Posts

Orang Melayu: Hak, Tanah dan Identitas Adat

Istilah Melayu tampaknya berasal dari abad ke-4 atau ke-5 Masehi yang merujuk pada kerajaan-kerajaan Buddha awal yang muncul di Sumatra Selatan yang berusaha menguasai dan berkontribusi pada perdagangan antarbenua antara Tiongkok dan India serta Timur Tengah. Awalnya, istilah ini merujuk pada keluarga kerajaan dari kesultanan-kesultanan ini, yang dengan cepat menyebarkan jaringan mereka ke seluruh perairan Asia Tenggara, baru kemudian istilah ini diterapkan pada berbagai masyarakat yang mereka kuasai dan kemudian lebih luas lagi pada semua penutur rumpun bahasa yang tersebar di seluruh wilayah tersebut. Saat ini, istilah Melayu digunakan oleh berbagai kelompok masyarakat untuk mengidentifikasi diri mereka yang memiliki riwayat hubungan dengan kesultanan-kesultanan ini yang telah memeluk agama Islam.

Penelitian ini menunjukkan bagaimana – berdasarkan pengambilan sampel dan bukan survei menyeluruh – banyak dari berbagai kelompok masyarakat yang kini menganggap diri mereka sebagai orang Melayu masih menjunjung tinggi hubungan mereka dengan tanah dan lingkungan mereka berkenaan dengan konsep tradisional yang mungkin mendahului pemelukan agama Islam. Dengan demikian, kita menemukan masyarakat ‘Melayu’ yang memiliki sistem penguasaan tanah yang mirip dengan orang Minangkabau di Sumatra Barat, yang berdasarkan garis keturunan ibu/matrilineal, atau masyarakat hutan Bathin di Sumatra Timur, orang Dayak di Kalimantan, dan seterusnya. Mereka mungkin telah mengadopsi Islam dan hukum syariah, mereka mungkin menganggap diri mereka ‘modern’, tetapi dalam hal bagaimana mereka memerintah dan berkaitan dengan wilayah, tanah, dan sumber daya mereka, mereka mempertahankan versi hukum adat yang dimodifikasi, yang memiliki akar yang jauh lebih dalam.

Temuan-temuan ini memiliki implikasi besar terhadap bagaimana hak-hak masyarakat ini kini diperhitungkan oleh pemerintah, lembaga-lembaga pembangunan dan perusahaan – dan sistem sertifikasi sukarela seperti FSC. Laporan ini diakhiri dengan serangkaian rekomendasi tentang bagaimana masyarakat-masyarakat ini harus diperlakukan secara lebih adil di masa mendatang.

Studi ini dibangun berdasarkan kerja sama selama bertahun-tahun antara Forest Peoples Programme, yang berpusat di Inggris, Bahtera Alam, yang berpusat di Riau, dan Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari, yang berpusat di Jakarta, dalam mendukung ‘masyarakat hutan’ – yang kami artikan sebagai masyarakat yang telah lama tinggal di dalam dan di sekitar kawasan hutan, yang mengklaim hak adat atas tanah mereka.1 Dua dari tiga penulis naskah ini mengidentifikasi diri sebagai orang Melayu.

Program-program lapangan dari berbagai organisasi kami dalam mendukung masyarakat Melayu di Kalimantan dan Sumatra dalam dua decade terakhir ini telah membuat kami menyadari bahwa meskipun masyarakat Melayu mengklaim identitas yang sama dan menganut agama yang sama – Islam – cara mereka berhubungan dengan tanah mereka dan mengklaim hak atas tanah tersebut sering kali sangat berbeda.

Berbeda halnya dengan literatur tentang masyarakat Dayak di Kalimantan dan masyarakat lainnya seperti Minangkabau di Sumatra Barat, relative sangat sedikit LSM dan studi akademis tentang masyarakat Melayu yang berupaya mendokumentasikan sistem penguasaan tanah mereka atau, bahkan lebih sedikit lagi, untuk mengartikulasikan klaim dan harapan mereka tentang tanah dan sumber daya mereka saat berurusan dengan pemerintah dan sektor swasta.

Penelitian ini merupakan upaya sederhana untuk mengoreksi kesenjangan yang ada ini, yang didorong oleh fakta bahwa transformasi besar sedang berlangsung di Indonesia yang bertujuan untuk memberikan remediasi atas ‘kerugian sosial’ yang diderita oleh masyarakat akibat dampak dari sektor kayu pulp antara tahun 1994 dan 2020, sejalan dengan Kebijakan baru Forest Stewardship Council (FSC) untuk Mengatasi Konversi, Kebijakan Asosiasi yang direvisi, dan Kerangka Kerja Remediasi yang baru-baru ini diadopsi.

FSC menawarkan sebuah prosedur di mana masyarakat yang mengidentifikasi diri sebagai masyarakat adat dan ‘masyarakat tradisional’ lainnya yang memiliki hak-hak adat, baik yang telah maupun yang belum diakui oleh hukum perundang-undangan, dapat memperoleh remediasi atas kerugian yang ditimbulkan kepada mereka oleh perusahaan yang ingin berasosiasi dengan FSC dan kemudian memperoleh sertifikasi sesuai dengan standarnya.

Penelitian ini didasarkan pada tinjauan pustaka, refleksi atas pengalaman lapangan lembaga-lembaga kami selama tiga puluh tahun terakhir, sebagai organisasi hak asasi manusia dan organisasi pendamping yang bekerja dengan masyarakat yang mengidentifikasi diri sebagai orang Melayu, dan didasarkan atas serangkaian kunjungan lapangan singkat ke wilayah masyarakat Melayu di Riau yang dilakukan oleh para penulis bersama pada bulan Mei 2024.

Kami mengunjungi masyarakat Batu Songgan, di tepi barat Riau di kaki pegunungan Barisan Nasional; masyarakat Lubuk Jering, di dataran sebelah utara Pekanbaru di pusat provinsi, dan masyarakat Teluk Meranti, di muara sungai Kampar ke arah timur (lihat Peta 1).

Survei lapangan dilakukan dengan melakukan perjalanan ke, mengunjungi, dan tinggal sebentar dengan komunitas-komunitas ini, di mana kami meminta warga untuk berpartisipasi dalam wawancara dan bergabung dengan kelompok diskusi untuk menjelaskan hubungan mereka dengan tanah mereka dan membahas tantangan yang mereka hadapi saat ini dalam mengamankan hak-hak mereka. Kami menganggap kerja ini lebih bersifat ilustratif daripada definitif dan mendorong pihak lain dari lingkup akademis dan masyarakat sipil untuk memperdalam bidang pengetahuan ini.

Bisa unduh laporannya di bawah ini:

Orang Melayu – Bahasa Indonesia

The Melayu – Bahasa Inggris 

Hartati, perempuan berusia 56 tahun ini menggerakan semangat kelompok perempuan tani di Desa Sungai Paur dalam mempertahankan hak atas tanah mereka dari perusahaan HTI.

Kisah Hartati: Penggerak Petani Perempuan dari Jambi

Perempuan desa yang hidupnya bergantung pada sumber daya alam kebanyakan menjadi kelompok yang paling terdampak dalam persoalan status hak atas tanah. Pada banyak komunitas pedesaan, perempuan lah yang melakukan sebagian besar kegiatan pertanian sebagai sumber penghidupan keluarga. Karenanya, begitu terjadi persoalan yang terkait dengan status hak atas tanah yang menutup akses perempuan pada tanah dan penghidupan, mereka lah yang kemudian paling terdampak. 

Hartati, petani perempuan yang berasal dari Desa Sungai Paur, Kecamatan Renah Mendaluh, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Provinsi Jambi, itu kaget. Tanah yang selama ini menjadi warisan tanah garapan datuk atau tanah leluhur yang dibuktikan dengan tanda-tanda alam seperti adanya pohon karet tua, kini telah menjadi bagian dari areal perusahaan Hutan Tanam Industri (HTI) yang telah melakukan pembersihan lahan. 

“Rata semua dengan tanah,” tegas Hartati. 

Perempuan berusia 56 tahun itu memang sudah lama tak menggarap lahannya. Hartati menerapkan praktik berpindah ladang yang memang pada umumnya lekat dengan masyarakat Desa Sungai Paur. Ia meninggalkan tanah itu untuk sementara waktu saja. Lahan yang ditinggalkan bukan berarti sudah tidak berpemilik, tapi dibiarkan untuk tidak digarap agar tanah menjadi subur secara alami. 

Hartati akhirnya geram. Tanah peninggalan dari leluhurnya tak bisa dikuasai lagi. Sebab perusahaan telah mengambil penguasaan hak atas tanah seluas 211 ha di desanya. Dia tidak sendiri, ada beberapa masyarakat khususnya para perempuan desa yang tanahnya juga masuk dalam konsesi perusahaan. Ia kemudian berinisiatif bergabung dengan Kelompok Tani Semantung Bersama di Desa Sungai Paur, yang turut terlibat dalam memperjuangkan hak atas tanah mereka yang telah dikuasai oleh perusahaan.

Persoalan status hak atas tanah di Jambi setiap tahunnya terjadi. Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jambi mencatat, penguasaan lahan oleh perusahaan atas tanah-tanah masyarakat sudah terjadi sekian lama dan banyak kasus yang belum terselesaikan. Dari data yang dikumpulkan Walhi Jambi sendiri, sejak tahun 2017 sampai 2022 sebanyak 196 persoalan agraria yang belum terselesaikan.

“Sektor tambang menyumbang 123 kasus, lalu disusul sektor Hutan Tanam Industri (HTI) sebanyak 49 kasus dan sektor perkebunan 24 kasus,” sumber data Walhi Jambi tahun 2022.

Hartati dan kelompoknya tak surut langkah. Mereka bertekad untuk merebut kembali tanah leluhur dengan cara damai, salah satunya adalah dengan menanami kembali tanah leluhur mereka. Strategi ini ternyata mengundang respon berupa intimidasi dengan kekerasan dari pihak yang tidak bersepakat dengan cara ini. Anak Hartati menjadi korban intimidasi. 

Intimidasi yang diterima oleh Hartati dan kelompoknya tak membuat mereka patah arah. Tekad mereka tetap bulat untuk mengupayakan penyelesaian status hak atas tanahnya. Namun, Hartati dan beberapa anggota kelompok tani belum memiliki pengetahuan tentang skema-skema penyelesaian status hak atas tanah dan aspek hukumnya masih terbatas. Buntut dari ketidaktahuan itu, mereka mendapatkan intimidasi. 

Hartati dan kelompoknya sadar, mereka harus memperkuat diri melalui peningkatan kapasitas kelompok sebagai upaya pembelajaran untuk memperkuat pengetahuan mereka dalam memperjuangkan hak-haknya. 

Berangkat dari kesadaran ini, Hartati dan anggota Kelompok Tani Semantung Bersama kemudian aktif mengikuti beberapa kegiatan penguatan kapasitas yang diselenggarakan oleh Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL) atas dukungan dari Ford Foundation dan Kementerian Dalam Negeri. 

Hartati dan kelompoknya mendapatkan pelatihan hukum hak atas tanah dan pelatihan hukum kritis. Kegiatan peningkatan kapasitas ini juga diikuti dengan diskusi kampung yang rutin diselenggarakan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dalam aspek hukum dan sosial budaya untuk mendorong penyelesaian status hak atas tanah. 

Diskusi kampung yang digelar juga menjadi forum untuk menyampaikan kebijakan Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) sebagai tawaran jalan keluar bagi penyelesaian status hak atas tanah warga yang bersengketa dengan perusahaan. Dan untuk menghasilkan rencana strategis masyarakat dalam mempercepat proses penyelesaian kasus di wilayah mereka. 

Setelah selesai mengikuti berbagai pelatihan, Hartati memastikan ilmu yang dia dapat tidak berhenti pada dia seorang. Ia melatih anggota Kelompok Tani Semantung Bersama, khususnya kepada petani perempuan yang lain. Hal ini ia lakukan dengan harapan agar seluruh petani perempuan yang menjadi anggota Kelompok Tani Semantung Bersama tak hanya memiliki semangat juang semata, tapi memiliki pengetahuan yang berguna dalam membantu mereka mengupayakan penyelesaian status hak atas tanah. 

Hartati juga menggerakkan petani perempuan untuk terus mengelola wilayah yang sedang mereka perjuangkan untuk dapat dikembalikan kepada mereka sebagai pemilik tanah. Salah satunya dengan melakukan penanaman tanaman pokok untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti sayur mayur dan palawija. 

Saat ini, Hartati dan anggota Kelompok Tani Semantung Bersama telah membekali diri mereka dengan dokumen subyek dan obyek hak dan peta subyek dan obyek klaim masyarakat. Keduanya akan digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi para pihak dalam upaya bersama menyelesaikan persoalan status hak atas lahan.  

Hartati berharap besar bahwa kebijakan pemerintah tentang Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) akan menjadi jawaban untuk persoalan status hak atas lahan yang sudah berlangsung selama beberapa tahun ini. 

Berbekal pengetahuan dan pendampingan yang didapatkan oleh kelompoknya, Hartati bersama 105 anggota kelompok yang lain akan meneruskan perjuangan mereka dengan mengajukan skema TORA. Ia hanya memiliki satu harapan yaitu hak atas tanah dikembalikan dan tanah yang telah memberi penghidupan bagi komunitas akan terus memberikan penghidupan bagi anak cucu mereka nanti.