Posts

Siaran Pers Diseminasi Hasil Penelitian: Metabolisme Sosial Orang Moi Yang Hilang dan Kerja Paksa Masyarakat Adat di Perkebunan Sawit Di Tanah Merauke dan Boven Digoel

Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL) bersama  Yayasan Pusaka Bentala Rakyat bekerjasama dengan Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur menggelar kegiatan Diseminasi Hasil Penelitian dan Diskusi Bersama dengan tema “Metabolisme Sosial Orang Moi Yang Hilang dan Kerja Paksa Masyarakat Adat di Perkebunan Sawit Di Tanah Merauke dan Boven Digoel” yang dilaksanakan di Aula STFT Fajar Timur, Senin 24 Februari 2025.  

Kegiatan diseminasi dan diskusi bersama ini merupakan rangkaian dari publikasi hasil penelitian yang dilakukan oleh YMKL bersama Yayasan Pusaka Bentala Rakyat yang tim penelitinya dari Pusat Kajian Hukum Adat Djojodigoeno, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) dan tim peneliti lainnya Laksmi Adriani Savitri serta Zuhdi Siswanto, pada tahun 2024. 

Ada dua topik yang menjadi fokus penelitian, tentunya sejalan dengan konteks isu hak asasi manusia khususnya di Tanah Papua. Penelitian pertama tentang situasi kehidupan buruh perkebunan sawit di Merauke dan Boven Digoel, yang dikerjakan oleh tim peneliti Djojodigoeno, sementara penelitian kedua tentang perubahan budaya pangan dalam kaitan dengan perubahan penguasaan lahan, pada komunitas Suku Moi di Kabupaten Sorong yang kini banyak dikuasai oleh korporasi bisnis perkebunan, kehutanan, infrastruktur, dan pertambangan. Sebuah perubahan yang telah berlangsung – dan tak mampu mereka cegah – sejak masa kolonial. Penelitian ini dilakukan bersama Laksmi Adriani Savitri dan Zuhdi Siswanto. 

Kedua gagasan di balik penelitian ini adalah untuk melihat dampak dari tingginya pembukaan lahan oleh proyek-proyek pembangunan seperti perkebunan sawit, proyek infrastruktur jalan dan perkebunan kayu (hutan tanaman/hutan tanaman energi) yang diluncurkan oleh pemerintah dengan janji untuk peningkatan ekonomi dan kesejahteraan rakyat, dengan memprioritaskan manfaat bagi masyarakat setempat. Di balik itu semua banyak pelanggaran yang terjadi atas hak-hak Masyarakat adat dan komunitas baik hak atas tanah, hak atas lingkungan hidup, hak atas sumber daya alam, hak atas pangan lokal dan hak-hak atas perlindungan di tempat bekerja. 

Laksmi Adriani Savitri dan Zuhdi Siswanto yang melakukan penelitian di Sorong dengan lokasi penelitian di Suku Moi menemukan, terjadi perubahan-perubahan kehidupan sosial dan budaya. Kehadiran investasi yang begitu masif di Tanah Orang Moi menyebabkan banyak permasalahan yang muncul. Apalagi permasalahan terkait relasi sosial Orang Moi dan juga relasi kehidupan mereka dengan hutan dan alam.

Dalam penelitian mereka yang berjudul “Budaya Pangan, Identitas dan Metabolisme Sosial yang Retak: Cerita Orang Moi di Tanah Papua Barat” menemukan, ada relasi-relasi yang hilang atau retak antara Orang Moi dengan tanah apalagi alamnya. Penelitian ini mencermati dan mengkaji budaya pangan dan Identitas Moi yang mencoba menghubungkan antara ekonomi politik dan ekologi pangan dengan kebudayaan. 

“Fokus yang retak itu menyebabkan kehilangan yang luar biasa. Orang moi merasakan kehilangan jati dirinya sehingga memunculkan sesuatu yang baru, Moi yang Baru,” kata Laksmi Savitri saat memaparkan hasil penelitiannya di Aula STFT, Senin 25 Februari 2025.

Kata Laksmi, hal ini menandakan bahwa Orang Moi dan alamnya terjadi keretakan. Pada awalnya hubungan Orang Moi dengan alam saling berkaitan, saling menghidupi, memiliki hubungan yang erat dengan saling menjaga antara satu dan lainnya; antara Orang Moi dan alamnya. Perubahan mulai terlihat atau mulai meretak saat Orang-orang Moi disibukkan dengan urusan organisasi. Urusan ganti rugi. 

“Dulu bisa berkebun tanpa harus ada izin. Tapi sekarang orang yang mau bekerja atau menggarap tanah harus izin dulu dan tanya tanah ini milik siapa. Semua tergantikan dengan alasan uang,” terang Laksmi.

Sejalan dengan itu, sesuai dengan fakta terlihat, bahwa tidak semua Orang Moi sekarang hidup dari alam. Keretakan budaya dan pangan bagi Orang Moi terlihat dari penyajian makanan di meja makan. Nasi dan sagu berdampingan. Kadang hanya nasi saja. Ini disebabkan sagu yang dipanen akan dijual dan hasilnya untuk membeli beras. Karena kondisi alamnya sudah rusak sedemikian rupa dan relasi sosialnya yang berubah, sehingga yang paling dekat dengan alam atau hutan untuk berkebun adalah perempuan. Perempuan yang memiliki peran penghubung dengan alam.

“Perempuan paling dekat dengan pangan dan sagu. Sedangkan laki-laki masih sebagian besar berburu dan meramu,” kata Laksmi dalam paparannya.

Ayub R. Paa, perwakilan dari masyarakat adat Suku Moi Marga Kelim Paa, mengatakan, banyak sekali cerita dari Suku Moi yang belum tertulis dalam penelitian tersebut. Banyak suku dan marga yang punya banyak cerita tentang budaya dan pangannya di tanah Moi.

Menurut Ayub, hutan dan tanah Suku Moi mulai terdampak investasi sejak tahun 1910 dan kemudian  terus berlangsung setelah Indonesia Merdeka pada 1945. Sejak investasi masuk, saat inilah yang membuat Suku Moi harus berjuang mempertahankan wilayah adat dan tanahnya untuk kehidupan. 

“Bagi Suku Moi tanah itu adalah mama atau ibu yang harus dijaga,” kata Ayub saat menanggapi hasil penelitian yang dipaparkan. 

Ayub bercerita, khususnya Moi Kelim masih banyak masyarakat yang berkebun, dengan banyak cerita tentang hutan dan tanahnya. Misalnya cerita dari kampungnya yang masih menjaga hutan mereka agar tidak rusak atau hilang. 

“Kita tidak mau mengubah budaya kita dan kita mau menjaga budaya adat ini agar terus ada. Misalnya dari menjaga hutan kita bisa mempromosikan soal budaya dan hutan di tanah kami, agar bisa menarik perhatian orang banyak dan memberikan dampak dari segi sosial dan ekonomi tanpa harus merusak,” ungkap Ayub.

Sementara itu, pada waktu yang sama, penelitian lainnya oleh YMKL dan Pusaka yang dilakukan tim peneliti dari Pusat Kajian Hukum Adat Djojodigoeno membahas topik “Kerja Paksa dan Masyarakat Hukum Adat: Studi Perkebunan Sawit di Merauke dan Boven Digoel” menemukan banyak persoalan di lapangan. Penelitian ini menggunakan Konvensi ILO (International Labour Organization) dan kriteria ILO tentang kerja paksa sebagai dasar analisis pada buruh perkebunan sawit. 

Perluasan industri perkebunan sawit telah membawa dampak besar terhadap masyarakat adat atau Orang Asli Papua, baik dalam hal hak-hak buruh hingga perubahan pola hidup masyarakat setempat. Dalam beberapa kasus, muncul indikasi kerja paksa terhadap masyarakat adat, yang menimbulkan berbagai persoalan hukum, ekonomi, dan sosial. 

Almonika Cindy Fatika Sari, dari tim peneliti  Djojodigoeno mengatakan, bahwa penelitian ini berangkat dari narasi tanaman sawit sebagai tanaman yang unggul, mendatangkan keuntungan, memberikan pendapatan ekonomi, serta membuka lapangan pekerjaan. Menurutnya, sudah banyak penelitian yang menunjukan bahwa tanaman sawit dari satu sisi mendatangkan banyak kemakmuran yang didapatkan dari petani sawit. Tapi di sisi lain, ada konsekuensi yang harus dibayar, semua itu tidak ada yang gratis, karena kemudian muncul persoalan banyak juga petani-petani yang mengalami kemiskinan dari perkebunan sawit. 

Tim peneliti dari Pusat Kajian Hukum Adat Djojodigoeno, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), yang diwakili oleh Almonika Cindy Fatika Sari (tengah) dan Nailul Amany (kanan) dalam pemaparan temuan mereka terkait kerja paksa di perkebunan sawit yang berada di wilayah Merauke dan Boven Digoel, Senin 24 Februari 2025. Dok: Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari.

Khusus untuk Papua, meskipun secara luasan perkebunan sawit terbesar masih berada di Sumatra, tapi melihat ambisi investasi yang masif bergerak ke Papua menjadi satu alasan penelitian ini dilakukan, untuk menegaskan adanya praktik pelanggaran yang sudah terjadi dan belum diangkat selama ini. 

“Yang tak kalah penting, sawit tidak hanya menimbulkan konflik soal tanah, tetapi dia juga menimbulkan pertanyaan  dari sisi ketenagakerjaan. Bagaimana dengan orang lokal atau masyarakat adat Papua yang jadi pekerja dengan sistem perusahaan yang tidak memperhatikan Keselamatan, Kesehatan, dan Kesejahteraan (K3). Apalagi terkait jaminan kesehatan, jaminan keselamatan, jaminan sosialnya. Maka dari itu penelitian ini hadir untuk memaparkan temuan yang kami dapatkan dari lokasi penelitian,” papar Monic dalam presentasi hasil penelitiannya di Aula STFT Fajar Timur, Senin (24/2/2025).

Kata Monic, hasil dari penelitian yang dilakukannya bersama tim peneliti Djojodigoeno menemukan, adanya ketidaktaatan hukum kepada perusahaan sawit yang aktif beroperasi di wilayah Merauke dan Boven Digoel. Yang Paling kentara adalah izin usaha perkebunan yang mereka dapatkan pada beberapa perusahaan keluar pada tahun 2013, kemudian sudah dilakukan penanaman dan perekrutan pekerja, tapi pelepasan kawasan hutan baru dilakukan setelahnya, dan bahkan kapan HGU (Hak Guna Usaha) oleh perusahaan belum bisa dipastikan kapan diperolehnya. Menjadi satu indikasi perusahaan sawit melanggar prosedur hukum karena berbuat tidak sesuai dengan aturan.

Masuknya perusahaan sawit itu membuat masyarakat adat Papua di Merauke dan Boven Digoel semakin menjauh dari relasi hidupnya dengan tanah. Dan membuat mereka hidup dalam keputusasaan dan pasrah. Keterasingan masyarakat adat atau Orang Asli Papua dari tanahnya membuat atau memaksa mereka mencari sumber penghidupan yang lain. 

Misalnya, orang yang sudah kehilangan tanahnya karena sudah dikuasai oleh perkebunan sawit, maka mereka menggantungkan hidupnya bekerja ke perusahaan. Alasan karena ingin bertahan hidup dalam wilayahnya, mereka terpaksa tinggal di barak atau tempat tinggal yang disediakan perusahaan, dengan syarat mereka harus bekerja di perusahaan dan itulah yang menjadi alasan mereka harus bekerja di perkebunan sawit. 

Dan apakah ini masuk dalam kategori kerja paksa?

Dia menjelaskan, indikator penelitian yang mereka lakukan dengan menggunakan standar pendekatan ILO, dengan 11 indikator antara lain: 

  1. Pemanfaatan kerentanan secara negatif, 2. Pembohongan, 3. Pembatasan gerak, 4.  Pengucilan atau isolasi, 5. Kekerasan fisik dan seksual, 6. intimidasi dan ancaman, 7. Penahanan dokumen identitas, 8. Penahanan upah, 9. Lilitan utang,  10. Kondisi kerja dan hidup yang menyiksa, dan 11. Lembur yang berlebihan. 

“Dari 11 indikator menurut standar ILO ini, jika satu atau dua dari 11 indikator ditemukan di lapangan, maka perusahaan tersebut bisa diadukan karena telah melakukan kerja paksa,” jelas dosen UGM tersebut. 

Nailul Amany, bagian dari tim peneliti Djojodigoeno dan pengajar di Fakultas Hukum UGM, menegaskan, temuan mereka tentang kerja paksa terhadap masyarakat adat Papua itu memang terjadi. Dari 11 indikator ILO yang dipakai dalam analisis kerja paksa, ada 5 indikator yang memenuhi  syarat. 

“kami menemukan terjadi kerja paksa di 3 perusahaan yang kami teliti. Dua di Merauke dan satu perusahaan sawit di Boven Digoel. Kami menemukan adanya pengucilan atau isolasi, misalnya, masyarakat dipaksa bekerja di perkebunan atau perusahaan sawit. Karena tidak ada pilihan dan mereka telah kehilangan tanah karena sudah jadi kebun sawit dan memaksa mereka untuk tinggal, tapi harus bekerja di perusahaan sawit tersebut. Mereka terpaksa bekerja karena mereka berada di situasi terkucil. Karena mereka berada di situasi seperti itu. Mau tidak mau mereka harus bekerja. Ditambah tidak ada transportasi umum sebagai transportasi public. Akses ke fasilitas umum juga sangat jauh,” kata Nailul, “indikator lainnya yang ditemukan ialah; pemanfaatan kerentanan secara negatif, lilitan utang, kondisi kerja dan hidup yang menyiksa, serta lembur yang berlebihan.”

Menurut Nailul, memang pada kenyataanya konstruksi hukum Indonesia belum memasukan kerja paksa atau spesifik adanya Undang-undang yang mengatur tentang kerja paksa. Akan tetapi, Indonesia sudah membuat UU ratifikasi dari konvensi kerja paksa. 

“UU khusus kerja paksa tidak ada. Tapi kalau membeda dari 11 indikator di atas, lembur berlebihan, di UU ketenagakerjaan kita mengatur apa itu lembur yang berlebihan. Juga soal kekerasan fisik dan kekerasan seksual, di UU ketenagakerjaan sudah diatur apa itu kekerasan fisik dan seksual,” jelasnya. 

Nailul menerangkan, bahwa studi atau kajian ini menyoroti dan fokus pada kerja paksa yang terjadi dalam relasi kerja. Antara pemberi kerja atau perusahaan dengan pekerja. Jika terjadi kekerasan fisik antar pekerja, itu tidak mengindikasikan sebagai kerja paksa. Karena kekerasan fisik yang terjadi itu bukan hubungan kerja atau relasi kerja dengan perusahaan atau pemberi kerja, melainkan kejadian antara kolega kerja. 

“Kehilangan tanah bagi masyarakat adat Papua menyebabkan orang-orang dulu tinggal di dusun dan kampung, sekarang tinggal di barak menyebabkan relasi sosial berubah. Ditambah orang bekerja dari pagi sampai sore. Terjadi kelelahan dan membuat aktivitas berkumpul bersama keluarga dan kerabat sudah kurang. Hal ini membuat masyarakat adat menjadi rentan. Menghasilkan dampak sosial budaya akibat Kehilangan tanah,” tambah Monic dalam presentasi.  

Studi kajian ini juga menjelaskan bagaimana kerja paksa pada masyarakat adat Papua yang berbeda dengan masyarakat yang lain. Hubungan kedekatan atau hubungan erat antara tanah dan orang Papua yang kemudian melepaskan tanahnya lalu bekerja di kebun sawit dan memiliki hubungan kerja dengan perusahaan sawit adalah point penting dari penelitian. 

“Kedua penelitian ini penting karena mengangkat isu-isu kritis yang berkaitan dengan hak-hak masyarakat adat, perlindungan pekerjaan, keberlanjutan lingkungan, serta identitas budaya pangan masyarakat adat dalam relasi dengan tanah dan ruang hidup khususnya bagi masyarakat adat Papua,” kata Franky Samperante, Direktur Eksekutif Yayasan Pusaka Bentala Rakyat.

Siaran Pers: Hasil Survei Lapangan Perubahan Sosial Masyarakat Di Sekitar Perkebunan Sawit

Masyarakat empat desa: Desa Parang Batang, Paring Raya, Sembuluh I, dan Sembuluh II, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah yang hidup di sekitar perkebunan sawit mengalami perubahan sosial yang siginifikan setelah investasi perkebunan sawit masuk ke wilayah desa. Perubahan sosial ini terlihat setelah Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL) melakukan survei lapangan terkait “Perubahan Sosial Masyarakat Di Sekitar Perkebunan Sawit” yang dilakukan pada bulan Oktober hingga November 2024.

Pekerjaan masyarakat dalam bertani tradisional dan berdagang pada era karet masih memungkinkan mereka untuk mengakses hutan dan danau. Namun, dengan adanya dominasi perkebunan sawit yang meluas di empat wilayah desa tersebut akses masyarakat ke sumber daya lahan, hutan dan danau semakin terbatas.

Akibatnya, kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat makin terhimpit karena kehilangan alat produksi dan struktur sosial yang mengaturnya. Satu-satunya pilihan yang tersedia adalah bekerja di Perusahaan sebagai buruh, karena lahan-lahan kebun masyarakat sudah beralih menjadi wilayah perkebunan sawit. Masyarakat bukan hanya kehilangan kontrol atas sumber utama mata pencaharian tradisional, namun terjebak dalam pola pekerjaan industrial di mana mereka tak punya daya kontrol dan adaptasi atas kerja mereka sebagai buruh. Kehidupan sosial ekonomi mereka hampir sepenuhnya dikuasai perusahaan.

Dari data yang diolah oleh Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL) menemukan ada 14 perusahaan perkebunan sawit yang tersebar di empat wilayah desa. Keempat belas perusahaan itu memiliki izin yang mencakup ribuan hectare tanah milik masyarakat desa hilang karena sudah dikavling oleh perusahaan.

Djayu Sukma Ifantara, Project Officer Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL) untuk Kalimantan saat memaparkan hasil temuan YMKL terkait survei lapangan tentang perubahan sosial masyarakat di sekitar perkebunan sawit yang berada di empat desa: Desa Sembuluh I, Sembuluh II, Parang Batang, Paring Raya, Seruyan, Kalimantan Tengah. Dokumentasi/YMKL

Di Desa Paring Raya misalnya, terdapat 2 perusahaan perkebunan sawit yang beroperasi aktif, di antaranya: PT Wana Sawit Subur Lestari II dengan luasan 1.242,48 ha dan PT Musirawas Citra Harpindo dengan luasan 1.622,63 ha dengan presentasi luasan lahan yang telah dibebani izin perkebunan sawit di Paring Raya sebesar 41 persen dan lahan yang tidak dibebani izin sekitar 59 persen.

Sementara itu, di Desa Parang Batang ada ada 3 perusahaan perkebunan sawit: PT Wana Sawit Subur Lestari II dengan luasan 3.521 ha. PT Sawitmas Nugraha Perdana dengan luasan 3.703,68 ha dan PT Musirawas Citra Harpindo dengan luasan 553.64 ha. Presentasi lahan yang dibebani izin perkebunan sawit sekitar 49 persen dan tidak dibebanai izin sekitar 51 persen.

Hal yang sama juga terjadi di Desa Sembuluh I. Ada 3 perusahaan perkebunan sawit yang aktif, yaitu, PT Keri Sawit Indonesia dengan luasan 9.801,12 ha, PT Rimba Harapan Sakti dengan luasan 1.386 ha, dan PT Salonok Ladang Mas dengan luasan 1.705,60 ha. Dengan presentasi lahan dibebani izin sekitar 71 persen dan tidak dibebani izin sekitar 29 persen.

Sedangkan untuk Desa Sembuluh II, ada 6 perusahaan perkebunan sawit; PT Keri Sawit Indonesia dengan luasan 4.099,92 ha, PT Mega Ika Kansa dengan luasan 724.110 ha, PT Salonok Ladang Mas dengan luasan 7.259,90 ha, PT Gawi Bahandep Sawit Mekar dengan luasan 3.807,069 ha, PT Sarana Titian Permata dengan luasan 72.586 ha, dan PT Sawitmas Nugraha Perdana dengan luasan 824.764 ha. Presentasi lahan yang dibebani izin perkebunan sawit sekitar 45 persen dan lahan yang belum terbebani izin perkebunan sawit sekitar 55 persen.

Perusahaan membuka kesempatan untuk skema plasma namun dengan syarat Masyarakat harus menyediakan lahan sementara Masyarakat sudah tak memiliki lahan. Manfaat ekonomi, kalaupun dikatakan manfaat, adalah upah sebagai buruh perkebunan sawit. Namun sebagian besar upah pekerja harian di desa jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hal ini perlu menjadi perhatian Perusahaan dan pemerintah daerah terkait perbaikan besaran upah.

“Perubahan besar akibat alih fungsi lahan menjadi perkebunan sawit di Kalimantan Tengah telah menyebabkan masyarakat kehilangan kontrol atas tanah mereka, beralih menjadi penerima plasma atau buruh dengan keterampilan mengelola lahan yang semakin hilang, sementara kemitraan koperasi dengan perusahaan sawit tidak memberikan kesempatan bagi mereka untuk mengelola lahan atau mengembangkan keterampilan yang diperlukan untuk ketahanan ekonomi jangka panjang, mengakibatkan ketergantungan pada perusahaan dan memperburuk ketimpangan sosial serta keberlanjutan ekonomi masyarakat,” kata Djayu Sukma Ifantara, Project Officer YMKL untuk Kalimantan.

Djayu menambahkan, adanya larangan pembakaran lahan dan peraturan yang membatasi pengelolaan tanah tradisional semakin memperlemah hubungan masyarakat dengan tanah mereka, memutuskan otonomi mereka dalam bertani, dan meningkatkan ketergantungan pada sistem ekonomi uang, sementara peraturan yang ada tidak memberikan kejelasan hak bagi masyarakat dalam mengelola lahan mereka.

Temuan YMKL juga menunjukkan, adanya perubahan tersebut ditandai dengan berkurangnya diversifikasi pekerjaan. Sebelum adanya perkebunan, masyarakat biasanya memiliki berbagai keterampilan, seperti bertani sekaligus berdagang, berburu, dan berkebun untuk kebutuhan hidup mereka.

Namun, dengan masuknya sistem perkebunan monokultur seperti sawit, banyak masyarakat menjadi pekerja upahan tanpa perlu menguasai keterampilan untuk mengelola lahan secara mandiri. Proses ini dikenal sebagai penurunan kemampuan atau deskilling, yaitu hilangnya keterampilan akibat terbatasnya akses untuk mengelola lahan. Dengan hanya bergantung pada pekerjaan di perkebunan perusahaan, kemampuan masyarakat untuk bertani secara mandiri menurun, sehingga mereka semakin bergantung pada perusahaan dan kehilangan kemandirian secara ekonomi dan hidup dalam was-was memikirkan sumber penghidupan.

“Perkebunan sawit menawarkan peluang ekonomi yang besar sebagai janji, tetapi dalam praktiknya sering mengabaikan hak dan akses terhadap tanah dan prinsip keberlanjutan bagi manusia yang tinggal di sekitarnya. Banyak masyarakat kehilangan hak atas tanah yang mereka tempati dan tidak memiliki kontrol atas apa pun yang tumbuh di atasnya. Analisa ini menjelaskan hadirnya perkebunan sawit mengubah struktur ekonomi masyarakat di Desa Paring Raya, Parang Batang, Sembuluh I dan SembuluhII,” tambah Astridningtyas, staf YMKL untuk Kalimantan.

Tim Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL) saat memaparkan hasil temuan dari survei lapangan yang dilakukan di empat desa di Seruyan, Kalimantan Tengah. Dokumentasi/YMKL

Selain perubahan dalam pekerjaan, kehadiran sawit juga menyebabkan pola kepemilikan lahan yang berbeda di setiap desa, akan tetapi, di setiap situasi mempunyai tingkat kerentanan terhadap kondisi tidak bertanah yang sama. Desa Paring Raya, meskipun mempunyai sisa lahan kepemilikan untuk berkebun, tapi tidak adanya surat tanah membuat rasa tidak aman untuk berkebun. Alhasil, masyarakat hidup dalam kebimbangan.

Kasus lainnya juga terjadi di Desa Parang Batang, minimnya lahan produktif untuk dikelola menyebabkan masyarakat bergantung pada pekerjaan menjadi Buruh Sawit. Pekerjaan harian di perkebunan sawit tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga karena upah yang hanya  Sebesar Rp. 80.000/hari.

Sedangkan di Desa Sembuluh I dan II, kepemilikan plasma dimiliki oleh koperasi sebagai badan hukum dengan kepemilikan bukan individu, tapi intitusi yang mewakili seluruh anggotanya atas nama satu entitas Badan Hukum. Kondisi kepemilikan para penerima plasma juga mengalami kerentanan karena tidak memiliki kontrol penuh atas lahan tersebut sehingga rawan kehilangan akses ketika terjadi perubahan kebijakan atau faktor eksternal lainnya.

Dari survei lapangan yang dilakukan YMML, ditemukan Kehadiran sawit menyebabkan masyarakat beralih dari pengelolaan lahan menjadi penerima plasma atau buruh, mengakibatkan hilangnya keterampilan tradisional dalam berladang dan menyebabkan deskilling serta kekurangan pengetahuan pengelolaan lahan pada generasi sekarang. Mekanisme atau manajemen plasma pun seluruhnya bergantung pada perusahaan, sehingga pertukaran ilmu tidak terjadi utamanya dalam keterampilan mengelola lahan. Maka dari itu, ada tiga temuan besar yang dipertegas, di antaranya:

  1. Bekerja sebagai buruh

Mayoritas masyarakat desa kini bekerja sebagai buruh harian di perkebunan sawit dengan penghasilan terbatas, yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tidak adanya transparansi pada manajemen perusahaan untuk berkonsultasi mengenai kondisi bekerja (Upah, Target Perusahaan).

  1. Terjadi deskilling atau hilangnya keterampilan produktif untuk memenuhi pemenuhan kebutuhan hidup

Kehilangan akses lahan membuat mereka kesulitan mencari pekerjaan sampingan, sementara sistem kerja yang tidak transparan dan ketergantungan terhadap utang yang  memperburuk kondisi ekonomi mereka.

  1. Diversifikasi pekerjaan menjadi berkurang dan alternatif pekerjaan menjadi sulit

Perubahan kepemilikan tanah berdampak pada menurunnya diversifikasi pekerjaan. Dulunya pekerjaan mudah dicari hanya dengan mengakses hutan dan kebun, dan biaya hidup lebih rendah karena banyak kebutuhan dipenuhi secara mandiri hanya dengan memanfaatkan hasil sumber daya alam di hutan. Hilangnya akses untuk mengelola tanah akibat perluasan perkebunan sawit perusahaan menutup kemungkinan untuk mencari sampingan pekerjaan.

Narahubung:

Djayu Sukma Ifantara (081327841074)

Project Officer YMKL untuk Kalimantan

Astridningtyas (082301836788)

Staf YMKL untuk Kalimantan

Cerita Perempuan Salu Bekerja di Perkebunan Sawit

Pagi yang buta di tanggal 8 Desember 2010, Nurtin Waminu bangun sebagaimana biasanya. Dia dan suaminya tinggal di wilayah perkebunan sawit milik PT WMP (Wira Mas Permai) anak perusahaan Kencana Agri yang berada di wilayah Desa Longkoga Barat. Mereka tinggal dan membuat rumah di wilayah perkebunan. Tempat tinggal itu mereka sebut kamp G10 beserta para pekerja lainnya yang telah lebih dulu menetap.

Akses yang jauh dari desa menuju perkebunan yang mengharuskan Nurtin tinggal di wilayah perkebunan. Dia juga turut membawa semua anak-anaknya untuk tinggal bersama di kamp G10 tersebut.

Hari itu, Nurtin melakukan aktivitas seperti biasanya. Mencuci piring, menyapu, menyiapkan sarapan bagi empat orang anaknya yang akan berangkat ke sekolah. Setelah anaknya pergi, perannya sebagai ibu rumah tangga hilang dan berganti menjadi buruh pekerja di perkebunan sawit.

Pukul 07.00 telah tiba. Waktunya Nurtin dan Muhdin suaminya bekerja. Meninggalkan tempat tinggalnya. Pemandangan dapur dan rumah berganti menjadi lahan sawit yang terbentang luas. Sawit yang dibibit dan dipupuk oleh Nurtin tumbuh dengan subur. Ia merawatnya sebagaimana mengasuh anak-anaknya sendiri. Sebab, dari situlah ia mendapatkan penghidupan.

Berbekal sebilah parang, dengan kedua tangan yang terbungkus, dan kedua kaki yang terlindungi dengan sepatu, Nurtin melangkah dengan pasti hari itu. Ia melaksanakan pekerjaannya seperti sedia kala.

“Tidak ada pekerjaan yang mudah, semua pasti berat, sekalipun bagi perempuan,” katanya.

Setelah beberapa jam bekerja, Nurtin merasakan ada yang aneh pada dirinya. Kepalanya mulai pusing, perutnya mulai sakit. Padahal waktu baru saja menunjukkan pukul 11.00 siang, dan tak seperti biasanya ia harus istirahat lebih dini dibandingkan hari-hari biasanya ia bekerja.

“Tolong, tolong, saya sudah tidak tahan,” teriak Nurtin mempraktikkannya.

Nafasnya tersengal-sengal. Menahan sakit. Matanya mulai lindap. Langit biru menjadi gelap.

“Di pikiran saya antara hidup dan mati. Saya sudah pasrah.”

Nurtin mencari tempat bersandar, tapi pilihannya terlambat. Dia jatuh terduduk di bawah pohon sawit yang masih remaja. Ia meringis kesakitan. Nurtin baru ingat, bahwa hari itu kandungannya sudah berumur sembilan bulan lebih. Sudah waktunya untuk melahirkan.

“Perut saya tiba-tiba sakit tak tertahankan. Saya mulai lemas, tapi saya tidak berhenti minta tolong,” katanya.

Bruaaarrrr.

“Air ketuban saya keluar. ”

Tidak lama Nurtin bangun dan segera mencari mandornya untuk minta izin.

Nurtin berjalan menuju kamp tempat tinggalnya. Di sana ia tak mendapati siapa pun. Kalimat  minta tolong kembali didengungkan. Tak lama kemudian, seorang pekerja menghampiri Nurtin yang telah setengah sadar.

Dengan kondisi yang semakin buruk, Nurtin langsung dilarikan ke kampung. Sejauh delapan kilometer jarak yang harus ditempuh untuk bisa sampai ke perkampungan, dengan kondisi jalan yang bergelombang yang mereka lalui.

“Perut saya tambah sakit saat perjalanan ke kampung. Saya minta diantarkan ke dukun beranak saja waktu itu,” ungkapnya.

Terik matahari sudah di atas kepala. Jam sudah menunjukkan pukul 12.00. Suara tangisan anak perempuan melengking hebat. Peluh membasuh tubuh Nurtin. Linangan mengucur deras. Anak kelimanya yang telah lama dinanti, akhirnya bisa melihat dunia. Anak perempuan itu diberi nama Sawitri. Sawitri Al-Haddad lebih tepatnya.

“Saya beri nama Sawitri karena dia yang menemani saya bekerja sampai dia hadir ke dunia ini,” ucap Nurtin sambil memagut Sawitri yang ada di samping.

Tiga hari telah berlalu. Nurtin bergegas balik ke kamp G10 tempat tinggalnya. Ia membawa Sawitri yang masih merah tinggal di atas kamp. Ia takut, jika keempat harinya tidak masuk kerja, maka ia akan menghadapi masalah besar, yakni pemecatan.

“Semua anak-anak saya hidupi dari makan gaji di perusahaan. Makanya harus cepat balik biar tidak kehilangan pekerjaan.”

Dia kembali bekerja sebagaimana biasa. Menebang pohon, memangkas gulma, dan memupuk tanaman.

“Waktu bekerja di perusahaan apa pun yang dikerjakan laki-laki, itu yang dikerja perempuan juga. Kalau laki-laki menghabiskan 100 pohon, kami juga bisa menghabiskan 100 pohon yang ditebang. Hujan dan panas kami bekerja, tak ada kata berhenti,” katanya dengan begitu tegas.

Nurtin perempuan asal Salu tersebut memang tangguh. Sawitri baru beranjak dua tahun, ia sudah mengandung lagi. Kali ini ia bisa memprediksi dengan tepat, kapan waktu anak keenamnya akan lahir, dan tidak akan bernasib sama dengan Sawitri.

Firdaus Al-Haddad, anak laki-lakinya paling bungsu itu lahir. Firdaus yang dilahirkan Nurtin tahun 2012 tumbuh menjadi anak yang aktif.

Kisahnya sama juga dengan Sawitri, menjadi teman setia ibunya saat mengais upah di perusahaan sawit tanpa mendapatkan hak cuti hamil.

Foto Perkebunan Sawit Milik PT WMP di Kecamatan Bualemo, Banggai, Sulteng. Dokumentasi:Zulkifli M.

***

Medio 2011. Nasib yang sama juga dialami oleh Irma (bukan nama sebenarnya). Di usia pernikahan mereka yang belum senja, ia sudah dikarunia seorang anak. Tapi sialnya, proses persalinan yang telah ia rencanakan secara normal harus diurungkan. Ia harus rela perutnya dilewati pisau operasi.

“Anak saya itu dilahirkan secara operasi di rumah sakit,” katanya.

“Sebenarnya saya sudah berpikir akan mati, karena sudah empat hari menahan sakit luar biasa hebatnya. Bayi di dalam perut tidak bisa keluar. Padahal sudah waktunya melahirkan.

Irma menduga, proses operasi yang harus ia jalani adalah buntut dari rutinitasnya yang bekerja sangat keras di perkebunan sawit.

“Dari awal positif hamil sampai dengan menjelang lahiran tetap bekerja,” katanya.

Kebutuhan ekonomi yang mendesak yang membawa Irma dengan gigih bekerja. Mengandalkan tubuhnya yang masih kuat agar tetap berdaya.

“Posisi saya waktu itu hanya pekerja lepas, saya juga tidak mendengar soal cuti hamil yang disampaikan perusahaan. Hanya pernah sempat mengajukan ke mandor waktu itu, tapi jawabannya kalau cuti hamil hanya bisa dua minggu bukan tiga bulan lamanya,” kata  Irma mempraktikkan perkataan mandornya waktu itu.

“Kalau saya berhenti bagaimana nasib anak-anak saya, dan anak yang saya kandung saat itu,” ucapnya dengan lirih.

Dan saat waktu melahirkan tiba, Irma memberanikan diri melapor ke pihak perusahaan melalui mandor yang bertanggung jawab terhadap para pekerja. Ia mendapatkan izin, tapi bayang-bayang harus bekerja setelah proses persalinan selesai terus menghantui pikirannya.

“Tiga hari tidak masuk akan dipecat,” begitu kata mandor perusahaan.

“Saat satu minggu telah lahiran, saya memaksakan diri langsung masuk kerja. Meski luka bekas sayatan di perut belum kering sepenuhnya. Saya tahan demi membiayai sang buah hati,” ucap Irma sekali lagi

Di masa-masa itulah, Irma mulai frustrasi dan merasa kesal dengan kehidupan yang ia jalani. Dengan beban kerja ganda yang dia pikul yang membuatnya sedikit putus asa dan patah arah.

“Saya tak tahu mau bagaimana lagi. Sakit saya rasa terus-menerus, tapi kalau tidak bekerja anak saya mau di kasih makan dan minum pakai apa. Saya sempat berpikir mau memberikannya kepada orang lain, tapi suami dan keluarga tidak mengizinkan.”

Selain Irma, nasib yang sama juga dialami oleh Amnawati. Ia juga pernah merasakan bekerja dalam kondisi hamil saat menjadi buruh di perkebunan sawit. Anak-anak Amnawati terlahir dari kerja kerasnya saat menjadi buruh, tapi nasibnya berbeda dengan Nurtin dan Irma. Ia melahirkan secara normal dan tak mengalami kendala.

Minimnya Jaminan Kerja

Apa yang dirasakan oleh Nurtin, Amnawati, dan para buruh perempuan lainnya merupakan gambaran secara umum bagaimana mereka kerap kali diabaikan oleh perusahaan dan kurangnya ruang aman bagi perempuan saat bekerja.

Dalam identifikasi masalah yang dilakukan oleh Trade Union Rights Centre tahun 2019, menunjukan, buruh perempuan sering kali mendapatkan perlakuan yang tidak adil, mengalami pelecehan dan kekerasan seksual, mendapat diskriminasi gender, dan  hak-hak normatif perempuan seperti cuit haid dan hamil tidak terpenuhi, dan hal ini sudah menjadi kewajaran dialami oleh buruh perempuan di perkebunan sawit

Di Indonesia sendiri, ada dua regulasi yang bisa dipakai dalam melindungi para pekerja, yakni Undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia dan Undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang tenaga kerja. Akan tetapi, kurangnya pengawasan yang ketat terhadap perusahaan sawit akan memberikan peluang perusahaan tetap melanggar aturan-aturan tersebut.

 

Penulis: Zulkifli M.

Tulisan dibuat oleh penulis pada tahun 2022 setelah melakukan investigasi di Kabupaten Banggai tentang buruh perempuan di perkebunan sawit, dan dimuat kembali di website ini sebagai bahan bacaan dan pembelajaran terkait kisah dan cerita pekerja perempuan di perkebunan sawit.