Membongkar Praktik Buruk Investasi Di Tanah Papua
Siaran Pers
Sorong, Papua Barat Daya, 18 Oktober 2025.
Memperingati Hari Pangan Internasional di Sorong: Membongkar Praktik Buruk Investasi Di Tanah Papua
Tanah Papua saat ini mengalami situasi yang memprihatinkan. Kehadiran investasi di bumi cendrawasih ini membuat banyak masyarakat adat dan komunitas lokal di Papua dalam keadaan terjepit. Kehidupan mereka berubah sejak kehadiran industri-industri ekstraktif (tambang, kayu, dan sawit) yang menggempur wilayah dan tanah adat mereka di kampung.
Perkebunan kelapa sawit, tambang, dan kayu banyak melakukan pelanggaran di tanah Papua. Khususnya di Papua Barat Daya. Modus perusahaan mengambil tanah masyarakat adat selalu saja dengan cara memaksa dan tidak melibatkan masyarakat dalam mengambil keputusan apakah masyarakat setuju atau tidak dengan investasi yang masuk di wilayah adat atau kampung.
Akibat ekspansi investasi yang ugal-ugalan ini menyebabkan dampak buruk bagi masyarakat, lingkungan, dan alam. Hutan banyak dibabat demi kepentingan industri ekstraktif. Padahal, hutan bagi masyarakat adat sangat penting karena merupakan sumber pangan untuk menjaga kehidupan.
Yordan Malamo dari Masyarakat Adat Papua Suku Moi Sub Suku Salkma yang tinggal dan punya tanah adat di Kabupaten Sorong, mengatakan, merasa tertipu dengan perusahaan sawit yang mengambil secara paksa tanah dan wilayah adatnya dengan cara pihak perusahaan memalsukan tanda tangan.
Di Distrik Sayosa Timur misalnya, sejak kehadiran perusahaan kayu masuk pihak perusahaan mengakali masyarakat dengan iming-iming janji perekonomian masyarakat adat akan membaik. Tapi janji perusahaan hanyalah janji belaka. Tidak ada janji perusahaan yang ditepati. Janji perusahaan hanya manis diucapan, tapi pahit pada kenyataan.
Dampaknya, hutan yang dulu mudah dijangkau dan dijadikan sebagai tempat berburu dan meramu masyarakat adat di kampung sudah sangat sulit untuk dijangkau. Bahkan, ada beberapa cerita dari masyarakat mereka merasa diintimidasi oleh perusahaan dengan cara menyerahkan ktp.
“Janji perusahaan hanya diucapkan secara lisan, bukan tulisan. Ini yang membuat kami masyarakat adat selalu tertipu. Namun, kesadaran kami sekarang mulai menolak perusahaan HPH masuk di kampung,” kata Yordan.
Nelson dari Suku Moi Sigin Distrik Moi Sigin juga menjelaskan hal yang sama. Di kampungnya sejak perusahaan masuk tahun 2007 melakukan pembongkaran tanah masyarakat adat. Perusahaan membuat komitmen dan janji kepada masyarakat dengan alasan tanah akan kembali dan perusahaan hanya mendapat izin kelola atau izin pakai saja. Setelah masa kontrak itu berakhir tanah akan kembali kepada masyarakat lagi. Akan tetapi, semua itu tidak seperti yang terbayangkan.
“Saat saya mengecek isi perjanjian dan kontrak, saya menyesal. Semua kesepakatan itu tidak ada. Tidak ada dalam kontrka tanah akan kembali. Semua akan diserahkan ke negara jika masa kontrak perusahaan selesai,” kata Nelson pada diskusi memperingati hari pangan di Sorong, Sabtu 18 Oktober 2025.
Nelson, masyarakat adat dari Moi Sigin ini menyayangkan juga sejak kehadiran perusahaan sawit di kampungnya hutan dan dusun sagu hilang. Hutan terlarang yang sacral diterobos oleh perusahaan sawit. Bahkan, ada satu kalimat dalam kontrak yang Nelson baca, yang berbunyi, ”semua hasil yang ada di perut bumi yang masuk dalam wilayah pengelolaan perusahaan hak perusahaan”. Padahal perjanjian awalnya semua hasil bumi yang masuk izin masih bisa dikelola oleh pribumi atau masyarakat adat.
“Parahnya lagi. Ada kalimat seperti ini ‘semua hal buruk yang terjadi bukan tanggung jawab pihak kedua. Pihak kedua dalam hal ini perusahaan’. Saya mau ingatkan kepada kalian semua, jangan main-main dengan sawit. Karena kerugiannya tidak sedikit,” ucap Nelson dengan tegas pada sesi diskusi.

Dian Patria Perwakilan Direktorat Koordinasi dan Supervisi (Korsup) Wilayah V Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang hadir pada diskusi hari pangan internasional di Sorong memaparkan kondisi tanah Papua setelah kehadiran industri sawit, kayu, dan tambang.
Dian Patria perwakilan Direktorat Koordinasi dan Supervisi (Korsup) Wilayah V Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang hadir pada diskusi hari pangan internasional di Sorong memaparkan kondisi tanah Papua setelah kehadiran industri sawit, kayu, dan tambang. Hal itu bisa kelihatan dari potret kerusakan lingkungan yang terjadi akibat dampak investasi.
Bukti yang lain juga bisa dilihat dari Indeks Integrasi Nasional KPK pada tahun 2024 Pemda Se-Papua termasuk kategori rentan. Padahal ekspansi industri besar-besaran di sini. Hal ini berindikasi pada korupsi anggaran secara besar-besaran. Lalu juga didukung dengan penegakan hukum yang lemah dan partisipasi masyarakat yang rendah.
Perkebunan sawit di Papua khususnya di Papua Barat Daya ini banyak menimbulkan kerugian besar. Baik kerugian dari lingkungan, korupsi, dan masyarakat adat yang kehilangan tanah dan sumber pangannya.
“Tahun 2021 ada pencabutan izin perusahaan di Papua Barat, karena pelanggaran administrasi, lingkungan, dan keuangan. Ini yang membuktik bahwa kehadiran sawit di Papua Barat yang sekarang setelah mekar menjadi Papua Barat Daya tidak punya praktik yang berdampak baik pada masyarakat adat dan lingkungan,” jelas Dian.
Dian juga mengingatkan, ada banya investasi lainnya di tanah Papua selain sawit, yaitu kayu dan tambang. Perusahaan kayu di Papua juga turut membuat penurunan kualitas lingkungan memburuk dan akan ditambah lagi dengan kehadiran industri pertambangan. Seperti isu tambang nikel yang ada di Raja Ampat yang baru-baru ini heboh. Kita bisa membayangkan pulau kecil yang ada di Raja Ampat akan ditambang nikel, akan dihabiskan semua hutan dan kekayaan alamnya.
“Harus ada partisipasi dari masyarakat untuk mengawasi izin investasi di tanah Papua. Ini penting. Agar praktik buruk investasi ini ketahuan dan bisa kita tahu bagaimana cara perusahaan melakukan aktivitasnya,” tambah Dian.





