Perlunya Regulasi Yang Berpihak Melindungi Pangan, Tanah, dan Masyarakat Adat di Sorong
Sorong, Papua Barat Daya – Pemerintah Kabupaten Sorong pada tahun 2021 berhasil mencabut 4 izin usaha perkebunan sawit dari 7 konsesi sawit yang ada di Kabupaten Sorong. Alasan dasar pencabutan izin berawal dari hasil laporan evaluasi perijinan kelapa sawit di Provinasi Papua Barat pada tahun 2018, sebelum Papua Barat Daya mekar menjadi satu provinsi sendiri pada tahun 2022.
Alasan lainnya dalam Deklarasi Manokwari bahwa Papua Barat sebagai provinsi konservasi. Juga tertuang dalam inpres nomor 8 tahun 2018 tentang penundaanpelepasan kawasan hutan untuk perkebunan sawit dan Gerakan Nasional Penyelematan Sumber Daya Alam (GNP-SDA).
Empat perusahaan sawit yang dicabut itu adalah PT Inti Kebun Lestari, PT Cipta Papua Plantation, PT Papua Lestari Abadi, dan PT Sorong Agro Sawitindo. Keempat perusahaan ini dari hasil evaluasi melakukan pelanggaran administrasi seperti tidak memiliki IPK, IUP, HGU, dan tidak memiliki kepemilikan pelaporan saham dan kepengurusan.
“Hal yang lain lagi adalah perusahan sawit ini tidak ada laporan perubahan pemilik saham dan tidak memiliki Hak Guna Usaha,” kata Demianus Aru, selaku Kabag Hukum Kabupaten Sorong, pada sesi diskusi perayaan pangan internasional di Sorong, Jumat (17/10/2025).
Kabag Hukum itu juga menuturkan, perusahaan sawit yang melanggar administrasi ini sangat merugikan masyarakat adat. Kerugian telah banyak ditimbulkan akibat perusahaan sawit tersebut. Dia juga mengatakan masyarakat saat ini jangan terpancing mudah terpancing dengan cepat menjual tanah adatnya.
Devianti Sesa Perempuan Adat dari Sorong Selatan, mengatakan. Masyarakat adat di Papua ini jangan menjual tanah. Karena tanah dan perempuan itu sangat erat. Harus berkaca dari perusahaan sawit yang hadir di kampung-kampung. Tanah lepas, pangan dan kehidupan juga ikut terdampak. Makanya perlu mengupayakan perlindungan dari sekarang terhadap tanah-tanah di kampung.
“kami sadar pasti akan datang investasi. Tapi kami perlu perlindungan dengan dibuatnya regulasi untuk menjaga tanah adat dan pangan ditingkat kampung. Agar masyarakat adat bisa merasa aman wilayahnya tidak akan mudah diambil oleh perusahaan,” tuturnya dalam sesi diskusi.
Devianti yang hadir sebagai narasumber saat itu menjelaskan bagaimana perempuan di kampungnya selalu masuk keluar hutan untuk mencari bahan membuat noken. Kesehariannya yang sering ke hutan salah satu upaya menjaga hutan. Kalau tidak menjaga hutan ke depannya pasti akan hilang. Pangan akan hilang. Noken akan hilang. Hutan sudah menjadi bagian dari kehidupan orang papua.
“saya membentuk komunitas mama noken di kampung. Ini salah satu gerakan yang saya bikin untuk menjaga kedekatan kami dengan hutan. Dari hutan kami bisa bikin noken dan mendapatkan pangan. Bayangkan kalau hutan tidak ada. Bagaimana kami perempuan ini ke depan?” paparnya.
Torianus Kalami, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Malamoi, yang juga hadir sebagai pembicara pada sesi diskusi itu memberikan pandangannya tentang kehadiran investasi di tanah Malamoi. Tori menyadari regulasi perlindungan kepada masyarakat adat adalah salah satu jalan keluar dari permasalahan yang dihadapi sekarang oleh masyarakat adat Papua khususnya di Malamoi.
Meskipun Perda Nomor 10 tahun 2017 tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat adat di Kabuapten Sorong sudah disahkan. Tapi perjuangan dalam melindungi masyarakat adat tidak harus berhenti di situ. Perlu lagi membuat regulasi ditingkat kampung seperti membuat peraturan adat di kampung lalu didorong ke tingkat kabupaten sebagai mitigasi perlindungan masyarakat adat di kampung.
“Perda nomor 10 ini bisa jadi Sejarah awal di Papua yang membuat perlindungan untuk masyarakat adat Papua. Tapi jangan habis sampai di situ. Masih ada pekerjaan lainnya adalah dengan membuat regulasi ditingkat kampung,” kata Torianus dihadapan peserta diskusi yang dihadiri masyarakat adat dari Sorong hingga Sorong Selatan.
Dia juga menegaskan bahwa percuma perjuangan masyarakat adat dalam membela tanahnya untuk menyelematkan hak masyarakat adat. Kalau tidak ada regulasi semua perjuangan itu hanya akan menjadi sia-sia semata.
“Kita bisa bicara pangan atau ha katas pangan, tapi selama tidak ada regulasi yang dibuat untuk menyelematkan tanah, pangan, dan budaya orang Malamoi semua tidak akan membuahkan hasil. Regulasi ini penting. Kita bisa mendorong masyarakat adat di kampung membuat peraturannya sendiri yang isinya melindungi pangan lokal dan tanah masyarakat adat. Kemudian regulasi ini kita serahkan ke pemerintah daerah untuk disahkan. Itu satu hal yang pasti yang bisa kita lakukan sekarang. Sekali lagi, kita perlu regulasi itu agar perjungan kita tidak sisa-sia,” tegas Tori.

