tak tahu mau bagaimana lagi. Sakit saya rasa terus-menerus, tapi kalau tidak bekerja anak saya mau di kasih makan dan minum pakai apa. Saya sempat berpikir mau memberikannya kepada orang lain, tapi suami dan keluarga tidak mengizinkan.”

Selain Irma, nasib yang sama juga dialami oleh Amnawati. Ia juga pernah merasakan bekerja dalam kondisi hamil saat menjadi buruh di perkebunan sawit. Anak-anak Amnawati terlahir dari kerja kerasnya saat menjadi buruh, tapi nasibnya berbeda dengan Nurtin dan Irma. Ia melahirkan secara normal dan tak mengalami kendala.

Minimnya Jaminan Kerja

Apa yang dirasakan oleh Nurtin, Amnawati, dan para buruh perempuan lainnya merupakan gambaran secara umum bagaimana mereka kerap kali diabaikan oleh perusahaan dan kurangnya ruang aman bagi perempuan saat bekerja.

Dalam identifikasi masalah yang dilakukan oleh Trade Union Rights Centre tahun 2019, menunjukan, buruh perempuan sering kali mendapatkan perlakuan yang tidak adil, mengalami pelecehan dan kekerasan seksual, mendapat diskriminasi gender, dan  hak-hak normatif perempuan seperti cuit haid dan hamil tidak terpenuhi, dan hal ini sudah menjadi kewajaran dialami oleh buruh perempuan di perkebunan sawit

Di Indonesia sendiri, ada dua regulasi yang bisa dipakai dalam melindungi para pekerja, yakni Undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia dan Undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang tenaga kerja. Akan tetapi, kurangnya pengawasan yang ketat terhadap perusahaan sawit akan memberikan peluang perusahaan tetap melanggar aturan-aturan tersebut.

 

Penulis: Zulkifli M.

Tulisan dibuat oleh penulis pada tahun 2022 setelah melakukan investigasi di Kabupaten Banggai tentang buruh perempuan di perkebunan sawit, dan dimuat kembali di website ini sebagai bahan bacaan dan pembelajaran terkait kisah dan cerita pekerja perempuan di perkebunan sawit. 

YMKL Gelar Pertemuan Tahunan Bersama Mitra Di Bogor

Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL) menggelar pertemuan tahunan bersama mitra selama tiga hari (19-21 November) di Novotel, Bogor, Jawa Barat. Kegiatan ini mempertemukan semua mitra YMKL dari Sumatera, Kalimantan, Papua, dan mitra internasional seperti Forest People Progamme (FPP).

Pertemuan itu mengangkat tema “Bela Alam, Lingkungan, dan Manusia”. Tema ini diangkat karena melihat situasi dan kondisi keberlanjutan lingkungan dan manusia di Indonesia semakin memprihatinkan. Ditambah lagi dengan kondisi politik ekonomi Indonesia yang sangat menitikberatkan pembangunan ekonomi negara berpusat pada aspek lingkungan dan alam yang memberi dampak pada manusianya.

Lan Mei (kiri) Koordintaor FPP Untuk Indonesia dan Emil Ola Kleden (kanan) Direktur Eksekutif YMKL saat memberikan sambuta pada kegiatan pertemuan tahunan mitra YMKL yang dilaksanakan selama tiga hari (19-21) di Novotel Bogor, Jawa Barat, (19/11/2024). Dokumentasi/YMKL

Selain itu, pertemuan tahunan mitra YMKL ini membahas berbagai macam persoalan yang dihadapi oleh masyarakat ditingkat tapak atau basis, khususnya di daerah dampingan setiap mitra YMKL. Persoalan kerusakan lingkungan di Sumatera dan Kalimantan akibat ekspansi perkebunan skala besar dan industri ekstraktif lainnya yang berdampak pada daya dukung lingkungan yang semakin memburuk membuat banyak masyarakat terkena imbasnya.

“Pertemuan tahunan mitra ini adalah pertemuan ke sekian kalinya, dan kita berharap ada banyak rumusan bersama yang kita hasilkan untuk memperkuat kerja-kerja kita untuk memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan,” kata Rudiansyah, saat memberikan pengantar pada kegiatan tersebut.

Menurutnya, pertemuan ini sangat penting untuk membahas rencana besar bersama antara YMKL bersama para mitra di daerah, nasional, dan internasional. Khususnya pada kerja-kerja penguatan kapasitas, peningkatan pengetahuan, penguatan jejaring, dan pengorganisasian masyarakat.

“Pertemuan ini harus dimanfaatkan sebaik mungkin dalam berbagi pengetahuan bersama dan rencana kerja bersama di masa depan,” tambahnya.

Emilianus Ola Kleden, Direktur Eksekutif YMKL, mengatakan, bahwa pertemuan tahunan mitra YMKL ini serupa tradisi atau ritual yang sudah dilakukan berulang kali. Dalam forum pertemuan ini kita berupaya membagikan pengalaman, kerja-kerja pengorganisasian, penguatan basis, dan bagaimana menguatkan masyarakat yang kehilangan hak atas tanahnya.

“Semoga ini bisa menjadi pertemuan yang menyenangkan bagi kita semua dan bisa menjadi wadah belajar bersama,” kata Emil dalam sambutannya.

Koordinator FPP untuk Indonesia, Lan Mei, juga mengatakan hal yang sama. Menurutnya, tantangan masyarakat adat dan komunitas lokal semakin sulit akibat banyaknya mekanisme pasar global. Akan tetapi, hal itu bisa dilakukan secara bersama melalui kegiatan pertemuan ini untuk berbagi cerita dan pengalaman di masing-masing wilayah mitra YMKL dan FPP yang hadir.

Peserta pertemuan tahunan mitra YMKL yang berasal dari Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Dokumentasi/YMKL

“Sekarang banyak mekanisme pasar global, dan perlu kerja bersama untuk mewujudkan keadilan bagi masyarakat yang terdampak,” katanya dalam sesi pertemuan tahunan mitra YMKL yang dilaksanakan di Novotel Bogor selama tiga hari.

Kartika Sari, Direktur Progress Kalteng, menambahkan, pertemuan tahunan mitra YMKL ini harus menjadi wadah sebagai alat perjuangan bersama dalam membahas berbagai persoalan yang sedang dan akan dihadapi oleh masyarakat adat dan komunitas lokal yang terdampak. Dukungan dari berbagai pihak sangat penting untuk mendukung kerja-kerja advokasi, litigasi, dan pengorganisasian di kalangan masyarakat.

Asep Yunan Firdaus, Dewan Pembina YMKL, saat memaparkan kerangka kerja advokasi di hadapan peserta pertemuan tahunan mitra YMKL. Dokumentasi/YMKL

“Saya berharap ini menjadi wadah berbagi pengetahuan dan belajar bersama dalam kerja-kerja pendampingan di tingkat tapak,” terang Kartika.

Di akhir sesi pertemuan, ada banyak hal yang dibahas dan akan menjadi kerja-kerja bersama dengan para mitra. Persoalan mekanisme aduan pasar yang semakin hari semakin rumit menjadi salah satu pokok bahasan, seperti halnya tentang aturan terbaru Uni Eropa dengan mengeluarkan mekanisme EUDR yang akan berlaku per awal tahun 2025 nanti.

Selain itu, keamanan para aktivis lingkungan dan pembela HAM (Human Rights Defender) menjadi perhatian serius. Mengingat banyaknya persekusi dan diskriminasi terhadap aktivis lingkungan dan pembela HAM di Indonesia di era pemerintahan Jokowi dan menghadapi tantangannya di era pemerintahan terbaru Prabowo-Gibran.

Mahkamah Agung Tolak Kasasi Suku Awyu, Perjuangan Selamatkan Hutan Papua Semakin Berat

Pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu, Hendrikus Woro, dan Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua kecewa atas putusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak permohonan kasasi masyarakat adat Awyu dalam upaya mempertahankan hutan adatnya dari ekspansi korporasi sawit di Boven Digoel, Papua Selatan. Putusan ini menambah deretan kabar buruk bagi masyarakat adat dan komunitas lokal yang berjuang di meja hijau melawan ancaman perusakan lingkungan hidup.

“Saya merasa kecewa dan sakit hati karena saya sendiri sudah tidak ada jalan keluar lain yang saya harapkan untuk bisa melindungi dan menyelamatkan tanah dan manusia di wilayah tanah adat saya. Saya merasa lelah dan sedih karena selama saya berjuang tidak ada dukungan dari pemerintah daerah atau pemerintah pusat. Kepada siapa saya harus berharap dan saya harus berjalan ke mana lagi?” kata Hendrikus Woro.

Hendrikus Woro, pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu datang ke Mahkamah Agung mengantarkan petisi publik atas gugatan selamatkan hutan Papua. Foto: Zulkifli/YMKL

Hendrikus Woro mengajukan kasasi ke MA karena Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura dan PTTUN Makassar menolak gugatan serta bandingnya. Gugatan yang diajukan Hendrikus Woro tersebut menyangkut izin kelayakan lingkungan hidup yang dikeluarkan Pemerintah Provinsi Papua untuk PT Indo Asiana Lestari (IAL). Perusahaan sawit ini mengantongi izin lingkungan seluas 36.094 hektare, atau lebih dari setengah luas DKI Jakarta, dan berada di hutan adat marga Woro—bagian dari suku Awyu.

Dalam dokumen putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 458 K/TUN/LH/2024 itu, diketahui bahwa putusan tersebut diambil dalam rapat permusyawaratan Majelis Hakim pada 18 September lalu. Dari dokumen putusan lengkap yang baru bisa diakses pada 1 November 2024. Satu dari tiga hakim yang mengadili perkara ini, Yodi Martono Wahyunadi, mengeluarkan pendapat berbeda (dissenting opinion).

Salah satu poin penting dissenting opinion tersebut menyangkut tenggat waktu gugatan 90 hari–yang sebelumnya menjadi dalih PTTUN Makassar untuk menolak permohonan banding Hendrikus Woro. Dalam pertimbangannya, hakim Yodi merujuk Pasal 5 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 2018, bahwa perhitungan yang dimaksud hanya hari kerja. Perhitungan tenggat waktu juga mesti mencakup hari libur lokal Provinsi Papua. Namun, karena mempertimbangkan keadilan substantif ketimbang keadilan formal, hakim Yodi berpendapat pengadilan perlu mengesampingkan ketentuan tenggat waktu itu dengan melakukan invalidasi praktikal.

“Dari pertimbangan dissenting opinion menyangkut tenggat waktu tersebut, kami menilai Mahkamah Agung inkonsisten dalam menerapkan aturan yang mereka buat. Padahal Peraturan Mahkamah Agung adalah petunjuk yang digunakan peradilan internal,” kata Tigor Hutapea, anggota Tim Advokasi Selamatkan Hutan Adat Papua. “Putusan MA ini tidak berarti objek gugatan sudah benar karena dua hakim tidak memeriksa substansinya. Namun satu majelis hakim dalam dissenting opinion menyatakan bahwa penerbitan amdal terbukti belum mengakomodasi kerugian di wilayah kehidupan masyarakat adat, yang dikelola dan dimanfaatkan turun-temurun.”

Jerat merupakan teknik berburu orang Papua. Di hutan, orang-orang Papua bisa berburu dengan tombak. Sumber buruan semakin sulit, maka jerat akan dipasang untuk mendapatkan target buruan. Dokumentasi: Zuluz/YMKL

Hakim Yodi Martono berpendapat bahwa objek gugatan–surat izin lingkungan hidup untuk PT IAL–bertentangan dengan berbagai asas dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, sehingga harus dibatalkan. Namun, hakim Yodi kalah dalam pemungutan suara.

“Ini menjadi kabar duka kesekian bagi masyarakat Awyu karena pemerintah dan hukum belum berpihak kepada masyarakat adat. Perjuangan menyelamatkan hutan adat Papua akan lebih berat apalagi dengan pemerintahan hari ini yang berambisi membabat hutan di Papua Selatan untuk food estate. Hutan Papua adalah rumah bagi keanekaragaman hayati. Saat banyak orang di dunia sedang membahas bagaimana menyelamatkan keanekaragaman hayati global dari kepunahan, seperti yang berlangsung di COP16 CBD Kolombia saat ini, kita justru mendapat berita buruk makin terancamnya keanekaragaman hayati dan masyarakat adat di Tanah Papua,” kata Sekar Banjaran Aji, anggota Tim Advokasi Selamatkan Hutan Adat Papua.

Selain kasasi perkara PT IAL ini, sejumlah masyarakat adat Awyu juga tengah mengajukan kasasi atas gugatan PT Kartika Cipta Pratama dan PT Megakarya Jaya Raya, dua perusahaan sawit yang juga sudah dan akan berekspansi di Boven Digoel, atas keputusan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Putusan MA atas kasus PT IAL ini bisa jadi akan menentukan nasib hutan hujan seluas 65.415 hektare di konsesi PT KCP dan PT MJR.

Sebelumnya, saat menunggu kasus PT IAL diadili oleh MA, masyarakat adat Awyu mendapat petisi dukungan sebanyak 253.823 tanda tangan dari publik yang diserahkan langsung ke MA pada 22 Juli lalu. Saat itu publik Indonesia di media sosial ramai-ramai membahas perjuangan suku Awyu, yang puncaknya muncul tagar #AllEyesOnPapua. Sayangnya, dukungan publik untuk perjuangan itu tak cukup mengetuk pintu hati para hakim.

“Masyarakat adat Awyu tetap berhak atas hutan adat mereka–yang telah ada bersama mereka secara turun-temurun sejak pertama mereka menempati wilayah adat. Pada prinsipnya kepemilikan izin oleh perusahaan tidak menghilangkan hak masyarakat adat atas tanah, sebab jelas ada pemilik hak adat yang belum melepaskan haknya. Kami berharap dan meminta publik dapat terus mendukung perjuangan suku Awyu dan masyarakat adat di seluruh Tanah Papua yang berjuang mempertahankan tanah dan hutan adat. Ini adalah bagian dari agenda penegakan hukum pelindungan hak-hak masyarakat adat, yang telah dijamin dalam aturan lokal, nasional, dan internasional, sekaligus perjuangan melindungi Bumi dari pemanasan global. Masyarakat adat adalah penjaga alam tanpa pamrih dan Papua bukan tanah kosong!” kata Emanuel Gobay, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Papua.

***

Narahubung:

  1. Tigor Hutapea, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat — +62812-8729-6684
  2. Sekar Banjaran Aji, Greenpeace Indonesia — +62812-8776-9880
  3. Budiarti Putri, Greenpeace Indonesia — +62811-1463-105

Koalisi Selamatkan Hutan Papua:

Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), Pusaka Bentala Rakyat Papua, Greenpeace Indonesia, Satya Bumi, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), WALHI Papua, PILNet Indonesia, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Perkumpulan HuMa Indonesia.

YMKL dan Pusaka Gelar Pelatihan Paralegal Bagi Pembela HAM Lingkungan Di Papua Barat Daya

Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL) bersama Pusaka Bentala Rakyat menggelar kegiatan pelatihan paralegal Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua Barat Daya. Pelatihan paralegal ini melibatkan peserta dari masyarakat adat, komunitas lokal, organisasi masyarakat sipil, yang dilaksanakan selama tiga hari (21-23) Oktober 2024, Sorong, Papua Barat Daya.

Kegiatan ini bertujuan untuk menguatkan pemahaman secara bersama tentang peran masyarakat adat, komunitas lokal, organisasi masyarakat sipil, generasi muda, di Papua Barat Daya dalam memperjuangkan hak-hak mereka. Perjuangan hak atas tanah, hak atas lingkungan yang baik, dan strategi advokasi serta litigasi ketika menghadapi sebuah masalah.

“Pelatihan paralegal ini untuk kita belajar bersama bagaimana langkah-langkah advokasi yang bisa dipakai saat masyarakat berhadapan masalah. Hasil dari kegiatan ini juga diharapkan dapat melahirkan paralegal yang bersungguh-sungguh bekerja untuk masyarakat,” kata Tigor Hutapea, Pusaka Bentala Rakyat, pada pembukaan acara pelatihan paralegal.

Pelatihan paralegal ini dianggap penting, mengingat permasalahan HAM di Papua semakin hari semakin tinggi. Apalagi saat ini pemerintah sedang menggalakkan program pembangunan dan investasi skala besar di semua wilayah Papua. Dampak dari kehadiran investasi itu menyebabkan permasalahan dan konflik agrarian di Papua. Masyarakat Papua lekat kehidupannya dengan tanah dan sumber daya alam. Saat keduanya hilang, maka kehidupan orang Papua terancam.

Di tambah lagi, akses terhadap bantuan hukum di Papua sulit terjangkau. Jika pun ada, aksesnya begitu rumit. Padahal, bantuan hukum terhadap masyarakat merupakan kewajiban negara dalam menjamin hak-hak warga negara. Kurangnya penguatan pengetahuan mengenai HAM menyebabkan suara-suara masyarakat adat, komunitas lokal di Papua sering kali terabaikan.

“Upaya belajar bersama dalam pelatihan ini sangat diharapkan agar kita semua bisa belajar dan memahami bagaimana strategi litigasi, advokasi, mediasi, dan negosiasi. Dari upaya itulah masyarakat mempunyai posisi yang kuat khususnya pada saat mengambil kebijakan apalagi saat berhadapan dengan pemerintah atau perusahaan,” ungkap Rudiansyah, Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL) saat memberikan materi litigasi, advokasi, dan mediasi.

Peserta pelatihan paralegal bagi pembela HAM lingkungan sangat antusias dengan materi yang mereka terima dan aktif berdiskusi serta membagikan permasalahan yang mereka sedang hadapi. Dokumentasi/YMKL

Masyarakat adat Papua juga memiliki konteks hukum adat sendiri, yang pada dasarnya menjadi sebuah pegangan mereka dalam mempertahakan hak mereka. Tapi, lambat laun, hukum adat itu tidak memiliki kekuatan penuh untuk dijadikan pijakan advokasi bagi masyarakat adat Papua.

Mengingat perkembangan saat ini, isu masyarakat adat tengah menjadi diskursus bersama, hal ini berpengaruh kepada dengan terbentuknya peraturan internasional dan nasional yang memberikan peluang perlindungan bagi masyarakat yang melakukan pembelaan diri.  Peluang ini dapat di kombinasikan dengan  pengetahuan Masyarakat agar menjadi strategis advokasi yang tersistematis.

“Kami di Papua sudah lama berhadapan dengan kasus dan masalah. Masalah terkait perampasan lahan, tanah, wilayah adat, yang bahkan sampai saat ini belum jelas kepastiannya kapan selesai. Saya berharap melalui pelatihan ini dapat menambah pengetahuan kami dalam memperjuangkan wilayah adat dan tanah kami di Papua,” ujar Jimi Solemanibra, peserta pelatihan dari Masyarakat Adat Moi.

Peserta pelatihan paralegal mendiskusikan masalah yang mereka hadapi dan membagikan temuan dan solusi yang ingin mereka kerjakan dalam kerja-kerja litigasi dan advokasi. Dokuemntasi/YMKL

Diselnggarakan kegiatan pelatihan paralegal bagi pembela HAM di Papua Barat Daya dengan harapan dapat melahirkan sebuah solusi dalam menangani kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Papua dan menjadi penghubung antara para pembela HAM dan organisasi bantuan hukum dalam menangani kasus yang muncul di tingkat masyarakat.

Selain itu, kegiatan pelatihan paralegal ini ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan dan  keterampilan  advokasi para pembela HAM Lingkungan di Provinsi Papua Barat Daya.

KNMKI Hasilkan Komunike Bersama: Pemerintahan Prabowo-Gibran Didesak untuk Perbaiki Tata Kelola dan Mitigasi Dampak Buruk Industri Hilir Nikel di Indonesia 

Palu/Jakarta, 14 Oktober 2024 – Konferensi Nasional Mineral Kritis Indonesia (KNMKI) yang berlangsung pada 9-10 Oktober telah mengeluarkan komunike bersama yang mendesak seluruh pemangku kepentingan di sektor mineral kritis, khususnya nikel, untuk mengutamakan hak asasi manusia kelompok-kelompok sosial yang marjinal serta tata kelola lingkungan dan sosial yang berkelanjutan.

Komunike bersama menegaskan kepada pemerintahan Prabowo-Gibran yang akan dilantik pada 20 Oktober mendatang bahwa hilirisasi nikel tidak boleh dijadikan alat semata untuk pertumbuhan ekonomi. Realitas di lapangan menunjukkan bahwa banyak dampak negatif yang mengancam kesejahteraan masyarakat dan lingkungan di sekitar kawasan hilirisasi nikel.

 Hilirisasi nikel seharusnya menjadi langkah strategis untuk meningkatkan nilai tambah dan menciptakan lapangan kerja yang layak. Namun, komitmen pemerintah dalam memastikan pertumbuhan yang adil dan berkelanjutan masih diragukan. Komunike bersama yang dihasilkan oleh lebih dari 60 organisasi/komunitas (organisasi masyarakat sipil, Masyarakat terdampak dan serikat pekerja industri pengolahan nikel) menegaskan bahwa pengelolaan sumber daya mineral harus mempertimbangkan hak asasi manusia kelompok-kelompok sosial yang marjinal  dan dampak lingkungan secara lebih serius.

 Ketua panitia sekaligus direktur eksekutif Transformasi untuk Keadilan Indonesia (TuK INDONESIA), Linda Rosalina, menegaskan bahwa pertemuan ini sangat krusial dengan kehadiran berbagai organisasi yang aktif dalam advokasi, guna segera mengurangi dampak destruktif dari sektor pertambangan dan industri mineral kritis. “Konferensi dan lokakarya ini telah mengungkap fakta lapangan yang tidak bisa diabaikan, memperjelas komitmen kami untuk bersinergi dalam mengadvokasi isu-isu pertambangan dan industri nikel. Kami bertekad memperjuangkan tata kelola nikel yang lebih adil, berkelanjutan, serta menghormati hak-hak masyarakat lokal dan perlindungan lingkungan.”

 “Kami mendesak pemerintah baru Prabowo-Gibran untuk mendengar langsung suara warga terdampak dan segera mengambil langkah nyata dalam merumuskan kebijakan yang inklusif dan bertanggung jawab. Hilirisasi nikel tidak boleh hanya menguntungkan segelintir pihak, tetapi harus melindungi hak masyarakat dan memastikan keberlanjutan lingkungan demi kesejahteraan bersama,” lanjut Linda.

Proyeksi Kebutuhan Nikel dan Dampak Lingkungan Masih Buram dalam Perencanaan Nasional

Perencanaan kebutuhan nikel di Indonesia belum mendapat kejelasan yang memadai dalam dokumen strategis nasional, termasuk RPJPN, RPJMN, maupun dokumen turunan lainnya. Meskipun industri nikel terus berkembang pesat, perhatian terhadap dampak lingkungan, terutama emisi karbon yang dihasilkan, masih minim. Hal ini terbukti dari lemahnya pengawasan lingkungan terhadap industri ini, yang secara nyata memberikan dampak buruk terhadap ekosistem.

Koalisi ResponsiBank Indonesia menyoroti kondisi yang semakin parah ini karena masifnya pembiayaan pada sektor nikel yang juga didukung oleh regulasi yang menempatkan nikel sebagai kebutuhan pokok transisi energi hijau. “Padahal bank sebagai pemberi pinjaman modal perusahaan memiliki peran sebagai katalisator dan akselerator pembiayaan, tapi dengan eksploitasi ugal-ugalan nikel justru menimbulkan kerusakan lingkungan dan konflik masyarakat. Bank perlu mengintegrasikan praktik pembiayaan bertanggungjawab yang melaksanakan dukungan kepada terlaksananya pemenuhan HAM dan pelestarian lingkungan,” ucap Herni Ramdlaningrum, dari Koalisi ResponsiBank Indonesia. 

Pengawasan terhadap perusahaan tambang nikel juga masih jauh dari kata optimal, terutama di tingkat daerah. Keterbatasan kewenangan pemerintah provinsi serta tumpang tindih kebijakan antara pusat dan daerah semakin mempersulit situasi. Dampaknya, penegakan hukum terhadap pelanggaran lingkungan sering kali tidak berjalan efektif.

Lebih jauh, UU Minerba 2020 dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, yang memusatkan wewenang izin operasi di tingkat pusat, mempersempit ruang gerak masyarakat sipil dalam melakukan pengawasan. Mekanisme pemulihan bagi masyarakat terdampak pun kerap mandek, terutama di wilayah di mana pemerintah daerah memiliki konflik kepentingan karena kepemilikan saham dalam industri tambang nikel.

“Industri nikel memang memainkan peran penting dalam mendukung transisi energi, namun perkembangan pesat sektor ini harus diimbangi dengan perhatian yang serius terhadap dampak lingkungan dan sosial. Kelemahan dalam perencanaan strategis nasional, ditambah dengan tata kelola yang masih jauh dari transparan, serta lemahnya pengawasan terhadap industri tambang nikel, justru memperparah krisis lingkungan yang sedang terjadi,” ungkap Meliana Lumbantoruan, Deputi Direktur PWYP Indonesia.

Pemerintah perlu memperkuat tata kelola sektor nikel dengan meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan koordinasi antar lembaga, baik di tingkat pusat maupun daerah. Selain itu, keterlibatan aktif masyarakat sipil dalam pengawasan juga harus dijamin, agar kegiatan industri berjalan dengan lebih bertanggung jawab dan pemulihan bagi masyarakat terdampak bisa terwujud dengan lebih efektif.” lanjut Meliana 

Olisias Gultom, Direktur Sahita Institute (HINTS)  menegaskan “Seluruh pemangku kepentingan perlu memperhatikan bahwa praktik-praktik korupsi telah berkontribusi pada kerusakan lingkungan dan meminggirkan masyarakat lokal pada industri ini. Di tambah lemahnya keberpihakan pada akses penghidupan yang layak untuk para perkerja. Pembangunan industri atau hilirisasi harus sejalan dengan prinsip kemanusiaan dan keadilan sosial. Saat ini sangat mendesak harus dilakukan sebelum kesalahan yang lebih besar terjadi dan mengakibatkan kerusakan parah pada semua aspek kehidupan.” 

Dampak Sosial, Ekonomi, dan Ketenagakerjaan yang Diabaikan

Perkembangan pesat industri nikel yang tidak sejalan dengan komitmen pemerintah daerah dalam menjaga kebutuhan energi dan pangan masyarakat di wilayah tersebut. Daya beli masyarakat semakin merosot akibat kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat kecil. Kondisi ini diperparah dengan tidak adanya upaya nyata untuk merehabilitasi lingkungan pasca bencana ekologis, yang mengakibatkan hilangnya sumber penghidupan utama, seperti nelayan, dan terbatasnya peluang pekerjaan alternatif bagi masyarakat yang terdampak aktivitas tambang dan hilirisasi nikel.

Fakta bahwa meskipun perusahaan tambang beroperasi di wilayah mereka, kontribusi ekonomi terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal nyaris tidak terasa. Keuntungan besar yang diraih perusahaan-perusahaan tersebut diperoleh dengan mengalihkan resiko-resiko dampak sosial dan ekonomi yang terpaksa ditanggung warga sekitar.

Direktur INKRISPENA, Wasi Gede, menekankan bahwa pendekatan kesejahteraan tidak dapat diterapkan berdampingan dengan pendekatan militeristik dan kekerasan yang saat ini dominan di wilayah-wilayah industri nikel. “Tidak mungkin petani, pekerja, atau warga di wilayah tambang dan kawasan2 industri pengolahan mineral kritis akan sejahtera selama pendekatan yang dipakai pemerintah dan dunia bisnis masih tetap mengedepankan militerisme dan kekerasan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang muncul.”

Penguatan masyarakat adat dan masyarakat lokal menjadi krusial dalam menghadapi kehadiran industri mineral kritis di Indonesia. Hal ini terutama penting terkait penyampaian informasi yang jelas mengenai kehadiran industri di kampung dan wilayah mereka. Menurut Rudiansyah dari Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL), salah satu upaya yang perlu dilakukan adalah meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai konsep Padiatapa (Persetujuan Atas Dasar Informasi di Awal Tanpa Paksaan).

“Persoalan hak masyarakat adat dan lokal tidak hanya sebatas ganti rugi lahan, namun juga mencakup pemahaman mendalam tentang mengapa, untuk apa, dan apa akibat dari proyek-proyek industri mineral kritis terhadap kehidupan mereka. Karena pada akhirnya, merekalah yang pertama dan terutama menjadi objek eksploitasi—baik yang sudah, sedang, maupun akan menjadi bagian dari konsesi industri ini,” jelas Rudiansyah.

Dengan begitu, upaya bersama antara pemerintah, masyarakat, dan pemangku kepentingan sangat diperlukan untuk memastikan bahwa hak-hak masyarakat terlindungi dan mereka mendapatkan informasi yang menyeluruh mengenai dampak industri mineral kritis terhadap lingkungan dan kehidupan mereka.

Di sektor ketenagakerjaan, lemahnya penerapan standar Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) menunjukkan kurangnya tanggung jawab perusahaan terhadap keselamatan pekerja. Banyak pekerja yang tidak mendapat perlindungan memadai, sementara regulasi hukum yang ada sudah usang dan tidak lagi relevan dengan perkembangan industri. Diskriminasi upah juga mencolok, baik antara pekerja laki-laki dan perempuan.

Richard Pimpinan Yayasan Tanah Merdeka (YTM) mengatakan “Intensitas kerja yang tinggi dengan sistem tiga  shift-tiga regu di industri nikel tidak hanya memperburuk kondisi sosial dan ekonomi masyarakat lokal, tetapi juga menimbulkan berbagai Penyakit Akibat Kerja (PAK). Pekerja sering kali mengalami kelelahan berlebih, gangguan tidur, serta masalah kesehatan kronis seperti gangguan pernapasan dan nyeri otot-sendi, yang diperparah oleh kurangnya penerapan standar Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3).”  

“Selain itu, upah yang tidak setara dan minimnya perlindungan kesehatan bagi pekerja, menunjukkan lemahnya kebijakan ketenagakerjaan yang seharusnya melindungi kesejahteraan mereka. Sementara perusahaan memperoleh keuntungan besar, masyarakat justru harus menanggung beban sosial dan kesehatan yang semakin meningkat akibat aktivitas industri ini.” Lanjutnya. 

Industri nikel yang sedang berkembang di Indonesia merupakan penarik investor, sehingga sektor bisnis yang bekerja di sektor ini mendapatkan banyak dukungan. “Seharusnya aliran dana dari investor tidak hanya memberikan fasilitas kepada perusahaan untuk menggerakkan bisnisnya, tetapi juga memiliki multiplier effect seperti memberikan manfaat ekonomi yang berkeadilan, akses kerja layak, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal yang lebih baik.” kata Herni Ramdlaningrum, dari Koalisi ResponsiBank Indonesia. 

Kerusakan Lingkungan, Punahnya Keanekaragaman Hayati, dan Ancaman Kesehatan Serius

“Booming” industri mineral kritis yang dipromosikan sebagai solusi transisi energi ternyata menciptakan krisis baru. Alih-alih beralih ke energi bersih, pemerintah terus memberikan izin untuk pembangunan PLTU batubara captive (off-grid) di dalam kawasan industri nikel. Dimana kita tahu batubara adalah salah satu penyebab utama perubahan iklim di dunia. tanpa memperhitungkan dampak bencana terhadap lingkungan dan masyarakat. Keputusan ini jelas menunjukkan pengabaian total terhadap keberlanjutan lingkungan.

Dalam konteks ini, Ahmad Ashov Birry, Direktur Program Trend Asia, menekankan, “Praktik eksploitasi mineral kritis di Indonesia yang tampak tidak mengenal batas jelas melupakan tantangan krisis yang sedang kita hadapi. Indonesia, bersama dunia, saat ini tidak hanya sedang menghadapi krisis iklim, namun juga krisis biodiversitas dan krisis polusi yang sama-sama dampaknya bersifat lintas batas, saling terkait, dan dengan konsekuensi jangka panjang. Pemerintah Indonesia harus memikirkan ulang strategi eksploitasi mineral kritisnya untuk tidak memperparah situasi krisis tersebut.” 

Aktivitas tambang nikel juga telah menyebabkan deforestasi besar-besaran, pencemaran air dan udara yang merusak, serta punahnya keanekaragaman hayati yang menjadi penyangga ekosistem. Kehancuran lingkungan ini bukan hanya ancaman terhadap flora dan fauna, tetapi juga memperbesar potensi bencana ekologis yang tak terhindarkan—seperti banjir, tanah longsor, dan degradasi tanah—yang membuat lingkungan tak lagi layak huni.

Namun, dampak terburuknya dirasakan langsung oleh masyarakat sekitar. Pencemaran yang dihasilkan telah memicu krisis kesehatan yang parah. Penyakit seperti Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), penyakit kulit yang menyebar luas, iritasi mata, dan sanitasi buruk yang memperparah stunting pada anak-anak adalah bukti nyata. Kesehatan masyarakat dikorbankan demi keuntungan industri, sementara pemerintah pusat atau daerah dan perusahaan seolah menutup mata terhadap penderitaan yang semakin meluas. 

Richard Pimpinan Yayasan Tanah Merdeka mengatakan “praktik-praktik kotor greenwashing jelas-jelas sudah terjadi di Industri nikel. Korban sudah berjatuhan setiap hari, bingkai praktik ramah lingkungan yang digemborkan pemerintah untuk investasi nikel sangat berbanding terbalik dengan kenyataan di lapangan. Kondisi riil di lapangan yang menderita jauh dari kata good mining practice. Yang hadir saat ini di warga adalah krisis air, penyakit pernapasan, banjir dan longsor.” 

Narahubung Media : 

Annisa N. Fadhilah – Tuk Indonesia, 087884446640 

Arie Utami – Indonesia Cerah, 08111770920

Komunike Konferensi Nasional Mineral Kritis Indonesia bisa diunduh disini
Dokumentasi kegiatan bisa diunduh disini


Organisasi dan masyarakat yang terlibat : 

Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA)
Auriga Nusantara Perempuan Mahardhika
BEK Solidaritas Perempuan Kendari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN)
BEK Solidaritas Perempuan Palu Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) Universitas Tadulako
BEK Solidaritas Perempuan Sintuwu Raya Poso PWYP Indonesia
CNV Internationaal ResponsiBank Indonesia
Djokosoetono Research Center (DRC) Fakultas Hukum Universitas Indonesia Sahita Institute – HINTS
Fakawele Project Satya Bumi
FIKEP-KSBSI SBIMI
Ford Foundation Sekretariat Nasional Solidaritas Perempuan
Forest Watch Indonesia (FWI) Solidar Suisse
Forum Ambunu Bersatu (Morowali) SPIM
FPBI SPIM-KPBI MOROWALI
FPE SPN Morowali
FSPMI Tara Climate Foundation
ICW Tifa Foundation
Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Transparency International Indonesia
Institut Kajian Krisis dan Strategi Pembangunan Alternatif (Inkrispena) Trend Asia
Institute for National and Democracy Studies (INDIES) TuK INDONESIA
International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) WALHI Maluku Utara
Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Sulawesi Tengah WALHI Sulawesi Selatan
Koalisi Perempuan Indonesia WALHI Sulawesi Tengah
Koalisi Save Sagea WALHI Sulawesi Tenggara
Konfederasi KASBI Yayasan Ambeua Helewo Ruru
KPA Sulawesi Tengah Yayasan Indonesia CERAH
LBH Makassar Yayasan Kompas Peduli Hutan (KOMIU)
Lokataru Foundation Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL)
Masyarakat Desa Tompira Yayasan Merah Putih (YMP) Sulawesi Tengah
Masyarakat Komunitas Torobulu Yayasan Pikul
Nexus3 Foundation Yayasan Tanah Merdeka (YTM)

 

Telaah Kritis Industri Nikel: Menggali Keadilan Sosial dan Lingkungan

Palu, 9 Oktober 2024 – Konferensi Nasional Mineral Kritis Indonesia (KNMKI) bertajuk “Telaah Kritis Industri Pertambangan dan Hilirisasi Nikel dengan Perspektif Keadilan Sosial dan Lingkungan” diprakarsai oleh 15 organisasi masyarakat sipil yang memiliki perhatian besar terhadap isu keadilan sosial dan lingkungan di sektor pertambangan nikel. Konferensi ini bertujuan untuk menelaah secara kritis aspek keadilan sosial, lingkungan,dan praktik tata kelola industri pertambangan mineral kritis di Indonesia.

Konferensi ini menjadi wadah bagi semua pihak untuk saling mendengarkan dan berbagi pandangan, dengan harapan dapat menciptakan masa depan yang lebih baik dan berkelanjutan bagi semua. Linda Rosalina, selaku Ketua Panitia KNMKI, mengungkapkan semangat bersama ini dengan tegas, “Konferensi ini menegaskan keseriusan kami dalam kerja-kerja advokasi nikel dan komitmen semua pihak yang hadir untuk memperjuangkan tata kelola industri nikel yang lebih adil, berkelanjutan, dan mengedepankan hak-hak masyarakat lokal serta lingkungan.”

Seiring dengan upaya Indonesia untuk menjadi pemain kunci dalam rantai pasok nikel global, terutama dalam konteks transisi energi, hilirisasi nikel sampai saat ini terus menimbulkan masalah lingkungan dan sosial serius. Menurut Pius Ginting, Direktur Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER), industri pengolahan nikel merupakan pengguna listrik terbesar di Sulawesi, yang mayoritas masih mengandalkan PLTU batubara. Penggunaan PLTU ini telah menyebabkan pencemaran udara dan air yang signifikan, merugikan masyarakat setempat.

Untuk mengatasi masalah ini, Pius menekankan bahwa perlu adanya pengembangan jaringan transmisi Sulawesi yang saling terhubung, sehingga dapat meningkatkan penggunaan energi terbarukan di kawasan industri. “Selain itu, produksi nikel perlu diperlambat melalui penerapan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya Tahun Berjalan (RKAB) yang terbatas, agar selaras dengan pengembangan daya dukung energi terbarukan,” kata Pius. Langkah ini, menurutnya, penting untuk mengurangi dampak lingkungan yang dihadapi warga lokal, terutama yang tinggal di sekitar area tambang.

Lebih lanjut, Pius menekankan pentingnya menjaga hak-hak warga yang terdampak oleh pengembangan energi terbarukan. “Pengembangan energi terbarukan dengan jaringan terhubung di Sulawesi harus dilakukan dengan melindungi ruang hidup dan hak-hak warga, khususnya yang tinggal di sekitar PLTA, lahan PLTS, dan ladang listrik tenaga angin serta sumber energi terbarukan lainnya,” tambahnya. Upaya ini diharapkan dapat menciptakan keseimbangan antara kebutuhan energi industri dan perlindungan lingkungan serta hak masyarakat setempat.

Sektor pertambangan, khususnya industri nikel, dikenal memiliki risiko kerja yang sangat tinggi. Berbagai bahaya yang melekat dalam pekerjaan, seperti kecelakaan kerja dan kelalaian dalam penerapan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3), sering kali menjadi ancaman serius bagi para pekerja. Salah satu contoh nyata adalah insiden berulang seperti meledaknya tungku di fasilitas smelter. Kejadian ini menunjukkan lemahnya pengawasan dan penerapan prosedur keselamatan yang ketat di lokasi kerja.

Iwan Kusnawan, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Serikat Pekerja Nasional (DPP SPN), menyoroti bahwa beberapa kali terjadi kecelakaan kerja di sektor ini tanpa adanya investigasi mendalam dari pihak terkait. “Akibatnya, setiap kali ada korban dalam insiden tersebut, penanganan yang diberikan hanya bersifat normatif, terbatas pada penyediaan jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan sebagai peserta, tanpa menyentuh aspek pencegahan dan penegakan tanggung jawab lebih lanjut. Ini menunjukkan kurangnya perhatian serius dari pihak perusahaan dan pemerintah terhadap perlindungan keselamatan para pekerja di industri yang berisiko tinggi,” jelas Iwan.

Masalah pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di sektor tenaga kerja Indonesia, khususnya dalam industri nikel, bersifat sistemik dan memerlukan pendekatan komprehensif. Menurut Leony Sondang Suryani, Peneliti Djokosoetono Research Center Universitas Indonesia (DRC UI), pelanggaran tidak hanya disebabkan oleh tindakan perusahaan, tetapi juga terkait dengan peran pemerintah dalam melindungi hak-hak dasar tenaga kerja. Ada tiga aspek hukum yang berkontribusi terhadap masalah ini: substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum.

“Meskipun Indonesia sudah memiliki regulasi ketenagakerjaan, masih belum sepenuhnya mengakomodasi kepentingan tenaga kerja dan menciptakan celah terjadinya pelanggaran HAM. Struktur hukum, terkait dengan implementasi dan penegakan hukum, seringkali tidak optimal, baik dalam memberikan sanksi tegas terhadap perusahaan maupun dalam memprioritaskan hak-hak pekerja. Budaya hukum yang ada tidak mendorong penegakan hukum yang progresif,” tambah Leony.

Oleh karena itu, reformasi menyeluruh di setiap aspek sistem hukum diperlukan agar hak-hak tenaga kerja dapat dilindungi secara efektif, dan agar perusahaan, khususnya di sektor nikel, dapat mematuhi standar HAM yang lebih baik. Dalam konteks ini, urgensi pengetatan regulasi lingkungan hidup dan transisi energi bersih menjadi semakin penting. Fajri Fadhillah, Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), menegaskan bahwa langkah konkret harus segera diambil oleh Administrasi Pemerintahan Prabowo-Gibran. Menurut Fajri, pengetatan standar lingkungan untuk tambang dan smelter nikel serta penguatan penegakan hukumnya harus menjadi prioritas utama kebijakan pemerintah.

“Selain itu, Pemerintahan Prabowo-Gibran dan kabinet baru nantinya perlu memprioritaskan peta jalan untuk penggantian PLTU captive dengan pembangkit energi terbarukan. Dengan peta jalan yang tepat dua keuntungan dapat diperoleh dari kebijakan-kebijakan tersebut: peningkatan kesehatan masyarakat yang tinggal di sekitar tambang dan smelter serta meningkatnya posisi tawar Indonesia dibandingkan dengan negara produsen nikel lainnya dalam rantai pasok nikel global,” tambah Fajri.

Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira, menjelaskan bahwa meskipun hilirisasi nikel telah membawa keuntungan ekonomi dalam skala nasional, bagi hasil yang diterima oleh daerah penghasil nikel pada kenyataannya relatif kecil. Hal ini disebabkan oleh model kawasan industri yang berada dalam Proyek Strategis Nasional (PSN), di mana sebagian besar manfaat ekonomi berpusat pada pemerintah pusat dan perusahaan besar, sementara daerah yang terdampak langsung oleh kegiatan pertambangan hanya memperoleh bagian yang sangat terbatas.

“Selain itu bagi hasil di daerah penghasil nikel tidak sebanding dengan biaya rehabilitasi lingkungan yang rusak karena aktivitas pertambangan, hingga pencemaran akibat PLTU batubara. Pemerintah daerah perlu mendapat peningkatan kapasitas fiskal baik dari alokasi dana transfer daerah, maupun dari sumber-sumber ekonomi alternatif selain pertambangan dan smelter.” tambah Bhima.

Dampak dari industri pertambangan, khususnya tambang pasir dan nikel, tidak hanya merusak lingkungan secara langsung, tetapi juga menghancurkan kehidupan sosial-ekonomi masyarakat lokal. Salah satu warga Desa Tompira, Murniati, menggambarkan betapa beratnya kondisi yang dihadapi oleh masyarakat nelayan. “Aktivitas tambang pasir dan nikel sangat mengganggu kehidupan kami, terutama nelayan Meti yang setiap hari mencari nafkah untuk keluarga,” ungkap Murni.

Sungai Laah, yang dulu menjadi tempat utama nelayan mencari meti – sejenis makanan khas lokal – kini rusak parah akibat penambangan pasir yang menghilangkan habitat alami dan merusak ekosistem sungai. “Meti semakin hari semakin berkurang, dan kini sungai dipenuhi pasir akibat penambangan. Kami sebagai masyarakat, terutama nelayan, sangat dirugikan,” tambah Murni.

Langkah-langkah ini tidak hanya akan memberikan keseimbangan yang lebih adil bagi daerah, tetapi juga memungkinkan pemerintah daerah untuk lebih proaktif dalam mengelola dampak lingkungan dan sosial dari industri nikel. Dengan fiskal yang lebih kuat, mereka dapat berinvestasi dalam proyek-proyek pembangunan berkelanjutan yang mendukung energi terbarukan, mengurangi ketergantungan pada batubara, dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat di sekitar kawasan tambang.

Narahubung Media :
Annisa N. Fadhilah – Tuk Indonesia, 087884446640
Arie Utami – Indonesia Cerah, 08111770920

Foto bisa diunduh di sini
Penyelenggara :
1. TuK INDONESIA
2. Indonesia CERAH
3. CELIOS
4. Inkrispena
5. Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL)
6. Aksi Emansipasi dan Ekologi Rakyat (AEER)
7. Indonesia Center for Environmental Law (ICEL)
8. Trend Asia
9. Yayasan Tanah Merdeka (YTM)
10. Sahita Institute (HINTS)
11. CNV International
12. ResponsiBank Indonesia
13. Djokosoetono Research Center
14. Publish What You Pay Indonesia (PWYP)
15. Jaringan Advokasi Tambang Sulawesi Tengah (JATAM Sulteng)

Tiga Desa Di Kabupaten Seruyan Sepakat Menolak Calon Lahan Plasma dari PT WSSL

Akhir Oktober tahun 2023 adalah bulan-bulan yang kelam bagi warga Desa Bangkal, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah. Konflik antara masyarakat dan perusahaan sawit memuncak. Masyarakat menuntut hak-hak atas lahan dan plasma kepada pihak perusahaan. Namun, aksi masyarakat itu dihadang dengan segala bentuk tindakan kriminalisasi oleh arapat kepolisian yang berujung adanya penembakan dan menyebabkan korban berjatuhan sampai meninggal dunia.

Konflik masyarakat dengan perusahaan sawit tidak hanya terjadi di Desa Bangkal, hal serupa juga terjadi di Desa Paring Raya, Parang Batang, dan Tanjung Hanau. Warga dari tiga desa ini menerima kabar mengenai tindak lanjut pembangunan plasma dari salah satu perusahaan bernama PT Wana Sawit Subur Lestari (WSSL) yang menduduki daerah sekitar tiga desa lingkar perkebunan PT WSSL.

Kabar tersebut tertulis dalam “Keputusan Bupati Seruyan Nomor 100.3.3.2/90/2023 Tentang Calon Lahan Kebun Masyarakat Atas Nama Koperasi Hanau Lestari Sejahtera Kecamatan Hanau Kabupaten Seruyan Bermitra Dengan Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Wana Sawit  Subur Lestari”.

Peta rencana calon lahan PT WSSL yang dikeluarkan Pemkab Seruyan melalui Surat Keputusan Bupati Seruyan Nomor 100.3.3.2/90/2023

Mengetahui keputusan yang dikeluarkan pemerintah Seruyan pada akhir tahun 2023 tersebut, Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL) bersama PROGRESS Palangkaraya menginisiasi pertemuan dan berdiskusi dengan masyarakat dari ketiga desa yang akan terdampak. Setelah dianalisa dan didiskusikan bersama dengan masyarakat desa masing-masing, rencana pembangunan bakal calon lahan banyak mengalami tumpang tindih dengan area hidup dan tata guna lahan desa.

“Coba ikau pikir mau di mana lagi bangun plasma. Tanah desa sini sudah habis,” kata Umar, warga Desa Parang Batang.

Setelah mendapatkan kabar itu, warga Desa Paring Raya langsung membuat pemetaan desa dan ketika disandingkan dengan peta dalam keputusan Bupati Seruyan, ditemukan area calon lahan kebun masuk dalam pemukiman warga dan kebun masyarakat.

“Kita ini bukan lagi meminta plasma, justru kami ini menuntut hak plasma yang  di dalam kebun perusahaan,” ujar Endang, warga dari Tanjung Hanau.

Di Desa Parang Batang yang lebih bermasalah, calon lahan kebun itu berada di lokasi lahan plasma yang akan dibangun infrastruktur seperti fasilitas umum, pemukiman, dan kebun masyarakat. Sedangkan untuk Desa Tanjung Hanau area plasma nantinya akan menggusur pemukiman dan kebun masyarakat desa. Artinya rencana pembangunan plasma sebelum diterbitkannya peraturan, tidak melakukan pengecekkan lapangan dengan masyarakat yang ada di tiga desa terdampak.

“Pemukiman warga tabunan ikut kena kalau itu (surat keputusan bupati) jadi,” tegas Adri, Desa Tanjung Hanau.

Melihat permasalahan mereka hadapi, tiga desa terdampak ini sepakat membuat pertemuan dengan setiap masing-masing pemerintah desa dan membuat musyawarah untuk mengirim setiap perwakilannya. Musyarah dengan seluruh warga desa dan calon petani dilakukan untuk menentapkan poin-poin dan kesepakatan bersama untuk dituangkan dalam laporan keluhan ke Pemerintah Daerah Seruyan.

Tim YMKL dan Progress melakukan audiensi dengan pihak Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) terkait surat keputusan Bupati Seruyan dan mendampingi perwakilan masyarakat desa dalam memasukan hasil musyawarah antar tiga desa ke pihak DKPP. Progress/Dokumentasi

Masyarakat yang hadir dalam pertemuan tidak hanya didomimasi oleh laki-laki, tapi juga turut melibatkan peran perempuan dalam musyawarah tersebut. Alhasil, dari musyawarah yang dilakukan ini menghasilkan surat kesepakatan bersama dengan tegas “Menolak Calon Lahan Plasma” yang dikeluarkan melalui keputusan bupati dan secara sepakat juga menuntut kejelasan hak plasma dari dalam kebun inti perusahaan PT WSLL.

Setelah menarik garis besar permasalahan dari setiap desa, masing-masing desa bersama-sama membuat keluhan berdasarkan Peraturan Bupati Kabupaten Seruyan Nomor 11 tahun 2021 tentang Tata Cara Pengaduan dan Pengelolaan Data Konflik Usaha Perkebunan, dan Peraturan Bupati Nomor 48 tahun 2022 tentang Pedoman Penanganan Konflik Usaha Perkebunan Kelapa Sawit. Tiga desa yang tercantum berkumpul dan membuat berita acara menolak Surat Keputusan Bupati Nomor 100.3.3.2/90/2023.

Artinya, penanganan permasalahan terkait konflik perkebunan telah diatur dalam kebijakan pemerintah daerah dan menjadi pegangan kebijakan antara masyarakat dan perusahaan untuk menyelesaikan konflik atau permasalahan yang sedang berlangsung.

Laporan keluhan dari masyarakat desa itu kemudian diserahkan ke Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Kabupaten Seruyan yang befungsi sebagai kantor pusat sekratariat Pendekatan Yurisdiksi untuk sawit berkelanjutan (17/07). Laporan keluhan itu diterima langsung oleh Agus Sulino, perwakilan dari DKPP. Pihak DKPP menyampaikan bahwa pengeluaran surat ini sepenuhnya di bawah kuasa dinas bagian Perekonomian Seruyan dan dianjurkan untuk mengadu ke kantor dinas tersebut.

Lalu, laporan keluhan itu diajukan ke Bidang Perekonomian lebih khususnya Bidang Perekonomian Sekretariat Daerah Kabupaten Seruyan yang diwakili langsung oleh Ibu Sarinah. Tanggapannya bahwa saat ini dinas belum sepenuhnya memberlakukan Peraturan Bupati yang baru dan masih berpedoman pada peraturan provinsi. Masyarakat harus membuat surat resmi kepada Bupati yang harus disertakan kop dari pemerintah desa, sehingga berita acara yang dibuat sesuai dengan peraturan gubernur untuk pengaduan bisa diterima.

Laporan keluhan masyarakat tentang calon lahan PT WSSL diterima langsung oleh Pemerintah Daerah Seruyan. YMKL/Dokumentasi.

Mendengar arahan dan petunjuk tersebut, perwakilan masyarakat dari ketiga desa ini bergegas membuat surat resmi dan di tandatangani langsung oleh salah satu pemerintah desa yang hadir saat laporan keluhan itu dimasukan. Setelah membuat surat resmi, akhirnya Dinas Bidang Perekonomian menerima surat dan laporan keluhan dari masyarakat.

 

Sebagai catatan:

Waktu pada saat artikel ini ditulis dan dipublikasikan, (28/08), masyarakat masih menunggu tindak lanjut untuk peninjauan kembali dan dilaksanakannya pemetaan lapangan yang lebih partisipatif dengan masyarakat di tiga desa.

 

 

250 Ribu Petisi Dukungan Publik Selamatkan Hutan Papua Diserahkan Ke Mahkamah Agung

Dua perwakilan masyarakat adat dari Papua: Suku Awyu dan Suku Moi, pejuang lingkungan hidup itu mendatangi kantor Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia (RI), pada Senin, 22 Juli 2024. Mereka jauh-jauh datang dari Papua Selatan dan Papua Barat Daya untuk kedua kalinya memperjuangkan hutan adat mereka yang terancam oleh sejumlah perusahaan sawit.

“Kami menerima 253.823 tanda tangan dalam petisi dukungan untuk suku Awyu dan Moi, yang hari ini akan diserahkan langsung ke MA. Petisi ini dan juga gerakan #AllEyesOnPapua yang viral beberapa saat lalu menjadi bukti kepedulian banyak orang pada perjuangan orang Awyu dan Moi,” kata Tigor Hutapea, anggota Tim Advokasi Selamatkan Hutan Papua dari Yayasan Pusaka Bentala Rakyat.

Kedatangan perwakilan Suku Awyu dan Sub Suku Moi Sigin ke MA tidak sendirian, mereka ditemani beberapa publik figur dari beragam latar belakang, seperti Melanie Subono, Farwiza Farhan, Kiki Nasution, dan Pendeta Ronald Rischard Tapilatu. Ada pula kelompok anak muda dan organisasi masyarakat sipil, seperti dari Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Extinction Rebellion, Ikatan Mahasiswa Papua (IMAPA), Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL), dan beberapa organisasi masyarakat sipil lainnya. Mereka bersolidaritas dengan membawa banner dan poster bertuliskan sejumlah pesan, seperti “All Eyes on Papua” dan “Selamatkan Hutan Adat dan Manusia Papua”.

Suku Awyu menari di hadapan kantor MA bersama koalisi selamatkan hutan Papua. Tarian ini sebagai pesan kepada pemerintah bahwa hutan Papua dalam ancaman kehadiran perusahaan sawit. Foto: Zulkifli/YMKL

Rombongan ini berkunjung ke MA dengan dua agenda: menyerahkan petisi dukungan untuk perjuangan masyarakat adat suku Awyu dan Moi Sigin, serta mempertanyakan perkembangan perkara kasasi yang diajukan pejuang lingkungan hidup dari Suku Awyu dan subsuku Moi Sigin ke MA, yang diajukan masing-masing pada Maret dan awal Mei lalu.

Pemilik siniar (podcast) Sabda Bumi, Kiki Nasution, mengungkapkan alasannya ikut menandatangani petisi untuk mendukung perjuangan Suku Awyu dan Subsuku Moi Sigin. Menurut Kiki, generasi muda mesti memperhatikan keterkaitan isu kerusakan lingkungan dengan isu-isu lainnya, seperti ketidakadilan terhadap masyarakat adat.

“Dulu saya melihat perubahan iklim itu semacam hitam-putih, dengan tidak memakai plastik itu sudah menyelamatkan Bumi. Namun setelah belajar dari masyarakat adat, saya baru sadar bahwa perubahan iklim itu isu yang interseksional, berhubungan dengan kesenjangan dan berbagai ketidakadilan lainnya. Wilayah adat yang akan diambil dari suku Awyu dan Moi cukup luas, dengan cadangan karbon yang juga besar. Jika kita tidak menghentikannya, dampaknya akan ke mana-mana,” kata Kiki, yang dikenal di media sosial dengan nama akun @kikitube ini.

Melani Subono menyerahkan petisi publik selamatkan hutan Papua. Foto: Zulkifli/YMKL

Diana Klafiyu, perempuan adat Moi Sigin, berterima kasih atas dukungan yang mengalir untuk perjuangan mereka.

“Saya merasa senang dengan dukungan dari semua orang yang sudah menandatangani petisi mendukung kami suku Moi dan suku Awyu. Harapan saya, semoga hakim mengambil keputusan mendukung kami masyarakat adat suku Moi dan suku Awyu,” ujarnya.

Sebelum penyerahan petisi ini, Hendrikus Woro mengajukan gugatan menyangkut izin kelayakan lingkungan hidup yang dikeluarkan Pemerintah Provinsi Papua untuk PT Indo Asiana Lestari (IAL). Perusahaan sawit ini mengantongi izin lingkungan seluas 36.094 hektare, atau lebih dari setengah luas DKI Jakarta, dan berada di hutan adat marga Woro—bagian dari suku Awyu.

Selain kasasi perkara PT IAL ini, sejumlah masyarakat adat Awyu juga tengah mengajukan kasasi atas gugatan PT Kartika Cipta Pratama dan PT Megakarya Jaya Raya, dua perusahaan sawit yang juga sudah dan akan berekspansi di Boven Digoel, atas keputusan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Putusan MA akan menentukan nasib hutan hujan seluas 65.415 hektare di konsesi PT KCP dan PT MJR.

“Hingga hari ini, kami belum mendapatkan informasi tentang nomor registrasi perkara kasasi yang kami masyarakat Awyu dan Moi Sigin daftarkan ke MA. Kami ingin menanyakan kepada Mahkamah, bagaimana perkembangan gugatan kami, apakah Mahkamah memprosesnya atau tidak? Kami sampai dua kali datang jauh-jauh dari Papua, ini karena kami menunggu-nunggu putusan yang menyelamatkan hutan adat kami,” kata Hendrikus Woro, pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu.

Hendrikus Woro, pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu datang ke Mahkamah Agung mengantarkan petisi publik atas gugatan selamatkan hutan Papua. Foto: Zulkifli/YMKL

Adapun sub suku Moi Sigin melawan PT Sorong Agro Sawitindo (SAS) yang akan membabat 18.160 hektare hutan adat untuk perkebunan sawit. PT SAS menggugat pemerintah pusat karena mencabut izin pelepasan kawasan hutan dan izin usaha mereka. Masyarakat Moi Sigin melawan dengan menjadi tergugat intervensi dalam perkara tersebut.

Bagi masyarakat Awyu dan Moi Sigin, hutan adat adalah warisan leluhur yang menghidupi mereka turun-temurun. Mereka bergantung kepada hutan yang menjadi tempat berburu dan ‘supermarket’ untuk berbagai sumber makanan hingga obat-obatan. Hutan juga merupakan identitas sosial dan budaya mereka sebagai masyarakat adat.

Hutan bagi masyarakat adat Papua adalah kehidupan. Menebang hutan sama saja menghilangkan ruang hidup bagi masyarakat Papua. Foto: Zulkifli/YMKL

“Menyelamatkan hutan Papua bukan hanya bakal memperkuat benteng kita menghadapi krisis iklim dan kepunahan biodiversitas, tapi juga menjaga kekayaan alam, sosial, dan budaya yang kita miliki dalam peradaban ini. Hari ini kita menyaksikan solidaritas mengalir begitu deras untuk Papua, selanjutnya giliran Mahkamah Agung menggunakan keyakinan dan hati nuraninya berpihak pada masyarakat adat dan hutan Papua,” kata Sekar Banjaran Aji, anggota Tim Advokasi Selamatkan Hutan Papua dari Greenpeace Indonesia.

Dalam aksi hari ini, perwakilan masyarakat adat Awyu dan Moi menyerahkan secara langsung petisi dukungan publik kepada lima hakim dari Biro Hubungan Masyarakat MA. Menurut Tigor Hutapea, para hakim tersebut menyampaikan akan meneruskan petisi ini kepada hakim agung di kamar Tata Usaha Negara.

“Mereka menyatakan MA sudah berkomitmen melakukan pelindungan lingkungan hidup, termasuk juga melindungi masyarakat adat. Hakim juga akan mencoba menerapkan PMA Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup. Ini sedikit kabar baik. Semoga perkara yang sedang ditelaah membuahkan hasil baik untuk masyarakat adat dan masa depan hutan Papua,” tegas Tigor.

Koalisi selamatkan hutan Papua mengantarkan petisi publik ke kantor Mahkamah Agung. Foto/Zulkifli

Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua

Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), Pusaka Bentala Rakyat Papua, Greenpeace Indonesia, Satya Bumi, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), WALHI Papua, PILNet Indonesia, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Perkumpulan HuMa Indonesia

Kontak Media:

Tigor Hutapea, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, +62 812-8729-6684

Sekar Banjaran Aji, Greenpeace Indonesia, +62 812-8776-9880

Budiarti Putri, Greenpeace Indonesia, +62 811-1463-105