Posts

Mengecam Kebijakan PSN dan Pembiaran Pelanggaran HAM dan Lingkungan Hidup di Merauke

Siaran Pers Yayasan Pusaka Bentala Rakyat

Jakarta, 22 September 2025

 

Presiden Prabowo Subianto dalam sidang pidato kenegaraan dan beberapa pertemuan menyampaikan ungkapan serakahnomics. Presiden menyoroti keberadaan dan aktivitas bisnis korporasi yang dilandasi keserakahan, melakukan permainan manipulasi, tidak adil dan mendapatkan keuntungan dengan mengorbankan rakyat. Presiden menyebut mereka sebagai vampir ekonomi, parasit yang menghisap darah rakyat, untuk memperoleh sumber daya dalam jumlah yang berlebihan dan mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Pidato retorik presiden nampaknya keras dan hendak mengingatkan prinsip perekonomian sebagaimana Konstitusi UUD 1945 Pasal 33.

Pada selasa (16/9/25), Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan mengatakan pemerintah akan mempercepat pembangunan kawasan pangan, energi dan air nasional di Wanam, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan. Pemerintah menargetkan total pembebasan lahan untuk swasembada pangan, energi dan air di Merauke mencapai 1 juta hektar. Perubahan tata ruang dan Hak Guna Usaha, dan lain yang diperlukan akan diselesaikan.

“Dan yang sudah ada tata ruangnya, laporan menteri kehutanan ada 481.000 hektar”, kata Zulkifli Hasan.

Penjelasan Menko Pangan Zulkifli Hasan terkait kemudahan dan percepatan proyek dengan alih fungsi kawasan hutan dalam skala luas merupakan wujud kesewenang-wenangan penguasa (arbitrary power) dalam kebijakan dan tindakan negara untuk mengesahkan dan memberikan dukungan aktif terhadap korporasi dan operator proyek yang sedang mengembangkan Proyek Strategis Nasional (PSN) atas nama swasembada pangan dan energi di wilayah Kabupaten Merauke, meskipun bertentangan dengan konstitusi UUD 1945, melanggar Hak Asasi Manusia dan prinsip keberlanjutan lingkungan hidup.

Faktanya, PSN Merauke dilaksanakan tanpa adanya konsultasi dan keterlibatan bermakna masyarakat adat terdampak untuk memberikan persetujuan bebas atas pengembangan PSN Merauke di wilayah adat, yang sejalan dengan prinsip FPIC (Free Prior Informed Consent). PSN Merauke diterbitkan tanpa adanya keterbukaan informasi dan keterlibatan masyarakat adat dalam perolehan perizinan-perizinan lingkungan hidup, pengalihan dan pemanfaatan hak atas tanah adat, perizinan usaha perkebunan dan hak guna usaha, dan sebagainya, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Pelaksanaan PSN Merauke selama berlangsung lebih dari satu tahun telah menimbulkan kontradiksi dan luka serius yang mencemaskan dan merugikan masyarakat adat korban, terjadi kekerasan dan pemaksaan, penghancuran dan penghilangan sumber pangan, mata pencaharian tradisional (traditional occupation), kerusakan lingkungan dan kehilangan hutan dengan ekosistem penting hingga belasan ribu hektar.

Operator perusahaan pengembang Kawasan Sentra Produksi Pangan (KSPP) Merauke maupun operator perusahaan perkebunan tebu dan bioethanol, dengan dikawal aparat militer bersenjata telah menggusur dan menghancurkan hutan adat, rawa, savana, tempat-tempat keramat, tanpa memperdulikan hak dan suara keluhan rakyat, maupun keberlanjutan biodiversity yang bernilai konservasi tinggi. Kami mendokumentasikan semenjak tahun 2024 hingga Agustus 2025, PSN Merauke telah merusak dan menghilangkan kawasan hutan seluas lebih dari 19.000 hektar. Angka deforestasi ini berkontribusi mempertebal emisi Gas Rumah Kaca, sekaligus wujud pengabaian komitmen negara untuk mengatasi perubahan iklim.

Tanah Masyarakat Adat Papua Terancam PSN

Masyarakat adat Malind Anim dan Yei secara tidak bebas membuat keputusan dan terpaksa menerima kompensasi “uang tali asih” untuk menyerahkan hak atas tanah adat kepada perusahaan perkebunan tebu PT Global Papua Abadi (GPA) dan PT Murni Nusantara Mandiri (MNM), nilainya sekitar Rp. 300.000 per hektar (atau Rp. 3.000 per meter), nilai kompensasi yang tidak adil dan tidak sebanding dengan manfaat sosial ekonomi dan jasa lingkungan atas tanah dan hutan.

Pencaplokan tanah dan hutan adat melalui pemberian izin, pemberian kompensasi dan janji kesejahteraan pembangunan seolah-olah jalan normal dan legal. Cara-cara dan pelabelan legalitas ini membuat penguasa dan pengusaha serakah dapat menguasai dan memiliki alat produksi dalam skala luas. PT GPA dan PT MNM, serta 8 (delapan) perusahaan perkebunan tebu dan bioethanol dalam PSN Merauke memiliki konsesi seluas lebih dari 560.000 hektar, yang mana penerima manfaat (beneficial ownership) perusahaan oleh Fangiono Famili dan Martua Sitorus. Kedua penguasa ekonomi ini juga memiliki izin usaha perkebunan kelapa sawit di Merauke, Sorong, Sorong Selatan dan Teluk Bintuni, hingga lebih dari 300.000 hektar. Konsentrasi penguasaan tanah pada segelintir orang adalah wujud “serakahnomics”, pembatasan penguasaan tanah maksimum dilindas.

Kami Yayasan Pusaka Bentala Rakyat mengecam kebijakan dan praktik PSN (Proyek Strategis Nasional) atas nama pengembangan pangan, energi dan air nasional di Kabupaten Merauke, dengan memfasilitasi pemberian kemudahan dan percepatan pemberian izin perolehan tanah adat dan alih fungsi kawasan hutan skala luas, hal ini menunjukkan praktik serakahnomics. Kesewenang-wenangan Menteri Zulhas dalam mendorong dan menerbitkan perubahan tata ruang, HGU dan perizinan lainnya, adalah wujud serakahnomics dan tidak adil, yang menguntungkan korporasi dengan mengorbankan rakyat.

Kami meminta pemerintah menghentikan pemberian izin pelepasan kawasan hutan skala luas dan praktik ekstraktif sumber daya alam yang merusak lingkungan hidup, yang dilakukan tanpa kajian dan mempertimbangkan keseimbangan ekologis, keberlanjutan sumber daya alam dan kelangsungan hak lintas generasi, yang mengabaikan hak masyarakat adat, hanya untuk mendapatkan keuntungan ekonomi segelintir korporasi.

Kami meminta Presiden Prabowo segera mengevaluasi dan meninjau kembali PSN Merauke yang dikendalikan dan menguntungkan penguasa dan pengusaha serakah, dengan mengorbankan dan menyingkirkan masyarakat adat, dan lingkungan hidup. Pemerintah seharusnya mengambil langkah-langkah efektif untuk pemenuhan dan penikmatan Hak Asasi Manusia, bukan hanya retorika melainkan bertindak untuk menghormati dan melindungi hak masyarakat adat dan lingkungan hidup.

Kami juga meminta pejabat pemerintah daerah Kabupaten Merauke dan Provinsi Papua Selatan, untuk aktif menggunakan kewenangan khusus sebagaimana UU Otsus Papua, yang diakui untuk mengatur dan bertindak mengurus kepentingan masyarakat adat, menghormati dan melindungi aspirasi dan hak masyarakat adat terdampak PSN Merauke, mewujudkan perekonomian berbasis kerakyatan yang adil dan berkelanjutan.

 

Jakarta, 22 September 2025

 

Kontak Person,

Franky Samperante: 081317286019

Yokbeth Felle: +62 812-4504-0797

 

Lihat foto disini: https://drive.google.com/drive/folders/1Jrkv1SuKZDoKOV3nEvqVU_-in3H_XTy7?usp=sharing

 

Catatan:

Pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono  dan Wakil Presiden M Jusuf Kalla (2009-2014) Zulkifli Hasan pernah menjabat Menteri Kehutanan dan menerbitkan izin pelepasan kawasan hutan kepada korporasi untuk menjadi perkebunan seluas sekitar 1,6 juta hektar.  Sebagian besar izin tersebut berada di Tanah Papua seluas 680.188 hektar, yang diberikan kepada segelintir perusahaan. Masyarakat adat setempat tidak mengetahui dan tidak pernah dikonsultasikan pemberian izin dimaksud hingga menimbulkan konflik, misalnya antara Suku Awyu dengan tujuh perusahaan perkebunan kelapa sawit yang tergabung dalam Menara Group pengembang proyek Tanah Merah di Kabupaten Boven Digoel, yang menguasai lahan hutan alam seluas 270.000 hektar.

Transisi Semu Energi Di Papua

Pemerintah Indonesia punya ambisi besar terhadap pemanfaatan energi terbarukan. Kekayaan sumber daya alam yang melimpah dinilai menjadi solusi energi dari masalah sumber energi utama; fosil dan batu bara. Ide transisi energi pun menguat sebagai langkah awal dan penting oleh pemerintah Indonesia dalam menekan bahkan mengurangi suplai emisi karbon yang bersumber dari fosil atau batu bara yang secara nyata telah memberikan dampak yang buruk pada lingkungan dan masyarakat.

Komitmen Indonesia dalam menjalankan proyek transisi energi yang lebih ramah lingkungan juga digaungkan pada pelaksanaan forum Presidensi G20 pada tahun 2022. Transisi energi menjadi prioritas dengan target capaian sebesar 23 persen terlaksanakan pada tahun 2025.

Melalui Dewan Energi Nasional (DEN), transisi energi menjadi agenda nasional. Proyek ini ditujukan memanfaatkan cadangan energi di Indonesia yang lebih bersih dan  mendorong pemulihan ekonomi berkelanjutan. Hal ini tentunya akan mewujudkan akses semua pihak, baik dalam mengelola, memanfaatkan, dan menerima manfaatnya dalam suplai energi yang ramah lingkungan. Upaya lain dari tujuan pemerintah untuk menjaga ketahanan energi demi mewujudkan cita-cita Indonesia menuju ekonomi hijau. Dan kehadiran transisi energi adalah salah satu agenda nasional yang dianggap paling rasional.

Perlindungan untuk memuluskan ambisi energi hijau yang berkelanjutan, pemerintah menetapkan proyek transisi energi bagian dari skala prioritas besar pemerintah melalui Program Strategis Nasional. Namun, rencana pemerintah dalam mendorong energi hijau yang berkelanjutan dan harapan masyarakat mendapatkan manfaat dari agenda tersebut malah berbanding terbalik dari kenyataan.

Di lapangan, praktik dan penerapan kinerja dari tujuan transisi energi energi tidak semulus mengeluarkan kertas kebijakan dan payung hukumnya. Agenda ini malah memuluskan kerusakan lingkungan, masyarakat kehilangan hak atas tanahnya, serta mendorong penurunan kualitas hidup akibat lingkungan hidup yang buruk. Alhasil, atas nama transisi energi yang diupayakan pemerintah untuk menjamin keadilan iklim, lingkungan, dalam pemanfaatan sumber energi terbarukan menjadi masalah besar pada aspek ekologi, ekonomi, dan manusianya.

Di Papua, PSN yang terfokus pada proyek biomassa dan bioethanol menjadi ancaman serius terhadap lingkungan, budaya, dan sosial masyarakat Papua saat ini. Riset yang dilakukan Yayasan Pusaka Bentala Rakyat bersama YMKL menemukan, proyek transisi energi ini malah akan mendorong masyarakat hukum adat di Papua kehilangan hak atas tanahnya dan praktik ekosida yang bukan hanya berdampak pada hutan dan alam yang hilang. Lebih dari itu, akan menghilangkan kehidupan yang ada di tanah Papua menuju kepunahan.

Baca laporan risetnya di bawah ini:

Unduh di sini

Respon Masyarakat Sipil Atas Tanggapan Pemerintah Terhadap Surat Sembilan Pelapor Khusus PBB Mengenai Proyek Strategis Nasional Merauke

Sembilan Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN Special Procedure Mechanism) menyurati pemerintah Indonesia maupun perusahaan PT Global Papua Abadi yang terlibat dalam Proyek strategis Nasional Merauke. Para Pelapor khusus menyoroti dugaan dan dampak pelanggaran Hak Asasi Manusia dan lingkungan hidup akibat PSN Merauke. Kesembilan Pelapor Khusus PBB telah meminta tanggapan baik dari Pemerintah Indonesia maupun PT Global Papua Abadi untuk memberikan klarifikasi termasuk menganalisis kemungkinan untuk menghentikan Proyek Strategis Nasional. Pada tanggal 6 Mei 2025 Pemerintah Indonesia memberikan tanggapan.

Solidaritas Merauke menilai pemerintah Indonesia telah membantah informasi dugaan pelanggaran HAM dan lingkungan hidup yang terjadi, bantahan tanpa realitis empirik sebab peristiwa hingga saat ini masih terjadi. Pemerintah Indonesia berusaha menghindari permintaan informasi atau klarifikasi dari para pelapor khusus PBB dengan memberikan jawaban yang tidak berhubungan langsung dengan masalah yang terjadi.

Tanggapan pemerintah memperlihatkan keengganan pemerintah menyelesaikan masalah yang terjadi dan memperpanjang permasalahan HAM dan lingkungan yang terjadi dari kebijakan PSN Merauke yang juga telah menjangkau tempat lain di luar Merauke. Tanggapan tersebut kami nilai bermasalah dan tidak dapat diterima, bertentangan dengan hukum konstitusi Indonesia, bertentangan dengan rekomendasi Komnas HAM terkait PSN Merauke dan bertentangan dengan standar HAM internasional. Kami meragukan komitmen pemerintah untuk memajukan dan melindungi HAM sesuai kerangka hukum HAM internasional jika program PSN masih terus dilanjutkan.

Solidaritas Merauke mendesak para Pelapor Khusus PBB untuk melakukan tindakan pemantauan secara langsung atas informasi-informasi pelanggaran ham dan lingkungan hidup di Merauke, Papua. Kami juga meminta para mandat special rapporteur mendesak pemerintah Indonesia untuk menghentikan pelaksanaan PSN guna mencegah terjadinya peristiwa pelanggaran HAM dan lingkungan hidup yang semakin luas di Merauke dan tempat lainnya.

Narahubung : 081295000221 (Dita)

Unduh Dokumen

  1. Surat pelapor khusus ke Pemerintah Indonesia.

https://bit.ly/SpecialRapporteurLettertoIndonesia

  1. Surat sembilan pelapor khusus ke PT GPA.

https://bit.ly/SpecialRapporteurLetter

  1. Surat balasan Pemerintah Indonesia.

https://bit.ly/IndonesiaGovermentResponseLetter

YMKL dan Pusaka Gelar Pelatihan Paralegal Bagi Pembela HAM Lingkungan Di Papua Barat Daya

Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL) bersama Pusaka Bentala Rakyat menggelar kegiatan pelatihan paralegal Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua Barat Daya. Pelatihan paralegal ini melibatkan peserta dari masyarakat adat, komunitas lokal, organisasi masyarakat sipil, yang dilaksanakan selama tiga hari (21-23) Oktober 2024, Sorong, Papua Barat Daya.

Kegiatan ini bertujuan untuk menguatkan pemahaman secara bersama tentang peran masyarakat adat, komunitas lokal, organisasi masyarakat sipil, generasi muda, di Papua Barat Daya dalam memperjuangkan hak-hak mereka. Perjuangan hak atas tanah, hak atas lingkungan yang baik, dan strategi advokasi serta litigasi ketika menghadapi sebuah masalah.

“Pelatihan paralegal ini untuk kita belajar bersama bagaimana langkah-langkah advokasi yang bisa dipakai saat masyarakat berhadapan masalah. Hasil dari kegiatan ini juga diharapkan dapat melahirkan paralegal yang bersungguh-sungguh bekerja untuk masyarakat,” kata Tigor Hutapea, Pusaka Bentala Rakyat, pada pembukaan acara pelatihan paralegal.

Pelatihan paralegal ini dianggap penting, mengingat permasalahan HAM di Papua semakin hari semakin tinggi. Apalagi saat ini pemerintah sedang menggalakkan program pembangunan dan investasi skala besar di semua wilayah Papua. Dampak dari kehadiran investasi itu menyebabkan permasalahan dan konflik agrarian di Papua. Masyarakat Papua lekat kehidupannya dengan tanah dan sumber daya alam. Saat keduanya hilang, maka kehidupan orang Papua terancam.

Di tambah lagi, akses terhadap bantuan hukum di Papua sulit terjangkau. Jika pun ada, aksesnya begitu rumit. Padahal, bantuan hukum terhadap masyarakat merupakan kewajiban negara dalam menjamin hak-hak warga negara. Kurangnya penguatan pengetahuan mengenai HAM menyebabkan suara-suara masyarakat adat, komunitas lokal di Papua sering kali terabaikan.

“Upaya belajar bersama dalam pelatihan ini sangat diharapkan agar kita semua bisa belajar dan memahami bagaimana strategi litigasi, advokasi, mediasi, dan negosiasi. Dari upaya itulah masyarakat mempunyai posisi yang kuat khususnya pada saat mengambil kebijakan apalagi saat berhadapan dengan pemerintah atau perusahaan,” ungkap Rudiansyah, Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL) saat memberikan materi litigasi, advokasi, dan mediasi.

Peserta pelatihan paralegal bagi pembela HAM lingkungan sangat antusias dengan materi yang mereka terima dan aktif berdiskusi serta membagikan permasalahan yang mereka sedang hadapi. Dokumentasi/YMKL

Masyarakat adat Papua juga memiliki konteks hukum adat sendiri, yang pada dasarnya menjadi sebuah pegangan mereka dalam mempertahakan hak mereka. Tapi, lambat laun, hukum adat itu tidak memiliki kekuatan penuh untuk dijadikan pijakan advokasi bagi masyarakat adat Papua.

Mengingat perkembangan saat ini, isu masyarakat adat tengah menjadi diskursus bersama, hal ini berpengaruh kepada dengan terbentuknya peraturan internasional dan nasional yang memberikan peluang perlindungan bagi masyarakat yang melakukan pembelaan diri.  Peluang ini dapat di kombinasikan dengan  pengetahuan Masyarakat agar menjadi strategis advokasi yang tersistematis.

“Kami di Papua sudah lama berhadapan dengan kasus dan masalah. Masalah terkait perampasan lahan, tanah, wilayah adat, yang bahkan sampai saat ini belum jelas kepastiannya kapan selesai. Saya berharap melalui pelatihan ini dapat menambah pengetahuan kami dalam memperjuangkan wilayah adat dan tanah kami di Papua,” ujar Jimi Solemanibra, peserta pelatihan dari Masyarakat Adat Moi.

Peserta pelatihan paralegal mendiskusikan masalah yang mereka hadapi dan membagikan temuan dan solusi yang ingin mereka kerjakan dalam kerja-kerja litigasi dan advokasi. Dokuemntasi/YMKL

Diselnggarakan kegiatan pelatihan paralegal bagi pembela HAM di Papua Barat Daya dengan harapan dapat melahirkan sebuah solusi dalam menangani kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Papua dan menjadi penghubung antara para pembela HAM dan organisasi bantuan hukum dalam menangani kasus yang muncul di tingkat masyarakat.

Selain itu, kegiatan pelatihan paralegal ini ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan dan  keterampilan  advokasi para pembela HAM Lingkungan di Provinsi Papua Barat Daya.