Posts

Hari Pangan Sedunia: Hentikan Kriminalisasi, Upayakan Perlindungan, dan Pelibatan Masyarakat Adat dalam Kebijakan Pembangunan

Siaran Pers

Yayasan Pusaka Bentala Rakyat

Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari

 

Tuntutan dan Desakan dari Masyarakat Adat Papua Barat Daya Pada Perayaan Hari Pangan Sedunia: “Hentikan Kriminalisasi, Upayakan Regulasi Perlindungan Kepada MA, dan Pelibatan MA dalam Kebijakan Pembangunan” 

Sorong, Papua Barat Daya, 16-18 Oktober 2025

 

Sejak awal tumbuh suburnya perusahaan sawit di Sorong, belum ada tindakan pemerintah yang mengevaluasi beroperasinya perusahaan. Apakah sudah taat pada aturan kehutanan, pertanian atau perkebunan. Juga bagaimana penyelesaian konflik dengan masyarakat adat pemilik hutan yang masuk dalam wilayah konsesi. Salah satu alasan karena industri ekstraktif SDA erat kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang umumnya terjadi dalam situasi politik praktis berbiaya mahal di mana kandidat pemimpin daerah mendapatkan biaya politik dari pengusaha dan membalasnya dengan cara memberi konsesi SDA pasca terpilih. Cara ijon politik perizinan ini banyak terbukti inkracht secara hukum terutama periode dimana KPK banyak menyoroti permasalahan korupsi sektor SDA – KPK GNPSDA.

Pada tahun 2021 Pemda Provinsi Papua Barat berdasarkan review perizinan KPK melakukan penindakan perizinan sektor SDA – khususnya perusahaan perkebunan sawit. Tindakan ini perlu diapresiasi dan dilihat lagi sebagai milestone perbaikan tata kelola SDA karena masa kebelakang hampir tidak ada upaya serupa itu. Momentum ini bahkan memicu Pemda Sorong dan Sorong Selatan untuk mengambil tindakan administratif lebih serius dengan mencabut beberapa tahapan perizinan perusahaan sawit yang terbukti melakukan pelanggaran hukum.

Riset Yayasan Pusaka (2024) tentang Investasi Sawit di Sorong berjudul “Investasi Bodong: Mengungkap Beban dan Manfaat dari Investasi Sawit di Tanah Papua” menemukan permasalahan dari pendudukan perkebunan sawit di level masyarakat di kampung orang asli Papua di mana banyak masalah seperti pelepasan tanah adat yang melanggar hukum adat serta UU Otsus Papua dan sawit plasma masyarakat yang tidak sesuai aturan.

Menurut Wiko Saputra, kehadiran investasi sawit di tanah Papua tidak banyak menguntungkan masyarakat adat. Ada banyak izin perusahaan yang tidak sesuai dan tidak tunduk pada peraturan serta kebijakan negara. 

“Per tahun rakyat Papua harus rugi 96 triliun akibat okupasi sawit di tanah Papua. Tidak ada dampak dan manfaat baik yang diterima oleh masyarakat adat Papua. Yang diterima masyarakat hanyalah beban sosial, beban kerusakan lingkungan, dan beban ekonomi,” tegas Wiko. 

Menurut Wiko, ada banyak modus perusahaan mengakali kewajiban 20 persen plasma oleh perusahaan sawit. Banyak plasma diubah menjadi bantuan, bangun infrastruktur, buat program pemajuan ekonomi yang dihitung sebagai kewajiban plasma perusahaan. Padahal ini melanggar secara aturan bagaimana skema pemberian kewajiban plasma oleh perusahaan sawit. 

“Temuan KPK juga menunjukan baru ada 28 persen perusahaan sawit di Indonesia yang telah merealisasikan kewajiban plasma. Dan untuk Papua angkanya masih sangat kecil,” tambah Wiko lagi. 

Dalam hasil risetnya “Sawit Investasi Bodong”, Wiko juga menegaskan bahwa temuan riset mereka bisa berimplikasi pada banyak hal salah satunya masalah besar yang akan dihadapi oleh masyarakat Papua, yakni mengenai krisis pangan. Papua menjadi nomor 1 kerawanan pangan di Indonesia. Jika ini terjadi akan berbanding terbalik dengan apa yang ada di Papua. Wilayah yang kaya akan sumber daya alamnya kini dalam ancaman kerawanan pangan akibat investasi sawit yang tidak memberikan keuntungan kepada masyarakat dan lebih banyak merugikan. 

“Salah satu solusinya adalah dengan mendorong pemerintah membentuk tim audit plasma independen yang didalamnya diisi oleh masyarakat adat, OMS, dan pemerintah. Dan mempertegas hasil penertiban kawasan hutan oleh satgas dikembalikan ke masyarakat bukan ke perusahaan negara seperti Agrinas,” tegas Wiko. 

Nelson Kutumun dari Suku Moi Sigin Distrik Moisigin berbagi cerita dari kampungnya sejak perusahaan sawit masuk tahun 2007 yang telah melakukan pembongkaran tanah masyarakat adat. Perusahaan membuat komitmen dan janji kepada masyarakat dengan alasan tanah akan kembali dan perusahaan hanya mendapat izin kelola atau izin pakai saja. Setelah masa kontrak itu berakhir tanah akan kembali kepada masyarakat lagi. Akan tetapi, semua itu tidak seperti yang terbayangkan. 

“Saat saya mengecek isi perjanjian dan kontrak, saya menyesal. Semua kesepakatan itu tidak ada. Tidak ada dalam kontrak tanah akan kembali. Semua akan diserahkan ke negara jika masa kontrak perusahaan selesai,” kata Nelson pada diskusi memperingati hari pangan di Sorong, Sabtu 18 Oktober 2025.

Nelson, masyarakat adat dari Moi Sigin ini menyayangkan juga sejak kehadiran perusahaan sawit di kampungnya hutan dan dusun sagu hilang. Hutan terlarang yang sakral diterobos oleh perusahaan sawit. Bahkan, ada satu kalimat dalam kontrak yang Nelson baca, yang berbunyi, ”semua hasil yang ada di perut bumi yang masuk dalam wilayah pengelolaan perusahaan hak perusahaan”. Padahal perjanjian awalnya semua hasil bumi yang masuk izin masih bisa dikelola oleh pribumi atau masyarakat adat. 

“Parahnya lagi. Ada kalimat seperti ini ‘semua hal buruk yang terjadi bukan tanggung jawab pihak kedua. Pihak kedua dalam hal ini perusahaan’. Saya mau ingatkan kepada kalian semua, jangan main-main dengan sawit. Karena kerugiannya tidak sedikit,” ucap Nelson dengan tegas pada sesi diskusi. 

Yulius Marinow Masyarakat Adat terdampak perkebunan sawit berbagi ceritanya mengenai dampak buruk yang dirasakan anggota marganya saat perusahaan sawit hadir di kampung. Yulius hadir dan berbagi cerita pada sesi diskusi hasil riset investasi sawit bodong di tanah Papua dalam rangkaian kegiatan memperingati hari pangan internasional, Sorong, Rabu (16/10/2025).

Pemerintah Kabupaten Sorong pada tahun 2021 berhasil mencabut 4 izin usaha perkebunan sawit dari 7 konsesi sawit yang ada di Kabupaten Sorong. Alasan dasar pencabutan izin berawal dari evaluasi perizinan kelapa sawit di Provinsi Papua Barat yang dimulai sejak Juli 2018, sebelum Papua Barat Barat menjadi satu Provinsi sendiri (pemekaran Papua Barat) pada tahun 2022 karena revisi UU Otsus Papua Jilid II. 

Alasan lainnya dalam Deklarasi Manokwari bahwa Papua Barat sebagai Provinsi konservasi. Juga tertuang dalam Inpres Nomor 8 tahun 2018 tentang Penundaan Pelepasan Kawasan Hutan untuk Perkebunan Sawit (Inpres Moratorium Sawit) dan Koordinasi dan Supervisi Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNP-SDA) KPK.

Empat perusahaan sawit yang dicabut itu adalah PT Inti Kebun Lestari, PT Cipta Papua Plantation, PT Papua Lestari Abadi, dan PT Sorong Agro Sawitindo. Keempat perusahaan ini dari hasil evaluasi telah melakukan pelanggaran administrasi seperti tidak memiliki IPK, IUP, HGU, dan tidak memiliki kepemilikan pelaporan saham dan kepengurusan.

“Hal yang lain lagi adalah perusahan sawit ini tidak ada laporan perubahan pemilik saham dan tidak memiliki Hak Guna Usaha,” kata Demianus Aru, selaku Kabag Hukum Kabupaten Sorong, pada sesi diskusi perayaan pangan internasional di Sorong, Jumat (17/10/2025).

Beberapa Perusahaan sawit yang dicabut pun melawan balik melalui PTUN Jayapura kendatipun kalah. Tetapi upaya lanjutan mereka menang pada tingkat banding di PTTUN. Ada juga yang tidak melakukan pembelaan hukum. Di Sorong bahkan hingga kini ada perusahaan yang menempuh upaya hukum luar biasa berupa peninjauan kembali (PK) di MA sebagai upaya mendapatkan kembali konsesinya.

Kabag Hukum itu juga menuturkan, perusahaan sawit yang melanggar administrasi ini sangat merugikan masyarakat adat. Kerugian telah banyak ditimbulkan akibat perusahaan sawit tersebut. Dia juga mengatakan masyarakat saat ini jangan mudah terpancing dengan cepat menjual tanah adatnya. 

Devianti Sesa Perempuan Adat dari Kampung Wehali Sorong Selatan, mengatakan bahwa masyarakat adat di Papua jangan menjual tanah. Karena tanah dan perempuan itu sangat erat. Harus berkaca dari perusahaan sawit yang hadir di kampung-kampung. Tanah lepas, pangan dan kehidupan juga ikut terdampak. Makanya perlu mengupayakan perlindungan dari sekarang terhadap tanah-tanah di kampung. 

“Kami sadar pasti akan datang investasi. Tapi kami perlu perlindungan dengan dibuatnya regulasi untuk menjaga tanah adat dan pangan di tingkat kampung. Agar masyarakat adat bisa merasa aman wilayahnya dan tidak akan mudah diambil oleh perusahaan,” tuturnya dalam sesi diskusi. 

Devianti yang hadir sebagai narasumber saat itu menjelaskan bagaimana perempuan di kampungnya selalu masuk keluar hutan untuk mencari bahan membuat noken. Kesehariannya yang sering ke hutan merupakan salah satu upaya menjaga hutan. Kalau tidak menjaga hutan kedepannya pasti akan hilang. Pangan akan hilang. Noken akan hilang. Sebab hutan sudah menjadi bagian dari kehidupan orang Papua. 

Sebagai Provinsi baru, PBD mewarisi banyak masalah. Saat diskusi memperingati hari pangan 16-18 Oktober masalah itu terungkap dari kesaksian masyarakat yang hadir. Masalah itu seperti sawit plasma, kekerasan aparat dan pelepasan tanah adat yang melanggar hukum. Perwakilan masyarakat adat dari Sorong hingga Sorong Selatan bahkan Raja Ampat memaparkan setiap kondisi yang terjadi di lapangan. Ada perampasan ruang hidup, penipuan yang dilakukan perusahaan, dan paling parahnya lagi peluang masyarakat kehilangan wilayah adat dan tanahnya didukung oleh perizinan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat.

Hal ini bisa dilihat dari perkembangan kebijakan tata ruang nasional melalui Kementerian ATR/BPN No.B/PB.07.01/2834/X/2024 memberikan rekomendasi peninjauan kembali bahwa RTRW Provinsi Papua Barat Daya 2025-2045 perlu direvisi.Revisi ini merujuk pada UU No.59 Tahun 2024 tentang RPJPN 2025-2045 dengan fokus arah kebijakan transformasi ekonomi untuk Papua Barat Daya:

1. Pengembangan komoditas unggulan bernilai tambah tinggi dan industri pengolahan berbasis komoditas unggulan
2. Pengembangan pariwisata unggulan dan ekonomi kreatif
3. Pembangunan ketenagalistrikan
4. Pengembangan dan peningkatan pada pelabuhan-pelabuhan simpul utama di sebagai transhipment hub domestic di Pelabuhan Sorong

 Perubahan kebijakan tata ruang ini tentu saja dimaksudkan untuk mengakomodir kebijakan pembangunan Jakarta di Papua dengan fokus pembangunan yang telah ditentukan di awal untuk diterapkan ke seluruh Papua. Jika membaca perencanaan kebijakan dengan kondisi di lapangan nampaknya ketegangan masih akan terus terjadi. Persoalan yang mendasar tentang perlindungan Orang Asli Papua dan tanahnya masih terabaikan. Seringkali kepentingan perusahaan ekstraktif didahulukan atas nama pembangunan atau kepentingan nasional mendominasi panggung wacana politik praktik kebijakan. Satu hal yang sering terlupa, perlindungan mendasar OAP seperti hak atas tanah dan hutan dalam skema hutan adat pelaksanaannya tak pernah diseriusi dalam ranah kebijakan nasional. 

Menurut data BRWA hingga agustus 2025 penetapan hutan adat di seluruh Papua hanya sekitar 39.912 hektar dari potensi luasan 12.466.866 hektar. Parahnya Provinsi Papua Barat dengan lima kabupatennya yang menjadi sasaran investasi ekstraktif SDA hingga kini belum ada satupun penetapan hutan adat. 

Kebijakan Tata Ruang Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya juga dijelaskan oleh Rahman Selaku Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Riset dan Inovasi Daerah (Bapperida) pada sesi diskusi perayaan hari pangan internasional yang dilaksanakan di Hotel Panorama Sorong, Kamis, 16 Oktober 2025.

 “Visi jangka panjang PBD sebagai pintu gerbang arah pembangunan Papua yang maju dan berkelanjutan berbasis ekonomi biru. Ekonomi biru ini sebagai pilar karena garis pantai wilayah PBD sangat luas ditunjang dengan kekayaan sumber daya lautnya,” jelas Rahman Kepala Bapperida Papua Barat Daya. 

Papua Barat Daya meskipun baru seumur jagung tapi sudah matang dipersiapkan untuk arah pembangunannya ke depan. Misalnya arah pembangunan pada sektor ekonomi ekstraktif yang difokuskan pada pertumbuhan ekonomi jangka pendek. Selain itu, arah pembangunan Papua Barat Daya juga akan mengarah kepada pengembangan potensi transisi energi yang menjunjung tinggi komitmen energi terbarukan dan rendah karbon. 

Nelson, masyarakat adat dari Moi Sigin ini menyayangkan juga sejak kehadiran perusahaan sawit di kampungnya hutan dan dusun sagu hilang. Hutan terlarang yang sacral diterobos oleh perusahaan sawit.

“Akan tetapi ada risiko dalam proyek transisi energi ini. Banyak masalah di lapangan seperti masyarakat adat yang hilang tanah. Makanya pemerintah mengupayakan prinsip transisi energi yang berkeadilan  dengan cara mengoptimalkan energi lokal seperti air, surya, dan laut,” tambah Rahman. 

Namun, paparan Kepala Bapperida ini tidak sesuai dengan kondisi yang terjadi di lapangan. Silas Kalami selaku Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Malamoi menjelaskan, banyak konflik yang terjadi antara masyarakat dengan perusahaan dan antara masyarakat sendiri. Konflik bukan hanya memicu perkelahian tapi turut memperburuk ikatan persaudaraan antar masyarakat dan antar marga. 

Menurut Silas, investasi membawa dampak buruk bagi masyarakat adat. Kondisi lingkungannya rusak sehingga ruang hidup masyarakat juga ikut terganggu. Hutan yang dulunya selalu dimanfaatkan sebagai tempat makan. Saat ini tidak bisa lagi karena semua hutan dan tanah adat berubah menjadi lahan-lahan kebun sawit dan tambang. Hal ini seharusnya menjadi pelajaran kepada semua masyarakat adat agar tidak menerima bujuk rayu investasi yang menyasar tanah adatnya. Karena keburukannya sudah bisa dilihat di depan mata dan terjadi di mana-mana. 

“Masyarakat adat harus waspada dengan investasi atau proyek dari pemerintah. Harus belajar dari banyak kasus jangan menjual tanah lagi. Yang ada sekarang tanahnya harus dipertahankan. Jangan lagi dijual,” ujar Silas dalam sesi diskusi. 

Apalagi kata Silas, Perda tentang perlindungan dan pengakuan masyarakat hukum adat di Kabupaten Sorong sudah tegas mengatur bagaimana investasi masuk ke tanah marga atau tanah adat harus mendapat persetujuan masyarakat adat itu sendiri. Artinya, tanah penting untuk dijaga. Alam untuk dijaga. Dan manusianya saling menjaga. 

Torianus Kalami, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Malamoi, yang juga hadir sebagai pembicara pada sesi diskusi itu memberikan pandangannya tentang kehadiran investasi di tanah Malamoi. Tori menyadari regulasi perlindungan kepada masyarakat adat adalah salah satu jalan keluar dari permasalahan yang dihadapi sekarang oleh masyarakat adat Papua khususnya di Malamoi. 

Meskipun Perda Nomor 10 tahun 2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat di Kabupaten Sorong sudah disahkan, tapi perjuangan dalam melindungi masyarakat adat tidak harus berhenti di situ. Perlu lagi membuat regulasi di tingkat kampung seperti membuat peraturan adat di kampung lalu didorong ke tingkat kabupaten sebagai mitigasi perlindungan masyarakat adat di kampung. 

“Perda Nomor 10 ini bisa jadi sejarah awal di Papua yang membuat perlindungan untuk masyarakat adat Papua. Tapi jangan habis sampai di situ. Masih ada pekerjaan lainnya adalah dengan membuat regulasi di tingkat kampung,” kata Torianus dihadapan peserta diskusi yang dihadiri masyarakat adat dari Sorong hingga Sorong Selatan. 

Akhirnya diskusi selama tiga hari tersebut ditutup dengan mendiskusikan solusi bersama dan melahirkan tuntutan kebijakan yang harus segera didorong dan dibentuk oleh pemerintah baik pemerintah Pusat dan khususnya Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya.

Tuntutan bersama masyarakat adat dalam perayaan hari pangan sedunia

 

Serbuan Industri Ekstraktif di Malamoi: Ancaman Bagi Masyarakat Adat, Sumber Pangan, dan Kerusakan Lingkungan

Sorong, 16 Oktober 2025 – Tanah Malamoi atau tanah Orang Moi saat ini sedang diincar oleh banyak investasi, baik investasi yang bergerak di industri perkebunan, pertambangan, dan kayu. Masifnya investasi di tanah Malamoi akan menjadi masalah  besar karena akan mengancam keberlangsungan hidup masyarakat adat Moi. Sebabnya, investasi yang hadir nanti membutuhkan lahan-lahan atau akan membuka hutan yang lebih luas yang sudah menjadi sumber penghidupan masyarakat adat Moi.

Orang Moi sendiri merupakan suku terbesar di Papua Barat Daya dan merupakan orang Asli Papua yang memilik tanah dari Kabupaten Sorong hingga ke Raja Ampat. Salah investasi yang membawa dampak buruk terhadap masyarakat adat ialah perkebunan kelapa sawit. Industri ekstraktif ini berhasil membuat banyak masyarakat adat Moi kehilangan akses terhadap hutan sebagai sumber pangan mereka.

“Saya dulunya mengira perkebunan sawit ini akan menguntungkan kami masyarakat adat Masinow, ternyata pada kenyataan tidak ada. Kami kena tipu semua. Sawit membodohi kami,” ungkap Bapak Yulius Masinow dengan tegas pada diskusi hasil riset Investasi Bodong: Beban dan manfaat Investasi Sawit di Tanah Papua, Sorong, 16 Oktober 2025.

Yulius Masinow juga menceritakan bagaimana perusahaan sawit yang mengambil wilayah adatnya memberikan dampak yang buruk bagi kondisi lingkungan. Masyarakat kampung khususnya marga Masinow juga dijanjikan 20 persen plasma oleh perusahaan sawit, tapi sampai dengan saat ini janji plasma itu tidak terealisasikan.

Dia juga bilang, banyak pohon sagu atau dusun sagu sudah hilang dan digantikan dengan kebun sawit. Padahal masyarakat di kampung menggantungkan hidup mereka dari sagu untuk sumber makanan pokok.

“wilayah adat kami yang kena sawit itu perusahaan ambil dengan cara paksa. Kami ditekan saat perusahaan datang ke kampung. Akhirnya tanah ada kami tiba-tiba sudah jadi HGU milik perusahaan IKS (Inti Kebun Sejahtera),” kata Yulius Masinow marga Masinow dari perwakilan Masyarakat Adat Suku Moi Sub Suku Sigin, pada acara peringatan hari pangan internasional di Sorong, Papua Barat Daya, 16 Oktober 2025.

Yulias mempertegas, banyak kendala yang mereka rasakan di kampung. Khususnya konflik yang diciptakan oleh perusahaan yang membuat masyarakat kampung terpecah belah. Padahal, dulunya sebelum sawit masuk, kehidupan di kampung begitu harmonis.

“Saya berharap, apa yang saya sampaikan ini menjadi perhatian pemerintah yang hadir di acara hari ini,” kata Yulius dengan penuh harap.

Sementara itu, Samon Somori selaku Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPM-PTSP) Kabupaten Sorong yang hadir pada diskusi hasil riset sawit bodong memaparkan, bahwa selama ini pemerintah daerah atau kabupaten tidak pernah dilibatkan oleh perusahaan dalam meninjau izin-izin setiap perusahaan.

“Untuk wilayah Sorong sendiri, sudah ada perda nomor 10 tahun 2017 tentnag perlindungan dan pengakuan MHA. Ini bisa dipakai untuk memperkuat posisi masyarakat adat dalam menghadapi investasi yang masuk di tanah-tanah marga atau tanah adat,” kata Samon pada saat diskusi, Kamis (16/10/2025).

Samon mengatakan, permasalahan lingkungan yang dihasilkan oleh perusahaan sawit juga langsung direspon langsung pemerintah dalam hal ini Dinas Lingkungan yang langsung turun ke lapangan saat ada informasi mengenai limbah yang dihasilkan oleh perusahaan kelapa sawit.

“untuk isu PSN sampai dengan saat ini belum ada tindak lanjut. Untuk kepastian lokasi juga perlu dipastikan, apakah harus membuka lahan baru atau yang sudah ditanami sawit,” jelas Kadis DPM-PTSP tersebut.

Namun Wiko Saputra tidak senada dengan apa yang disampaikan oleh Samon Somori. Menurutnya, kehadiran investasi sawit di tanah Papua tidak banyak menguntungkan masyarakat adat. Sawit masuk di tanah Papua bias izin yang diterobos secara langsung oleh korporasi dan pemerintah. Ada banyak izin perusahaan yang tidak sesuai dan tidak tunduk pada peraturan serta kebijakan negara.

“Per tahun rakyat Papua harus rugi 96 triliun akibat okupasi sawit di tanah Papua. Tidak ada dampak dan manfaat baik yang diterima oleh masyarakat adat Papua. Yang diterima masyarakat hanyalah beban sosial, beban kerusakan lingkungan, dan beban ekonomi,” tegas Wiko.

Wiko juga bilang, ada banyak modus perusahaan mengakali kewajiban 20 persen plasma oelh perusahaan sawit. Banyak plasma diubah menjadi bantuan, bangun infrastruktur, buat program pemajuan ekonomi yang dihitung sebagai kewajiban plasma perusahaan. Padahal ini melanggar secara aturan bagaimana skema pemberian kewajiban plasma oleh perusahaan sawit.

“Temuan KPK juga menunjukan baru ada 28 persen perusahaan sawit di Indonesia yang telah merealisasikan kewajiban plasma. Dan untuk Papua angkanya masih sangat kecil,” tambah Wiko lagi.

Dalam hasil risetnya, Wiko juga menegaskan bahwa temuan riset mereka bisa berimplikasi pada banyak hal salah satunya masalah besar yang akan dihadapi oleh masyarakat Papua, yakni mengenai krisis pangan. Papua menjadi nomor 1 kerawanan pangan di Indonesia. Jika ini terjadi akan berbanding terbalik denga napa yang ada di Papua. Wilayah yang kaya akan sumber daya alamnya kini dalam ancaman kerawanan pangan akibat investasi sawit yang tidak memberikan keuntungan kepada masyarakat dan lebih banyak merugikan.

“Salah satu solusinya adalah dengan mendorong pemerintah membentuk tim audit plasma independent yang didalamnya diisi oleh masyarakat adat, OMS, dan pemerintah. Dan mempertegas hasil penertiban kawasan hutan oleh satgas dikembalikan ke masyarakat bukan ke perusahaan negara seperti Agrinas,” tegas Wiko.

Dahulu, kehidupan Orang Moi sebelum industri masuk sangat bergantung di hutan sebagai sumber makan, tapi setelah digempur investasi semua kehidupan orang Moi berubah. Sebelum perkebunan kelapa sawit menggempur Tanah Moi, para kolonial Belanda telah mengeksploitasi habis-habisan hutan Orang Moi. Salah satunya ditemukannya sumber-sumber minyak bumi pada pemerintahan colonial Belanda yang mulai mengubah lanskap tanah Malamoi.

Setelah melewati fase penjajahan Belanda itu, kini, Kabupaten Sorong khususnya masih menjadi sentra ekonomi ekstraktif di tanah Papua bagian barat. Apalagi investasi yang dicanangkan pemerintah diperkuat dengan Proyek Strategis Nasional. Hal ini turut mendorong masyarakat adat akan kehilangan hutan dan wilayah adat mereka akibat proyek investasi dengan watak investasi serakah.

“Kami berharap sekali lagi, agar masalah yang kami hadapi dengan perusahaan sawit didengarkan oleh perusahaan dan pemerintah juga menyelesaikan masalah-masalah ini,” tutup Yulius.

Orang Melayu: Hak, Tanah dan Identitas Adat

Istilah Melayu tampaknya berasal dari abad ke-4 atau ke-5 Masehi yang merujuk pada kerajaan-kerajaan Buddha awal yang muncul di Sumatra Selatan yang berusaha menguasai dan berkontribusi pada perdagangan antarbenua antara Tiongkok dan India serta Timur Tengah. Awalnya, istilah ini merujuk pada keluarga kerajaan dari kesultanan-kesultanan ini, yang dengan cepat menyebarkan jaringan mereka ke seluruh perairan Asia Tenggara, baru kemudian istilah ini diterapkan pada berbagai masyarakat yang mereka kuasai dan kemudian lebih luas lagi pada semua penutur rumpun bahasa yang tersebar di seluruh wilayah tersebut. Saat ini, istilah Melayu digunakan oleh berbagai kelompok masyarakat untuk mengidentifikasi diri mereka yang memiliki riwayat hubungan dengan kesultanan-kesultanan ini yang telah memeluk agama Islam.

Penelitian ini menunjukkan bagaimana – berdasarkan pengambilan sampel dan bukan survei menyeluruh – banyak dari berbagai kelompok masyarakat yang kini menganggap diri mereka sebagai orang Melayu masih menjunjung tinggi hubungan mereka dengan tanah dan lingkungan mereka berkenaan dengan konsep tradisional yang mungkin mendahului pemelukan agama Islam. Dengan demikian, kita menemukan masyarakat ‘Melayu’ yang memiliki sistem penguasaan tanah yang mirip dengan orang Minangkabau di Sumatra Barat, yang berdasarkan garis keturunan ibu/matrilineal, atau masyarakat hutan Bathin di Sumatra Timur, orang Dayak di Kalimantan, dan seterusnya. Mereka mungkin telah mengadopsi Islam dan hukum syariah, mereka mungkin menganggap diri mereka ‘modern’, tetapi dalam hal bagaimana mereka memerintah dan berkaitan dengan wilayah, tanah, dan sumber daya mereka, mereka mempertahankan versi hukum adat yang dimodifikasi, yang memiliki akar yang jauh lebih dalam.

Temuan-temuan ini memiliki implikasi besar terhadap bagaimana hak-hak masyarakat ini kini diperhitungkan oleh pemerintah, lembaga-lembaga pembangunan dan perusahaan – dan sistem sertifikasi sukarela seperti FSC. Laporan ini diakhiri dengan serangkaian rekomendasi tentang bagaimana masyarakat-masyarakat ini harus diperlakukan secara lebih adil di masa mendatang.

Studi ini dibangun berdasarkan kerja sama selama bertahun-tahun antara Forest Peoples Programme, yang berpusat di Inggris, Bahtera Alam, yang berpusat di Riau, dan Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari, yang berpusat di Jakarta, dalam mendukung ‘masyarakat hutan’ – yang kami artikan sebagai masyarakat yang telah lama tinggal di dalam dan di sekitar kawasan hutan, yang mengklaim hak adat atas tanah mereka.1 Dua dari tiga penulis naskah ini mengidentifikasi diri sebagai orang Melayu.

Program-program lapangan dari berbagai organisasi kami dalam mendukung masyarakat Melayu di Kalimantan dan Sumatra dalam dua decade terakhir ini telah membuat kami menyadari bahwa meskipun masyarakat Melayu mengklaim identitas yang sama dan menganut agama yang sama – Islam – cara mereka berhubungan dengan tanah mereka dan mengklaim hak atas tanah tersebut sering kali sangat berbeda.

Berbeda halnya dengan literatur tentang masyarakat Dayak di Kalimantan dan masyarakat lainnya seperti Minangkabau di Sumatra Barat, relative sangat sedikit LSM dan studi akademis tentang masyarakat Melayu yang berupaya mendokumentasikan sistem penguasaan tanah mereka atau, bahkan lebih sedikit lagi, untuk mengartikulasikan klaim dan harapan mereka tentang tanah dan sumber daya mereka saat berurusan dengan pemerintah dan sektor swasta.

Penelitian ini merupakan upaya sederhana untuk mengoreksi kesenjangan yang ada ini, yang didorong oleh fakta bahwa transformasi besar sedang berlangsung di Indonesia yang bertujuan untuk memberikan remediasi atas ‘kerugian sosial’ yang diderita oleh masyarakat akibat dampak dari sektor kayu pulp antara tahun 1994 dan 2020, sejalan dengan Kebijakan baru Forest Stewardship Council (FSC) untuk Mengatasi Konversi, Kebijakan Asosiasi yang direvisi, dan Kerangka Kerja Remediasi yang baru-baru ini diadopsi.

FSC menawarkan sebuah prosedur di mana masyarakat yang mengidentifikasi diri sebagai masyarakat adat dan ‘masyarakat tradisional’ lainnya yang memiliki hak-hak adat, baik yang telah maupun yang belum diakui oleh hukum perundang-undangan, dapat memperoleh remediasi atas kerugian yang ditimbulkan kepada mereka oleh perusahaan yang ingin berasosiasi dengan FSC dan kemudian memperoleh sertifikasi sesuai dengan standarnya.

Penelitian ini didasarkan pada tinjauan pustaka, refleksi atas pengalaman lapangan lembaga-lembaga kami selama tiga puluh tahun terakhir, sebagai organisasi hak asasi manusia dan organisasi pendamping yang bekerja dengan masyarakat yang mengidentifikasi diri sebagai orang Melayu, dan didasarkan atas serangkaian kunjungan lapangan singkat ke wilayah masyarakat Melayu di Riau yang dilakukan oleh para penulis bersama pada bulan Mei 2024.

Kami mengunjungi masyarakat Batu Songgan, di tepi barat Riau di kaki pegunungan Barisan Nasional; masyarakat Lubuk Jering, di dataran sebelah utara Pekanbaru di pusat provinsi, dan masyarakat Teluk Meranti, di muara sungai Kampar ke arah timur (lihat Peta 1).

Survei lapangan dilakukan dengan melakukan perjalanan ke, mengunjungi, dan tinggal sebentar dengan komunitas-komunitas ini, di mana kami meminta warga untuk berpartisipasi dalam wawancara dan bergabung dengan kelompok diskusi untuk menjelaskan hubungan mereka dengan tanah mereka dan membahas tantangan yang mereka hadapi saat ini dalam mengamankan hak-hak mereka. Kami menganggap kerja ini lebih bersifat ilustratif daripada definitif dan mendorong pihak lain dari lingkup akademis dan masyarakat sipil untuk memperdalam bidang pengetahuan ini.

Bisa unduh laporannya di bawah ini:

Orang Melayu – Bahasa Indonesia

The Melayu – Bahasa Inggris 

Aduan Masyarakat Adat Ompu Ronggur ke Komnas HAM

Masyarakat Adat Ompu Ronggur pada pertengah tahun 2023 mendatangi kantor Komnas HAM Republik Indonesia (RI) dalam rangka menindaklanjuti laporan atau aduan masyarakat Adat Ompu Ronggur yang mengalami kriminalisasi dari aparat kepolisian saat mempertahankan hak atas tanahnya di Tapanuli Utara, Sumatera Utara. 

Laporan itu dimasukan oleh sejumlah organisasi masyarakat termasuk masyarakat Adat Ompu Ronggur kepada pihak Komnas HAM, dan sejak laporan itu dimasukan para pihak pelapor belum sama sekali menerima informasi tentang kelanjutan atau tindak lanjut dari aduan tersebut.

Saurlin P. Siagian, Sekretaris Badan Pengurus Bakumsu, yang merupakan perwakilan dari Komnas HAM RI, mengatakan, bahwa laporan mengenai kriminalisasi yang dialami masyarakat adat Ompu Ronggur sudah mendapatkan tanggapan dari pihak Komnas HAM RI. Selain Saurlin, Komisioner Pengaduan Komnas HAM RI, Hari Kurniawan, yang hadir saat pertemuan itu juga memberikan komentar yang sama.

Audiensi bersama pihak Komnas HAM RI dan perwakilan Masyarakat Adat Ompu Ronggur, dan beberapa lembaga pendamping lainnya seperti YMKL, Serbundo, dan Aman Tanobatak

Tanggapan itu berupa sebuah rekomendasi yang dikeluarkan Komnas HAM untuk penanganan kasus kriminalisasi yang dialami oleh masyarakat adat Ompu Ronggur dan telah disampaikan ke beberapa pihak terutama organisasi masyarakat yang terlibat dalam pendampingan kasus kriminalisasi tersebut. 

Saurlin juga menyampaikan, akan memberikan teguran keras kepada Kapolres Tapanuli Utara terkait kasus kriminalisasi yang dialami oleh masyarakat adat. Dia juga merekomendasikan kepada seluruh jajaran kepolisian di wilayah tersebut untuk menghentikan segala bentuk kriminalisasi yang dilakukan aparat terhadap masyarakat terutama masyarakat Adat Ompu Ronggur dan segera menerapkan RJK (Restorative Justice).

Restorative Justice atau keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara melalui dialog, musyawarah atau media dengan melibatkan beberapa pihak seperti korban, terdakwa, keluarga korban, pelapor, atau ada pihak-pihak lainnya yang terkait dalam penanganan kasus tersebut. Penyelesaian perkara dengan metode Restorative Justice ini ialah bagian dari program nasional untuk mendapatkan titik temu dari siapa saja yang sedang berperkara atau terlibat dalam perkara atau pelaporan kasus sebelum dilanjutkan pada tahap persidangan selanjutnya. 

Proses audiensi terkait laporan atau aduan kriminalisasi yang dialami oleh Masyarakat Adat Ompu Ronggur bersama pihak Komnas HAM RI

Saurlin juga mengajak beberapa lembaga organisasi masyarakat yang mendampingi kasus kriminalisasi yang dialami oleh Masyarakat Adat Ompu Ronggur seperti Serbundo, YMKL, dan Aman Tano Batak untuk segera mungkin melakukan penelitian bersama Komnas HAM terkait kasus-kasus masalah hak atas tanah bagi masyarakat adat. Dia juga mempertegas ingin mendorong adanya policy brief  ke seluruh kementerian untuk menuntaskan kasus yang sedang berproses tersebut. 

Pihak Komnas HAM juga akan segera mungkin mengeluarkan SP2K (Surat Perkembangan Penanganan Kasus) yang akan diserahkan ke beberapa pihak salah satunya Serbundo/OPUK.

Masyarakat Korban Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit Menuntut Keadilan

Siaran Pers

Pernyataan Sikap Masyarakat Korban Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit

 Jakarta, 19 November 2023

Kami, warga komunitas masyarakat adat dan komunitas lokal dari Riau, Sumatera Barat, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, yang berbicara saat ini di Jakarta, adalah korban beroperasinya perusahaan perkebunan kelapa sawit yang merampas tanah dan hutan kami tanpa persetujuan komunitas kami. Justru pimpinan dan warga komunitas kami dikriminalisasi oleh aparat kepolisian Republik Indonesia atas alasan-alasan yang direkayasa.

Kami telah menjadi korban selama belasan sampai puluhan tahun. Semua upaya melalui mekanisme negara yang tersedia, baik di tingkat daerah maupun di tingkat pusat, telah kami lakukan untuk mendapatkan keadilan, namun sampai saat ini keadilan itu masih berupa mimpi. Kami juga menempuh mekanisme yang disediakan oleh pasar, yaitu melalui mekanisme pengaduan RSPO, karena kami berharap mekanisme ini dapat memberikan harapan akan keadilan, jika pengaduan kami ditangani dengan jelas dan pasti.

“Masyarakat sangat berharap sistem pengaduan RSPO yang ada memiliki kepastian waktu dan kejelasan prosedur penanganan pengaduan keluhan, sehingga proses penyelesaian menjadi jelas” ungkap Irasan, Batin Talang Parit, Indragiri Hulu, Riau.

Namun upaya melalui mekanisme pengaduan RSPO sejauh ini pun tidak memberikan hasil yang kami harapkan. Berbagai alasan disampaikan oleh RSPO: bahwa kasusnya terjadi sebelum ada RSPO, adalah tidak berdasar sebagaimana dinyatakan oleh Nazar Ikhwan gelar Angku Imbang Langi, hakim adat dari Nagari Anam Koto, Kinali, Pasaman Barat, Sumatera Barat, “Menurut kami alasan penolakan oleh RSPO atas pengaduan yang kami ajukan tidak berdasar dan tidak sesuai dengan maksud kebijakan minyak sawit berkelanjutan, sebagaimana yang tertera dalam P&C RSPO” atau berbagai alasan lain seperti kasus yang diadukan masih dalam penilaian dan akan diuji di lapangan. Yang lebih menyakitkan, ada perusahaan dari kelompok usaha anggota RSPO yang sedang berkonflik dengan masyarakat namun bisa menjual anak perusahaan yang berkonflik tersebut kepada pihak lain.

Perkebunan skala besar khususnya sawit sudah menjamur di berbagai daerah di Indonesia. Berbagai kebijakan telah dikeluarkan oleh pemerintah untuk menjamin adanya manfaat sawit bagi masyarakat. Namun, kebijakan itu tidak dapat menolong kriminalisasi terhadap masyarakat adat dan masyarakat lokal yang hidup berdampingan dengan perusahaan sawit. Kekerasan, perampasan lahan, represifitas aparat, dan tidak dijalankannya FPIC adalah bentuk-bentuk ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat. Dokumentasi: Tyas/YMKL.

Semua hal ini melanggar prinsip dan kriteria RSPO dan sudah selayaknya dalam pandangan kami RSPO memberikan sanksi kepada perusahaan tersebut. Namun semua yang kami harapkan dari RSPO tidak pernah terjawab apalagi dipenuhi. Pelanggaran-pelanggaran dan pengabaian prinsip dan kriteria RSPO yang kami hadapi terus terjadi:

  1. Penggunaan tanah adat oleh perusahaan tanpa FPIC;
  2. Perusahaan tidak memenuhi kewajibannya membangun kebun plasma untuk masyarakat;
  3. Prosedur penanganan pengaduan yang tidak transparan dan mudah diakses informasinya oleh masyarakat korban;
  4. Serta kesenjangan ketenagakerjaan yang tidak adil bagi masyarakat, baik itu masyarakat adat maupun komunitas lokal karena tetap berstatus sebagai buruh harian lepas meskipun sudah bekerja belasan tahun di perusahaan.

 Kami mempertanyakan manfaat RSPO dalam hal perlindungan dan penghormatan hak-hak masyarakat adat, komunitas lokal dan para pengguna lahan yang kehilangan tanah dan hutan karena dirampas oleh persekongkolan perusahaan dengan oknum aparat pemerintah dan aparat keamanan. 

“RSPO sama sekali tidak memberikan perhatian kepada laporan yang kami sampaikan dalam pengaduan dan tidak memberi sanksi apapun atas pelanggaran hukum dan perampasan hak-hak kami atas tanah ulayat”, ungkap Ramadhan Tanjung, Sinaro Panghulu Basa, Pimpinan Adat Nagari Simpang Tigo Kotobaru dengan nada kekecewaan yang mendalam terhadap RSPO.

Kami juga mempertanyakan kesungguhan RSPO menegakkan prinsip dan kriteria-nya sendiri. Bahwa semua perusahaan anggota RSPO wajib mematuhi peraturan perundangan dan kebijakan negara sebagai salah satu prinsip utama. Namun pelanggaran peraturan perundangan dan kebijakan yang dilakukan oleh perusahaan tidak mendapat sanksi apa pun dari pihak RSPO.

“Kami tidak menemukan penerapan standar berkelanjutan dalam bisnis kelapa sawit Wilmar di PT AMP, kami sangat berharap RSPO dapat mengontrol penerapan P&C dan memberikan sanksi terhadap anggota yang melanggar” Gasmil, Masyarakat adat dari Jorong Labuhan, Nagari Tiku Limo Jorong, Agam, Sumatera Barat.

Kami memandang persoalan kepatuhan anggota RSPO terhadap prinsip dan kriteria RSPO adalah persoalan yang sangat penting namun telah diabaikan oleh RSPO sendiri sehingga diabaikan juga oleh perusahaan-perusahaan anggota RSPO yang berkonflik dengan masyarakat adat dan komunitas lokal.

“Kami meminta agar RSPO menjadi Lembaga yang independen dan selalu menghormati hak Masyarakat Hukum Adat dan komunitas lokal. Kami berharap proses sertifikasi selalu transparan. Kami juga berharap Lembaga auditor untuk bisa menilai sesuai temuan di lapangan” tegas Said Faizan Tas’Ad, Desa Petapahan, Tapung, Kabupaten Kampar, Riau.

Senada dengan itu, Weiz dari komunitas Dayak Bekati Riuk Sebalos, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat menegaskan harapan masyarakat, “Masyarakat adat ingin RSPO sebagai organisasi terbesar yang menaungi perusahaan industri minyak sawit untuk menindaklanjuti setiap keluhan masyarakat melalui mekanisme komplen RSPO yang dilayangkan masyarakat tentang perusahaan yang bermasalah dan agar RSPO tegas dalam memberikan sanksi terhadap perusahaan tersebut”.

 Kami mengingatkan kembali tujuan pendirian RSPO, yaitu untuk mendorong prinsip minyak sawit berkelanjutan di mana aspek menghormati hak-hak masyarakat adat dan komunitas lokal serta keberlanjutan lingkungan menjadi bagian penting di dalamnya. Oleh karena itu kami menuntut RSPO harus bertanggung jawab atas semua pelanggaran prinsip dan kriteria RSPO oleh perusahaan anggota RSPO. Kami juga berharap agar Pemerintah Daerah yang bekerja sama dengan RSPO menjalankan pendekatan yurisdiksi agar konsisten menjalankannya.

“Kami mengharapkan keseriusan Pemda Kabupaten yang menerapkan sertifikat berbasis pendekatan yurisdiksi dalam penyelesaian konflik perkebunan untuk menindak tegas perusahaan yang melakukan pelanggaran. Secara khusus kami alamatkan seruan ini kepada Pemda Kabupaten Seruyan” cetus Rusdiana, Desa Tanjung Hanau, Kabupaten Seruyan.

 

Jakarta, 19 November 2023

Kami masyarakat yang menyatakan sikap ini:

 – Masyarakat Nagari Kotobaru, Pasaman Barat, Sumatera Barat

– Masyarakat Anam Koto Kinali Pasaman Barat, Sumatera Barat

– Masyarakat Labuhan, Agam, Sumatera Barat

– Masyarakat Talang Mamak Luak Talang Parit, Indragiri Hulu, Riau

– Kelompok Tani Harapan Sp-3, Nagari Simpang Tigo Koto Baru, Kec.Luhak Nan Duo, Pasaman Barat, Smuatera Barat

– Masyarakat Tanjung Hanau, Seruyan, Kaliimantan Tengah

– Masyarakat Desa Lampasa, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah

– Masyarakat Adat Dayak Bekati Riuk Dusun Sebalos, Bengkayang, Kalimantan Barat

– Masyarakat Dayak Bekati Subah, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat

– Masyarakat Adat Dayak Hibun, Kerunang-Entapang, Sanggau, Kalimantan Barat

Organisasi yang mendukung masyarakat korban:

– Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL)

– PROGRESS Kalimantan Tengah

– Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalimantan Barat

– LemBAH, Kalimantan Barat

– Yayasan Ulayat Nagari Indonesia, Sumatera Barat

– ASM / Accountability Sustainable Monitoring, Riau

– Bahtera Alam, Riau

– Forest People Programme, Inggris