Mahkamah Agung Tolak Kasasi Suku Awyu, Perjuangan Selamatkan Hutan Papua Semakin Berat

Pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu, Hendrikus Woro, dan Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua kecewa atas putusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak permohonan kasasi masyarakat adat Awyu dalam upaya mempertahankan hutan adatnya dari ekspansi korporasi sawit di Boven Digoel, Papua Selatan. Putusan ini menambah deretan kabar buruk bagi masyarakat adat dan komunitas lokal yang berjuang di meja hijau melawan ancaman perusakan lingkungan hidup.

“Saya merasa kecewa dan sakit hati karena saya sendiri sudah tidak ada jalan keluar lain yang saya harapkan untuk bisa melindungi dan menyelamatkan tanah dan manusia di wilayah tanah adat saya. Saya merasa lelah dan sedih karena selama saya berjuang tidak ada dukungan dari pemerintah daerah atau pemerintah pusat. Kepada siapa saya harus berharap dan saya harus berjalan ke mana lagi?” kata Hendrikus Woro.

Hendrikus Woro, pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu datang ke Mahkamah Agung mengantarkan petisi publik atas gugatan selamatkan hutan Papua. Foto: Zulkifli/YMKL

Hendrikus Woro mengajukan kasasi ke MA karena Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura dan PTTUN Makassar menolak gugatan serta bandingnya. Gugatan yang diajukan Hendrikus Woro tersebut menyangkut izin kelayakan lingkungan hidup yang dikeluarkan Pemerintah Provinsi Papua untuk PT Indo Asiana Lestari (IAL). Perusahaan sawit ini mengantongi izin lingkungan seluas 36.094 hektare, atau lebih dari setengah luas DKI Jakarta, dan berada di hutan adat marga Woro—bagian dari suku Awyu.

Dalam dokumen putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 458 K/TUN/LH/2024 itu, diketahui bahwa putusan tersebut diambil dalam rapat permusyawaratan Majelis Hakim pada 18 September lalu. Dari dokumen putusan lengkap yang baru bisa diakses pada 1 November 2024. Satu dari tiga hakim yang mengadili perkara ini, Yodi Martono Wahyunadi, mengeluarkan pendapat berbeda (dissenting opinion).

Salah satu poin penting dissenting opinion tersebut menyangkut tenggat waktu gugatan 90 hari–yang sebelumnya menjadi dalih PTTUN Makassar untuk menolak permohonan banding Hendrikus Woro. Dalam pertimbangannya, hakim Yodi merujuk Pasal 5 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 2018, bahwa perhitungan yang dimaksud hanya hari kerja. Perhitungan tenggat waktu juga mesti mencakup hari libur lokal Provinsi Papua. Namun, karena mempertimbangkan keadilan substantif ketimbang keadilan formal, hakim Yodi berpendapat pengadilan perlu mengesampingkan ketentuan tenggat waktu itu dengan melakukan invalidasi praktikal.

“Dari pertimbangan dissenting opinion menyangkut tenggat waktu tersebut, kami menilai Mahkamah Agung inkonsisten dalam menerapkan aturan yang mereka buat. Padahal Peraturan Mahkamah Agung adalah petunjuk yang digunakan peradilan internal,” kata Tigor Hutapea, anggota Tim Advokasi Selamatkan Hutan Adat Papua. “Putusan MA ini tidak berarti objek gugatan sudah benar karena dua hakim tidak memeriksa substansinya. Namun satu majelis hakim dalam dissenting opinion menyatakan bahwa penerbitan amdal terbukti belum mengakomodasi kerugian di wilayah kehidupan masyarakat adat, yang dikelola dan dimanfaatkan turun-temurun.”

Jerat merupakan teknik berburu orang Papua. Di hutan, orang-orang Papua bisa berburu dengan tombak. Sumber buruan semakin sulit, maka jerat akan dipasang untuk mendapatkan target buruan. Dokumentasi: Zuluz/YMKL

Hakim Yodi Martono berpendapat bahwa objek gugatan–surat izin lingkungan hidup untuk PT IAL–bertentangan dengan berbagai asas dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, sehingga harus dibatalkan. Namun, hakim Yodi kalah dalam pemungutan suara.

“Ini menjadi kabar duka kesekian bagi masyarakat Awyu karena pemerintah dan hukum belum berpihak kepada masyarakat adat. Perjuangan menyelamatkan hutan adat Papua akan lebih berat apalagi dengan pemerintahan hari ini yang berambisi membabat hutan di Papua Selatan untuk food estate. Hutan Papua adalah rumah bagi keanekaragaman hayati. Saat banyak orang di dunia sedang membahas bagaimana menyelamatkan keanekaragaman hayati global dari kepunahan, seperti yang berlangsung di COP16 CBD Kolombia saat ini, kita justru mendapat berita buruk makin terancamnya keanekaragaman hayati dan masyarakat adat di Tanah Papua,” kata Sekar Banjaran Aji, anggota Tim Advokasi Selamatkan Hutan Adat Papua.

Selain kasasi perkara PT IAL ini, sejumlah masyarakat adat Awyu juga tengah mengajukan kasasi atas gugatan PT Kartika Cipta Pratama dan PT Megakarya Jaya Raya, dua perusahaan sawit yang juga sudah dan akan berekspansi di Boven Digoel, atas keputusan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Putusan MA atas kasus PT IAL ini bisa jadi akan menentukan nasib hutan hujan seluas 65.415 hektare di konsesi PT KCP dan PT MJR.

Sebelumnya, saat menunggu kasus PT IAL diadili oleh MA, masyarakat adat Awyu mendapat petisi dukungan sebanyak 253.823 tanda tangan dari publik yang diserahkan langsung ke MA pada 22 Juli lalu. Saat itu publik Indonesia di media sosial ramai-ramai membahas perjuangan suku Awyu, yang puncaknya muncul tagar #AllEyesOnPapua. Sayangnya, dukungan publik untuk perjuangan itu tak cukup mengetuk pintu hati para hakim.

“Masyarakat adat Awyu tetap berhak atas hutan adat mereka–yang telah ada bersama mereka secara turun-temurun sejak pertama mereka menempati wilayah adat. Pada prinsipnya kepemilikan izin oleh perusahaan tidak menghilangkan hak masyarakat adat atas tanah, sebab jelas ada pemilik hak adat yang belum melepaskan haknya. Kami berharap dan meminta publik dapat terus mendukung perjuangan suku Awyu dan masyarakat adat di seluruh Tanah Papua yang berjuang mempertahankan tanah dan hutan adat. Ini adalah bagian dari agenda penegakan hukum pelindungan hak-hak masyarakat adat, yang telah dijamin dalam aturan lokal, nasional, dan internasional, sekaligus perjuangan melindungi Bumi dari pemanasan global. Masyarakat adat adalah penjaga alam tanpa pamrih dan Papua bukan tanah kosong!” kata Emanuel Gobay, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Papua.

***

Narahubung:

  1. Tigor Hutapea, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat — +62812-8729-6684
  2. Sekar Banjaran Aji, Greenpeace Indonesia — +62812-8776-9880
  3. Budiarti Putri, Greenpeace Indonesia — +62811-1463-105

Koalisi Selamatkan Hutan Papua:

Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), Pusaka Bentala Rakyat Papua, Greenpeace Indonesia, Satya Bumi, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), WALHI Papua, PILNet Indonesia, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Perkumpulan HuMa Indonesia.

KNMKI Hasilkan Komunike Bersama: Pemerintahan Prabowo-Gibran Didesak untuk Perbaiki Tata Kelola dan Mitigasi Dampak Buruk Industri Hilir Nikel di Indonesia 

Palu/Jakarta, 14 Oktober 2024 – Konferensi Nasional Mineral Kritis Indonesia (KNMKI) yang berlangsung pada 9-10 Oktober telah mengeluarkan komunike bersama yang mendesak seluruh pemangku kepentingan di sektor mineral kritis, khususnya nikel, untuk mengutamakan hak asasi manusia kelompok-kelompok sosial yang marjinal serta tata kelola lingkungan dan sosial yang berkelanjutan.

Komunike bersama menegaskan kepada pemerintahan Prabowo-Gibran yang akan dilantik pada 20 Oktober mendatang bahwa hilirisasi nikel tidak boleh dijadikan alat semata untuk pertumbuhan ekonomi. Realitas di lapangan menunjukkan bahwa banyak dampak negatif yang mengancam kesejahteraan masyarakat dan lingkungan di sekitar kawasan hilirisasi nikel.

 Hilirisasi nikel seharusnya menjadi langkah strategis untuk meningkatkan nilai tambah dan menciptakan lapangan kerja yang layak. Namun, komitmen pemerintah dalam memastikan pertumbuhan yang adil dan berkelanjutan masih diragukan. Komunike bersama yang dihasilkan oleh lebih dari 60 organisasi/komunitas (organisasi masyarakat sipil, Masyarakat terdampak dan serikat pekerja industri pengolahan nikel) menegaskan bahwa pengelolaan sumber daya mineral harus mempertimbangkan hak asasi manusia kelompok-kelompok sosial yang marjinal  dan dampak lingkungan secara lebih serius.

 Ketua panitia sekaligus direktur eksekutif Transformasi untuk Keadilan Indonesia (TuK INDONESIA), Linda Rosalina, menegaskan bahwa pertemuan ini sangat krusial dengan kehadiran berbagai organisasi yang aktif dalam advokasi, guna segera mengurangi dampak destruktif dari sektor pertambangan dan industri mineral kritis. “Konferensi dan lokakarya ini telah mengungkap fakta lapangan yang tidak bisa diabaikan, memperjelas komitmen kami untuk bersinergi dalam mengadvokasi isu-isu pertambangan dan industri nikel. Kami bertekad memperjuangkan tata kelola nikel yang lebih adil, berkelanjutan, serta menghormati hak-hak masyarakat lokal dan perlindungan lingkungan.”

 “Kami mendesak pemerintah baru Prabowo-Gibran untuk mendengar langsung suara warga terdampak dan segera mengambil langkah nyata dalam merumuskan kebijakan yang inklusif dan bertanggung jawab. Hilirisasi nikel tidak boleh hanya menguntungkan segelintir pihak, tetapi harus melindungi hak masyarakat dan memastikan keberlanjutan lingkungan demi kesejahteraan bersama,” lanjut Linda.

Proyeksi Kebutuhan Nikel dan Dampak Lingkungan Masih Buram dalam Perencanaan Nasional

Perencanaan kebutuhan nikel di Indonesia belum mendapat kejelasan yang memadai dalam dokumen strategis nasional, termasuk RPJPN, RPJMN, maupun dokumen turunan lainnya. Meskipun industri nikel terus berkembang pesat, perhatian terhadap dampak lingkungan, terutama emisi karbon yang dihasilkan, masih minim. Hal ini terbukti dari lemahnya pengawasan lingkungan terhadap industri ini, yang secara nyata memberikan dampak buruk terhadap ekosistem.

Koalisi ResponsiBank Indonesia menyoroti kondisi yang semakin parah ini karena masifnya pembiayaan pada sektor nikel yang juga didukung oleh regulasi yang menempatkan nikel sebagai kebutuhan pokok transisi energi hijau. “Padahal bank sebagai pemberi pinjaman modal perusahaan memiliki peran sebagai katalisator dan akselerator pembiayaan, tapi dengan eksploitasi ugal-ugalan nikel justru menimbulkan kerusakan lingkungan dan konflik masyarakat. Bank perlu mengintegrasikan praktik pembiayaan bertanggungjawab yang melaksanakan dukungan kepada terlaksananya pemenuhan HAM dan pelestarian lingkungan,” ucap Herni Ramdlaningrum, dari Koalisi ResponsiBank Indonesia. 

Pengawasan terhadap perusahaan tambang nikel juga masih jauh dari kata optimal, terutama di tingkat daerah. Keterbatasan kewenangan pemerintah provinsi serta tumpang tindih kebijakan antara pusat dan daerah semakin mempersulit situasi. Dampaknya, penegakan hukum terhadap pelanggaran lingkungan sering kali tidak berjalan efektif.

Lebih jauh, UU Minerba 2020 dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, yang memusatkan wewenang izin operasi di tingkat pusat, mempersempit ruang gerak masyarakat sipil dalam melakukan pengawasan. Mekanisme pemulihan bagi masyarakat terdampak pun kerap mandek, terutama di wilayah di mana pemerintah daerah memiliki konflik kepentingan karena kepemilikan saham dalam industri tambang nikel.

“Industri nikel memang memainkan peran penting dalam mendukung transisi energi, namun perkembangan pesat sektor ini harus diimbangi dengan perhatian yang serius terhadap dampak lingkungan dan sosial. Kelemahan dalam perencanaan strategis nasional, ditambah dengan tata kelola yang masih jauh dari transparan, serta lemahnya pengawasan terhadap industri tambang nikel, justru memperparah krisis lingkungan yang sedang terjadi,” ungkap Meliana Lumbantoruan, Deputi Direktur PWYP Indonesia.

Pemerintah perlu memperkuat tata kelola sektor nikel dengan meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan koordinasi antar lembaga, baik di tingkat pusat maupun daerah. Selain itu, keterlibatan aktif masyarakat sipil dalam pengawasan juga harus dijamin, agar kegiatan industri berjalan dengan lebih bertanggung jawab dan pemulihan bagi masyarakat terdampak bisa terwujud dengan lebih efektif.” lanjut Meliana 

Olisias Gultom, Direktur Sahita Institute (HINTS)  menegaskan “Seluruh pemangku kepentingan perlu memperhatikan bahwa praktik-praktik korupsi telah berkontribusi pada kerusakan lingkungan dan meminggirkan masyarakat lokal pada industri ini. Di tambah lemahnya keberpihakan pada akses penghidupan yang layak untuk para perkerja. Pembangunan industri atau hilirisasi harus sejalan dengan prinsip kemanusiaan dan keadilan sosial. Saat ini sangat mendesak harus dilakukan sebelum kesalahan yang lebih besar terjadi dan mengakibatkan kerusakan parah pada semua aspek kehidupan.” 

Dampak Sosial, Ekonomi, dan Ketenagakerjaan yang Diabaikan

Perkembangan pesat industri nikel yang tidak sejalan dengan komitmen pemerintah daerah dalam menjaga kebutuhan energi dan pangan masyarakat di wilayah tersebut. Daya beli masyarakat semakin merosot akibat kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat kecil. Kondisi ini diperparah dengan tidak adanya upaya nyata untuk merehabilitasi lingkungan pasca bencana ekologis, yang mengakibatkan hilangnya sumber penghidupan utama, seperti nelayan, dan terbatasnya peluang pekerjaan alternatif bagi masyarakat yang terdampak aktivitas tambang dan hilirisasi nikel.

Fakta bahwa meskipun perusahaan tambang beroperasi di wilayah mereka, kontribusi ekonomi terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal nyaris tidak terasa. Keuntungan besar yang diraih perusahaan-perusahaan tersebut diperoleh dengan mengalihkan resiko-resiko dampak sosial dan ekonomi yang terpaksa ditanggung warga sekitar.

Direktur INKRISPENA, Wasi Gede, menekankan bahwa pendekatan kesejahteraan tidak dapat diterapkan berdampingan dengan pendekatan militeristik dan kekerasan yang saat ini dominan di wilayah-wilayah industri nikel. “Tidak mungkin petani, pekerja, atau warga di wilayah tambang dan kawasan2 industri pengolahan mineral kritis akan sejahtera selama pendekatan yang dipakai pemerintah dan dunia bisnis masih tetap mengedepankan militerisme dan kekerasan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang muncul.”

Penguatan masyarakat adat dan masyarakat lokal menjadi krusial dalam menghadapi kehadiran industri mineral kritis di Indonesia. Hal ini terutama penting terkait penyampaian informasi yang jelas mengenai kehadiran industri di kampung dan wilayah mereka. Menurut Rudiansyah dari Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL), salah satu upaya yang perlu dilakukan adalah meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai konsep Padiatapa (Persetujuan Atas Dasar Informasi di Awal Tanpa Paksaan).

“Persoalan hak masyarakat adat dan lokal tidak hanya sebatas ganti rugi lahan, namun juga mencakup pemahaman mendalam tentang mengapa, untuk apa, dan apa akibat dari proyek-proyek industri mineral kritis terhadap kehidupan mereka. Karena pada akhirnya, merekalah yang pertama dan terutama menjadi objek eksploitasi—baik yang sudah, sedang, maupun akan menjadi bagian dari konsesi industri ini,” jelas Rudiansyah.

Dengan begitu, upaya bersama antara pemerintah, masyarakat, dan pemangku kepentingan sangat diperlukan untuk memastikan bahwa hak-hak masyarakat terlindungi dan mereka mendapatkan informasi yang menyeluruh mengenai dampak industri mineral kritis terhadap lingkungan dan kehidupan mereka.

Di sektor ketenagakerjaan, lemahnya penerapan standar Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) menunjukkan kurangnya tanggung jawab perusahaan terhadap keselamatan pekerja. Banyak pekerja yang tidak mendapat perlindungan memadai, sementara regulasi hukum yang ada sudah usang dan tidak lagi relevan dengan perkembangan industri. Diskriminasi upah juga mencolok, baik antara pekerja laki-laki dan perempuan.

Richard Pimpinan Yayasan Tanah Merdeka (YTM) mengatakan “Intensitas kerja yang tinggi dengan sistem tiga  shift-tiga regu di industri nikel tidak hanya memperburuk kondisi sosial dan ekonomi masyarakat lokal, tetapi juga menimbulkan berbagai Penyakit Akibat Kerja (PAK). Pekerja sering kali mengalami kelelahan berlebih, gangguan tidur, serta masalah kesehatan kronis seperti gangguan pernapasan dan nyeri otot-sendi, yang diperparah oleh kurangnya penerapan standar Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3).”  

“Selain itu, upah yang tidak setara dan minimnya perlindungan kesehatan bagi pekerja, menunjukkan lemahnya kebijakan ketenagakerjaan yang seharusnya melindungi kesejahteraan mereka. Sementara perusahaan memperoleh keuntungan besar, masyarakat justru harus menanggung beban sosial dan kesehatan yang semakin meningkat akibat aktivitas industri ini.” Lanjutnya. 

Industri nikel yang sedang berkembang di Indonesia merupakan penarik investor, sehingga sektor bisnis yang bekerja di sektor ini mendapatkan banyak dukungan. “Seharusnya aliran dana dari investor tidak hanya memberikan fasilitas kepada perusahaan untuk menggerakkan bisnisnya, tetapi juga memiliki multiplier effect seperti memberikan manfaat ekonomi yang berkeadilan, akses kerja layak, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal yang lebih baik.” kata Herni Ramdlaningrum, dari Koalisi ResponsiBank Indonesia. 

Kerusakan Lingkungan, Punahnya Keanekaragaman Hayati, dan Ancaman Kesehatan Serius

“Booming” industri mineral kritis yang dipromosikan sebagai solusi transisi energi ternyata menciptakan krisis baru. Alih-alih beralih ke energi bersih, pemerintah terus memberikan izin untuk pembangunan PLTU batubara captive (off-grid) di dalam kawasan industri nikel. Dimana kita tahu batubara adalah salah satu penyebab utama perubahan iklim di dunia. tanpa memperhitungkan dampak bencana terhadap lingkungan dan masyarakat. Keputusan ini jelas menunjukkan pengabaian total terhadap keberlanjutan lingkungan.

Dalam konteks ini, Ahmad Ashov Birry, Direktur Program Trend Asia, menekankan, “Praktik eksploitasi mineral kritis di Indonesia yang tampak tidak mengenal batas jelas melupakan tantangan krisis yang sedang kita hadapi. Indonesia, bersama dunia, saat ini tidak hanya sedang menghadapi krisis iklim, namun juga krisis biodiversitas dan krisis polusi yang sama-sama dampaknya bersifat lintas batas, saling terkait, dan dengan konsekuensi jangka panjang. Pemerintah Indonesia harus memikirkan ulang strategi eksploitasi mineral kritisnya untuk tidak memperparah situasi krisis tersebut.” 

Aktivitas tambang nikel juga telah menyebabkan deforestasi besar-besaran, pencemaran air dan udara yang merusak, serta punahnya keanekaragaman hayati yang menjadi penyangga ekosistem. Kehancuran lingkungan ini bukan hanya ancaman terhadap flora dan fauna, tetapi juga memperbesar potensi bencana ekologis yang tak terhindarkan—seperti banjir, tanah longsor, dan degradasi tanah—yang membuat lingkungan tak lagi layak huni.

Namun, dampak terburuknya dirasakan langsung oleh masyarakat sekitar. Pencemaran yang dihasilkan telah memicu krisis kesehatan yang parah. Penyakit seperti Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), penyakit kulit yang menyebar luas, iritasi mata, dan sanitasi buruk yang memperparah stunting pada anak-anak adalah bukti nyata. Kesehatan masyarakat dikorbankan demi keuntungan industri, sementara pemerintah pusat atau daerah dan perusahaan seolah menutup mata terhadap penderitaan yang semakin meluas. 

Richard Pimpinan Yayasan Tanah Merdeka mengatakan “praktik-praktik kotor greenwashing jelas-jelas sudah terjadi di Industri nikel. Korban sudah berjatuhan setiap hari, bingkai praktik ramah lingkungan yang digemborkan pemerintah untuk investasi nikel sangat berbanding terbalik dengan kenyataan di lapangan. Kondisi riil di lapangan yang menderita jauh dari kata good mining practice. Yang hadir saat ini di warga adalah krisis air, penyakit pernapasan, banjir dan longsor.” 

Narahubung Media : 

Annisa N. Fadhilah – Tuk Indonesia, 087884446640 

Arie Utami – Indonesia Cerah, 08111770920

Komunike Konferensi Nasional Mineral Kritis Indonesia bisa diunduh disini
Dokumentasi kegiatan bisa diunduh disini


Organisasi dan masyarakat yang terlibat : 

Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA)
Auriga Nusantara Perempuan Mahardhika
BEK Solidaritas Perempuan Kendari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN)
BEK Solidaritas Perempuan Palu Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) Universitas Tadulako
BEK Solidaritas Perempuan Sintuwu Raya Poso PWYP Indonesia
CNV Internationaal ResponsiBank Indonesia
Djokosoetono Research Center (DRC) Fakultas Hukum Universitas Indonesia Sahita Institute – HINTS
Fakawele Project Satya Bumi
FIKEP-KSBSI SBIMI
Ford Foundation Sekretariat Nasional Solidaritas Perempuan
Forest Watch Indonesia (FWI) Solidar Suisse
Forum Ambunu Bersatu (Morowali) SPIM
FPBI SPIM-KPBI MOROWALI
FPE SPN Morowali
FSPMI Tara Climate Foundation
ICW Tifa Foundation
Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Transparency International Indonesia
Institut Kajian Krisis dan Strategi Pembangunan Alternatif (Inkrispena) Trend Asia
Institute for National and Democracy Studies (INDIES) TuK INDONESIA
International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) WALHI Maluku Utara
Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Sulawesi Tengah WALHI Sulawesi Selatan
Koalisi Perempuan Indonesia WALHI Sulawesi Tengah
Koalisi Save Sagea WALHI Sulawesi Tenggara
Konfederasi KASBI Yayasan Ambeua Helewo Ruru
KPA Sulawesi Tengah Yayasan Indonesia CERAH
LBH Makassar Yayasan Kompas Peduli Hutan (KOMIU)
Lokataru Foundation Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL)
Masyarakat Desa Tompira Yayasan Merah Putih (YMP) Sulawesi Tengah
Masyarakat Komunitas Torobulu Yayasan Pikul
Nexus3 Foundation Yayasan Tanah Merdeka (YTM)

 

Telaah Kritis Industri Nikel: Menggali Keadilan Sosial dan Lingkungan

Palu, 9 Oktober 2024 – Konferensi Nasional Mineral Kritis Indonesia (KNMKI) bertajuk “Telaah Kritis Industri Pertambangan dan Hilirisasi Nikel dengan Perspektif Keadilan Sosial dan Lingkungan” diprakarsai oleh 15 organisasi masyarakat sipil yang memiliki perhatian besar terhadap isu keadilan sosial dan lingkungan di sektor pertambangan nikel. Konferensi ini bertujuan untuk menelaah secara kritis aspek keadilan sosial, lingkungan,dan praktik tata kelola industri pertambangan mineral kritis di Indonesia.

Konferensi ini menjadi wadah bagi semua pihak untuk saling mendengarkan dan berbagi pandangan, dengan harapan dapat menciptakan masa depan yang lebih baik dan berkelanjutan bagi semua. Linda Rosalina, selaku Ketua Panitia KNMKI, mengungkapkan semangat bersama ini dengan tegas, “Konferensi ini menegaskan keseriusan kami dalam kerja-kerja advokasi nikel dan komitmen semua pihak yang hadir untuk memperjuangkan tata kelola industri nikel yang lebih adil, berkelanjutan, dan mengedepankan hak-hak masyarakat lokal serta lingkungan.”

Seiring dengan upaya Indonesia untuk menjadi pemain kunci dalam rantai pasok nikel global, terutama dalam konteks transisi energi, hilirisasi nikel sampai saat ini terus menimbulkan masalah lingkungan dan sosial serius. Menurut Pius Ginting, Direktur Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER), industri pengolahan nikel merupakan pengguna listrik terbesar di Sulawesi, yang mayoritas masih mengandalkan PLTU batubara. Penggunaan PLTU ini telah menyebabkan pencemaran udara dan air yang signifikan, merugikan masyarakat setempat.

Untuk mengatasi masalah ini, Pius menekankan bahwa perlu adanya pengembangan jaringan transmisi Sulawesi yang saling terhubung, sehingga dapat meningkatkan penggunaan energi terbarukan di kawasan industri. “Selain itu, produksi nikel perlu diperlambat melalui penerapan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya Tahun Berjalan (RKAB) yang terbatas, agar selaras dengan pengembangan daya dukung energi terbarukan,” kata Pius. Langkah ini, menurutnya, penting untuk mengurangi dampak lingkungan yang dihadapi warga lokal, terutama yang tinggal di sekitar area tambang.

Lebih lanjut, Pius menekankan pentingnya menjaga hak-hak warga yang terdampak oleh pengembangan energi terbarukan. “Pengembangan energi terbarukan dengan jaringan terhubung di Sulawesi harus dilakukan dengan melindungi ruang hidup dan hak-hak warga, khususnya yang tinggal di sekitar PLTA, lahan PLTS, dan ladang listrik tenaga angin serta sumber energi terbarukan lainnya,” tambahnya. Upaya ini diharapkan dapat menciptakan keseimbangan antara kebutuhan energi industri dan perlindungan lingkungan serta hak masyarakat setempat.

Sektor pertambangan, khususnya industri nikel, dikenal memiliki risiko kerja yang sangat tinggi. Berbagai bahaya yang melekat dalam pekerjaan, seperti kecelakaan kerja dan kelalaian dalam penerapan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3), sering kali menjadi ancaman serius bagi para pekerja. Salah satu contoh nyata adalah insiden berulang seperti meledaknya tungku di fasilitas smelter. Kejadian ini menunjukkan lemahnya pengawasan dan penerapan prosedur keselamatan yang ketat di lokasi kerja.

Iwan Kusnawan, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Serikat Pekerja Nasional (DPP SPN), menyoroti bahwa beberapa kali terjadi kecelakaan kerja di sektor ini tanpa adanya investigasi mendalam dari pihak terkait. “Akibatnya, setiap kali ada korban dalam insiden tersebut, penanganan yang diberikan hanya bersifat normatif, terbatas pada penyediaan jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan sebagai peserta, tanpa menyentuh aspek pencegahan dan penegakan tanggung jawab lebih lanjut. Ini menunjukkan kurangnya perhatian serius dari pihak perusahaan dan pemerintah terhadap perlindungan keselamatan para pekerja di industri yang berisiko tinggi,” jelas Iwan.

Masalah pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di sektor tenaga kerja Indonesia, khususnya dalam industri nikel, bersifat sistemik dan memerlukan pendekatan komprehensif. Menurut Leony Sondang Suryani, Peneliti Djokosoetono Research Center Universitas Indonesia (DRC UI), pelanggaran tidak hanya disebabkan oleh tindakan perusahaan, tetapi juga terkait dengan peran pemerintah dalam melindungi hak-hak dasar tenaga kerja. Ada tiga aspek hukum yang berkontribusi terhadap masalah ini: substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum.

“Meskipun Indonesia sudah memiliki regulasi ketenagakerjaan, masih belum sepenuhnya mengakomodasi kepentingan tenaga kerja dan menciptakan celah terjadinya pelanggaran HAM. Struktur hukum, terkait dengan implementasi dan penegakan hukum, seringkali tidak optimal, baik dalam memberikan sanksi tegas terhadap perusahaan maupun dalam memprioritaskan hak-hak pekerja. Budaya hukum yang ada tidak mendorong penegakan hukum yang progresif,” tambah Leony.

Oleh karena itu, reformasi menyeluruh di setiap aspek sistem hukum diperlukan agar hak-hak tenaga kerja dapat dilindungi secara efektif, dan agar perusahaan, khususnya di sektor nikel, dapat mematuhi standar HAM yang lebih baik. Dalam konteks ini, urgensi pengetatan regulasi lingkungan hidup dan transisi energi bersih menjadi semakin penting. Fajri Fadhillah, Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), menegaskan bahwa langkah konkret harus segera diambil oleh Administrasi Pemerintahan Prabowo-Gibran. Menurut Fajri, pengetatan standar lingkungan untuk tambang dan smelter nikel serta penguatan penegakan hukumnya harus menjadi prioritas utama kebijakan pemerintah.

“Selain itu, Pemerintahan Prabowo-Gibran dan kabinet baru nantinya perlu memprioritaskan peta jalan untuk penggantian PLTU captive dengan pembangkit energi terbarukan. Dengan peta jalan yang tepat dua keuntungan dapat diperoleh dari kebijakan-kebijakan tersebut: peningkatan kesehatan masyarakat yang tinggal di sekitar tambang dan smelter serta meningkatnya posisi tawar Indonesia dibandingkan dengan negara produsen nikel lainnya dalam rantai pasok nikel global,” tambah Fajri.

Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira, menjelaskan bahwa meskipun hilirisasi nikel telah membawa keuntungan ekonomi dalam skala nasional, bagi hasil yang diterima oleh daerah penghasil nikel pada kenyataannya relatif kecil. Hal ini disebabkan oleh model kawasan industri yang berada dalam Proyek Strategis Nasional (PSN), di mana sebagian besar manfaat ekonomi berpusat pada pemerintah pusat dan perusahaan besar, sementara daerah yang terdampak langsung oleh kegiatan pertambangan hanya memperoleh bagian yang sangat terbatas.

“Selain itu bagi hasil di daerah penghasil nikel tidak sebanding dengan biaya rehabilitasi lingkungan yang rusak karena aktivitas pertambangan, hingga pencemaran akibat PLTU batubara. Pemerintah daerah perlu mendapat peningkatan kapasitas fiskal baik dari alokasi dana transfer daerah, maupun dari sumber-sumber ekonomi alternatif selain pertambangan dan smelter.” tambah Bhima.

Dampak dari industri pertambangan, khususnya tambang pasir dan nikel, tidak hanya merusak lingkungan secara langsung, tetapi juga menghancurkan kehidupan sosial-ekonomi masyarakat lokal. Salah satu warga Desa Tompira, Murniati, menggambarkan betapa beratnya kondisi yang dihadapi oleh masyarakat nelayan. “Aktivitas tambang pasir dan nikel sangat mengganggu kehidupan kami, terutama nelayan Meti yang setiap hari mencari nafkah untuk keluarga,” ungkap Murni.

Sungai Laah, yang dulu menjadi tempat utama nelayan mencari meti – sejenis makanan khas lokal – kini rusak parah akibat penambangan pasir yang menghilangkan habitat alami dan merusak ekosistem sungai. “Meti semakin hari semakin berkurang, dan kini sungai dipenuhi pasir akibat penambangan. Kami sebagai masyarakat, terutama nelayan, sangat dirugikan,” tambah Murni.

Langkah-langkah ini tidak hanya akan memberikan keseimbangan yang lebih adil bagi daerah, tetapi juga memungkinkan pemerintah daerah untuk lebih proaktif dalam mengelola dampak lingkungan dan sosial dari industri nikel. Dengan fiskal yang lebih kuat, mereka dapat berinvestasi dalam proyek-proyek pembangunan berkelanjutan yang mendukung energi terbarukan, mengurangi ketergantungan pada batubara, dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat di sekitar kawasan tambang.

Narahubung Media :
Annisa N. Fadhilah – Tuk Indonesia, 087884446640
Arie Utami – Indonesia Cerah, 08111770920

Foto bisa diunduh di sini
Penyelenggara :
1. TuK INDONESIA
2. Indonesia CERAH
3. CELIOS
4. Inkrispena
5. Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL)
6. Aksi Emansipasi dan Ekologi Rakyat (AEER)
7. Indonesia Center for Environmental Law (ICEL)
8. Trend Asia
9. Yayasan Tanah Merdeka (YTM)
10. Sahita Institute (HINTS)
11. CNV International
12. ResponsiBank Indonesia
13. Djokosoetono Research Center
14. Publish What You Pay Indonesia (PWYP)
15. Jaringan Advokasi Tambang Sulawesi Tengah (JATAM Sulteng)

Siaran Pers: Masifnya Aksi – Aksi Masyarakat Hingga Jatuhnya Korban di Tengah Penerapan Sertifikasi berbasis Yurisdiksi untuk Kelapa Sawit Berkelanjutan di Kabupaten Seruyan

Untuk mempercepat pencapaian menjadi perkebunan kelapa sawit berkelanjutan agar menurunkan angka deforestasi dan konflik sosial, langkah yang diambil pemerintah daerah di Seruyan adalah dengan menerapkan pendekatan berbasis yurisdiksi (jurisdictional approach) sebagai bagian integral dari pola pembangunan berlanjutan. Penyelesaian masalah antara perusahaan dan masyarakat berbasiskan peran aktif pemerintah daerah menjadi fokus dalam pendekatan yurisdiksi ini, dan untuk memperkuat posisinya melalui pembuat aturan/kebijakan yang diperlukan dalam menyikapi banyak persoalan dalam wilayah teritorialnya.

Seruyan telah ditunjuk sebagai wilayah percontohan penerapan metode ini sejak 2015. Akan tetapi dalam prosesnya hingga sekarang masih banyak konflik yang terjadi. Legalitas lahan sebagai pijakan dasar dalam setiap proses pembangunan tercipta dari praktik buruk peruntukan dan pengelolaan kawasan secara sepihak dan kerap mengabaikan hak masyarakat dan lingkungan di dalamnya sehingga berkontribusi besar bagi lahirnya konflik sosial. Oleh karena itu, prioritas penyelesaian legalitas lahan harusnya diletakkan pada pemberian dan perlindungan hak masyarakat atas tanahnya. Selain dapat mengurangi konflik, prioritas tersebut akan berdampak langsung pada penurunan laju deforestasi dalam suatu kawasan.

Penetapan Peraturan Bupati Nomor 11 tahun 2021 tentang Tata Cara Pengaduan dan Pengelolaan Data Konflik Usaha Perkebunan di Desa dan Peraturan Bupati Nomor 48 tahun 2022 tentang Pedoman Penanganan Konflik Usaha Perkebunan adalah upaya pendekatan yurisdiksi lain yang ditempuh pemerintah daerah Seruyan dalam menyelesaikan konflik.

Dalam kurun satu tahun ini saja banyak terjadi aksi – aksi masyarakat yang menuntut hak dari masyarakat salah satunya adalah plasma 20% hal ini dilakukan karena masyarakat merasa sudah terlalu lama pelanggaran – pelanggaran yang di lakukan oleh perusahaan terhadap masyarakat seperti tidak adanya FPIC, ganti rugi yang tidak adil, penyerobotan lahan, tidak di penuhinya kewajiban atas plasma 20%, dll. Seperti yang terjadi di PT. Tapian Nadenggan (Sinarmas Group), PT. BJAP (Bangun Jaya Alam Permai – Best Group), PT. Mustika Sembuluh (Wilmar Group) dan saat ini juga terjadi di PT. HMBP I (Hamparan Masawit Bina Persada I – Best Group). Sayangnya aksi – aksi masyarakat selalu dihadapkan dengan intimidasi dan represifitas oleh pihak aparatur negara.

Djayu Sukma Ifantara dari Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL) sedang memfasilitasi acara media briefing “Penerapan Sertifikasi berbasis Yurisdiksi untuk Kelapa Sawit Berkelanjutan di Kabupaten Seruyan”. Dokumentasi/YMKL

Aksi represifitas (7 Oktober 2023) yang terjadi di PT. HMBP I, Kecamatan Seruyan Raya, Kabupaten Seruyan antara masyarakat Desa Bangkal dengan pelibatan aparatur negara justru berakhir dengan penembakan yang menyebabkan Gijik (35 tahun) meninggal dunia tertembak di dada di lokasi aksi saat hendak menolong temannya, Taufik Nurahman (21 tahun) yang tertembak di bagian pinggang dan harus di rawat intensif di RSUD Doris Sylvanus Palangkaraya dan akan di rujuk di RSUD Ulin di Banjarmasin Kalimantan Selatan dengan alasan keterbatasan peralatan untuk melakukan operasi serta adanya lebih dari 20 warga yang di tangkap. Sebelum terjadinya aksi penembakan, sebelumnya juga terjadi aksi – aksi yang kemudian menimbulkan bentrokan karena tidak di berikannya tuntutan masyarakat atas plasma 20% oleh Perusahaan. Tidak

Dilaksanakannya bentrok pertama terjadi pada 21 September 2023, saat itu warga ditembaki dengan gas air mata hingga menyebabkan reaksi spontanitas masyarakat hingga terjadi pembakaran terhadap fasilitas perusahaan. Bentrok kedua terjadi pada 23 September 2023 malam, di mana kejadian itu menyebabkan dua warga mengalami luka-luka akibat bentrok dengan aparat kepolisian.

Hal ini terjadi lantaran perjuangan yang telah dilakukan masyarakat tidak kunjung dilaksanakan oleh Perusahaan. Pada 16 September 2023, terjadi mediasi antara perusahaan dengan masyarakat dengan kesepakatan pertama, pihak perusahaan bersedia untuk memberikan kebun plasma dalam bentuk alokasi dana plasma senilai luas kebun lebih kurang 235 hektar. Kedua, jumlah luasan yang belum dapatkan Hak Guna Usaha (HGU) seluas lebih kurang 1.175 hektar sudah termasuk 235 hektar yang akan dibayarkan terlebih dahulu. Ketiga, perusahaan bersedia untuk memberikan kegiatan usaha produktif yang difasilitasi PT HMBP I bersama pemerintah daerah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Perusahaan juga memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat di luar izin HGU perusahaan. Besaran pembagian Dana Alokasi Plasma untuk masing-masing desa sasaran penerima manfaat selanjutnya ditetapkan melalui kesepakatan tingkat desa untuk menjadi penetapan tingkat kecamatan. Dana alokasi plasma yang awal kurang lebih 235 Ha akan diusulkan menjadi kurang lebih 500 Ha dengan pembagian Desa Bangkal kurang lebih 300 ha. Desa Terawan kurang lebih 100 Ha, dan Desa Tabiku kurang lebih 100 Ha.

Kami menilai bahwa represifitas yang dilakukan oleh aparatur negara yang seharusnya melindungi masyarakat merupakan pelanggaran HAM. Terutama karena apa yang dilakukan oleh masyarakat merupakan perjuang dari masyarakat untuk memperoleh hak – haknya. Harapan atas penerapan pendekatan yurisdiksi oleh pemerintah daerah Kabupaten Seruyan kami pandang sangat penting dan harus segera dilaksanakan dengan tegas, sebagai Upaya untuk mensejahterakan masyarakat dan menyelesaikan konflik di perkebunan.

Maka dari itu kami dari PROGRESS dan YMKL menyatakan sikap :

  1. Mengutuk tindakan represif dan penembakan terhadap warga Bangkal yang diduga dilakukan oleh oknum aparat
  2. Meminta Kepolisian untuk menarik mundur aparat kepolisian dari desa
  3. Mendesak Presiden RI dan Kapolri memerintahkan untuk segera mengusut tuntas secara transparan dan menindak tegas oknum yang diduga melakukan penembakan.
  4. Mendesak Pemerintah untuk mencabut izin HMBP yang menjadi sumber konflik.
  5. Mendesak Pemerintah untuk segera menyelesaikan konflik agrarian yang terjadi di desa
  6. Meminta RSPO untuk meninjau ulang dan menghentikan sementara proses Sertifikasi Yurisdiksi bagi Pemerintah Daerah Kabupaten
  7. Kepada semua pembeli dan juga retail untuk menghentikan pembelian minyak sawit dari Kabupaten Seruyan sampai semua investigasi terhadap penembakan warga Bangkal yang kuat diduga dilakukan oleh aparat keamanan dan tuntutan masyarakat desa Bangkal terselesaikan dan dilaksanakan secara

Narahubung :

Kartika Sari – Progress Kalimantan Tengah (081258028820)

Djayu Sukma Ifantara – Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (081327841074)