Posts

Siaran Pers: Hasil Survei Lapangan Perubahan Sosial Masyarakat Di Sekitar Perkebunan Sawit

Masyarakat empat desa: Desa Parang Batang, Paring Raya, Sembuluh I, dan Sembuluh II, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah yang hidup di sekitar perkebunan sawit mengalami perubahan sosial yang siginifikan setelah investasi perkebunan sawit masuk ke wilayah desa. Perubahan sosial ini terlihat setelah Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL) melakukan survei lapangan terkait “Perubahan Sosial Masyarakat Di Sekitar Perkebunan Sawit” yang dilakukan pada bulan Oktober hingga November 2024.

Pekerjaan masyarakat dalam bertani tradisional dan berdagang pada era karet masih memungkinkan mereka untuk mengakses hutan dan danau. Namun, dengan adanya dominasi perkebunan sawit yang meluas di empat wilayah desa tersebut akses masyarakat ke sumber daya lahan, hutan dan danau semakin terbatas.

Akibatnya, kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat makin terhimpit karena kehilangan alat produksi dan struktur sosial yang mengaturnya. Satu-satunya pilihan yang tersedia adalah bekerja di Perusahaan sebagai buruh, karena lahan-lahan kebun masyarakat sudah beralih menjadi wilayah perkebunan sawit. Masyarakat bukan hanya kehilangan kontrol atas sumber utama mata pencaharian tradisional, namun terjebak dalam pola pekerjaan industrial di mana mereka tak punya daya kontrol dan adaptasi atas kerja mereka sebagai buruh. Kehidupan sosial ekonomi mereka hampir sepenuhnya dikuasai perusahaan.

Dari data yang diolah oleh Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL) menemukan ada 14 perusahaan perkebunan sawit yang tersebar di empat wilayah desa. Keempat belas perusahaan itu memiliki izin yang mencakup ribuan hectare tanah milik masyarakat desa hilang karena sudah dikavling oleh perusahaan.

Djayu Sukma Ifantara, Project Officer Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL) untuk Kalimantan saat memaparkan hasil temuan YMKL terkait survei lapangan tentang perubahan sosial masyarakat di sekitar perkebunan sawit yang berada di empat desa: Desa Sembuluh I, Sembuluh II, Parang Batang, Paring Raya, Seruyan, Kalimantan Tengah. Dokumentasi/YMKL

Di Desa Paring Raya misalnya, terdapat 2 perusahaan perkebunan sawit yang beroperasi aktif, di antaranya: PT Wana Sawit Subur Lestari II dengan luasan 1.242,48 ha dan PT Musirawas Citra Harpindo dengan luasan 1.622,63 ha dengan presentasi luasan lahan yang telah dibebani izin perkebunan sawit di Paring Raya sebesar 41 persen dan lahan yang tidak dibebani izin sekitar 59 persen.

Sementara itu, di Desa Parang Batang ada ada 3 perusahaan perkebunan sawit: PT Wana Sawit Subur Lestari II dengan luasan 3.521 ha. PT Sawitmas Nugraha Perdana dengan luasan 3.703,68 ha dan PT Musirawas Citra Harpindo dengan luasan 553.64 ha. Presentasi lahan yang dibebani izin perkebunan sawit sekitar 49 persen dan tidak dibebanai izin sekitar 51 persen.

Hal yang sama juga terjadi di Desa Sembuluh I. Ada 3 perusahaan perkebunan sawit yang aktif, yaitu, PT Keri Sawit Indonesia dengan luasan 9.801,12 ha, PT Rimba Harapan Sakti dengan luasan 1.386 ha, dan PT Salonok Ladang Mas dengan luasan 1.705,60 ha. Dengan presentasi lahan dibebani izin sekitar 71 persen dan tidak dibebani izin sekitar 29 persen.

Sedangkan untuk Desa Sembuluh II, ada 6 perusahaan perkebunan sawit; PT Keri Sawit Indonesia dengan luasan 4.099,92 ha, PT Mega Ika Kansa dengan luasan 724.110 ha, PT Salonok Ladang Mas dengan luasan 7.259,90 ha, PT Gawi Bahandep Sawit Mekar dengan luasan 3.807,069 ha, PT Sarana Titian Permata dengan luasan 72.586 ha, dan PT Sawitmas Nugraha Perdana dengan luasan 824.764 ha. Presentasi lahan yang dibebani izin perkebunan sawit sekitar 45 persen dan lahan yang belum terbebani izin perkebunan sawit sekitar 55 persen.

Perusahaan membuka kesempatan untuk skema plasma namun dengan syarat Masyarakat harus menyediakan lahan sementara Masyarakat sudah tak memiliki lahan. Manfaat ekonomi, kalaupun dikatakan manfaat, adalah upah sebagai buruh perkebunan sawit. Namun sebagian besar upah pekerja harian di desa jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hal ini perlu menjadi perhatian Perusahaan dan pemerintah daerah terkait perbaikan besaran upah.

“Perubahan besar akibat alih fungsi lahan menjadi perkebunan sawit di Kalimantan Tengah telah menyebabkan masyarakat kehilangan kontrol atas tanah mereka, beralih menjadi penerima plasma atau buruh dengan keterampilan mengelola lahan yang semakin hilang, sementara kemitraan koperasi dengan perusahaan sawit tidak memberikan kesempatan bagi mereka untuk mengelola lahan atau mengembangkan keterampilan yang diperlukan untuk ketahanan ekonomi jangka panjang, mengakibatkan ketergantungan pada perusahaan dan memperburuk ketimpangan sosial serta keberlanjutan ekonomi masyarakat,” kata Djayu Sukma Ifantara, Project Officer YMKL untuk Kalimantan.

Djayu menambahkan, adanya larangan pembakaran lahan dan peraturan yang membatasi pengelolaan tanah tradisional semakin memperlemah hubungan masyarakat dengan tanah mereka, memutuskan otonomi mereka dalam bertani, dan meningkatkan ketergantungan pada sistem ekonomi uang, sementara peraturan yang ada tidak memberikan kejelasan hak bagi masyarakat dalam mengelola lahan mereka.

Temuan YMKL juga menunjukkan, adanya perubahan tersebut ditandai dengan berkurangnya diversifikasi pekerjaan. Sebelum adanya perkebunan, masyarakat biasanya memiliki berbagai keterampilan, seperti bertani sekaligus berdagang, berburu, dan berkebun untuk kebutuhan hidup mereka.

Namun, dengan masuknya sistem perkebunan monokultur seperti sawit, banyak masyarakat menjadi pekerja upahan tanpa perlu menguasai keterampilan untuk mengelola lahan secara mandiri. Proses ini dikenal sebagai penurunan kemampuan atau deskilling, yaitu hilangnya keterampilan akibat terbatasnya akses untuk mengelola lahan. Dengan hanya bergantung pada pekerjaan di perkebunan perusahaan, kemampuan masyarakat untuk bertani secara mandiri menurun, sehingga mereka semakin bergantung pada perusahaan dan kehilangan kemandirian secara ekonomi dan hidup dalam was-was memikirkan sumber penghidupan.

“Perkebunan sawit menawarkan peluang ekonomi yang besar sebagai janji, tetapi dalam praktiknya sering mengabaikan hak dan akses terhadap tanah dan prinsip keberlanjutan bagi manusia yang tinggal di sekitarnya. Banyak masyarakat kehilangan hak atas tanah yang mereka tempati dan tidak memiliki kontrol atas apa pun yang tumbuh di atasnya. Analisa ini menjelaskan hadirnya perkebunan sawit mengubah struktur ekonomi masyarakat di Desa Paring Raya, Parang Batang, Sembuluh I dan SembuluhII,” tambah Astridningtyas, staf YMKL untuk Kalimantan.

Tim Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL) saat memaparkan hasil temuan dari survei lapangan yang dilakukan di empat desa di Seruyan, Kalimantan Tengah. Dokumentasi/YMKL

Selain perubahan dalam pekerjaan, kehadiran sawit juga menyebabkan pola kepemilikan lahan yang berbeda di setiap desa, akan tetapi, di setiap situasi mempunyai tingkat kerentanan terhadap kondisi tidak bertanah yang sama. Desa Paring Raya, meskipun mempunyai sisa lahan kepemilikan untuk berkebun, tapi tidak adanya surat tanah membuat rasa tidak aman untuk berkebun. Alhasil, masyarakat hidup dalam kebimbangan.

Kasus lainnya juga terjadi di Desa Parang Batang, minimnya lahan produktif untuk dikelola menyebabkan masyarakat bergantung pada pekerjaan menjadi Buruh Sawit. Pekerjaan harian di perkebunan sawit tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga karena upah yang hanya  Sebesar Rp. 80.000/hari.

Sedangkan di Desa Sembuluh I dan II, kepemilikan plasma dimiliki oleh koperasi sebagai badan hukum dengan kepemilikan bukan individu, tapi intitusi yang mewakili seluruh anggotanya atas nama satu entitas Badan Hukum. Kondisi kepemilikan para penerima plasma juga mengalami kerentanan karena tidak memiliki kontrol penuh atas lahan tersebut sehingga rawan kehilangan akses ketika terjadi perubahan kebijakan atau faktor eksternal lainnya.

Dari survei lapangan yang dilakukan YMML, ditemukan Kehadiran sawit menyebabkan masyarakat beralih dari pengelolaan lahan menjadi penerima plasma atau buruh, mengakibatkan hilangnya keterampilan tradisional dalam berladang dan menyebabkan deskilling serta kekurangan pengetahuan pengelolaan lahan pada generasi sekarang. Mekanisme atau manajemen plasma pun seluruhnya bergantung pada perusahaan, sehingga pertukaran ilmu tidak terjadi utamanya dalam keterampilan mengelola lahan. Maka dari itu, ada tiga temuan besar yang dipertegas, di antaranya:

  1. Bekerja sebagai buruh

Mayoritas masyarakat desa kini bekerja sebagai buruh harian di perkebunan sawit dengan penghasilan terbatas, yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tidak adanya transparansi pada manajemen perusahaan untuk berkonsultasi mengenai kondisi bekerja (Upah, Target Perusahaan).

  1. Terjadi deskilling atau hilangnya keterampilan produktif untuk memenuhi pemenuhan kebutuhan hidup

Kehilangan akses lahan membuat mereka kesulitan mencari pekerjaan sampingan, sementara sistem kerja yang tidak transparan dan ketergantungan terhadap utang yang  memperburuk kondisi ekonomi mereka.

  1. Diversifikasi pekerjaan menjadi berkurang dan alternatif pekerjaan menjadi sulit

Perubahan kepemilikan tanah berdampak pada menurunnya diversifikasi pekerjaan. Dulunya pekerjaan mudah dicari hanya dengan mengakses hutan dan kebun, dan biaya hidup lebih rendah karena banyak kebutuhan dipenuhi secara mandiri hanya dengan memanfaatkan hasil sumber daya alam di hutan. Hilangnya akses untuk mengelola tanah akibat perluasan perkebunan sawit perusahaan menutup kemungkinan untuk mencari sampingan pekerjaan.

Narahubung:

Djayu Sukma Ifantara (081327841074)

Project Officer YMKL untuk Kalimantan

Astridningtyas (082301836788)

Staf YMKL untuk Kalimantan

Cerita Perempuan Salu Bekerja di Perkebunan Sawit

Pagi yang buta di tanggal 8 Desember 2010, Nurtin Waminu bangun sebagaimana biasanya. Dia dan suaminya tinggal di wilayah perkebunan sawit milik PT WMP (Wira Mas Permai) anak perusahaan Kencana Agri yang berada di wilayah Desa Longkoga Barat. Mereka tinggal dan membuat rumah di wilayah perkebunan. Tempat tinggal itu mereka sebut kamp G10 beserta para pekerja lainnya yang telah lebih dulu menetap.

Akses yang jauh dari desa menuju perkebunan yang mengharuskan Nurtin tinggal di wilayah perkebunan. Dia juga turut membawa semua anak-anaknya untuk tinggal bersama di kamp G10 tersebut.

Hari itu, Nurtin melakukan aktivitas seperti biasanya. Mencuci piring, menyapu, menyiapkan sarapan bagi empat orang anaknya yang akan berangkat ke sekolah. Setelah anaknya pergi, perannya sebagai ibu rumah tangga hilang dan berganti menjadi buruh pekerja di perkebunan sawit.

Pukul 07.00 telah tiba. Waktunya Nurtin dan Muhdin suaminya bekerja. Meninggalkan tempat tinggalnya. Pemandangan dapur dan rumah berganti menjadi lahan sawit yang terbentang luas. Sawit yang dibibit dan dipupuk oleh Nurtin tumbuh dengan subur. Ia merawatnya sebagaimana mengasuh anak-anaknya sendiri. Sebab, dari situlah ia mendapatkan penghidupan.

Berbekal sebilah parang, dengan kedua tangan yang terbungkus, dan kedua kaki yang terlindungi dengan sepatu, Nurtin melangkah dengan pasti hari itu. Ia melaksanakan pekerjaannya seperti sedia kala.

“Tidak ada pekerjaan yang mudah, semua pasti berat, sekalipun bagi perempuan,” katanya.

Setelah beberapa jam bekerja, Nurtin merasakan ada yang aneh pada dirinya. Kepalanya mulai pusing, perutnya mulai sakit. Padahal waktu baru saja menunjukkan pukul 11.00 siang, dan tak seperti biasanya ia harus istirahat lebih dini dibandingkan hari-hari biasanya ia bekerja.

“Tolong, tolong, saya sudah tidak tahan,” teriak Nurtin mempraktikkannya.

Nafasnya tersengal-sengal. Menahan sakit. Matanya mulai lindap. Langit biru menjadi gelap.

“Di pikiran saya antara hidup dan mati. Saya sudah pasrah.”

Nurtin mencari tempat bersandar, tapi pilihannya terlambat. Dia jatuh terduduk di bawah pohon sawit yang masih remaja. Ia meringis kesakitan. Nurtin baru ingat, bahwa hari itu kandungannya sudah berumur sembilan bulan lebih. Sudah waktunya untuk melahirkan.

“Perut saya tiba-tiba sakit tak tertahankan. Saya mulai lemas, tapi saya tidak berhenti minta tolong,” katanya.

Bruaaarrrr.

“Air ketuban saya keluar. ”

Tidak lama Nurtin bangun dan segera mencari mandornya untuk minta izin.

Nurtin berjalan menuju kamp tempat tinggalnya. Di sana ia tak mendapati siapa pun. Kalimat  minta tolong kembali didengungkan. Tak lama kemudian, seorang pekerja menghampiri Nurtin yang telah setengah sadar.

Dengan kondisi yang semakin buruk, Nurtin langsung dilarikan ke kampung. Sejauh delapan kilometer jarak yang harus ditempuh untuk bisa sampai ke perkampungan, dengan kondisi jalan yang bergelombang yang mereka lalui.

“Perut saya tambah sakit saat perjalanan ke kampung. Saya minta diantarkan ke dukun beranak saja waktu itu,” ungkapnya.

Terik matahari sudah di atas kepala. Jam sudah menunjukkan pukul 12.00. Suara tangisan anak perempuan melengking hebat. Peluh membasuh tubuh Nurtin. Linangan mengucur deras. Anak kelimanya yang telah lama dinanti, akhirnya bisa melihat dunia. Anak perempuan itu diberi nama Sawitri. Sawitri Al-Haddad lebih tepatnya.

“Saya beri nama Sawitri karena dia yang menemani saya bekerja sampai dia hadir ke dunia ini,” ucap Nurtin sambil memagut Sawitri yang ada di samping.

Tiga hari telah berlalu. Nurtin bergegas balik ke kamp G10 tempat tinggalnya. Ia membawa Sawitri yang masih merah tinggal di atas kamp. Ia takut, jika keempat harinya tidak masuk kerja, maka ia akan menghadapi masalah besar, yakni pemecatan.

“Semua anak-anak saya hidupi dari makan gaji di perusahaan. Makanya harus cepat balik biar tidak kehilangan pekerjaan.”

Dia kembali bekerja sebagaimana biasa. Menebang pohon, memangkas gulma, dan memupuk tanaman.

“Waktu bekerja di perusahaan apa pun yang dikerjakan laki-laki, itu yang dikerja perempuan juga. Kalau laki-laki menghabiskan 100 pohon, kami juga bisa menghabiskan 100 pohon yang ditebang. Hujan dan panas kami bekerja, tak ada kata berhenti,” katanya dengan begitu tegas.

Nurtin perempuan asal Salu tersebut memang tangguh. Sawitri baru beranjak dua tahun, ia sudah mengandung lagi. Kali ini ia bisa memprediksi dengan tepat, kapan waktu anak keenamnya akan lahir, dan tidak akan bernasib sama dengan Sawitri.

Firdaus Al-Haddad, anak laki-lakinya paling bungsu itu lahir. Firdaus yang dilahirkan Nurtin tahun 2012 tumbuh menjadi anak yang aktif.

Kisahnya sama juga dengan Sawitri, menjadi teman setia ibunya saat mengais upah di perusahaan sawit tanpa mendapatkan hak cuti hamil.

Foto Perkebunan Sawit Milik PT WMP di Kecamatan Bualemo, Banggai, Sulteng. Dokumentasi:Zulkifli M.

***

Medio 2011. Nasib yang sama juga dialami oleh Irma (bukan nama sebenarnya). Di usia pernikahan mereka yang belum senja, ia sudah dikarunia seorang anak. Tapi sialnya, proses persalinan yang telah ia rencanakan secara normal harus diurungkan. Ia harus rela perutnya dilewati pisau operasi.

“Anak saya itu dilahirkan secara operasi di rumah sakit,” katanya.

“Sebenarnya saya sudah berpikir akan mati, karena sudah empat hari menahan sakit luar biasa hebatnya. Bayi di dalam perut tidak bisa keluar. Padahal sudah waktunya melahirkan.

Irma menduga, proses operasi yang harus ia jalani adalah buntut dari rutinitasnya yang bekerja sangat keras di perkebunan sawit.

“Dari awal positif hamil sampai dengan menjelang lahiran tetap bekerja,” katanya.

Kebutuhan ekonomi yang mendesak yang membawa Irma dengan gigih bekerja. Mengandalkan tubuhnya yang masih kuat agar tetap berdaya.

“Posisi saya waktu itu hanya pekerja lepas, saya juga tidak mendengar soal cuti hamil yang disampaikan perusahaan. Hanya pernah sempat mengajukan ke mandor waktu itu, tapi jawabannya kalau cuti hamil hanya bisa dua minggu bukan tiga bulan lamanya,” kata  Irma mempraktikkan perkataan mandornya waktu itu.

“Kalau saya berhenti bagaimana nasib anak-anak saya, dan anak yang saya kandung saat itu,” ucapnya dengan lirih.

Dan saat waktu melahirkan tiba, Irma memberanikan diri melapor ke pihak perusahaan melalui mandor yang bertanggung jawab terhadap para pekerja. Ia mendapatkan izin, tapi bayang-bayang harus bekerja setelah proses persalinan selesai terus menghantui pikirannya.

“Tiga hari tidak masuk akan dipecat,” begitu kata mandor perusahaan.

“Saat satu minggu telah lahiran, saya memaksakan diri langsung masuk kerja. Meski luka bekas sayatan di perut belum kering sepenuhnya. Saya tahan demi membiayai sang buah hati,” ucap Irma sekali lagi

Di masa-masa itulah, Irma mulai frustrasi dan merasa kesal dengan kehidupan yang ia jalani. Dengan beban kerja ganda yang dia pikul yang membuatnya sedikit putus asa dan patah arah.

“Saya tak tahu mau bagaimana lagi. Sakit saya rasa terus-menerus, tapi kalau tidak bekerja anak saya mau di kasih makan dan minum pakai apa. Saya sempat berpikir mau memberikannya kepada orang lain, tapi suami dan keluarga tidak mengizinkan.”

Selain Irma, nasib yang sama juga dialami oleh Amnawati. Ia juga pernah merasakan bekerja dalam kondisi hamil saat menjadi buruh di perkebunan sawit. Anak-anak Amnawati terlahir dari kerja kerasnya saat menjadi buruh, tapi nasibnya berbeda dengan Nurtin dan Irma. Ia melahirkan secara normal dan tak mengalami kendala.

Minimnya Jaminan Kerja

Apa yang dirasakan oleh Nurtin, Amnawati, dan para buruh perempuan lainnya merupakan gambaran secara umum bagaimana mereka kerap kali diabaikan oleh perusahaan dan kurangnya ruang aman bagi perempuan saat bekerja.

Dalam identifikasi masalah yang dilakukan oleh Trade Union Rights Centre tahun 2019, menunjukan, buruh perempuan sering kali mendapatkan perlakuan yang tidak adil, mengalami pelecehan dan kekerasan seksual, mendapat diskriminasi gender, dan  hak-hak normatif perempuan seperti cuit haid dan hamil tidak terpenuhi, dan hal ini sudah menjadi kewajaran dialami oleh buruh perempuan di perkebunan sawit

Di Indonesia sendiri, ada dua regulasi yang bisa dipakai dalam melindungi para pekerja, yakni Undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia dan Undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang tenaga kerja. Akan tetapi, kurangnya pengawasan yang ketat terhadap perusahaan sawit akan memberikan peluang perusahaan tetap melanggar aturan-aturan tersebut.

 

Penulis: Zulkifli M.

Tulisan dibuat oleh penulis pada tahun 2022 setelah melakukan investigasi di Kabupaten Banggai tentang buruh perempuan di perkebunan sawit, dan dimuat kembali di website ini sebagai bahan bacaan dan pembelajaran terkait kisah dan cerita pekerja perempuan di perkebunan sawit.