Siaran Pers: Dari Merauke, Masyarakat Terdampak PSN Tolak Perampasan Tanah dan Ruang Hidup

Merauke, 14 Maret 2025: Suara penolakan dan perlawanan atas berbagai Proyek Strategis Nasional (PSN) bermasalah bergema dari Merauke, Papua Selatan, provinsi paling timur Indonesia yang tengah disasar proyek cetak sawah dan kebun tebu warisan pemerintahan Presiden Joko Widodo, dan kini dilanjutkan Presiden Prabowo Subianto. Deklarasi ini diserukan masyarakat adat dan rakyat, yang menjadi korban sekaligus berjuang melawan kesewenang-wenangan program PSN dan berbagai proyek merusak lainnya.

“Kami menuntut penghentian total Proyek Strategis Nasional serta proyek-proyek atas nama kepentingan nasional lainnya yang jelas-jelas mengorbankan rakyat. Pelaku kejahatan-negara-korporasi wajib mengembalikan semua kekayaan rakyat yang dicuri dan segera memulihkan kesehatan dan ruang hidup rakyat di seluruh wilayah yang dikorbankan atas nama kepentingan nasional,” demikian petikan deklarasi yang dibacakan perwakilan rakyat dalam pertemuan di Merauke, Papua Selatan (14/3).

Warga terdampak PSN membubuhkan tandatangan dalam spanduk Tolak PSN dalam acara Konsolidasi Solidaritas Merauke, 11-14 Maret 2025.

Deklarasi tersebut adalah hasil pertemuan “Konsolidasi Solidaritas Merauke” yang berlangsung pada 11-14 Maret 2025 di Kota Merauke. Selama empat hari, lebih dari 250 masyarakat adat dan masyarakat lokal terdampak PSN, serta pelbagai organisasi masyarakat sipil, berkumpul untuk berbagi cerita tentang kejahatan negara korporasi dan kekerasan aparat militer dan polisi sebagai pengalaman kolektif.

Warga yang hadir merupakan masyarakat terdampak proyek food estate Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, Keerom – Papua, Merauke dan Mappi, Papua Selatan; proyek Rempang Eco City di Kepulauan Riau; proyek Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Kalimantan Timur; proyek geothermal Poco Leok di Nusa Tenggara Timur; industri ekstraktif Hutan Tanaman Energi dan bioenergi di Jambi; berbagai proyek PSN di Fakfak dan Teluk Bintuni, Papua Barat, serta ekspansi perkebunan sawit di seluruh tanah Papua.

Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Atnike Sigiro, yang hadir dalam deklarasi mengatakan, sepanjang 2020-2023, lembaganya menerima setidaknya 114 kasus aduan terkait dengan PSN yang diduga kuat melanggar HAM dalam berbagai bentuk. Ia menyebutkan Komnas HAM juga telah menyampaikan sejumlah rekomendasi kepada kementerian dan lembaga terkait.

“Pada kenyataannya rekomendasi Komnas HAM tidak selalu diikuti, tetapi sangat penting untuk membuat rekomendasi. Sebab kalau tidak, kami tidak melanjutkan apa yang menjadi keluhan masyarakat kepada pemerintah atau kepada pihak yang bertanggung jawab,” kata Atnike Sigiro, seusai deklarasi.

Di sisi lain, lanjut Atnike, sebagai Komnas HAM, lembaganya perlu meminta maaf kepada masyarakat jika dirasa tak cepat dalam menghasilkan rekomendasi. Sebab, kata dia, kasus-kasus yang diadukan acapkali lebih terkait dengan kebijakan, bukan dengan penegakan hukum.

Turut hadir dalam kesempatan itu Wakil Menteri Hak Asasi Manusia Mugiyanto Sipin yang memilih tidak mendebat apa yang disampaikan para peserta. “Saya tidak akan mendebat apa yang disampaikan bapak ibu dan kawan-kawan sekalian. Saya akan membungkus yang disampaikan sebagai masukan kami, karena itu memang tanggung jawab kami untuk kami bawa ke Jakarta dan koordinasikan dengan kementerian/lembaga terkait dengan PSN,” katanya, menghadapi hujan protes para peserta konsolidasi.

(Dari Kiri) Agustinus Guritno, Asisten I Sekretaris Daerah Provinsi Papua Selatan; Mugiyanto Sipin, Wakil Menteri HAM RI; Atnike Sigiro, Ketua Komnas HAM RI; Teddy Wakum, Ketua LBH Papua Merauke; Simon Balagaize, perwakilan komunitas masyarakat adat Malind hadir mendampingi pembacaan Deklarasi Konsolidasi Solidaritas Merauke, 14 Maret 2025.

Koordinator Solidaritas Merauke, Franky Samperante mengatakan, deklarasi ini menjadi awal untuk melawan penghancuran kehidupan dan ruang hidup masyarakat. “Tugas kita berikutnya adalah memperbesar gerakan Solidaritas Merauke dan terus menolak dan melawan PSN serta proyek-proyek atas nama kepentingan nasional lainnya yang jelas-jelas mengorbankan rakyat, kemudian mendesak pelaku kejahatan negara dan korporasi untuk mengembalikan dan memulihkan ruang hidup rakyat di seluruh wilayah yang telah dikorbankan atas nama kepentingan nasional, yang sejatinya hanya menguntungkan segelintir orang,” kata Franky.

Sejak terbitnya Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 tentang percepatan pembangunan PSN, alih-alih membawa kemakmuran untuk rakyat, proyek ini justru memicu segudang masalah. Terutama, bagi masyarakat adat yang secara turun-temurun memiliki hak dan kontrol atas tanah dan hutan yang menjadi sumber penghidupan. Masalah-masalah yang muncul akibat proyek PSN kini dilanjutkan oleh Prabowo, yang baru-baru ini menetapkan 77 PSN. Kendati sejumlah proyek era Jokowi dicoret dari daftar PSN, ancaman perampasan tanah serta ruang hidup dan pelanggaran hak-hak masyarakat tak serta-merta hilang.

Laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyebutkan PSN tak ramah HAM dan menimbulkan pelbagai bentuk pelanggaran HAM. Karakteristik PSN yang ingin dilaksanakan secara cepat telah merampas hak-hak mendasar rakyat, utamanya hak atas tanah sebagai HAM. PSN juga telah menerabas banyak norma dan ketentuan perundang-undangan, hingga berimbas pada penghalangan dan pelanggaran HAM, baik dari sisi proses maupun substansi.

Pelaksanaan PSN, laporan menyebutkan, dilakukan tanpa pelibatan rakyat yang lebih memahami kebutuhan dan wilayahnya. Pada akhirnya, hal ini memicu letusan konflik agraria. Pendekatan represif di wilayah PSN yang berkonflik terus menambah catatan pelanggaran HAM di Indonesia. Mekanisme izin lingkungan dan AMDAL, yang semestinya menjadi instrumen pengendalian lingkungan hidup, tak berjalan semestinya.

Berdasarkan Catatan Akhir Tahun Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), tercatat sejak 2020-2024, setidaknya 103 ribu kaum ibu telah kehilangan sumber penghidupannya, akibat perampasan tanah atas nama PSN. Rusaknya sumber air, hilangnya sumber pangan, seperti sagu, sayuran yang tumbuh di hutan, ikan dan berbagai sumber protein di sungai dan laut, memaksa perempuan untuk membeli bahan-bahan pangan sehingga pengeluaran rumah tangga terus meningkat.

 

Narahubung Solidaritas Merauke:

Franky Samperante +62 811 1256 019

Siaran Pers Diseminasi Hasil Penelitian: Metabolisme Sosial Orang Moi Yang Hilang dan Kerja Paksa Masyarakat Adat di Perkebunan Sawit Di Tanah Merauke dan Boven Digoel

Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL) bersama  Yayasan Pusaka Bentala Rakyat bekerjasama dengan Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur menggelar kegiatan Diseminasi Hasil Penelitian dan Diskusi Bersama dengan tema “Metabolisme Sosial Orang Moi Yang Hilang dan Kerja Paksa Masyarakat Adat di Perkebunan Sawit Di Tanah Merauke dan Boven Digoel” yang dilaksanakan di Aula STFT Fajar Timur, Senin 24 Februari 2025.  

Kegiatan diseminasi dan diskusi bersama ini merupakan rangkaian dari publikasi hasil penelitian yang dilakukan oleh YMKL bersama Yayasan Pusaka Bentala Rakyat yang tim penelitinya dari Pusat Kajian Hukum Adat Djojodigoeno, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) dan tim peneliti lainnya Laksmi Adriani Savitri serta Zuhdi Siswanto, pada tahun 2024. 

Ada dua topik yang menjadi fokus penelitian, tentunya sejalan dengan konteks isu hak asasi manusia khususnya di Tanah Papua. Penelitian pertama tentang situasi kehidupan buruh perkebunan sawit di Merauke dan Boven Digoel, yang dikerjakan oleh tim peneliti Djojodigoeno, sementara penelitian kedua tentang perubahan budaya pangan dalam kaitan dengan perubahan penguasaan lahan, pada komunitas Suku Moi di Kabupaten Sorong yang kini banyak dikuasai oleh korporasi bisnis perkebunan, kehutanan, infrastruktur, dan pertambangan. Sebuah perubahan yang telah berlangsung – dan tak mampu mereka cegah – sejak masa kolonial. Penelitian ini dilakukan bersama Laksmi Adriani Savitri dan Zuhdi Siswanto. 

Kedua gagasan di balik penelitian ini adalah untuk melihat dampak dari tingginya pembukaan lahan oleh proyek-proyek pembangunan seperti perkebunan sawit, proyek infrastruktur jalan dan perkebunan kayu (hutan tanaman/hutan tanaman energi) yang diluncurkan oleh pemerintah dengan janji untuk peningkatan ekonomi dan kesejahteraan rakyat, dengan memprioritaskan manfaat bagi masyarakat setempat. Di balik itu semua banyak pelanggaran yang terjadi atas hak-hak Masyarakat adat dan komunitas baik hak atas tanah, hak atas lingkungan hidup, hak atas sumber daya alam, hak atas pangan lokal dan hak-hak atas perlindungan di tempat bekerja. 

Laksmi Adriani Savitri dan Zuhdi Siswanto yang melakukan penelitian di Sorong dengan lokasi penelitian di Suku Moi menemukan, terjadi perubahan-perubahan kehidupan sosial dan budaya. Kehadiran investasi yang begitu masif di Tanah Orang Moi menyebabkan banyak permasalahan yang muncul. Apalagi permasalahan terkait relasi sosial Orang Moi dan juga relasi kehidupan mereka dengan hutan dan alam.

Dalam penelitian mereka yang berjudul “Budaya Pangan, Identitas dan Metabolisme Sosial yang Retak: Cerita Orang Moi di Tanah Papua Barat” menemukan, ada relasi-relasi yang hilang atau retak antara Orang Moi dengan tanah apalagi alamnya. Penelitian ini mencermati dan mengkaji budaya pangan dan Identitas Moi yang mencoba menghubungkan antara ekonomi politik dan ekologi pangan dengan kebudayaan. 

“Fokus yang retak itu menyebabkan kehilangan yang luar biasa. Orang moi merasakan kehilangan jati dirinya sehingga memunculkan sesuatu yang baru, Moi yang Baru,” kata Laksmi Savitri saat memaparkan hasil penelitiannya di Aula STFT, Senin 25 Februari 2025.

Kata Laksmi, hal ini menandakan bahwa Orang Moi dan alamnya terjadi keretakan. Pada awalnya hubungan Orang Moi dengan alam saling berkaitan, saling menghidupi, memiliki hubungan yang erat dengan saling menjaga antara satu dan lainnya; antara Orang Moi dan alamnya. Perubahan mulai terlihat atau mulai meretak saat Orang-orang Moi disibukkan dengan urusan organisasi. Urusan ganti rugi. 

“Dulu bisa berkebun tanpa harus ada izin. Tapi sekarang orang yang mau bekerja atau menggarap tanah harus izin dulu dan tanya tanah ini milik siapa. Semua tergantikan dengan alasan uang,” terang Laksmi.

Sejalan dengan itu, sesuai dengan fakta terlihat, bahwa tidak semua Orang Moi sekarang hidup dari alam. Keretakan budaya dan pangan bagi Orang Moi terlihat dari penyajian makanan di meja makan. Nasi dan sagu berdampingan. Kadang hanya nasi saja. Ini disebabkan sagu yang dipanen akan dijual dan hasilnya untuk membeli beras. Karena kondisi alamnya sudah rusak sedemikian rupa dan relasi sosialnya yang berubah, sehingga yang paling dekat dengan alam atau hutan untuk berkebun adalah perempuan. Perempuan yang memiliki peran penghubung dengan alam.

“Perempuan paling dekat dengan pangan dan sagu. Sedangkan laki-laki masih sebagian besar berburu dan meramu,” kata Laksmi dalam paparannya.

Ayub R. Paa, perwakilan dari masyarakat adat Suku Moi Marga Kelim Paa, mengatakan, banyak sekali cerita dari Suku Moi yang belum tertulis dalam penelitian tersebut. Banyak suku dan marga yang punya banyak cerita tentang budaya dan pangannya di tanah Moi.

Menurut Ayub, hutan dan tanah Suku Moi mulai terdampak investasi sejak tahun 1910 dan kemudian  terus berlangsung setelah Indonesia Merdeka pada 1945. Sejak investasi masuk, saat inilah yang membuat Suku Moi harus berjuang mempertahankan wilayah adat dan tanahnya untuk kehidupan. 

“Bagi Suku Moi tanah itu adalah mama atau ibu yang harus dijaga,” kata Ayub saat menanggapi hasil penelitian yang dipaparkan. 

Ayub bercerita, khususnya Moi Kelim masih banyak masyarakat yang berkebun, dengan banyak cerita tentang hutan dan tanahnya. Misalnya cerita dari kampungnya yang masih menjaga hutan mereka agar tidak rusak atau hilang. 

“Kita tidak mau mengubah budaya kita dan kita mau menjaga budaya adat ini agar terus ada. Misalnya dari menjaga hutan kita bisa mempromosikan soal budaya dan hutan di tanah kami, agar bisa menarik perhatian orang banyak dan memberikan dampak dari segi sosial dan ekonomi tanpa harus merusak,” ungkap Ayub.

Sementara itu, pada waktu yang sama, penelitian lainnya oleh YMKL dan Pusaka yang dilakukan tim peneliti dari Pusat Kajian Hukum Adat Djojodigoeno membahas topik “Kerja Paksa dan Masyarakat Hukum Adat: Studi Perkebunan Sawit di Merauke dan Boven Digoel” menemukan banyak persoalan di lapangan. Penelitian ini menggunakan Konvensi ILO (International Labour Organization) dan kriteria ILO tentang kerja paksa sebagai dasar analisis pada buruh perkebunan sawit. 

Perluasan industri perkebunan sawit telah membawa dampak besar terhadap masyarakat adat atau Orang Asli Papua, baik dalam hal hak-hak buruh hingga perubahan pola hidup masyarakat setempat. Dalam beberapa kasus, muncul indikasi kerja paksa terhadap masyarakat adat, yang menimbulkan berbagai persoalan hukum, ekonomi, dan sosial. 

Almonika Cindy Fatika Sari, dari tim peneliti  Djojodigoeno mengatakan, bahwa penelitian ini berangkat dari narasi tanaman sawit sebagai tanaman yang unggul, mendatangkan keuntungan, memberikan pendapatan ekonomi, serta membuka lapangan pekerjaan. Menurutnya, sudah banyak penelitian yang menunjukan bahwa tanaman sawit dari satu sisi mendatangkan banyak kemakmuran yang didapatkan dari petani sawit. Tapi di sisi lain, ada konsekuensi yang harus dibayar, semua itu tidak ada yang gratis, karena kemudian muncul persoalan banyak juga petani-petani yang mengalami kemiskinan dari perkebunan sawit. 

Tim peneliti dari Pusat Kajian Hukum Adat Djojodigoeno, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), yang diwakili oleh Almonika Cindy Fatika Sari (tengah) dan Nailul Amany (kanan) dalam pemaparan temuan mereka terkait kerja paksa di perkebunan sawit yang berada di wilayah Merauke dan Boven Digoel, Senin 24 Februari 2025. Dok: Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari.

Khusus untuk Papua, meskipun secara luasan perkebunan sawit terbesar masih berada di Sumatra, tapi melihat ambisi investasi yang masif bergerak ke Papua menjadi satu alasan penelitian ini dilakukan, untuk menegaskan adanya praktik pelanggaran yang sudah terjadi dan belum diangkat selama ini. 

“Yang tak kalah penting, sawit tidak hanya menimbulkan konflik soal tanah, tetapi dia juga menimbulkan pertanyaan  dari sisi ketenagakerjaan. Bagaimana dengan orang lokal atau masyarakat adat Papua yang jadi pekerja dengan sistem perusahaan yang tidak memperhatikan Keselamatan, Kesehatan, dan Kesejahteraan (K3). Apalagi terkait jaminan kesehatan, jaminan keselamatan, jaminan sosialnya. Maka dari itu penelitian ini hadir untuk memaparkan temuan yang kami dapatkan dari lokasi penelitian,” papar Monic dalam presentasi hasil penelitiannya di Aula STFT Fajar Timur, Senin (24/2/2025).

Kata Monic, hasil dari penelitian yang dilakukannya bersama tim peneliti Djojodigoeno menemukan, adanya ketidaktaatan hukum kepada perusahaan sawit yang aktif beroperasi di wilayah Merauke dan Boven Digoel. Yang Paling kentara adalah izin usaha perkebunan yang mereka dapatkan pada beberapa perusahaan keluar pada tahun 2013, kemudian sudah dilakukan penanaman dan perekrutan pekerja, tapi pelepasan kawasan hutan baru dilakukan setelahnya, dan bahkan kapan HGU (Hak Guna Usaha) oleh perusahaan belum bisa dipastikan kapan diperolehnya. Menjadi satu indikasi perusahaan sawit melanggar prosedur hukum karena berbuat tidak sesuai dengan aturan.

Masuknya perusahaan sawit itu membuat masyarakat adat Papua di Merauke dan Boven Digoel semakin menjauh dari relasi hidupnya dengan tanah. Dan membuat mereka hidup dalam keputusasaan dan pasrah. Keterasingan masyarakat adat atau Orang Asli Papua dari tanahnya membuat atau memaksa mereka mencari sumber penghidupan yang lain. 

Misalnya, orang yang sudah kehilangan tanahnya karena sudah dikuasai oleh perkebunan sawit, maka mereka menggantungkan hidupnya bekerja ke perusahaan. Alasan karena ingin bertahan hidup dalam wilayahnya, mereka terpaksa tinggal di barak atau tempat tinggal yang disediakan perusahaan, dengan syarat mereka harus bekerja di perusahaan dan itulah yang menjadi alasan mereka harus bekerja di perkebunan sawit. 

Dan apakah ini masuk dalam kategori kerja paksa?

Dia menjelaskan, indikator penelitian yang mereka lakukan dengan menggunakan standar pendekatan ILO, dengan 11 indikator antara lain: 

  1. Pemanfaatan kerentanan secara negatif, 2. Pembohongan, 3. Pembatasan gerak, 4.  Pengucilan atau isolasi, 5. Kekerasan fisik dan seksual, 6. intimidasi dan ancaman, 7. Penahanan dokumen identitas, 8. Penahanan upah, 9. Lilitan utang,  10. Kondisi kerja dan hidup yang menyiksa, dan 11. Lembur yang berlebihan. 

“Dari 11 indikator menurut standar ILO ini, jika satu atau dua dari 11 indikator ditemukan di lapangan, maka perusahaan tersebut bisa diadukan karena telah melakukan kerja paksa,” jelas dosen UGM tersebut. 

Nailul Amany, bagian dari tim peneliti Djojodigoeno dan pengajar di Fakultas Hukum UGM, menegaskan, temuan mereka tentang kerja paksa terhadap masyarakat adat Papua itu memang terjadi. Dari 11 indikator ILO yang dipakai dalam analisis kerja paksa, ada 5 indikator yang memenuhi  syarat. 

“kami menemukan terjadi kerja paksa di 3 perusahaan yang kami teliti. Dua di Merauke dan satu perusahaan sawit di Boven Digoel. Kami menemukan adanya pengucilan atau isolasi, misalnya, masyarakat dipaksa bekerja di perkebunan atau perusahaan sawit. Karena tidak ada pilihan dan mereka telah kehilangan tanah karena sudah jadi kebun sawit dan memaksa mereka untuk tinggal, tapi harus bekerja di perusahaan sawit tersebut. Mereka terpaksa bekerja karena mereka berada di situasi terkucil. Karena mereka berada di situasi seperti itu. Mau tidak mau mereka harus bekerja. Ditambah tidak ada transportasi umum sebagai transportasi public. Akses ke fasilitas umum juga sangat jauh,” kata Nailul, “indikator lainnya yang ditemukan ialah; pemanfaatan kerentanan secara negatif, lilitan utang, kondisi kerja dan hidup yang menyiksa, serta lembur yang berlebihan.”

Menurut Nailul, memang pada kenyataanya konstruksi hukum Indonesia belum memasukan kerja paksa atau spesifik adanya Undang-undang yang mengatur tentang kerja paksa. Akan tetapi, Indonesia sudah membuat UU ratifikasi dari konvensi kerja paksa. 

“UU khusus kerja paksa tidak ada. Tapi kalau membeda dari 11 indikator di atas, lembur berlebihan, di UU ketenagakerjaan kita mengatur apa itu lembur yang berlebihan. Juga soal kekerasan fisik dan kekerasan seksual, di UU ketenagakerjaan sudah diatur apa itu kekerasan fisik dan seksual,” jelasnya. 

Nailul menerangkan, bahwa studi atau kajian ini menyoroti dan fokus pada kerja paksa yang terjadi dalam relasi kerja. Antara pemberi kerja atau perusahaan dengan pekerja. Jika terjadi kekerasan fisik antar pekerja, itu tidak mengindikasikan sebagai kerja paksa. Karena kekerasan fisik yang terjadi itu bukan hubungan kerja atau relasi kerja dengan perusahaan atau pemberi kerja, melainkan kejadian antara kolega kerja. 

“Kehilangan tanah bagi masyarakat adat Papua menyebabkan orang-orang dulu tinggal di dusun dan kampung, sekarang tinggal di barak menyebabkan relasi sosial berubah. Ditambah orang bekerja dari pagi sampai sore. Terjadi kelelahan dan membuat aktivitas berkumpul bersama keluarga dan kerabat sudah kurang. Hal ini membuat masyarakat adat menjadi rentan. Menghasilkan dampak sosial budaya akibat Kehilangan tanah,” tambah Monic dalam presentasi.  

Studi kajian ini juga menjelaskan bagaimana kerja paksa pada masyarakat adat Papua yang berbeda dengan masyarakat yang lain. Hubungan kedekatan atau hubungan erat antara tanah dan orang Papua yang kemudian melepaskan tanahnya lalu bekerja di kebun sawit dan memiliki hubungan kerja dengan perusahaan sawit adalah point penting dari penelitian. 

“Kedua penelitian ini penting karena mengangkat isu-isu kritis yang berkaitan dengan hak-hak masyarakat adat, perlindungan pekerjaan, keberlanjutan lingkungan, serta identitas budaya pangan masyarakat adat dalam relasi dengan tanah dan ruang hidup khususnya bagi masyarakat adat Papua,” kata Franky Samperante, Direktur Eksekutif Yayasan Pusaka Bentala Rakyat.

Siaran Pers: Hasil Survei Lapangan Perubahan Sosial Masyarakat Di Sekitar Perkebunan Sawit

Masyarakat empat desa: Desa Parang Batang, Paring Raya, Sembuluh I, dan Sembuluh II, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah yang hidup di sekitar perkebunan sawit mengalami perubahan sosial yang siginifikan setelah investasi perkebunan sawit masuk ke wilayah desa. Perubahan sosial ini terlihat setelah Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL) melakukan survei lapangan terkait “Perubahan Sosial Masyarakat Di Sekitar Perkebunan Sawit” yang dilakukan pada bulan Oktober hingga November 2024.

Pekerjaan masyarakat dalam bertani tradisional dan berdagang pada era karet masih memungkinkan mereka untuk mengakses hutan dan danau. Namun, dengan adanya dominasi perkebunan sawit yang meluas di empat wilayah desa tersebut akses masyarakat ke sumber daya lahan, hutan dan danau semakin terbatas.

Akibatnya, kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat makin terhimpit karena kehilangan alat produksi dan struktur sosial yang mengaturnya. Satu-satunya pilihan yang tersedia adalah bekerja di Perusahaan sebagai buruh, karena lahan-lahan kebun masyarakat sudah beralih menjadi wilayah perkebunan sawit. Masyarakat bukan hanya kehilangan kontrol atas sumber utama mata pencaharian tradisional, namun terjebak dalam pola pekerjaan industrial di mana mereka tak punya daya kontrol dan adaptasi atas kerja mereka sebagai buruh. Kehidupan sosial ekonomi mereka hampir sepenuhnya dikuasai perusahaan.

Dari data yang diolah oleh Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL) menemukan ada 14 perusahaan perkebunan sawit yang tersebar di empat wilayah desa. Keempat belas perusahaan itu memiliki izin yang mencakup ribuan hectare tanah milik masyarakat desa hilang karena sudah dikavling oleh perusahaan.

Djayu Sukma Ifantara, Project Officer Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL) untuk Kalimantan saat memaparkan hasil temuan YMKL terkait survei lapangan tentang perubahan sosial masyarakat di sekitar perkebunan sawit yang berada di empat desa: Desa Sembuluh I, Sembuluh II, Parang Batang, Paring Raya, Seruyan, Kalimantan Tengah. Dokumentasi/YMKL

Di Desa Paring Raya misalnya, terdapat 2 perusahaan perkebunan sawit yang beroperasi aktif, di antaranya: PT Wana Sawit Subur Lestari II dengan luasan 1.242,48 ha dan PT Musirawas Citra Harpindo dengan luasan 1.622,63 ha dengan presentasi luasan lahan yang telah dibebani izin perkebunan sawit di Paring Raya sebesar 41 persen dan lahan yang tidak dibebani izin sekitar 59 persen.

Sementara itu, di Desa Parang Batang ada ada 3 perusahaan perkebunan sawit: PT Wana Sawit Subur Lestari II dengan luasan 3.521 ha. PT Sawitmas Nugraha Perdana dengan luasan 3.703,68 ha dan PT Musirawas Citra Harpindo dengan luasan 553.64 ha. Presentasi lahan yang dibebani izin perkebunan sawit sekitar 49 persen dan tidak dibebanai izin sekitar 51 persen.

Hal yang sama juga terjadi di Desa Sembuluh I. Ada 3 perusahaan perkebunan sawit yang aktif, yaitu, PT Keri Sawit Indonesia dengan luasan 9.801,12 ha, PT Rimba Harapan Sakti dengan luasan 1.386 ha, dan PT Salonok Ladang Mas dengan luasan 1.705,60 ha. Dengan presentasi lahan dibebani izin sekitar 71 persen dan tidak dibebani izin sekitar 29 persen.

Sedangkan untuk Desa Sembuluh II, ada 6 perusahaan perkebunan sawit; PT Keri Sawit Indonesia dengan luasan 4.099,92 ha, PT Mega Ika Kansa dengan luasan 724.110 ha, PT Salonok Ladang Mas dengan luasan 7.259,90 ha, PT Gawi Bahandep Sawit Mekar dengan luasan 3.807,069 ha, PT Sarana Titian Permata dengan luasan 72.586 ha, dan PT Sawitmas Nugraha Perdana dengan luasan 824.764 ha. Presentasi lahan yang dibebani izin perkebunan sawit sekitar 45 persen dan lahan yang belum terbebani izin perkebunan sawit sekitar 55 persen.

Perusahaan membuka kesempatan untuk skema plasma namun dengan syarat Masyarakat harus menyediakan lahan sementara Masyarakat sudah tak memiliki lahan. Manfaat ekonomi, kalaupun dikatakan manfaat, adalah upah sebagai buruh perkebunan sawit. Namun sebagian besar upah pekerja harian di desa jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hal ini perlu menjadi perhatian Perusahaan dan pemerintah daerah terkait perbaikan besaran upah.

“Perubahan besar akibat alih fungsi lahan menjadi perkebunan sawit di Kalimantan Tengah telah menyebabkan masyarakat kehilangan kontrol atas tanah mereka, beralih menjadi penerima plasma atau buruh dengan keterampilan mengelola lahan yang semakin hilang, sementara kemitraan koperasi dengan perusahaan sawit tidak memberikan kesempatan bagi mereka untuk mengelola lahan atau mengembangkan keterampilan yang diperlukan untuk ketahanan ekonomi jangka panjang, mengakibatkan ketergantungan pada perusahaan dan memperburuk ketimpangan sosial serta keberlanjutan ekonomi masyarakat,” kata Djayu Sukma Ifantara, Project Officer YMKL untuk Kalimantan.

Djayu menambahkan, adanya larangan pembakaran lahan dan peraturan yang membatasi pengelolaan tanah tradisional semakin memperlemah hubungan masyarakat dengan tanah mereka, memutuskan otonomi mereka dalam bertani, dan meningkatkan ketergantungan pada sistem ekonomi uang, sementara peraturan yang ada tidak memberikan kejelasan hak bagi masyarakat dalam mengelola lahan mereka.

Temuan YMKL juga menunjukkan, adanya perubahan tersebut ditandai dengan berkurangnya diversifikasi pekerjaan. Sebelum adanya perkebunan, masyarakat biasanya memiliki berbagai keterampilan, seperti bertani sekaligus berdagang, berburu, dan berkebun untuk kebutuhan hidup mereka.

Namun, dengan masuknya sistem perkebunan monokultur seperti sawit, banyak masyarakat menjadi pekerja upahan tanpa perlu menguasai keterampilan untuk mengelola lahan secara mandiri. Proses ini dikenal sebagai penurunan kemampuan atau deskilling, yaitu hilangnya keterampilan akibat terbatasnya akses untuk mengelola lahan. Dengan hanya bergantung pada pekerjaan di perkebunan perusahaan, kemampuan masyarakat untuk bertani secara mandiri menurun, sehingga mereka semakin bergantung pada perusahaan dan kehilangan kemandirian secara ekonomi dan hidup dalam was-was memikirkan sumber penghidupan.

“Perkebunan sawit menawarkan peluang ekonomi yang besar sebagai janji, tetapi dalam praktiknya sering mengabaikan hak dan akses terhadap tanah dan prinsip keberlanjutan bagi manusia yang tinggal di sekitarnya. Banyak masyarakat kehilangan hak atas tanah yang mereka tempati dan tidak memiliki kontrol atas apa pun yang tumbuh di atasnya. Analisa ini menjelaskan hadirnya perkebunan sawit mengubah struktur ekonomi masyarakat di Desa Paring Raya, Parang Batang, Sembuluh I dan SembuluhII,” tambah Astridningtyas, staf YMKL untuk Kalimantan.

Tim Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL) saat memaparkan hasil temuan dari survei lapangan yang dilakukan di empat desa di Seruyan, Kalimantan Tengah. Dokumentasi/YMKL

Selain perubahan dalam pekerjaan, kehadiran sawit juga menyebabkan pola kepemilikan lahan yang berbeda di setiap desa, akan tetapi, di setiap situasi mempunyai tingkat kerentanan terhadap kondisi tidak bertanah yang sama. Desa Paring Raya, meskipun mempunyai sisa lahan kepemilikan untuk berkebun, tapi tidak adanya surat tanah membuat rasa tidak aman untuk berkebun. Alhasil, masyarakat hidup dalam kebimbangan.

Kasus lainnya juga terjadi di Desa Parang Batang, minimnya lahan produktif untuk dikelola menyebabkan masyarakat bergantung pada pekerjaan menjadi Buruh Sawit. Pekerjaan harian di perkebunan sawit tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga karena upah yang hanya  Sebesar Rp. 80.000/hari.

Sedangkan di Desa Sembuluh I dan II, kepemilikan plasma dimiliki oleh koperasi sebagai badan hukum dengan kepemilikan bukan individu, tapi intitusi yang mewakili seluruh anggotanya atas nama satu entitas Badan Hukum. Kondisi kepemilikan para penerima plasma juga mengalami kerentanan karena tidak memiliki kontrol penuh atas lahan tersebut sehingga rawan kehilangan akses ketika terjadi perubahan kebijakan atau faktor eksternal lainnya.

Dari survei lapangan yang dilakukan YMML, ditemukan Kehadiran sawit menyebabkan masyarakat beralih dari pengelolaan lahan menjadi penerima plasma atau buruh, mengakibatkan hilangnya keterampilan tradisional dalam berladang dan menyebabkan deskilling serta kekurangan pengetahuan pengelolaan lahan pada generasi sekarang. Mekanisme atau manajemen plasma pun seluruhnya bergantung pada perusahaan, sehingga pertukaran ilmu tidak terjadi utamanya dalam keterampilan mengelola lahan. Maka dari itu, ada tiga temuan besar yang dipertegas, di antaranya:

  1. Bekerja sebagai buruh

Mayoritas masyarakat desa kini bekerja sebagai buruh harian di perkebunan sawit dengan penghasilan terbatas, yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tidak adanya transparansi pada manajemen perusahaan untuk berkonsultasi mengenai kondisi bekerja (Upah, Target Perusahaan).

  1. Terjadi deskilling atau hilangnya keterampilan produktif untuk memenuhi pemenuhan kebutuhan hidup

Kehilangan akses lahan membuat mereka kesulitan mencari pekerjaan sampingan, sementara sistem kerja yang tidak transparan dan ketergantungan terhadap utang yang  memperburuk kondisi ekonomi mereka.

  1. Diversifikasi pekerjaan menjadi berkurang dan alternatif pekerjaan menjadi sulit

Perubahan kepemilikan tanah berdampak pada menurunnya diversifikasi pekerjaan. Dulunya pekerjaan mudah dicari hanya dengan mengakses hutan dan kebun, dan biaya hidup lebih rendah karena banyak kebutuhan dipenuhi secara mandiri hanya dengan memanfaatkan hasil sumber daya alam di hutan. Hilangnya akses untuk mengelola tanah akibat perluasan perkebunan sawit perusahaan menutup kemungkinan untuk mencari sampingan pekerjaan.

Narahubung:

Djayu Sukma Ifantara (081327841074)

Project Officer YMKL untuk Kalimantan

Astridningtyas (082301836788)

Staf YMKL untuk Kalimantan

Mahkamah Agung Tolak Kasasi Suku Awyu, Perjuangan Selamatkan Hutan Papua Semakin Berat

Pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu, Hendrikus Woro, dan Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua kecewa atas putusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak permohonan kasasi masyarakat adat Awyu dalam upaya mempertahankan hutan adatnya dari ekspansi korporasi sawit di Boven Digoel, Papua Selatan. Putusan ini menambah deretan kabar buruk bagi masyarakat adat dan komunitas lokal yang berjuang di meja hijau melawan ancaman perusakan lingkungan hidup.

“Saya merasa kecewa dan sakit hati karena saya sendiri sudah tidak ada jalan keluar lain yang saya harapkan untuk bisa melindungi dan menyelamatkan tanah dan manusia di wilayah tanah adat saya. Saya merasa lelah dan sedih karena selama saya berjuang tidak ada dukungan dari pemerintah daerah atau pemerintah pusat. Kepada siapa saya harus berharap dan saya harus berjalan ke mana lagi?” kata Hendrikus Woro.

Hendrikus Woro, pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu datang ke Mahkamah Agung mengantarkan petisi publik atas gugatan selamatkan hutan Papua. Foto: Zulkifli/YMKL

Hendrikus Woro mengajukan kasasi ke MA karena Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura dan PTTUN Makassar menolak gugatan serta bandingnya. Gugatan yang diajukan Hendrikus Woro tersebut menyangkut izin kelayakan lingkungan hidup yang dikeluarkan Pemerintah Provinsi Papua untuk PT Indo Asiana Lestari (IAL). Perusahaan sawit ini mengantongi izin lingkungan seluas 36.094 hektare, atau lebih dari setengah luas DKI Jakarta, dan berada di hutan adat marga Woro—bagian dari suku Awyu.

Dalam dokumen putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 458 K/TUN/LH/2024 itu, diketahui bahwa putusan tersebut diambil dalam rapat permusyawaratan Majelis Hakim pada 18 September lalu. Dari dokumen putusan lengkap yang baru bisa diakses pada 1 November 2024. Satu dari tiga hakim yang mengadili perkara ini, Yodi Martono Wahyunadi, mengeluarkan pendapat berbeda (dissenting opinion).

Salah satu poin penting dissenting opinion tersebut menyangkut tenggat waktu gugatan 90 hari–yang sebelumnya menjadi dalih PTTUN Makassar untuk menolak permohonan banding Hendrikus Woro. Dalam pertimbangannya, hakim Yodi merujuk Pasal 5 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 2018, bahwa perhitungan yang dimaksud hanya hari kerja. Perhitungan tenggat waktu juga mesti mencakup hari libur lokal Provinsi Papua. Namun, karena mempertimbangkan keadilan substantif ketimbang keadilan formal, hakim Yodi berpendapat pengadilan perlu mengesampingkan ketentuan tenggat waktu itu dengan melakukan invalidasi praktikal.

“Dari pertimbangan dissenting opinion menyangkut tenggat waktu tersebut, kami menilai Mahkamah Agung inkonsisten dalam menerapkan aturan yang mereka buat. Padahal Peraturan Mahkamah Agung adalah petunjuk yang digunakan peradilan internal,” kata Tigor Hutapea, anggota Tim Advokasi Selamatkan Hutan Adat Papua. “Putusan MA ini tidak berarti objek gugatan sudah benar karena dua hakim tidak memeriksa substansinya. Namun satu majelis hakim dalam dissenting opinion menyatakan bahwa penerbitan amdal terbukti belum mengakomodasi kerugian di wilayah kehidupan masyarakat adat, yang dikelola dan dimanfaatkan turun-temurun.”

Jerat merupakan teknik berburu orang Papua. Di hutan, orang-orang Papua bisa berburu dengan tombak. Sumber buruan semakin sulit, maka jerat akan dipasang untuk mendapatkan target buruan. Dokumentasi: Zuluz/YMKL

Hakim Yodi Martono berpendapat bahwa objek gugatan–surat izin lingkungan hidup untuk PT IAL–bertentangan dengan berbagai asas dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, sehingga harus dibatalkan. Namun, hakim Yodi kalah dalam pemungutan suara.

“Ini menjadi kabar duka kesekian bagi masyarakat Awyu karena pemerintah dan hukum belum berpihak kepada masyarakat adat. Perjuangan menyelamatkan hutan adat Papua akan lebih berat apalagi dengan pemerintahan hari ini yang berambisi membabat hutan di Papua Selatan untuk food estate. Hutan Papua adalah rumah bagi keanekaragaman hayati. Saat banyak orang di dunia sedang membahas bagaimana menyelamatkan keanekaragaman hayati global dari kepunahan, seperti yang berlangsung di COP16 CBD Kolombia saat ini, kita justru mendapat berita buruk makin terancamnya keanekaragaman hayati dan masyarakat adat di Tanah Papua,” kata Sekar Banjaran Aji, anggota Tim Advokasi Selamatkan Hutan Adat Papua.

Selain kasasi perkara PT IAL ini, sejumlah masyarakat adat Awyu juga tengah mengajukan kasasi atas gugatan PT Kartika Cipta Pratama dan PT Megakarya Jaya Raya, dua perusahaan sawit yang juga sudah dan akan berekspansi di Boven Digoel, atas keputusan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Putusan MA atas kasus PT IAL ini bisa jadi akan menentukan nasib hutan hujan seluas 65.415 hektare di konsesi PT KCP dan PT MJR.

Sebelumnya, saat menunggu kasus PT IAL diadili oleh MA, masyarakat adat Awyu mendapat petisi dukungan sebanyak 253.823 tanda tangan dari publik yang diserahkan langsung ke MA pada 22 Juli lalu. Saat itu publik Indonesia di media sosial ramai-ramai membahas perjuangan suku Awyu, yang puncaknya muncul tagar #AllEyesOnPapua. Sayangnya, dukungan publik untuk perjuangan itu tak cukup mengetuk pintu hati para hakim.

“Masyarakat adat Awyu tetap berhak atas hutan adat mereka–yang telah ada bersama mereka secara turun-temurun sejak pertama mereka menempati wilayah adat. Pada prinsipnya kepemilikan izin oleh perusahaan tidak menghilangkan hak masyarakat adat atas tanah, sebab jelas ada pemilik hak adat yang belum melepaskan haknya. Kami berharap dan meminta publik dapat terus mendukung perjuangan suku Awyu dan masyarakat adat di seluruh Tanah Papua yang berjuang mempertahankan tanah dan hutan adat. Ini adalah bagian dari agenda penegakan hukum pelindungan hak-hak masyarakat adat, yang telah dijamin dalam aturan lokal, nasional, dan internasional, sekaligus perjuangan melindungi Bumi dari pemanasan global. Masyarakat adat adalah penjaga alam tanpa pamrih dan Papua bukan tanah kosong!” kata Emanuel Gobay, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Papua.

***

Narahubung:

  1. Tigor Hutapea, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat — +62812-8729-6684
  2. Sekar Banjaran Aji, Greenpeace Indonesia — +62812-8776-9880
  3. Budiarti Putri, Greenpeace Indonesia — +62811-1463-105

Koalisi Selamatkan Hutan Papua:

Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), Pusaka Bentala Rakyat Papua, Greenpeace Indonesia, Satya Bumi, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), WALHI Papua, PILNet Indonesia, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Perkumpulan HuMa Indonesia.

KNMKI Hasilkan Komunike Bersama: Pemerintahan Prabowo-Gibran Didesak untuk Perbaiki Tata Kelola dan Mitigasi Dampak Buruk Industri Hilir Nikel di Indonesia 

Palu/Jakarta, 14 Oktober 2024 – Konferensi Nasional Mineral Kritis Indonesia (KNMKI) yang berlangsung pada 9-10 Oktober telah mengeluarkan komunike bersama yang mendesak seluruh pemangku kepentingan di sektor mineral kritis, khususnya nikel, untuk mengutamakan hak asasi manusia kelompok-kelompok sosial yang marjinal serta tata kelola lingkungan dan sosial yang berkelanjutan.

Komunike bersama menegaskan kepada pemerintahan Prabowo-Gibran yang akan dilantik pada 20 Oktober mendatang bahwa hilirisasi nikel tidak boleh dijadikan alat semata untuk pertumbuhan ekonomi. Realitas di lapangan menunjukkan bahwa banyak dampak negatif yang mengancam kesejahteraan masyarakat dan lingkungan di sekitar kawasan hilirisasi nikel.

 Hilirisasi nikel seharusnya menjadi langkah strategis untuk meningkatkan nilai tambah dan menciptakan lapangan kerja yang layak. Namun, komitmen pemerintah dalam memastikan pertumbuhan yang adil dan berkelanjutan masih diragukan. Komunike bersama yang dihasilkan oleh lebih dari 60 organisasi/komunitas (organisasi masyarakat sipil, Masyarakat terdampak dan serikat pekerja industri pengolahan nikel) menegaskan bahwa pengelolaan sumber daya mineral harus mempertimbangkan hak asasi manusia kelompok-kelompok sosial yang marjinal  dan dampak lingkungan secara lebih serius.

 Ketua panitia sekaligus direktur eksekutif Transformasi untuk Keadilan Indonesia (TuK INDONESIA), Linda Rosalina, menegaskan bahwa pertemuan ini sangat krusial dengan kehadiran berbagai organisasi yang aktif dalam advokasi, guna segera mengurangi dampak destruktif dari sektor pertambangan dan industri mineral kritis. “Konferensi dan lokakarya ini telah mengungkap fakta lapangan yang tidak bisa diabaikan, memperjelas komitmen kami untuk bersinergi dalam mengadvokasi isu-isu pertambangan dan industri nikel. Kami bertekad memperjuangkan tata kelola nikel yang lebih adil, berkelanjutan, serta menghormati hak-hak masyarakat lokal dan perlindungan lingkungan.”

 “Kami mendesak pemerintah baru Prabowo-Gibran untuk mendengar langsung suara warga terdampak dan segera mengambil langkah nyata dalam merumuskan kebijakan yang inklusif dan bertanggung jawab. Hilirisasi nikel tidak boleh hanya menguntungkan segelintir pihak, tetapi harus melindungi hak masyarakat dan memastikan keberlanjutan lingkungan demi kesejahteraan bersama,” lanjut Linda.

Proyeksi Kebutuhan Nikel dan Dampak Lingkungan Masih Buram dalam Perencanaan Nasional

Perencanaan kebutuhan nikel di Indonesia belum mendapat kejelasan yang memadai dalam dokumen strategis nasional, termasuk RPJPN, RPJMN, maupun dokumen turunan lainnya. Meskipun industri nikel terus berkembang pesat, perhatian terhadap dampak lingkungan, terutama emisi karbon yang dihasilkan, masih minim. Hal ini terbukti dari lemahnya pengawasan lingkungan terhadap industri ini, yang secara nyata memberikan dampak buruk terhadap ekosistem.

Koalisi ResponsiBank Indonesia menyoroti kondisi yang semakin parah ini karena masifnya pembiayaan pada sektor nikel yang juga didukung oleh regulasi yang menempatkan nikel sebagai kebutuhan pokok transisi energi hijau. “Padahal bank sebagai pemberi pinjaman modal perusahaan memiliki peran sebagai katalisator dan akselerator pembiayaan, tapi dengan eksploitasi ugal-ugalan nikel justru menimbulkan kerusakan lingkungan dan konflik masyarakat. Bank perlu mengintegrasikan praktik pembiayaan bertanggungjawab yang melaksanakan dukungan kepada terlaksananya pemenuhan HAM dan pelestarian lingkungan,” ucap Herni Ramdlaningrum, dari Koalisi ResponsiBank Indonesia. 

Pengawasan terhadap perusahaan tambang nikel juga masih jauh dari kata optimal, terutama di tingkat daerah. Keterbatasan kewenangan pemerintah provinsi serta tumpang tindih kebijakan antara pusat dan daerah semakin mempersulit situasi. Dampaknya, penegakan hukum terhadap pelanggaran lingkungan sering kali tidak berjalan efektif.

Lebih jauh, UU Minerba 2020 dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, yang memusatkan wewenang izin operasi di tingkat pusat, mempersempit ruang gerak masyarakat sipil dalam melakukan pengawasan. Mekanisme pemulihan bagi masyarakat terdampak pun kerap mandek, terutama di wilayah di mana pemerintah daerah memiliki konflik kepentingan karena kepemilikan saham dalam industri tambang nikel.

“Industri nikel memang memainkan peran penting dalam mendukung transisi energi, namun perkembangan pesat sektor ini harus diimbangi dengan perhatian yang serius terhadap dampak lingkungan dan sosial. Kelemahan dalam perencanaan strategis nasional, ditambah dengan tata kelola yang masih jauh dari transparan, serta lemahnya pengawasan terhadap industri tambang nikel, justru memperparah krisis lingkungan yang sedang terjadi,” ungkap Meliana Lumbantoruan, Deputi Direktur PWYP Indonesia.

Pemerintah perlu memperkuat tata kelola sektor nikel dengan meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan koordinasi antar lembaga, baik di tingkat pusat maupun daerah. Selain itu, keterlibatan aktif masyarakat sipil dalam pengawasan juga harus dijamin, agar kegiatan industri berjalan dengan lebih bertanggung jawab dan pemulihan bagi masyarakat terdampak bisa terwujud dengan lebih efektif.” lanjut Meliana 

Olisias Gultom, Direktur Sahita Institute (HINTS)  menegaskan “Seluruh pemangku kepentingan perlu memperhatikan bahwa praktik-praktik korupsi telah berkontribusi pada kerusakan lingkungan dan meminggirkan masyarakat lokal pada industri ini. Di tambah lemahnya keberpihakan pada akses penghidupan yang layak untuk para perkerja. Pembangunan industri atau hilirisasi harus sejalan dengan prinsip kemanusiaan dan keadilan sosial. Saat ini sangat mendesak harus dilakukan sebelum kesalahan yang lebih besar terjadi dan mengakibatkan kerusakan parah pada semua aspek kehidupan.” 

Dampak Sosial, Ekonomi, dan Ketenagakerjaan yang Diabaikan

Perkembangan pesat industri nikel yang tidak sejalan dengan komitmen pemerintah daerah dalam menjaga kebutuhan energi dan pangan masyarakat di wilayah tersebut. Daya beli masyarakat semakin merosot akibat kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat kecil. Kondisi ini diperparah dengan tidak adanya upaya nyata untuk merehabilitasi lingkungan pasca bencana ekologis, yang mengakibatkan hilangnya sumber penghidupan utama, seperti nelayan, dan terbatasnya peluang pekerjaan alternatif bagi masyarakat yang terdampak aktivitas tambang dan hilirisasi nikel.

Fakta bahwa meskipun perusahaan tambang beroperasi di wilayah mereka, kontribusi ekonomi terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal nyaris tidak terasa. Keuntungan besar yang diraih perusahaan-perusahaan tersebut diperoleh dengan mengalihkan resiko-resiko dampak sosial dan ekonomi yang terpaksa ditanggung warga sekitar.

Direktur INKRISPENA, Wasi Gede, menekankan bahwa pendekatan kesejahteraan tidak dapat diterapkan berdampingan dengan pendekatan militeristik dan kekerasan yang saat ini dominan di wilayah-wilayah industri nikel. “Tidak mungkin petani, pekerja, atau warga di wilayah tambang dan kawasan2 industri pengolahan mineral kritis akan sejahtera selama pendekatan yang dipakai pemerintah dan dunia bisnis masih tetap mengedepankan militerisme dan kekerasan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang muncul.”

Penguatan masyarakat adat dan masyarakat lokal menjadi krusial dalam menghadapi kehadiran industri mineral kritis di Indonesia. Hal ini terutama penting terkait penyampaian informasi yang jelas mengenai kehadiran industri di kampung dan wilayah mereka. Menurut Rudiansyah dari Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL), salah satu upaya yang perlu dilakukan adalah meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai konsep Padiatapa (Persetujuan Atas Dasar Informasi di Awal Tanpa Paksaan).

“Persoalan hak masyarakat adat dan lokal tidak hanya sebatas ganti rugi lahan, namun juga mencakup pemahaman mendalam tentang mengapa, untuk apa, dan apa akibat dari proyek-proyek industri mineral kritis terhadap kehidupan mereka. Karena pada akhirnya, merekalah yang pertama dan terutama menjadi objek eksploitasi—baik yang sudah, sedang, maupun akan menjadi bagian dari konsesi industri ini,” jelas Rudiansyah.

Dengan begitu, upaya bersama antara pemerintah, masyarakat, dan pemangku kepentingan sangat diperlukan untuk memastikan bahwa hak-hak masyarakat terlindungi dan mereka mendapatkan informasi yang menyeluruh mengenai dampak industri mineral kritis terhadap lingkungan dan kehidupan mereka.

Di sektor ketenagakerjaan, lemahnya penerapan standar Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) menunjukkan kurangnya tanggung jawab perusahaan terhadap keselamatan pekerja. Banyak pekerja yang tidak mendapat perlindungan memadai, sementara regulasi hukum yang ada sudah usang dan tidak lagi relevan dengan perkembangan industri. Diskriminasi upah juga mencolok, baik antara pekerja laki-laki dan perempuan.

Richard Pimpinan Yayasan Tanah Merdeka (YTM) mengatakan “Intensitas kerja yang tinggi dengan sistem tiga  shift-tiga regu di industri nikel tidak hanya memperburuk kondisi sosial dan ekonomi masyarakat lokal, tetapi juga menimbulkan berbagai Penyakit Akibat Kerja (PAK). Pekerja sering kali mengalami kelelahan berlebih, gangguan tidur, serta masalah kesehatan kronis seperti gangguan pernapasan dan nyeri otot-sendi, yang diperparah oleh kurangnya penerapan standar Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3).”  

“Selain itu, upah yang tidak setara dan minimnya perlindungan kesehatan bagi pekerja, menunjukkan lemahnya kebijakan ketenagakerjaan yang seharusnya melindungi kesejahteraan mereka. Sementara perusahaan memperoleh keuntungan besar, masyarakat justru harus menanggung beban sosial dan kesehatan yang semakin meningkat akibat aktivitas industri ini.” Lanjutnya. 

Industri nikel yang sedang berkembang di Indonesia merupakan penarik investor, sehingga sektor bisnis yang bekerja di sektor ini mendapatkan banyak dukungan. “Seharusnya aliran dana dari investor tidak hanya memberikan fasilitas kepada perusahaan untuk menggerakkan bisnisnya, tetapi juga memiliki multiplier effect seperti memberikan manfaat ekonomi yang berkeadilan, akses kerja layak, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal yang lebih baik.” kata Herni Ramdlaningrum, dari Koalisi ResponsiBank Indonesia. 

Kerusakan Lingkungan, Punahnya Keanekaragaman Hayati, dan Ancaman Kesehatan Serius

“Booming” industri mineral kritis yang dipromosikan sebagai solusi transisi energi ternyata menciptakan krisis baru. Alih-alih beralih ke energi bersih, pemerintah terus memberikan izin untuk pembangunan PLTU batubara captive (off-grid) di dalam kawasan industri nikel. Dimana kita tahu batubara adalah salah satu penyebab utama perubahan iklim di dunia. tanpa memperhitungkan dampak bencana terhadap lingkungan dan masyarakat. Keputusan ini jelas menunjukkan pengabaian total terhadap keberlanjutan lingkungan.

Dalam konteks ini, Ahmad Ashov Birry, Direktur Program Trend Asia, menekankan, “Praktik eksploitasi mineral kritis di Indonesia yang tampak tidak mengenal batas jelas melupakan tantangan krisis yang sedang kita hadapi. Indonesia, bersama dunia, saat ini tidak hanya sedang menghadapi krisis iklim, namun juga krisis biodiversitas dan krisis polusi yang sama-sama dampaknya bersifat lintas batas, saling terkait, dan dengan konsekuensi jangka panjang. Pemerintah Indonesia harus memikirkan ulang strategi eksploitasi mineral kritisnya untuk tidak memperparah situasi krisis tersebut.” 

Aktivitas tambang nikel juga telah menyebabkan deforestasi besar-besaran, pencemaran air dan udara yang merusak, serta punahnya keanekaragaman hayati yang menjadi penyangga ekosistem. Kehancuran lingkungan ini bukan hanya ancaman terhadap flora dan fauna, tetapi juga memperbesar potensi bencana ekologis yang tak terhindarkan—seperti banjir, tanah longsor, dan degradasi tanah—yang membuat lingkungan tak lagi layak huni.

Namun, dampak terburuknya dirasakan langsung oleh masyarakat sekitar. Pencemaran yang dihasilkan telah memicu krisis kesehatan yang parah. Penyakit seperti Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), penyakit kulit yang menyebar luas, iritasi mata, dan sanitasi buruk yang memperparah stunting pada anak-anak adalah bukti nyata. Kesehatan masyarakat dikorbankan demi keuntungan industri, sementara pemerintah pusat atau daerah dan perusahaan seolah menutup mata terhadap penderitaan yang semakin meluas. 

Richard Pimpinan Yayasan Tanah Merdeka mengatakan “praktik-praktik kotor greenwashing jelas-jelas sudah terjadi di Industri nikel. Korban sudah berjatuhan setiap hari, bingkai praktik ramah lingkungan yang digemborkan pemerintah untuk investasi nikel sangat berbanding terbalik dengan kenyataan di lapangan. Kondisi riil di lapangan yang menderita jauh dari kata good mining practice. Yang hadir saat ini di warga adalah krisis air, penyakit pernapasan, banjir dan longsor.” 

Narahubung Media : 

Annisa N. Fadhilah – Tuk Indonesia, 087884446640 

Arie Utami – Indonesia Cerah, 08111770920

Komunike Konferensi Nasional Mineral Kritis Indonesia bisa diunduh disini
Dokumentasi kegiatan bisa diunduh disini


Organisasi dan masyarakat yang terlibat : 

Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA)
Auriga Nusantara Perempuan Mahardhika
BEK Solidaritas Perempuan Kendari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN)
BEK Solidaritas Perempuan Palu Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) Universitas Tadulako
BEK Solidaritas Perempuan Sintuwu Raya Poso PWYP Indonesia
CNV Internationaal ResponsiBank Indonesia
Djokosoetono Research Center (DRC) Fakultas Hukum Universitas Indonesia Sahita Institute – HINTS
Fakawele Project Satya Bumi
FIKEP-KSBSI SBIMI
Ford Foundation Sekretariat Nasional Solidaritas Perempuan
Forest Watch Indonesia (FWI) Solidar Suisse
Forum Ambunu Bersatu (Morowali) SPIM
FPBI SPIM-KPBI MOROWALI
FPE SPN Morowali
FSPMI Tara Climate Foundation
ICW Tifa Foundation
Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Transparency International Indonesia
Institut Kajian Krisis dan Strategi Pembangunan Alternatif (Inkrispena) Trend Asia
Institute for National and Democracy Studies (INDIES) TuK INDONESIA
International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) WALHI Maluku Utara
Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Sulawesi Tengah WALHI Sulawesi Selatan
Koalisi Perempuan Indonesia WALHI Sulawesi Tengah
Koalisi Save Sagea WALHI Sulawesi Tenggara
Konfederasi KASBI Yayasan Ambeua Helewo Ruru
KPA Sulawesi Tengah Yayasan Indonesia CERAH
LBH Makassar Yayasan Kompas Peduli Hutan (KOMIU)
Lokataru Foundation Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL)
Masyarakat Desa Tompira Yayasan Merah Putih (YMP) Sulawesi Tengah
Masyarakat Komunitas Torobulu Yayasan Pikul
Nexus3 Foundation Yayasan Tanah Merdeka (YTM)

 

Telaah Kritis Industri Nikel: Menggali Keadilan Sosial dan Lingkungan

Palu, 9 Oktober 2024 – Konferensi Nasional Mineral Kritis Indonesia (KNMKI) bertajuk “Telaah Kritis Industri Pertambangan dan Hilirisasi Nikel dengan Perspektif Keadilan Sosial dan Lingkungan” diprakarsai oleh 15 organisasi masyarakat sipil yang memiliki perhatian besar terhadap isu keadilan sosial dan lingkungan di sektor pertambangan nikel. Konferensi ini bertujuan untuk menelaah secara kritis aspek keadilan sosial, lingkungan,dan praktik tata kelola industri pertambangan mineral kritis di Indonesia.

Konferensi ini menjadi wadah bagi semua pihak untuk saling mendengarkan dan berbagi pandangan, dengan harapan dapat menciptakan masa depan yang lebih baik dan berkelanjutan bagi semua. Linda Rosalina, selaku Ketua Panitia KNMKI, mengungkapkan semangat bersama ini dengan tegas, “Konferensi ini menegaskan keseriusan kami dalam kerja-kerja advokasi nikel dan komitmen semua pihak yang hadir untuk memperjuangkan tata kelola industri nikel yang lebih adil, berkelanjutan, dan mengedepankan hak-hak masyarakat lokal serta lingkungan.”

Seiring dengan upaya Indonesia untuk menjadi pemain kunci dalam rantai pasok nikel global, terutama dalam konteks transisi energi, hilirisasi nikel sampai saat ini terus menimbulkan masalah lingkungan dan sosial serius. Menurut Pius Ginting, Direktur Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER), industri pengolahan nikel merupakan pengguna listrik terbesar di Sulawesi, yang mayoritas masih mengandalkan PLTU batubara. Penggunaan PLTU ini telah menyebabkan pencemaran udara dan air yang signifikan, merugikan masyarakat setempat.

Untuk mengatasi masalah ini, Pius menekankan bahwa perlu adanya pengembangan jaringan transmisi Sulawesi yang saling terhubung, sehingga dapat meningkatkan penggunaan energi terbarukan di kawasan industri. “Selain itu, produksi nikel perlu diperlambat melalui penerapan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya Tahun Berjalan (RKAB) yang terbatas, agar selaras dengan pengembangan daya dukung energi terbarukan,” kata Pius. Langkah ini, menurutnya, penting untuk mengurangi dampak lingkungan yang dihadapi warga lokal, terutama yang tinggal di sekitar area tambang.

Lebih lanjut, Pius menekankan pentingnya menjaga hak-hak warga yang terdampak oleh pengembangan energi terbarukan. “Pengembangan energi terbarukan dengan jaringan terhubung di Sulawesi harus dilakukan dengan melindungi ruang hidup dan hak-hak warga, khususnya yang tinggal di sekitar PLTA, lahan PLTS, dan ladang listrik tenaga angin serta sumber energi terbarukan lainnya,” tambahnya. Upaya ini diharapkan dapat menciptakan keseimbangan antara kebutuhan energi industri dan perlindungan lingkungan serta hak masyarakat setempat.

Sektor pertambangan, khususnya industri nikel, dikenal memiliki risiko kerja yang sangat tinggi. Berbagai bahaya yang melekat dalam pekerjaan, seperti kecelakaan kerja dan kelalaian dalam penerapan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3), sering kali menjadi ancaman serius bagi para pekerja. Salah satu contoh nyata adalah insiden berulang seperti meledaknya tungku di fasilitas smelter. Kejadian ini menunjukkan lemahnya pengawasan dan penerapan prosedur keselamatan yang ketat di lokasi kerja.

Iwan Kusnawan, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Serikat Pekerja Nasional (DPP SPN), menyoroti bahwa beberapa kali terjadi kecelakaan kerja di sektor ini tanpa adanya investigasi mendalam dari pihak terkait. “Akibatnya, setiap kali ada korban dalam insiden tersebut, penanganan yang diberikan hanya bersifat normatif, terbatas pada penyediaan jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan sebagai peserta, tanpa menyentuh aspek pencegahan dan penegakan tanggung jawab lebih lanjut. Ini menunjukkan kurangnya perhatian serius dari pihak perusahaan dan pemerintah terhadap perlindungan keselamatan para pekerja di industri yang berisiko tinggi,” jelas Iwan.

Masalah pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di sektor tenaga kerja Indonesia, khususnya dalam industri nikel, bersifat sistemik dan memerlukan pendekatan komprehensif. Menurut Leony Sondang Suryani, Peneliti Djokosoetono Research Center Universitas Indonesia (DRC UI), pelanggaran tidak hanya disebabkan oleh tindakan perusahaan, tetapi juga terkait dengan peran pemerintah dalam melindungi hak-hak dasar tenaga kerja. Ada tiga aspek hukum yang berkontribusi terhadap masalah ini: substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum.

“Meskipun Indonesia sudah memiliki regulasi ketenagakerjaan, masih belum sepenuhnya mengakomodasi kepentingan tenaga kerja dan menciptakan celah terjadinya pelanggaran HAM. Struktur hukum, terkait dengan implementasi dan penegakan hukum, seringkali tidak optimal, baik dalam memberikan sanksi tegas terhadap perusahaan maupun dalam memprioritaskan hak-hak pekerja. Budaya hukum yang ada tidak mendorong penegakan hukum yang progresif,” tambah Leony.

Oleh karena itu, reformasi menyeluruh di setiap aspek sistem hukum diperlukan agar hak-hak tenaga kerja dapat dilindungi secara efektif, dan agar perusahaan, khususnya di sektor nikel, dapat mematuhi standar HAM yang lebih baik. Dalam konteks ini, urgensi pengetatan regulasi lingkungan hidup dan transisi energi bersih menjadi semakin penting. Fajri Fadhillah, Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), menegaskan bahwa langkah konkret harus segera diambil oleh Administrasi Pemerintahan Prabowo-Gibran. Menurut Fajri, pengetatan standar lingkungan untuk tambang dan smelter nikel serta penguatan penegakan hukumnya harus menjadi prioritas utama kebijakan pemerintah.

“Selain itu, Pemerintahan Prabowo-Gibran dan kabinet baru nantinya perlu memprioritaskan peta jalan untuk penggantian PLTU captive dengan pembangkit energi terbarukan. Dengan peta jalan yang tepat dua keuntungan dapat diperoleh dari kebijakan-kebijakan tersebut: peningkatan kesehatan masyarakat yang tinggal di sekitar tambang dan smelter serta meningkatnya posisi tawar Indonesia dibandingkan dengan negara produsen nikel lainnya dalam rantai pasok nikel global,” tambah Fajri.

Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira, menjelaskan bahwa meskipun hilirisasi nikel telah membawa keuntungan ekonomi dalam skala nasional, bagi hasil yang diterima oleh daerah penghasil nikel pada kenyataannya relatif kecil. Hal ini disebabkan oleh model kawasan industri yang berada dalam Proyek Strategis Nasional (PSN), di mana sebagian besar manfaat ekonomi berpusat pada pemerintah pusat dan perusahaan besar, sementara daerah yang terdampak langsung oleh kegiatan pertambangan hanya memperoleh bagian yang sangat terbatas.

“Selain itu bagi hasil di daerah penghasil nikel tidak sebanding dengan biaya rehabilitasi lingkungan yang rusak karena aktivitas pertambangan, hingga pencemaran akibat PLTU batubara. Pemerintah daerah perlu mendapat peningkatan kapasitas fiskal baik dari alokasi dana transfer daerah, maupun dari sumber-sumber ekonomi alternatif selain pertambangan dan smelter.” tambah Bhima.

Dampak dari industri pertambangan, khususnya tambang pasir dan nikel, tidak hanya merusak lingkungan secara langsung, tetapi juga menghancurkan kehidupan sosial-ekonomi masyarakat lokal. Salah satu warga Desa Tompira, Murniati, menggambarkan betapa beratnya kondisi yang dihadapi oleh masyarakat nelayan. “Aktivitas tambang pasir dan nikel sangat mengganggu kehidupan kami, terutama nelayan Meti yang setiap hari mencari nafkah untuk keluarga,” ungkap Murni.

Sungai Laah, yang dulu menjadi tempat utama nelayan mencari meti – sejenis makanan khas lokal – kini rusak parah akibat penambangan pasir yang menghilangkan habitat alami dan merusak ekosistem sungai. “Meti semakin hari semakin berkurang, dan kini sungai dipenuhi pasir akibat penambangan. Kami sebagai masyarakat, terutama nelayan, sangat dirugikan,” tambah Murni.

Langkah-langkah ini tidak hanya akan memberikan keseimbangan yang lebih adil bagi daerah, tetapi juga memungkinkan pemerintah daerah untuk lebih proaktif dalam mengelola dampak lingkungan dan sosial dari industri nikel. Dengan fiskal yang lebih kuat, mereka dapat berinvestasi dalam proyek-proyek pembangunan berkelanjutan yang mendukung energi terbarukan, mengurangi ketergantungan pada batubara, dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat di sekitar kawasan tambang.

Narahubung Media :
Annisa N. Fadhilah – Tuk Indonesia, 087884446640
Arie Utami – Indonesia Cerah, 08111770920

Foto bisa diunduh di sini
Penyelenggara :
1. TuK INDONESIA
2. Indonesia CERAH
3. CELIOS
4. Inkrispena
5. Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL)
6. Aksi Emansipasi dan Ekologi Rakyat (AEER)
7. Indonesia Center for Environmental Law (ICEL)
8. Trend Asia
9. Yayasan Tanah Merdeka (YTM)
10. Sahita Institute (HINTS)
11. CNV International
12. ResponsiBank Indonesia
13. Djokosoetono Research Center
14. Publish What You Pay Indonesia (PWYP)
15. Jaringan Advokasi Tambang Sulawesi Tengah (JATAM Sulteng)

Siaran Pers: Masifnya Aksi – Aksi Masyarakat Hingga Jatuhnya Korban di Tengah Penerapan Sertifikasi berbasis Yurisdiksi untuk Kelapa Sawit Berkelanjutan di Kabupaten Seruyan

Untuk mempercepat pencapaian menjadi perkebunan kelapa sawit berkelanjutan agar menurunkan angka deforestasi dan konflik sosial, langkah yang diambil pemerintah daerah di Seruyan adalah dengan menerapkan pendekatan berbasis yurisdiksi (jurisdictional approach) sebagai bagian integral dari pola pembangunan berlanjutan. Penyelesaian masalah antara perusahaan dan masyarakat berbasiskan peran aktif pemerintah daerah menjadi fokus dalam pendekatan yurisdiksi ini, dan untuk memperkuat posisinya melalui pembuat aturan/kebijakan yang diperlukan dalam menyikapi banyak persoalan dalam wilayah teritorialnya.

Seruyan telah ditunjuk sebagai wilayah percontohan penerapan metode ini sejak 2015. Akan tetapi dalam prosesnya hingga sekarang masih banyak konflik yang terjadi. Legalitas lahan sebagai pijakan dasar dalam setiap proses pembangunan tercipta dari praktik buruk peruntukan dan pengelolaan kawasan secara sepihak dan kerap mengabaikan hak masyarakat dan lingkungan di dalamnya sehingga berkontribusi besar bagi lahirnya konflik sosial. Oleh karena itu, prioritas penyelesaian legalitas lahan harusnya diletakkan pada pemberian dan perlindungan hak masyarakat atas tanahnya. Selain dapat mengurangi konflik, prioritas tersebut akan berdampak langsung pada penurunan laju deforestasi dalam suatu kawasan.

Penetapan Peraturan Bupati Nomor 11 tahun 2021 tentang Tata Cara Pengaduan dan Pengelolaan Data Konflik Usaha Perkebunan di Desa dan Peraturan Bupati Nomor 48 tahun 2022 tentang Pedoman Penanganan Konflik Usaha Perkebunan adalah upaya pendekatan yurisdiksi lain yang ditempuh pemerintah daerah Seruyan dalam menyelesaikan konflik.

Dalam kurun satu tahun ini saja banyak terjadi aksi – aksi masyarakat yang menuntut hak dari masyarakat salah satunya adalah plasma 20% hal ini dilakukan karena masyarakat merasa sudah terlalu lama pelanggaran – pelanggaran yang di lakukan oleh perusahaan terhadap masyarakat seperti tidak adanya FPIC, ganti rugi yang tidak adil, penyerobotan lahan, tidak di penuhinya kewajiban atas plasma 20%, dll. Seperti yang terjadi di PT. Tapian Nadenggan (Sinarmas Group), PT. BJAP (Bangun Jaya Alam Permai – Best Group), PT. Mustika Sembuluh (Wilmar Group) dan saat ini juga terjadi di PT. HMBP I (Hamparan Masawit Bina Persada I – Best Group). Sayangnya aksi – aksi masyarakat selalu dihadapkan dengan intimidasi dan represifitas oleh pihak aparatur negara.

Djayu Sukma Ifantara dari Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL) sedang memfasilitasi acara media briefing “Penerapan Sertifikasi berbasis Yurisdiksi untuk Kelapa Sawit Berkelanjutan di Kabupaten Seruyan”. Dokumentasi/YMKL

Aksi represifitas (7 Oktober 2023) yang terjadi di PT. HMBP I, Kecamatan Seruyan Raya, Kabupaten Seruyan antara masyarakat Desa Bangkal dengan pelibatan aparatur negara justru berakhir dengan penembakan yang menyebabkan Gijik (35 tahun) meninggal dunia tertembak di dada di lokasi aksi saat hendak menolong temannya, Taufik Nurahman (21 tahun) yang tertembak di bagian pinggang dan harus di rawat intensif di RSUD Doris Sylvanus Palangkaraya dan akan di rujuk di RSUD Ulin di Banjarmasin Kalimantan Selatan dengan alasan keterbatasan peralatan untuk melakukan operasi serta adanya lebih dari 20 warga yang di tangkap. Sebelum terjadinya aksi penembakan, sebelumnya juga terjadi aksi – aksi yang kemudian menimbulkan bentrokan karena tidak di berikannya tuntutan masyarakat atas plasma 20% oleh Perusahaan. Tidak

Dilaksanakannya bentrok pertama terjadi pada 21 September 2023, saat itu warga ditembaki dengan gas air mata hingga menyebabkan reaksi spontanitas masyarakat hingga terjadi pembakaran terhadap fasilitas perusahaan. Bentrok kedua terjadi pada 23 September 2023 malam, di mana kejadian itu menyebabkan dua warga mengalami luka-luka akibat bentrok dengan aparat kepolisian.

Hal ini terjadi lantaran perjuangan yang telah dilakukan masyarakat tidak kunjung dilaksanakan oleh Perusahaan. Pada 16 September 2023, terjadi mediasi antara perusahaan dengan masyarakat dengan kesepakatan pertama, pihak perusahaan bersedia untuk memberikan kebun plasma dalam bentuk alokasi dana plasma senilai luas kebun lebih kurang 235 hektar. Kedua, jumlah luasan yang belum dapatkan Hak Guna Usaha (HGU) seluas lebih kurang 1.175 hektar sudah termasuk 235 hektar yang akan dibayarkan terlebih dahulu. Ketiga, perusahaan bersedia untuk memberikan kegiatan usaha produktif yang difasilitasi PT HMBP I bersama pemerintah daerah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Perusahaan juga memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat di luar izin HGU perusahaan. Besaran pembagian Dana Alokasi Plasma untuk masing-masing desa sasaran penerima manfaat selanjutnya ditetapkan melalui kesepakatan tingkat desa untuk menjadi penetapan tingkat kecamatan. Dana alokasi plasma yang awal kurang lebih 235 Ha akan diusulkan menjadi kurang lebih 500 Ha dengan pembagian Desa Bangkal kurang lebih 300 ha. Desa Terawan kurang lebih 100 Ha, dan Desa Tabiku kurang lebih 100 Ha.

Kami menilai bahwa represifitas yang dilakukan oleh aparatur negara yang seharusnya melindungi masyarakat merupakan pelanggaran HAM. Terutama karena apa yang dilakukan oleh masyarakat merupakan perjuang dari masyarakat untuk memperoleh hak – haknya. Harapan atas penerapan pendekatan yurisdiksi oleh pemerintah daerah Kabupaten Seruyan kami pandang sangat penting dan harus segera dilaksanakan dengan tegas, sebagai Upaya untuk mensejahterakan masyarakat dan menyelesaikan konflik di perkebunan.

Maka dari itu kami dari PROGRESS dan YMKL menyatakan sikap :

  1. Mengutuk tindakan represif dan penembakan terhadap warga Bangkal yang diduga dilakukan oleh oknum aparat
  2. Meminta Kepolisian untuk menarik mundur aparat kepolisian dari desa
  3. Mendesak Presiden RI dan Kapolri memerintahkan untuk segera mengusut tuntas secara transparan dan menindak tegas oknum yang diduga melakukan penembakan.
  4. Mendesak Pemerintah untuk mencabut izin HMBP yang menjadi sumber konflik.
  5. Mendesak Pemerintah untuk segera menyelesaikan konflik agrarian yang terjadi di desa
  6. Meminta RSPO untuk meninjau ulang dan menghentikan sementara proses Sertifikasi Yurisdiksi bagi Pemerintah Daerah Kabupaten
  7. Kepada semua pembeli dan juga retail untuk menghentikan pembelian minyak sawit dari Kabupaten Seruyan sampai semua investigasi terhadap penembakan warga Bangkal yang kuat diduga dilakukan oleh aparat keamanan dan tuntutan masyarakat desa Bangkal terselesaikan dan dilaksanakan secara

Narahubung :

Kartika Sari – Progress Kalimantan Tengah (081258028820)

Djayu Sukma Ifantara – Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (081327841074)