Posts

Masyarakat Korban Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit Menuntut Keadilan

Siaran Pers

Pernyataan Sikap Masyarakat Korban Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit

 Jakarta, 19 November 2023

Kami, warga komunitas masyarakat adat dan komunitas lokal dari Riau, Sumatera Barat, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, yang berbicara saat ini di Jakarta, adalah korban beroperasinya perusahaan perkebunan kelapa sawit yang merampas tanah dan hutan kami tanpa persetujuan komunitas kami. Justru pimpinan dan warga komunitas kami dikriminalisasi oleh aparat kepolisian Republik Indonesia atas alasan-alasan yang direkayasa.

Kami telah menjadi korban selama belasan sampai puluhan tahun. Semua upaya melalui mekanisme negara yang tersedia, baik di tingkat daerah maupun di tingkat pusat, telah kami lakukan untuk mendapatkan keadilan, namun sampai saat ini keadilan itu masih berupa mimpi. Kami juga menempuh mekanisme yang disediakan oleh pasar, yaitu melalui mekanisme pengaduan RSPO, karena kami berharap mekanisme ini dapat memberikan harapan akan keadilan, jika pengaduan kami ditangani dengan jelas dan pasti.

“Masyarakat sangat berharap sistem pengaduan RSPO yang ada memiliki kepastian waktu dan kejelasan prosedur penanganan pengaduan keluhan, sehingga proses penyelesaian menjadi jelas” ungkap Irasan, Batin Talang Parit, Indragiri Hulu, Riau.

Namun upaya melalui mekanisme pengaduan RSPO sejauh ini pun tidak memberikan hasil yang kami harapkan. Berbagai alasan disampaikan oleh RSPO: bahwa kasusnya terjadi sebelum ada RSPO, adalah tidak berdasar sebagaimana dinyatakan oleh Nazar Ikhwan gelar Angku Imbang Langi, hakim adat dari Nagari Anam Koto, Kinali, Pasaman Barat, Sumatera Barat, “Menurut kami alasan penolakan oleh RSPO atas pengaduan yang kami ajukan tidak berdasar dan tidak sesuai dengan maksud kebijakan minyak sawit berkelanjutan, sebagaimana yang tertera dalam P&C RSPO” atau berbagai alasan lain seperti kasus yang diadukan masih dalam penilaian dan akan diuji di lapangan. Yang lebih menyakitkan, ada perusahaan dari kelompok usaha anggota RSPO yang sedang berkonflik dengan masyarakat namun bisa menjual anak perusahaan yang berkonflik tersebut kepada pihak lain.

Perkebunan skala besar khususnya sawit sudah menjamur di berbagai daerah di Indonesia. Berbagai kebijakan telah dikeluarkan oleh pemerintah untuk menjamin adanya manfaat sawit bagi masyarakat. Namun, kebijakan itu tidak dapat menolong kriminalisasi terhadap masyarakat adat dan masyarakat lokal yang hidup berdampingan dengan perusahaan sawit. Kekerasan, perampasan lahan, represifitas aparat, dan tidak dijalankannya FPIC adalah bentuk-bentuk ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat. Dokumentasi: Tyas/YMKL.

Semua hal ini melanggar prinsip dan kriteria RSPO dan sudah selayaknya dalam pandangan kami RSPO memberikan sanksi kepada perusahaan tersebut. Namun semua yang kami harapkan dari RSPO tidak pernah terjawab apalagi dipenuhi. Pelanggaran-pelanggaran dan pengabaian prinsip dan kriteria RSPO yang kami hadapi terus terjadi:

  1. Penggunaan tanah adat oleh perusahaan tanpa FPIC;
  2. Perusahaan tidak memenuhi kewajibannya membangun kebun plasma untuk masyarakat;
  3. Prosedur penanganan pengaduan yang tidak transparan dan mudah diakses informasinya oleh masyarakat korban;
  4. Serta kesenjangan ketenagakerjaan yang tidak adil bagi masyarakat, baik itu masyarakat adat maupun komunitas lokal karena tetap berstatus sebagai buruh harian lepas meskipun sudah bekerja belasan tahun di perusahaan.

 Kami mempertanyakan manfaat RSPO dalam hal perlindungan dan penghormatan hak-hak masyarakat adat, komunitas lokal dan para pengguna lahan yang kehilangan tanah dan hutan karena dirampas oleh persekongkolan perusahaan dengan oknum aparat pemerintah dan aparat keamanan. 

“RSPO sama sekali tidak memberikan perhatian kepada laporan yang kami sampaikan dalam pengaduan dan tidak memberi sanksi apapun atas pelanggaran hukum dan perampasan hak-hak kami atas tanah ulayat”, ungkap Ramadhan Tanjung, Sinaro Panghulu Basa, Pimpinan Adat Nagari Simpang Tigo Kotobaru dengan nada kekecewaan yang mendalam terhadap RSPO.

Kami juga mempertanyakan kesungguhan RSPO menegakkan prinsip dan kriteria-nya sendiri. Bahwa semua perusahaan anggota RSPO wajib mematuhi peraturan perundangan dan kebijakan negara sebagai salah satu prinsip utama. Namun pelanggaran peraturan perundangan dan kebijakan yang dilakukan oleh perusahaan tidak mendapat sanksi apa pun dari pihak RSPO.

“Kami tidak menemukan penerapan standar berkelanjutan dalam bisnis kelapa sawit Wilmar di PT AMP, kami sangat berharap RSPO dapat mengontrol penerapan P&C dan memberikan sanksi terhadap anggota yang melanggar” Gasmil, Masyarakat adat dari Jorong Labuhan, Nagari Tiku Limo Jorong, Agam, Sumatera Barat.

Kami memandang persoalan kepatuhan anggota RSPO terhadap prinsip dan kriteria RSPO adalah persoalan yang sangat penting namun telah diabaikan oleh RSPO sendiri sehingga diabaikan juga oleh perusahaan-perusahaan anggota RSPO yang berkonflik dengan masyarakat adat dan komunitas lokal.

“Kami meminta agar RSPO menjadi Lembaga yang independen dan selalu menghormati hak Masyarakat Hukum Adat dan komunitas lokal. Kami berharap proses sertifikasi selalu transparan. Kami juga berharap Lembaga auditor untuk bisa menilai sesuai temuan di lapangan” tegas Said Faizan Tas’Ad, Desa Petapahan, Tapung, Kabupaten Kampar, Riau.

Senada dengan itu, Weiz dari komunitas Dayak Bekati Riuk Sebalos, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat menegaskan harapan masyarakat, “Masyarakat adat ingin RSPO sebagai organisasi terbesar yang menaungi perusahaan industri minyak sawit untuk menindaklanjuti setiap keluhan masyarakat melalui mekanisme komplen RSPO yang dilayangkan masyarakat tentang perusahaan yang bermasalah dan agar RSPO tegas dalam memberikan sanksi terhadap perusahaan tersebut”.

 Kami mengingatkan kembali tujuan pendirian RSPO, yaitu untuk mendorong prinsip minyak sawit berkelanjutan di mana aspek menghormati hak-hak masyarakat adat dan komunitas lokal serta keberlanjutan lingkungan menjadi bagian penting di dalamnya. Oleh karena itu kami menuntut RSPO harus bertanggung jawab atas semua pelanggaran prinsip dan kriteria RSPO oleh perusahaan anggota RSPO. Kami juga berharap agar Pemerintah Daerah yang bekerja sama dengan RSPO menjalankan pendekatan yurisdiksi agar konsisten menjalankannya.

“Kami mengharapkan keseriusan Pemda Kabupaten yang menerapkan sertifikat berbasis pendekatan yurisdiksi dalam penyelesaian konflik perkebunan untuk menindak tegas perusahaan yang melakukan pelanggaran. Secara khusus kami alamatkan seruan ini kepada Pemda Kabupaten Seruyan” cetus Rusdiana, Desa Tanjung Hanau, Kabupaten Seruyan.

 

Jakarta, 19 November 2023

Kami masyarakat yang menyatakan sikap ini:

 – Masyarakat Nagari Kotobaru, Pasaman Barat, Sumatera Barat

– Masyarakat Anam Koto Kinali Pasaman Barat, Sumatera Barat

– Masyarakat Labuhan, Agam, Sumatera Barat

– Masyarakat Talang Mamak Luak Talang Parit, Indragiri Hulu, Riau

– Kelompok Tani Harapan Sp-3, Nagari Simpang Tigo Koto Baru, Kec.Luhak Nan Duo, Pasaman Barat, Smuatera Barat

– Masyarakat Tanjung Hanau, Seruyan, Kaliimantan Tengah

– Masyarakat Desa Lampasa, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah

– Masyarakat Adat Dayak Bekati Riuk Dusun Sebalos, Bengkayang, Kalimantan Barat

– Masyarakat Dayak Bekati Subah, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat

– Masyarakat Adat Dayak Hibun, Kerunang-Entapang, Sanggau, Kalimantan Barat

Organisasi yang mendukung masyarakat korban:

– Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL)

– PROGRESS Kalimantan Tengah

– Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalimantan Barat

– LemBAH, Kalimantan Barat

– Yayasan Ulayat Nagari Indonesia, Sumatera Barat

– ASM / Accountability Sustainable Monitoring, Riau

– Bahtera Alam, Riau

– Forest People Programme, Inggris

Siaran Pers: Masifnya Aksi – Aksi Masyarakat Hingga Jatuhnya Korban di Tengah Penerapan Sertifikasi berbasis Yurisdiksi untuk Kelapa Sawit Berkelanjutan di Kabupaten Seruyan

Untuk mempercepat pencapaian menjadi perkebunan kelapa sawit berkelanjutan agar menurunkan angka deforestasi dan konflik sosial, langkah yang diambil pemerintah daerah di Seruyan adalah dengan menerapkan pendekatan berbasis yurisdiksi (jurisdictional approach) sebagai bagian integral dari pola pembangunan berlanjutan. Penyelesaian masalah antara perusahaan dan masyarakat berbasiskan peran aktif pemerintah daerah menjadi fokus dalam pendekatan yurisdiksi ini, dan untuk memperkuat posisinya melalui pembuat aturan/kebijakan yang diperlukan dalam menyikapi banyak persoalan dalam wilayah teritorialnya.

Seruyan telah ditunjuk sebagai wilayah percontohan penerapan metode ini sejak 2015. Akan tetapi dalam prosesnya hingga sekarang masih banyak konflik yang terjadi. Legalitas lahan sebagai pijakan dasar dalam setiap proses pembangunan tercipta dari praktik buruk peruntukan dan pengelolaan kawasan secara sepihak dan kerap mengabaikan hak masyarakat dan lingkungan di dalamnya sehingga berkontribusi besar bagi lahirnya konflik sosial. Oleh karena itu, prioritas penyelesaian legalitas lahan harusnya diletakkan pada pemberian dan perlindungan hak masyarakat atas tanahnya. Selain dapat mengurangi konflik, prioritas tersebut akan berdampak langsung pada penurunan laju deforestasi dalam suatu kawasan.

Penetapan Peraturan Bupati Nomor 11 tahun 2021 tentang Tata Cara Pengaduan dan Pengelolaan Data Konflik Usaha Perkebunan di Desa dan Peraturan Bupati Nomor 48 tahun 2022 tentang Pedoman Penanganan Konflik Usaha Perkebunan adalah upaya pendekatan yurisdiksi lain yang ditempuh pemerintah daerah Seruyan dalam menyelesaikan konflik.

Dalam kurun satu tahun ini saja banyak terjadi aksi – aksi masyarakat yang menuntut hak dari masyarakat salah satunya adalah plasma 20% hal ini dilakukan karena masyarakat merasa sudah terlalu lama pelanggaran – pelanggaran yang di lakukan oleh perusahaan terhadap masyarakat seperti tidak adanya FPIC, ganti rugi yang tidak adil, penyerobotan lahan, tidak di penuhinya kewajiban atas plasma 20%, dll. Seperti yang terjadi di PT. Tapian Nadenggan (Sinarmas Group), PT. BJAP (Bangun Jaya Alam Permai – Best Group), PT. Mustika Sembuluh (Wilmar Group) dan saat ini juga terjadi di PT. HMBP I (Hamparan Masawit Bina Persada I – Best Group). Sayangnya aksi – aksi masyarakat selalu dihadapkan dengan intimidasi dan represifitas oleh pihak aparatur negara.

Djayu Sukma Ifantara dari Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL) sedang memfasilitasi acara media briefing “Penerapan Sertifikasi berbasis Yurisdiksi untuk Kelapa Sawit Berkelanjutan di Kabupaten Seruyan”. Dokumentasi/YMKL

Aksi represifitas (7 Oktober 2023) yang terjadi di PT. HMBP I, Kecamatan Seruyan Raya, Kabupaten Seruyan antara masyarakat Desa Bangkal dengan pelibatan aparatur negara justru berakhir dengan penembakan yang menyebabkan Gijik (35 tahun) meninggal dunia tertembak di dada di lokasi aksi saat hendak menolong temannya, Taufik Nurahman (21 tahun) yang tertembak di bagian pinggang dan harus di rawat intensif di RSUD Doris Sylvanus Palangkaraya dan akan di rujuk di RSUD Ulin di Banjarmasin Kalimantan Selatan dengan alasan keterbatasan peralatan untuk melakukan operasi serta adanya lebih dari 20 warga yang di tangkap. Sebelum terjadinya aksi penembakan, sebelumnya juga terjadi aksi – aksi yang kemudian menimbulkan bentrokan karena tidak di berikannya tuntutan masyarakat atas plasma 20% oleh Perusahaan. Tidak

Dilaksanakannya bentrok pertama terjadi pada 21 September 2023, saat itu warga ditembaki dengan gas air mata hingga menyebabkan reaksi spontanitas masyarakat hingga terjadi pembakaran terhadap fasilitas perusahaan. Bentrok kedua terjadi pada 23 September 2023 malam, di mana kejadian itu menyebabkan dua warga mengalami luka-luka akibat bentrok dengan aparat kepolisian.

Hal ini terjadi lantaran perjuangan yang telah dilakukan masyarakat tidak kunjung dilaksanakan oleh Perusahaan. Pada 16 September 2023, terjadi mediasi antara perusahaan dengan masyarakat dengan kesepakatan pertama, pihak perusahaan bersedia untuk memberikan kebun plasma dalam bentuk alokasi dana plasma senilai luas kebun lebih kurang 235 hektar. Kedua, jumlah luasan yang belum dapatkan Hak Guna Usaha (HGU) seluas lebih kurang 1.175 hektar sudah termasuk 235 hektar yang akan dibayarkan terlebih dahulu. Ketiga, perusahaan bersedia untuk memberikan kegiatan usaha produktif yang difasilitasi PT HMBP I bersama pemerintah daerah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Perusahaan juga memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat di luar izin HGU perusahaan. Besaran pembagian Dana Alokasi Plasma untuk masing-masing desa sasaran penerima manfaat selanjutnya ditetapkan melalui kesepakatan tingkat desa untuk menjadi penetapan tingkat kecamatan. Dana alokasi plasma yang awal kurang lebih 235 Ha akan diusulkan menjadi kurang lebih 500 Ha dengan pembagian Desa Bangkal kurang lebih 300 ha. Desa Terawan kurang lebih 100 Ha, dan Desa Tabiku kurang lebih 100 Ha.

Kami menilai bahwa represifitas yang dilakukan oleh aparatur negara yang seharusnya melindungi masyarakat merupakan pelanggaran HAM. Terutama karena apa yang dilakukan oleh masyarakat merupakan perjuang dari masyarakat untuk memperoleh hak – haknya. Harapan atas penerapan pendekatan yurisdiksi oleh pemerintah daerah Kabupaten Seruyan kami pandang sangat penting dan harus segera dilaksanakan dengan tegas, sebagai Upaya untuk mensejahterakan masyarakat dan menyelesaikan konflik di perkebunan.

Maka dari itu kami dari PROGRESS dan YMKL menyatakan sikap :

  1. Mengutuk tindakan represif dan penembakan terhadap warga Bangkal yang diduga dilakukan oleh oknum aparat
  2. Meminta Kepolisian untuk menarik mundur aparat kepolisian dari desa
  3. Mendesak Presiden RI dan Kapolri memerintahkan untuk segera mengusut tuntas secara transparan dan menindak tegas oknum yang diduga melakukan penembakan.
  4. Mendesak Pemerintah untuk mencabut izin HMBP yang menjadi sumber konflik.
  5. Mendesak Pemerintah untuk segera menyelesaikan konflik agrarian yang terjadi di desa
  6. Meminta RSPO untuk meninjau ulang dan menghentikan sementara proses Sertifikasi Yurisdiksi bagi Pemerintah Daerah Kabupaten
  7. Kepada semua pembeli dan juga retail untuk menghentikan pembelian minyak sawit dari Kabupaten Seruyan sampai semua investigasi terhadap penembakan warga Bangkal yang kuat diduga dilakukan oleh aparat keamanan dan tuntutan masyarakat desa Bangkal terselesaikan dan dilaksanakan secara

Narahubung :

Kartika Sari – Progress Kalimantan Tengah (081258028820)

Djayu Sukma Ifantara – Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (081327841074)