Posts

Aduan Masyarakat Adat Ompu Ronggur ke Komnas HAM

Masyarakat Adat Ompu Ronggur pada pertengah tahun 2023 mendatangi kantor Komnas HAM Republik Indonesia (RI) dalam rangka menindaklanjuti laporan atau aduan masyarakat Adat Ompu Ronggur yang mengalami kriminalisasi dari aparat kepolisian saat mempertahankan hak atas tanahnya di Tapanuli Utara, Sumatera Utara. 

Laporan itu dimasukan oleh sejumlah organisasi masyarakat termasuk masyarakat Adat Ompu Ronggur kepada pihak Komnas HAM, dan sejak laporan itu dimasukan para pihak pelapor belum sama sekali menerima informasi tentang kelanjutan atau tindak lanjut dari aduan tersebut.

Saurlin P. Siagian, Sekretaris Badan Pengurus Bakumsu, yang merupakan perwakilan dari Komnas HAM RI, mengatakan, bahwa laporan mengenai kriminalisasi yang dialami masyarakat adat Ompu Ronggur sudah mendapatkan tanggapan dari pihak Komnas HAM RI. Selain Saurlin, Komisioner Pengaduan Komnas HAM RI, Hari Kurniawan, yang hadir saat pertemuan itu juga memberikan komentar yang sama.

Audiensi bersama pihak Komnas HAM RI dan perwakilan Masyarakat Adat Ompu Ronggur, dan beberapa lembaga pendamping lainnya seperti YMKL, Serbundo, dan Aman Tanobatak

Tanggapan itu berupa sebuah rekomendasi yang dikeluarkan Komnas HAM untuk penanganan kasus kriminalisasi yang dialami oleh masyarakat adat Ompu Ronggur dan telah disampaikan ke beberapa pihak terutama organisasi masyarakat yang terlibat dalam pendampingan kasus kriminalisasi tersebut. 

Saurlin juga menyampaikan, akan memberikan teguran keras kepada Kapolres Tapanuli Utara terkait kasus kriminalisasi yang dialami oleh masyarakat adat. Dia juga merekomendasikan kepada seluruh jajaran kepolisian di wilayah tersebut untuk menghentikan segala bentuk kriminalisasi yang dilakukan aparat terhadap masyarakat terutama masyarakat Adat Ompu Ronggur dan segera menerapkan RJK (Restorative Justice).

Restorative Justice atau keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara melalui dialog, musyawarah atau media dengan melibatkan beberapa pihak seperti korban, terdakwa, keluarga korban, pelapor, atau ada pihak-pihak lainnya yang terkait dalam penanganan kasus tersebut. Penyelesaian perkara dengan metode Restorative Justice ini ialah bagian dari program nasional untuk mendapatkan titik temu dari siapa saja yang sedang berperkara atau terlibat dalam perkara atau pelaporan kasus sebelum dilanjutkan pada tahap persidangan selanjutnya. 

Proses audiensi terkait laporan atau aduan kriminalisasi yang dialami oleh Masyarakat Adat Ompu Ronggur bersama pihak Komnas HAM RI

Saurlin juga mengajak beberapa lembaga organisasi masyarakat yang mendampingi kasus kriminalisasi yang dialami oleh Masyarakat Adat Ompu Ronggur seperti Serbundo, YMKL, dan Aman Tano Batak untuk segera mungkin melakukan penelitian bersama Komnas HAM terkait kasus-kasus masalah hak atas tanah bagi masyarakat adat. Dia juga mempertegas ingin mendorong adanya policy brief  ke seluruh kementerian untuk menuntaskan kasus yang sedang berproses tersebut. 

Pihak Komnas HAM juga akan segera mungkin mengeluarkan SP2K (Surat Perkembangan Penanganan Kasus) yang akan diserahkan ke beberapa pihak salah satunya Serbundo/OPUK.

Masyarakat Korban Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit Menuntut Keadilan

Siaran Pers

Pernyataan Sikap Masyarakat Korban Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit

 Jakarta, 19 November 2023

Kami, warga komunitas masyarakat adat dan komunitas lokal dari Riau, Sumatera Barat, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, yang berbicara saat ini di Jakarta, adalah korban beroperasinya perusahaan perkebunan kelapa sawit yang merampas tanah dan hutan kami tanpa persetujuan komunitas kami. Justru pimpinan dan warga komunitas kami dikriminalisasi oleh aparat kepolisian Republik Indonesia atas alasan-alasan yang direkayasa.

Kami telah menjadi korban selama belasan sampai puluhan tahun. Semua upaya melalui mekanisme negara yang tersedia, baik di tingkat daerah maupun di tingkat pusat, telah kami lakukan untuk mendapatkan keadilan, namun sampai saat ini keadilan itu masih berupa mimpi. Kami juga menempuh mekanisme yang disediakan oleh pasar, yaitu melalui mekanisme pengaduan RSPO, karena kami berharap mekanisme ini dapat memberikan harapan akan keadilan, jika pengaduan kami ditangani dengan jelas dan pasti.

“Masyarakat sangat berharap sistem pengaduan RSPO yang ada memiliki kepastian waktu dan kejelasan prosedur penanganan pengaduan keluhan, sehingga proses penyelesaian menjadi jelas” ungkap Irasan, Batin Talang Parit, Indragiri Hulu, Riau.

Namun upaya melalui mekanisme pengaduan RSPO sejauh ini pun tidak memberikan hasil yang kami harapkan. Berbagai alasan disampaikan oleh RSPO: bahwa kasusnya terjadi sebelum ada RSPO, adalah tidak berdasar sebagaimana dinyatakan oleh Nazar Ikhwan gelar Angku Imbang Langi, hakim adat dari Nagari Anam Koto, Kinali, Pasaman Barat, Sumatera Barat, “Menurut kami alasan penolakan oleh RSPO atas pengaduan yang kami ajukan tidak berdasar dan tidak sesuai dengan maksud kebijakan minyak sawit berkelanjutan, sebagaimana yang tertera dalam P&C RSPO” atau berbagai alasan lain seperti kasus yang diadukan masih dalam penilaian dan akan diuji di lapangan. Yang lebih menyakitkan, ada perusahaan dari kelompok usaha anggota RSPO yang sedang berkonflik dengan masyarakat namun bisa menjual anak perusahaan yang berkonflik tersebut kepada pihak lain.

Perkebunan skala besar khususnya sawit sudah menjamur di berbagai daerah di Indonesia. Berbagai kebijakan telah dikeluarkan oleh pemerintah untuk menjamin adanya manfaat sawit bagi masyarakat. Namun, kebijakan itu tidak dapat menolong kriminalisasi terhadap masyarakat adat dan masyarakat lokal yang hidup berdampingan dengan perusahaan sawit. Kekerasan, perampasan lahan, represifitas aparat, dan tidak dijalankannya FPIC adalah bentuk-bentuk ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat. Dokumentasi: Tyas/YMKL.

Semua hal ini melanggar prinsip dan kriteria RSPO dan sudah selayaknya dalam pandangan kami RSPO memberikan sanksi kepada perusahaan tersebut. Namun semua yang kami harapkan dari RSPO tidak pernah terjawab apalagi dipenuhi. Pelanggaran-pelanggaran dan pengabaian prinsip dan kriteria RSPO yang kami hadapi terus terjadi:

  1. Penggunaan tanah adat oleh perusahaan tanpa FPIC;
  2. Perusahaan tidak memenuhi kewajibannya membangun kebun plasma untuk masyarakat;
  3. Prosedur penanganan pengaduan yang tidak transparan dan mudah diakses informasinya oleh masyarakat korban;
  4. Serta kesenjangan ketenagakerjaan yang tidak adil bagi masyarakat, baik itu masyarakat adat maupun komunitas lokal karena tetap berstatus sebagai buruh harian lepas meskipun sudah bekerja belasan tahun di perusahaan.

 Kami mempertanyakan manfaat RSPO dalam hal perlindungan dan penghormatan hak-hak masyarakat adat, komunitas lokal dan para pengguna lahan yang kehilangan tanah dan hutan karena dirampas oleh persekongkolan perusahaan dengan oknum aparat pemerintah dan aparat keamanan. 

“RSPO sama sekali tidak memberikan perhatian kepada laporan yang kami sampaikan dalam pengaduan dan tidak memberi sanksi apapun atas pelanggaran hukum dan perampasan hak-hak kami atas tanah ulayat”, ungkap Ramadhan Tanjung, Sinaro Panghulu Basa, Pimpinan Adat Nagari Simpang Tigo Kotobaru dengan nada kekecewaan yang mendalam terhadap RSPO.

Kami juga mempertanyakan kesungguhan RSPO menegakkan prinsip dan kriteria-nya sendiri. Bahwa semua perusahaan anggota RSPO wajib mematuhi peraturan perundangan dan kebijakan negara sebagai salah satu prinsip utama. Namun pelanggaran peraturan perundangan dan kebijakan yang dilakukan oleh perusahaan tidak mendapat sanksi apa pun dari pihak RSPO.

“Kami tidak menemukan penerapan standar berkelanjutan dalam bisnis kelapa sawit Wilmar di PT AMP, kami sangat berharap RSPO dapat mengontrol penerapan P&C dan memberikan sanksi terhadap anggota yang melanggar” Gasmil, Masyarakat adat dari Jorong Labuhan, Nagari Tiku Limo Jorong, Agam, Sumatera Barat.

Kami memandang persoalan kepatuhan anggota RSPO terhadap prinsip dan kriteria RSPO adalah persoalan yang sangat penting namun telah diabaikan oleh RSPO sendiri sehingga diabaikan juga oleh perusahaan-perusahaan anggota RSPO yang berkonflik dengan masyarakat adat dan komunitas lokal.

“Kami meminta agar RSPO menjadi Lembaga yang independen dan selalu menghormati hak Masyarakat Hukum Adat dan komunitas lokal. Kami berharap proses sertifikasi selalu transparan. Kami juga berharap Lembaga auditor untuk bisa menilai sesuai temuan di lapangan” tegas Said Faizan Tas’Ad, Desa Petapahan, Tapung, Kabupaten Kampar, Riau.

Senada dengan itu, Weiz dari komunitas Dayak Bekati Riuk Sebalos, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat menegaskan harapan masyarakat, “Masyarakat adat ingin RSPO sebagai organisasi terbesar yang menaungi perusahaan industri minyak sawit untuk menindaklanjuti setiap keluhan masyarakat melalui mekanisme komplen RSPO yang dilayangkan masyarakat tentang perusahaan yang bermasalah dan agar RSPO tegas dalam memberikan sanksi terhadap perusahaan tersebut”.

 Kami mengingatkan kembali tujuan pendirian RSPO, yaitu untuk mendorong prinsip minyak sawit berkelanjutan di mana aspek menghormati hak-hak masyarakat adat dan komunitas lokal serta keberlanjutan lingkungan menjadi bagian penting di dalamnya. Oleh karena itu kami menuntut RSPO harus bertanggung jawab atas semua pelanggaran prinsip dan kriteria RSPO oleh perusahaan anggota RSPO. Kami juga berharap agar Pemerintah Daerah yang bekerja sama dengan RSPO menjalankan pendekatan yurisdiksi agar konsisten menjalankannya.

“Kami mengharapkan keseriusan Pemda Kabupaten yang menerapkan sertifikat berbasis pendekatan yurisdiksi dalam penyelesaian konflik perkebunan untuk menindak tegas perusahaan yang melakukan pelanggaran. Secara khusus kami alamatkan seruan ini kepada Pemda Kabupaten Seruyan” cetus Rusdiana, Desa Tanjung Hanau, Kabupaten Seruyan.

 

Jakarta, 19 November 2023

Kami masyarakat yang menyatakan sikap ini:

 – Masyarakat Nagari Kotobaru, Pasaman Barat, Sumatera Barat

– Masyarakat Anam Koto Kinali Pasaman Barat, Sumatera Barat

– Masyarakat Labuhan, Agam, Sumatera Barat

– Masyarakat Talang Mamak Luak Talang Parit, Indragiri Hulu, Riau

– Kelompok Tani Harapan Sp-3, Nagari Simpang Tigo Koto Baru, Kec.Luhak Nan Duo, Pasaman Barat, Smuatera Barat

– Masyarakat Tanjung Hanau, Seruyan, Kaliimantan Tengah

– Masyarakat Desa Lampasa, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah

– Masyarakat Adat Dayak Bekati Riuk Dusun Sebalos, Bengkayang, Kalimantan Barat

– Masyarakat Dayak Bekati Subah, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat

– Masyarakat Adat Dayak Hibun, Kerunang-Entapang, Sanggau, Kalimantan Barat

Organisasi yang mendukung masyarakat korban:

– Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL)

– PROGRESS Kalimantan Tengah

– Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalimantan Barat

– LemBAH, Kalimantan Barat

– Yayasan Ulayat Nagari Indonesia, Sumatera Barat

– ASM / Accountability Sustainable Monitoring, Riau

– Bahtera Alam, Riau

– Forest People Programme, Inggris