Serbuan Industri Ekstraktif di Malamoi: Ancaman Bagi Masyarakat Adat, Sumber Pangan, dan Kerusakan Lingkungan
Sorong, 16 Oktober 2025 – Tanah Malamoi atau tanah Orang Moi saat ini sedang diincar oleh banyak investasi, baik investasi yang bergerak di industri perkebunan, pertambangan, dan kayu. Masifnya investasi di tanah Malamoi akan menjadi masalah besar karena akan mengancam keberlangsungan hidup masyarakat adat Moi. Sebabnya, investasi yang hadir nanti membutuhkan lahan-lahan atau akan membuka hutan yang lebih luas yang sudah menjadi sumber penghidupan masyarakat adat Moi.
Orang Moi sendiri merupakan suku terbesar di Papua Barat Daya dan merupakan orang Asli Papua yang memilik tanah dari Kabupaten Sorong hingga ke Raja Ampat. Salah investasi yang membawa dampak buruk terhadap masyarakat adat ialah perkebunan kelapa sawit. Industri ekstraktif ini berhasil membuat banyak masyarakat adat Moi kehilangan akses terhadap hutan sebagai sumber pangan mereka.
“Saya dulunya mengira perkebunan sawit ini akan menguntungkan kami masyarakat adat Masinow, ternyata pada kenyataan tidak ada. Kami kena tipu semua. Sawit membodohi kami,” ungkap Bapak Yulius Masinow dengan tegas pada diskusi hasil riset Investasi Bodong: Beban dan manfaat Investasi Sawit di Tanah Papua, Sorong, 16 Oktober 2025.
Yulius Masinow juga menceritakan bagaimana perusahaan sawit yang mengambil wilayah adatnya memberikan dampak yang buruk bagi kondisi lingkungan. Masyarakat kampung khususnya marga Masinow juga dijanjikan 20 persen plasma oleh perusahaan sawit, tapi sampai dengan saat ini janji plasma itu tidak terealisasikan.
Dia juga bilang, banyak pohon sagu atau dusun sagu sudah hilang dan digantikan dengan kebun sawit. Padahal masyarakat di kampung menggantungkan hidup mereka dari sagu untuk sumber makanan pokok.
“wilayah adat kami yang kena sawit itu perusahaan ambil dengan cara paksa. Kami ditekan saat perusahaan datang ke kampung. Akhirnya tanah ada kami tiba-tiba sudah jadi HGU milik perusahaan IKS (Inti Kebun Sejahtera),” kata Yulius Masinow marga Masinow dari perwakilan Masyarakat Adat Suku Moi Sub Suku Sigin, pada acara peringatan hari pangan internasional di Sorong, Papua Barat Daya, 16 Oktober 2025.
Yulias mempertegas, banyak kendala yang mereka rasakan di kampung. Khususnya konflik yang diciptakan oleh perusahaan yang membuat masyarakat kampung terpecah belah. Padahal, dulunya sebelum sawit masuk, kehidupan di kampung begitu harmonis.
“Saya berharap, apa yang saya sampaikan ini menjadi perhatian pemerintah yang hadir di acara hari ini,” kata Yulius dengan penuh harap.
Sementara itu, Samon Somori selaku Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPM-PTSP) Kabupaten Sorong yang hadir pada diskusi hasil riset sawit bodong memaparkan, bahwa selama ini pemerintah daerah atau kabupaten tidak pernah dilibatkan oleh perusahaan dalam meninjau izin-izin setiap perusahaan.
“Untuk wilayah Sorong sendiri, sudah ada perda nomor 10 tahun 2017 tentnag perlindungan dan pengakuan MHA. Ini bisa dipakai untuk memperkuat posisi masyarakat adat dalam menghadapi investasi yang masuk di tanah-tanah marga atau tanah adat,” kata Samon pada saat diskusi, Kamis (16/10/2025).
Samon mengatakan, permasalahan lingkungan yang dihasilkan oleh perusahaan sawit juga langsung direspon langsung pemerintah dalam hal ini Dinas Lingkungan yang langsung turun ke lapangan saat ada informasi mengenai limbah yang dihasilkan oleh perusahaan kelapa sawit.
“untuk isu PSN sampai dengan saat ini belum ada tindak lanjut. Untuk kepastian lokasi juga perlu dipastikan, apakah harus membuka lahan baru atau yang sudah ditanami sawit,” jelas Kadis DPM-PTSP tersebut.
Namun Wiko Saputra tidak senada dengan apa yang disampaikan oleh Samon Somori. Menurutnya, kehadiran investasi sawit di tanah Papua tidak banyak menguntungkan masyarakat adat. Sawit masuk di tanah Papua bias izin yang diterobos secara langsung oleh korporasi dan pemerintah. Ada banyak izin perusahaan yang tidak sesuai dan tidak tunduk pada peraturan serta kebijakan negara.
“Per tahun rakyat Papua harus rugi 96 triliun akibat okupasi sawit di tanah Papua. Tidak ada dampak dan manfaat baik yang diterima oleh masyarakat adat Papua. Yang diterima masyarakat hanyalah beban sosial, beban kerusakan lingkungan, dan beban ekonomi,” tegas Wiko.
Wiko juga bilang, ada banyak modus perusahaan mengakali kewajiban 20 persen plasma oelh perusahaan sawit. Banyak plasma diubah menjadi bantuan, bangun infrastruktur, buat program pemajuan ekonomi yang dihitung sebagai kewajiban plasma perusahaan. Padahal ini melanggar secara aturan bagaimana skema pemberian kewajiban plasma oleh perusahaan sawit.
“Temuan KPK juga menunjukan baru ada 28 persen perusahaan sawit di Indonesia yang telah merealisasikan kewajiban plasma. Dan untuk Papua angkanya masih sangat kecil,” tambah Wiko lagi.
Dalam hasil risetnya, Wiko juga menegaskan bahwa temuan riset mereka bisa berimplikasi pada banyak hal salah satunya masalah besar yang akan dihadapi oleh masyarakat Papua, yakni mengenai krisis pangan. Papua menjadi nomor 1 kerawanan pangan di Indonesia. Jika ini terjadi akan berbanding terbalik denga napa yang ada di Papua. Wilayah yang kaya akan sumber daya alamnya kini dalam ancaman kerawanan pangan akibat investasi sawit yang tidak memberikan keuntungan kepada masyarakat dan lebih banyak merugikan.
“Salah satu solusinya adalah dengan mendorong pemerintah membentuk tim audit plasma independent yang didalamnya diisi oleh masyarakat adat, OMS, dan pemerintah. Dan mempertegas hasil penertiban kawasan hutan oleh satgas dikembalikan ke masyarakat bukan ke perusahaan negara seperti Agrinas,” tegas Wiko.
Dahulu, kehidupan Orang Moi sebelum industri masuk sangat bergantung di hutan sebagai sumber makan, tapi setelah digempur investasi semua kehidupan orang Moi berubah. Sebelum perkebunan kelapa sawit menggempur Tanah Moi, para kolonial Belanda telah mengeksploitasi habis-habisan hutan Orang Moi. Salah satunya ditemukannya sumber-sumber minyak bumi pada pemerintahan colonial Belanda yang mulai mengubah lanskap tanah Malamoi.
Setelah melewati fase penjajahan Belanda itu, kini, Kabupaten Sorong khususnya masih menjadi sentra ekonomi ekstraktif di tanah Papua bagian barat. Apalagi investasi yang dicanangkan pemerintah diperkuat dengan Proyek Strategis Nasional. Hal ini turut mendorong masyarakat adat akan kehilangan hutan dan wilayah adat mereka akibat proyek investasi dengan watak investasi serakah.
“Kami berharap sekali lagi, agar masalah yang kami hadapi dengan perusahaan sawit didengarkan oleh perusahaan dan pemerintah juga menyelesaikan masalah-masalah ini,” tutup Yulius.