Posts

Perlindungan hak-hak masyarakat adat, petani, nelayan dan kelompok rentan dalam kebijakan pembangunan sektoral

Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari

Jakarta, 11 November 2025

Siaran Pers:

Perlindungan hak-hak masyarakat adat, petani, nelayan dan kelompok rentan dalam kebijakan pembangunan sektoral

Pangan dan Energi menjadi perhatian Pemerintah Indonesia dan bahkan digembar- gemborkan menjadi program prioritas, sementara perlindungan dan pengakuan hak- hak masyarakat adat atas tanah dan sumber daya alam (hutan, air dan hasil alam) masih tergantung di langit politik Indonesia. Pangan dan Energi adalah penunjang hidup yang utama. Situasi kompetisi akan berdampak langsung pada hak hidup. Karena saling terhubung dan merupakan hak dasar manusia. Pangan dan energi bukan hanya bicara soal ketersediaan, tapi juga akses, keadilan, dan kesetaraan.

Rudi Rubijaya Direktur Landreform perwakilan dari Kementerian Agraria Tata Ruang dan Badan Pertanahan Nasional mengatakan, program pemerintah sekarang ini mengusung fokus pada pangan dan energi melalui Asta Cita program Kedua dengan memantapkan sistem pertanahan negara dan mendorong kemandirian bangsa melalui swasembada pangan, energi, air, ekonomi syariah, ekonomi digital, ekonomi hijau dan ekonomi biru serta Asta Cita keenam, yaitu membangun dari desa dan dari bawah untuk pertumbuhan ekonomi dan pemberantasan kemiskinan.

“Reforma Agraria adalah penataan kembali struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah agar lebih berkeadilan untuk kemakmuran rakyat. Asta Cita kedua dan keenam menempatkan Reforma Agraria sebagai pondasi kemandirian bangsa dan pembangunan ekonomi dari desa,” papar Rudi Rubijaya saat menjadi narasumber di seminar nasional dengan tema: perlindungan hak-hak masyarakat adat, petani, nelayan dan kelompok rentan dalam kebijakan pembangunan sektoral, Selasa 11 November 2025.

Rudi menegaskan Reforma Agraria adalah penataan kembali struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah secara lebih berkeadilan, melalui dua pilar utama: penataan aset dan penataan akses. Penataan aset mencakup legalisasi dan redistribusi tanah, sementara penataan akses melibatkan pemberdayaan ekonomi subjek Reforma Agraria agar dapat mengelola tanah secara produktif dan berkelanjutan.

Selain itu, Rudi menyinggung evolusi kebijakan hukum Reforma Agraria, dari Peraturan Bersama Tiga Menteri (Kehutanan, Dalam Negeri, dan PUPR) hingga Perpres No. 88 Tahun 2017 dan Perpres No. 62 Tahun 2023, yang memperluas cakupan objek Reforma Agraria mencakup kawasan hutan, non-kawasan hutan, dan tanah hasil penyelesaian konflik.

Hingga November 2025, capaian redistribusi tanah telah mencapai 1.647.044 bidang seluas 882.848 hektar, serta pemberdayaan masyarakat melalui akses Reforma Agraria untuk 496.252 KK dan program pendampingan usaha bagi lebih dari 23.000 KK.

“Perpres 62 Tahun 2023 memperluas objek Reforma Agraria hingga kawasan hutan, non-hutan, dan tanah hasil penyelesaian konflik. Hingga 2025, capaian redistribusi tanah mencapai 1,6 juta bidang dengan luas lebih dari 880 ribu hektar. Reforma Agraria adalah agenda keadilan sosial untuk memastikan tanah menjadi sumber kesejahteraan, bukan sumber konflik,” tambahnya lagi.

Roni Septian, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), mengatakan, bahwa reforma agraria adalah fondasi bagi pembangunan industri nasional. Tanpa petani yang kuat dan berdaulat, Indonesia tidak akan memiliki basis ekonomi rakyat yang kokoh. Ia menegaskan, sejarah membuktikan seperti pidato “Ekonomi Indonesia Baru” tahun 1951 bahwa pembangunan nasional tidak dapat dilepaskan dari keadilan agraria.

Menurut data yang disampaikan KPA, ketimpangan penguasaan tanah di Indonesia masih sangat tajam. Lebih dari 61,3% petani kini berstatus gurem, yakni hanya memiliki lahan kurang dari 0,5 hektar. Artinya, enam dari sepuluh petani di pedesaan hidup di atas tanah yang tidak mencukupi untuk bertani layak. Dalam satu dekade terakhir, jumlah petani gurem meningkat 2,63 juta orang, atau sekitar 263 ribu orang setiap tahun, sementara lahan pertanian justru berkurang 2,63 juta hektar akibat konversi untuk industri, perkebunan, tambang, dan infrastruktur.

“Ada 25.000 desa yang masih diklaim kawasan hutan; keluarkan mereka dari status itu agar bisa hidup dan bertani dengan adil. 11 tahun terakhir, hanya 0,024% konflik agraria yang benar-benar diselesaikan oleh KLHK ini bukti betapa lambatnya negara,” beber Roni dalam seminar.

Situasi ini menunjukkan bahwa ketimpangan agraria bukan sekadar masalah kepemilikan tanah, melainkan juga persoalan keadilan sosial dan hak hidup. Ketika lahan semakin sempit, jumlah buruh tani meningkat, dan petani tidak mampu lagi memproduksi pangan secara mandiri, maka kedaulatan pangan bangsa pun melemah.

Roni menyoroti bahwa pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo Subianto kembali menempatkan reforma agraria dalam Asta Cita poin 2 dan 6, yakni untuk mencapai swasembada pangan dan pemerataan ekonomi. Namun ia mengingatkan Reforma agraria tidak boleh menjadi pengulangan dari program sebelumnya yang berhenti di tataran janji.

Dia mengungkapkan, ada lebih dari satu juta hektar wilayah garapan petani yang diklaim sebagai kawasan hutan, perkebunan, atau pertambangan, namun tidak pernah mendapat dukungan infrastruktur maupun kebijakan dari negara. Bahkan di banyak desa yang masih berstatus kawasan hutan, kepala desa yang menggunakan dana desa untuk membangun jalan justru ditangkap, karena dianggap membangun di “tanah negara”.

Dari hasil pemetaan KPA, terdapat 25.000 desa yang masih diklaim berada di dalam kawasan hutan, baik seluruhnya maupun sebagian. Roni menyerukan kepada Kementerian LHK agar segera mengeluarkan SK bersama untuk melepaskan 25.000 desa ini dari klaim kawasan hutan, sehingga bisa masuk dalam program reforma agraria sejati.

“Petani menguasai, memproduksi, dan mengontrol hasil pertaniannya sendiri itulah reforma agraria sejati. Reforma agraria sejati butuh lembaga kuat di bawah Presiden, yang bisa mengeksekusi dan membatalkan izin tumpang tindih lintas sektor,” tambahnya.

Namun, KPA tidak hanya berhenti pada kritik. Dia menjelaskan bagaimana gerakan rakyat sendiri mengambil inisiatif di lapangan melalui program DAMARA (Dapur Mandiri Reforma Agraria). DAMARA merupakan model reforma agraria dari bawah, di mana rakyat mengorganisir diri, menguasai dan mengelola tanah secara kolektif, serta membangun sistem produksi dan distribusi yang mandiri.

Melalui DAMARA, masyarakat di Indramayu, Majalengka, dan Cilacap berhasil membangun alat-alat pertanian sendiri secara swadaya, mengelola pabrik penggilingan gabah, dan menstabilkan harga beras. Gerakan rakyat melalui DAMARA membuktikan bahwa reforma agraria bisa dijalankan tanpa menunggu kebijakan pemerintah.”

“Petani membeli dan menjual hasil panen dengan harga yang adil,” ujarnya.

Ia menuturkan kisah di Cilacap, di mana petani membangun jalan sepanjang 40 kilometer secara gotong royong, tanpa bantuan pemerintah. Bahkan Menteri LHK yang datang ke lokasi mengira wilayah itu kawasan hutan, padahal sudah menjadi sawah produktif selama puluhan tahun.

“Tidak ada satu pun pohon di sana,” kata Roni, “tapi masih disebut kawasan hutan. Ini bukti absurditas birokrasi yang perlu diakhiri.”

Penetapan Hutan Adat dan Perlindungan MHA

Agung Pambudi, Direktorat Perhutanan Sosial dan Percepatan MHA, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mengutarakan, banyak masyarakat setempat yang menghendaki agar wilayah kelolanya dapat diakui sebagai hutan adat, melalui proses yang bersifat konsensual antara pemerintah dan masyarakat. Lokasi-lokasi ini umumnya strategis, memiliki nilai keanekaragaman hayati tinggi, serta sistem konservasi alami yang kuat.

Definisi Masyarakat Hukum Adat mengacu pada Pasal 1 huruf 30 UU No. 32 Tahun 2009, yaitu kelompok masyarakat yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan asal-usul leluhur, hubungan erat dengan lingkungan hidup, serta sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum.

“Negara mengakui dan menghormati Masyarakat Hukum Adat sebagai subjek utama dalam pengelolaan hutan berkelanjutan. Penetapan hutan adat bukan izin baru, tetapi pengakuan negara atas praktik pengelolaan yang telah ada turun-temurun. Regulasi hutan adat kini telah lengkap, mulai dari Permen LHK 2015 hingga PP 23 Tahun 2021, membentuk kerangka hukum yang komprehensif,” papar Agung dalam seminar, Selasa 11 November 2025.

Selain itu, Permendagri No. 52/2014 menjadi dasar tunggal identifikasi dan penetapan MHA, sementara UU No. 41/1999 tentang Kehutanan saat ini sedang diganti dengan RUU Masyarakat Hukum Adat (MHA) yang mengandung pembaruan substansi lebih dari 30%. Rangkaian regulasi tersebut kini telah membentuk kerangka hukum yang komprehensif dan terintegrasi dalam penetapan serta pengakuan hak masyarakat adat atas wilayah hutannya.

Penetapan hutan adat memiliki empat tujuan utama: 1. Menjamin ruang hidup dan eksistensi Masyarakat Hukum Adat,  2. Melestarikan ekosistem hutan dan lingkungan, 3. Melindungi kearifan lokal dan pengetahuan tradisional, 4. Menjadi salah satu pola penyelesaian konflik antara masyarakat dan pengelolaan kawasan hutan.

“Tujuan penetapan hutan adat adalah menjamin ruang hidup MHA, melestarikan ekosistem, melindungi kearifan lokal, dan menyelesaikan konflik. Hingga 2025, telah ditetapkan 164 Masyarakat Hukum Adat dengan luas lebih dari 345 ribu hektare. Proses verifikasi dilakukan secara terbuka melalui Tim Terpadu, memastikan validitas wilayah adat yang diusulkan,” jelasnya.

Menurut Agung, banyak hutan adat terbukti memiliki keanekaragaman hayati tinggi dan dikelola masyarakat dengan prinsip keberlanjutan. Di berbagai daerah seperti Kalimantan, Sumatera, dan Jambi, bersama jaringan masyarakat adat seperti AMAN melakukan advokasi agar areal-areal di dalam wilayah konsesi dapat dikembalikan dan ditetapkan statusnya sebagai hutan adat.

Hingga Oktober 2025, telah ditetapkan 164 Masyarakat Hukum Adat (MHA) dengan luas total ±345.257 hektare, memberikan manfaat bagi 87.963 kepala keluarga. Proses ini terus berkembang dengan dukungan Satgas Percepatan Penetapan Hutan Adat yang bekerja lintas direktorat dan lembaga.

“Masyarakat adat bukan hanya penerima manfaat, tetapi penjaga ekosistem – The Guardian of the Indonesian Forest,” tambahnya.

Perlunya Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat

Erasmus Cahyadi, Deputi Sekjen AMAN untuk Urusan Politik, menegaskan, Permendagri No. 52 Tahun 2014 merupakan kebijakan pertama yang secara sistematis menugaskan kepala daerah untuk mengidentifikasi, memverifikasi, dan memvalidasi masyarakat adat di wilayahnya. Proses ini bermuara pada keputusan kepala daerah sebagai dasar hukum bagi masyarakat adat untuk mengajukan hak-haknya di sektor kehutanan, pertanahan, dan kelautan.

Namun, pendekatan peraturan perundang-undangan di Indonesia masih bekerja terbalik: pengakuan masyarakat adat baru dianggap sah setelah diakui oleh pemerintah daerah, bukan karena eksistensi adatnya sendiri. Akibatnya, banyak daerah yang berhenti pada tahap pengaturan prosedur tanpa sampai pada penetapan resmi.

“Tanggung jawab negara terhadap masyarakat adat sering kosong, pengakuan berhenti pada teks, tidak pada pelaksanaan. Permendagri No. 52/2014 adalah kebijakan pertama yang memberi mandat langsung kepada kepala daerah untuk mengidentifikasi dan menetapkan masyarakat adat,” tegas Erasmus pada seminar.

Erasmus juga menyinggung Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 35/PUU-X/2012, yang menegaskan bahwa hutan adat bukan hutan negara. Meski demikian, masih terdapat kerancuan: tanah yang tidak memiliki hak dianggap milik negara, sehingga hutan yang tumbuh di atas tanah ulayat sering dikategorikan sebagai hutan negara. Padahal, seharusnya itu diakui sebagai hutan adat.

Dalam konteks capaian, Erasmus memaparkan bahwa hingga saat ini telah teridentifikasi 1.583 peta partisipatif wilayah adat dengan total luas sekitar 32 juta hektare, yang disusun oleh masyarakat melalui mekanisme pemetaan partisipatif. Dari total tersebut, baru 5,4 juta hektare yang telah diakui oleh pemerintah daerah, dan sebagian besar melalui Perda Penetapan, bukan Perda Pengakuan.

Sementara di sektor agraria dan kehutanan, Kementerian ATR/BPN baru mengakui sekitar 0,3 juta hektare. Situasi ini menunjukkan lambatnya proses pengakuan dan tumpang tindih antar-sektor, di mana tanah ulayat sering kali juga diklaim sebagai aset negara atau kawasan konsesi.

“Putusan MK 35 menegaskan hutan adat bukan hutan negara, tetapi di lapangan masih banyak kerancuan. Kebijakan sering kali membantu di satu sisi tetapi menghambat di sisi lain, pengakuan yang tidak hati-hati bisa berubah menjadi perampasan baru,” ungkapnya.

Erasmus menyoroti pula berbagai instrumen hukum nasional dan internasional yang menjadi landasan perjuangan masyarakat adat, seperti Konvensi ILO No. 169, Konvensi CBD, dan berbagai undang-undang sektoral seperti UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta UU No. 6/2014 tentang Desa yang memungkinkan terbentuknya desa adat.

Namun, implementasi di lapangan masih minim karena banyak wilayah adat yang diakui secara administratif tetapi belum memperoleh status hukum yang kuat. Lebih jauh, ia menjelaskan bahwa tumpang tindih wilayah adat menjadi sumber utama konflik agraria. Banyak kasus di mana wilayah adat tumpang tindih dengan konsesi perkebunan, pertambangan, maupun proyek strategis nasional. Sektor-sektor inilah yang menjadi penyulut konflik agraria di wilayah adat, karena pengakuan adat berjalan jauh lebih lambat dibandingkan dengan investasi yang masuk.

“Konflik agraria di wilayah adat terjadi karena pengakuan berjalan lambat, sementara investasi dan penetapan konsesi berlangsung cepat. Kasus geotermal di Manggarai menunjukkan bagaimana proyek pembangunan bisa melanggar hak masyarakat adat dan memicu intimidasi,” ungkapnya.

 

Sihaporas Dalam Kepungan Kekerasan: Luka, Perlawanan, dan Hilangnya Sumber Hidup Akibat Serangan PT Toba Pulp Lestari

SIMALUNGUN – Lebih dari sebulan telah berlalu sejak Masyarakat Adat Sihaporas di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, menjadi korban serangan brutal yang dilakukan oleh ratusan orang berseragam keamanan PT Toba Pulp Lestari (TPL). Luka fisik perlahan sembuh, tetapi trauma, ketakutan, dan kehilangan sumber penghidupan masih membekas dalam kehidupan mereka hingga kini..

Serangan itu terjadi pada Senin, 22 September 2025, sekitar pukul 08.00 WIB. Pagi yang semula tenang berubah menjadi kepanikan. Warga yang tengah bersiap beraktivitas di sekitar Posko Perjuangan Masyarakat Adat LAMTORAS-Sihaporas tiba-tiba didatangi oleh sekitar 150 orang sekuriti PT TPL lengkap dengan tameng dan perlengkapan pengamanan.

Putri Ambarita, seorang pemuda adat, menjadi saksi sekaligus korban kekerasan. Ia masih gemetar setiap kali mengingat kejadian yang hampir merenggut nyawa keluarganya.

“Pagi itu kami di posko perjuangan. Tiba-tiba banyak mobil datang, penuh dengan orang berseragam dan alat berat. Sekitar 150 sekuriti PT TPL turun dengan tameng. Beberapa perempuan adat bersama namboru saya yang sudah berumur 79 tahun mencoba bertanya apa tujuan mereka. Mereka bilang hendak menanam, padahal di situ sudah ada tanaman kami — kopi, kacang, jahe, cabai — sumber hidup kami,” tutur Putri dengan suara bergetar.

Warga meminta pihak perusahaan menunjukkan surat tugas resmi. Namun tak ada satu pun yang memperlihatkannya. Bukannya berdialog, seorang pria yang disebut sebagai komandan keamanan PT TPL, Rocky Tarihoran, justru memberi perintah tegas:
“Bersiap! Dorong!”
Seruan itu langsung memicu kekacauan. Barisan perempuan adat yang berdiri di depan didorong hingga terjatuh. Putri yang mencoba mendokumentasikan kejadian tersebut menjadi sasaran kekerasan.

*Saya melihat sendiri orang tua kami dipukuli dengan kayu rotan dan pentungan. Ibu saya dihadang oleh Rocky Tarihoran. Ada yang ditendang dari belakang hingga jatuh dan dipukuli. Kami hanya minta mediasi, tapi malah diserang. Mereka melempari kami dengan batu dan menyiram air dari tangki,” kenangnya.

Putri dan seorang mahasiswa IPB, Feny Siregar, bahkan dituduh sebagai provokator hanya karena merekam kejadian itu. Rocky Tarihoran disebut berusaha merampas telepon genggam Putri untuk menghapus rekaman, namun ia berhasil mempertahankannya.

Sekitar pukul 12.00 WIB, serangan kedua kembali terjadi — kali ini lebih brutal.

“Adikku Dimas, penyandang disabilitas, sedang di dalam rumah. Kami dengar teriakan ‘bakar! bakar!’ Batu dilempar, dinding dipukul. Saya dan ibu berlari menyelamatkan Dimas yang tak bisa berjalan dan sulit bicara. Saat kami menggendongnya keluar, kami justru dipukul dan didorong hingga jatuh. Dimas pun dipukul hingga kepalanya robek,” ujar Putri sambil menahan air mata.

Akibat serangan itu, 34 warga luka-luka, dengan 14 di antaranya luka berat dan harus dirawat di rumah sakit. Sepuluh unit sepeda motor dan satu mobil dibakar, delapan kendaraan dirusak, dan lima rumah warga hangus terbakar.
Kini, kebun dan tanaman masyarakat adat Sihaporas telah dikuasai PT TPL — sebagian bahkan diganti dengan tanaman eukaliptus.

Mangittua Ambarita, tokoh adat LAMTORAS-Sihaporas, menyebut peristiwa 22 September hanyalah puncak dari konflik panjang yang telah berlangsung lebih dari dua dekade.
“Sejak 1998 kami menuntut agar wilayah adat kami dikembalikan,” ujarnya.
Menurutnya, perjuangan masyarakat Sihaporas berawal dari penetapan sepihak wilayah adat mereka sebagai kawasan hutan negara, yang kemudian dikonsesikan kepada PT Toba Pulp Lestari. Sejak itu, benturan antara masyarakat dan perusahaan terus berulang.

Pada tahun 2002, Mangittua menjadi korban kriminalisasi. Ia dipenjara karena mengelola tanah warisan orang tuanya. “Anak saya sampai putus sekolah waktu itu,” kenangnya.

Peristiwa serupa berulang pada 2019, ketika dua warga ditangkap dan dipenjara setelah menghadang penanaman eukaliptus. Tahun 2024, lima warga diculik pada dini hari dan diserang oleh orang berpakaian preman. Satu di antaranya masih menjalani proses hukum hingga kini.

“Kami tidak pernah berhenti memperjuangkan hak kami. Kalau ada pihak yang menentang perjuangan ini, mereka patut diduga menjadi alat perusahaan untuk melemahkan kami,” tegas Mangittua. “Sejak dulu hingga sekarang, kami hanya berhadapan dengan satu hal — klaim sepihak kawasan hutan negara dan aktivitas PT TPL.”

Mersy Silalahi, perempuan adat Sihaporas, menggambarkan dampak paling nyata dari serangan itu: hilangnya sumber penghidupan.

“Sejak penyerangan itu, seluruh sumber penghidupan kami lumpuh. Kebun kami itu dapur hidup kami. Di sanalah kami menanam kopi, kacang, ubi, padi, dan sayur-sayuran — semua sumber pangan kami dan anak-anak. Sekarang semua dikuasai perusahaan, dan kami tidak bisa lagi masuk,” ujarnya.

Bagi Mersy, kebun bukan sekadar tanah untuk menanam, tetapi ruang hidup dan kedaulatan perempuan adat.
Ia menjelaskan bahwa perempuan di Sihaporas berperan besar dalam siklus kehidupan pertanian — dari menanam, memanen, hingga menjual hasil bumi untuk kebutuhan rumah tangga dan biaya sekolah anak.
“Setelah kebun kami dirampas, yang paling dulu merasakan lapar itu kami perempuan dan anak-anak. Kami kehilangan segalanya, bukan hanya kebun, tapi juga harga diri sebagai perempuan adat,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca.

Laporan dan Temuan Mengerikan

Tim Advokasi Masyarakat Adat Nusantara (TAMAN) melaporkan 14 laporan polisi atas kasus penyerangan 22 September 2025. Laporan itu mencakup 9 kasus penganiayaan serta 5 kasus perusakan dan pembakaran rumah serta kendaraan milik warga. Semua laporan telah naik ke tahap penyidikan, dan para pelapor telah menerima SPDP dari Kejaksaan Negeri Simalungun.

Namun proses hukum diwarnai kejanggalan. Ketika masyarakat kembali ke lokasi sehari setelah serangan, puing-puing rumah dan kendaraan yang dibakar telah hilang.

Pada 8 Oktober 2025, polisi melakukan olah TKP dan menemukan tiga sepeda motor masyarakat terkubur tiga meter di bawah tanah. Dua hari kemudian, olah TKP lanjutan menemukan mobil milik Giovani Ambarita juga dalam kondisi terbakar dan dikubur sekitar 40 meter dari lokasi aslinya.

Audo Sinaga, kuasa hukum dari TAMAN, menilai temuan itu memperkuat dugaan adanya upaya sistematis untuk menghilangkan barang bukti.
“Kami menduga kuat ada upaya sengaja dari pihak pekerja atau PT Toba Pulp Lestari untuk menghilangkan barang bukti dan menghambat penyelidikan. Kami meminta Polres Simalungun segera menuntaskan penyidikan dan bersikap adil atas laporan masyarakat adat,” tegasnya.

Janji yang Tak Pernah Ditepati

Sebelum penyerangan masyarakat sudah melakukan berbagai lembaga negara telah berkunjung ke Sihaporas, mulai dari DPRD Simalungun, DPR RI, Komnas HAM, hingga Kementerian Hukum dan HAM. Dalam pertemuan yang diinisiasi Komisi XIII DPR RI bersama Direktur PT TPL, disepakati bahwa masyarakat akan bebas mengakses kebunnya dan jalan yang diputus akan dibuka kembali.

Namun kesepakatan itu tak pernah dijalankan. PT TPL justru memutus kembali akses jalan menuju kebun warga bahkan setelah diperbaiki secara gotong royong oleh masyarakat lintas iman.

Kini, Masyarakat Adat Sihaporas hidup dalam kepungan ketidakpastian — kehilangan tanah, sumber pangan, dan rasa aman di kampung halamannya sendiri.

“Kami mohon pemerintah, terutama Bupati Simalungun, segera turun tangan. Pulihkan tanah kami, karena di sanalah kehidupan kami berada,” pinta salah satu warga dengan lirih.

Sihaporas hari ini berdiri di persimpangan antara ketakutan dan keberanian.
Mereka terluka, tetapi tak menyerah.
Bagi mereka, mempertahankan tanah berarti mempertahankan hidup — warisan leluhur yang tak bisa digantikan oleh uang, proyek, atau janji-janji korporasi.

Membongkar Praktik Buruk Investasi Di Tanah Papua

Siaran Pers

Sorong, Papua Barat Daya, 18 Oktober 2025.

Memperingati Hari Pangan Internasional di Sorong: Membongkar Praktik Buruk Investasi Di Tanah Papua

Tanah Papua saat ini mengalami situasi yang memprihatinkan. Kehadiran investasi di bumi cendrawasih ini membuat banyak masyarakat adat dan komunitas lokal di Papua dalam keadaan terjepit. Kehidupan mereka berubah sejak kehadiran industri-industri ekstraktif (tambang, kayu, dan sawit) yang menggempur wilayah dan tanah adat mereka di kampung.

Perkebunan kelapa sawit, tambang, dan kayu banyak melakukan pelanggaran di tanah Papua. Khususnya di Papua Barat Daya. Modus perusahaan mengambil tanah masyarakat adat selalu saja dengan cara memaksa dan tidak melibatkan masyarakat dalam mengambil keputusan apakah masyarakat setuju atau tidak dengan investasi yang masuk di wilayah adat atau kampung.

Akibat ekspansi investasi yang ugal-ugalan ini menyebabkan dampak buruk bagi masyarakat, lingkungan, dan alam. Hutan banyak dibabat demi kepentingan industri ekstraktif. Padahal, hutan bagi masyarakat adat sangat penting karena merupakan sumber pangan untuk menjaga kehidupan.

Yordan Malamo dari Masyarakat Adat Papua Suku Moi Sub Suku Salkma yang tinggal dan punya tanah adat di Kabupaten Sorong, mengatakan, merasa tertipu dengan perusahaan sawit yang mengambil secara paksa tanah dan wilayah adatnya dengan cara pihak perusahaan memalsukan tanda tangan.

Di Distrik Sayosa Timur misalnya, sejak kehadiran perusahaan kayu masuk pihak perusahaan mengakali masyarakat dengan iming-iming janji perekonomian masyarakat adat akan membaik. Tapi janji perusahaan hanyalah janji belaka. Tidak ada janji perusahaan yang ditepati. Janji perusahaan hanya manis diucapan, tapi pahit pada kenyataan.

Dampaknya, hutan yang dulu mudah dijangkau dan dijadikan sebagai tempat berburu dan meramu masyarakat adat di kampung sudah sangat sulit untuk dijangkau. Bahkan, ada beberapa cerita dari masyarakat mereka merasa diintimidasi oleh perusahaan dengan cara menyerahkan ktp.

“Janji perusahaan hanya diucapkan secara lisan, bukan tulisan. Ini yang membuat kami masyarakat adat selalu tertipu. Namun, kesadaran kami sekarang mulai menolak perusahaan HPH masuk di kampung,” kata Yordan.

Nelson dari Suku Moi Sigin Distrik Moi Sigin juga menjelaskan hal yang sama. Di kampungnya sejak perusahaan masuk tahun 2007 melakukan pembongkaran tanah masyarakat adat. Perusahaan membuat komitmen dan janji kepada masyarakat dengan alasan tanah akan kembali dan perusahaan hanya mendapat izin kelola atau izin pakai saja. Setelah masa kontrak itu berakhir tanah akan kembali kepada masyarakat lagi. Akan tetapi, semua itu tidak seperti yang terbayangkan.

“Saat saya mengecek isi perjanjian dan kontrak, saya menyesal. Semua kesepakatan itu tidak ada. Tidak ada dalam kontrka tanah akan kembali. Semua akan diserahkan ke negara jika masa kontrak perusahaan selesai,” kata Nelson pada diskusi memperingati hari pangan di Sorong, Sabtu 18 Oktober 2025.

Nelson, masyarakat adat dari Moi Sigin ini menyayangkan juga sejak kehadiran perusahaan sawit di kampungnya hutan dan dusun sagu hilang. Hutan terlarang yang sacral diterobos oleh perusahaan sawit. Bahkan, ada satu kalimat dalam kontrak yang Nelson baca, yang berbunyi, ”semua hasil yang ada di perut bumi yang masuk dalam wilayah pengelolaan perusahaan hak perusahaan”. Padahal perjanjian awalnya semua hasil bumi yang masuk izin masih bisa dikelola oleh pribumi atau masyarakat adat.

“Parahnya lagi. Ada kalimat seperti ini ‘semua hal buruk yang terjadi bukan tanggung jawab pihak kedua. Pihak kedua dalam hal ini perusahaan’. Saya mau ingatkan kepada kalian semua, jangan main-main dengan sawit. Karena kerugiannya tidak sedikit,” ucap Nelson dengan tegas pada sesi diskusi.

Dian Patria Perwakilan Direktorat Koordinasi dan Supervisi (Korsup) Wilayah V Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang hadir pada diskusi hari pangan internasional di Sorong memaparkan kondisi tanah Papua setelah kehadiran industri sawit, kayu, dan tambang.

Dian Patria perwakilan Direktorat Koordinasi dan Supervisi (Korsup) Wilayah V Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang hadir pada diskusi hari pangan internasional di Sorong memaparkan kondisi tanah Papua setelah kehadiran industri sawit, kayu, dan tambang. Hal itu bisa kelihatan dari potret kerusakan lingkungan yang terjadi akibat dampak investasi.

Bukti yang lain juga bisa dilihat dari Indeks Integrasi Nasional KPK pada tahun 2024 Pemda Se-Papua termasuk kategori rentan. Padahal ekspansi industri besar-besaran di sini. Hal ini berindikasi pada korupsi anggaran secara besar-besaran. Lalu juga didukung dengan penegakan hukum yang lemah dan partisipasi masyarakat yang rendah.

Perkebunan sawit di Papua khususnya di Papua Barat Daya ini banyak menimbulkan kerugian besar. Baik kerugian dari lingkungan, korupsi, dan masyarakat adat yang kehilangan tanah dan sumber pangannya.

“Tahun 2021 ada pencabutan izin perusahaan di Papua Barat, karena pelanggaran administrasi, lingkungan, dan keuangan. Ini yang membuktik bahwa kehadiran sawit di Papua Barat yang sekarang setelah mekar menjadi Papua Barat Daya tidak punya praktik yang berdampak baik pada masyarakat adat dan lingkungan,” jelas Dian.

Dian juga mengingatkan, ada banya investasi lainnya di tanah Papua selain sawit, yaitu kayu dan tambang. Perusahaan kayu di Papua juga turut membuat penurunan kualitas lingkungan memburuk dan akan ditambah lagi dengan kehadiran industri pertambangan. Seperti isu tambang nikel yang ada di Raja Ampat yang baru-baru ini heboh. Kita bisa membayangkan pulau kecil yang ada di Raja Ampat akan ditambang nikel, akan dihabiskan semua hutan dan kekayaan alamnya.

“Harus ada partisipasi dari masyarakat untuk mengawasi izin investasi di tanah Papua. Ini penting. Agar praktik buruk investasi ini ketahuan dan bisa kita tahu bagaimana cara perusahaan melakukan aktivitasnya,” tambah Dian.

Budaya Pangan Orang Moi Mulai Retak Akibat Kehadiran Investasi Ekstrativisme

Sorong, Papua Barat Daya – Masyarakat adat Moi merupakan masyarakat asli Papua yang tinggal di Papua Barat Daya juga sebagai pemilik tanah adat di Kabupaten Sorong. Kehidupan Orang Moi sangat dekat dengan alam. Kedekatan inilah yang membuat Orang Moi menggantungkan seluruh hidupnya dari hutan dan laut. Akses ke sumber pangan yang dekat inilah yang membentuk budaya pangan pada Orang Moi itu sendiri. Selain itu, tanah juga bagian penting dari pembentukan budaya pangan Orang Moi sehingga membentuk identitas Orang Moi yang lebih kuat.

Namun, semakin ke sini wilayah adat Moi, tempat di mana mereka mencari makan mulai terancam. Salah satunya kehadiran investasi industri ekstrativisme yang mulai masif di tanah Papua khususnya di Papua bagian barat. Industri perkebunan sawit dan tambang banyak merampas hak adat, hak wilayah, hak hidup, yang ujung-ujung meminggirkan masyarakat adat Moi. Sehingga budaya pangan Orang Moi yang dulunya dekat dengan mereka mulai tergantikan.

Dusun sagu mulai tergantikan. Hutan dan tanah adat hilang akibat industri perkebunan sawit masuk. Tempat berburu di kampung berubah menjadi jalan raya dan lokasi pertambangan. Masalah-masalah inilah yang membuat budaya pangan Orang Moi retak dari kehidupannya.

Ayub R. Paa perwakilan masyarakat Adat Moi Kelim, yang hadir pada diskusi hasil Malamoi: Budaya Pangan, Tanah, dan Identitas, menyebutkan, memang kondisi di kampung sangat relevan dengan apa yang dituangkan dalam riset tersebut, Masyarakat adat Moi saat ini mulai tergusur dari kampungnya. Salah satunya karena kehadiran industri ekstrativisme yang sudah lama hadir di tanah Moi.

Seperti halnya budaya pangan orang Moi yang dulunya makan sagu kini berganti dengan sepiring nasi dan mi instan. Bahkan ada di kalangan anak-anak malah suka dua makanan ini dan menjadikannya sebagai bagian dari pangan lokal. Padahal sagu adalah identitas Orang Moi. Kini budaya pangan itu memang bergeser bahkan mengalami keretakan pada manusia-manusia adat Moi.

“dalam riset itu disinggung soal keretabakan metabolic, kalau dilihat denga napa yang terjadi sekarang ini memang benar. Padahal kita sudah punya perda nomor 10 tahun 2017 soal perlindungan dan pengakuan MHA di Sorong, tapi tetap saja kita kalah dengan investasi. Tanah-tanah hilang,” tegas Ayub dalam diskusi, Jumat (17/10/2025).

Ayub menuturkan, masyarakat adat moi ke depan harus sadar dengan kehadiran investasi ekstraktif ini di kampung-kampung. Paling penting memastikan masyarakat tahu dan harus ada persetujuan dari masyarakat jika ada yang mau melepaskan tanahnya. Jangan mau kena tipu seperti yang sudah terjadi di beberapa kampung di Sorong.

“Saya paling takut itu saya punya tanah hilang. Paling penting itu, kalau bicara Moi bicara soal marag. Bicara marga bicara soal tanah. Kalau kita kehilangan tanah, kita kehilangan marga. Lalu kita kehilangan budaya, pangan, dan Orang Moi perlahan-lahan tergusur dari tanahnya sendiri,” katanya lagi.

Melianus Ulimpa dari pemuda adat Moi yang hadir di kegiatan juga berbagi pandangannya tntang masa depan Malamoi. Dia melihat masa depan anak-anak muda nanti tidak akan mengenal lagi budaya orang Moi jika semua tanah marga hilang dan berganti jadi sawit adan tambang. Apalagi, kedekatan orang Moi dengan hutan dan alam sangat erat. Terkhusus para perempuan Moi  yang sering memanfaatkan hutan sebagai tempat meereka meramu, berkebun, dan mengolah hasil hutan menjadi obat dan makanan.

“Sekarang mulai terlihat bahwa perempuan di kampung keakraban mereka dengan dengan, pangan, perlahan-lahan bergser. Bahkan budaya pangan Orang Moi itu dekat sekali dengan perempuan. Jadi, jika mau melihat bagaimana budaya pangan menghilang, lihat saja bagaimana kehidupan para perempuan Moi di kampung,” tegasnya.

Zuhdi Siswanto, peneliti yang menulis buku soal “Malamoi: Budaya Pangan, Tanah, dan Identitas” menjelaskan temuan risetnya di lapangan. Pergeseran kedekatan Orang Moi dengan hutan dan alamnya itu terlihat jelas. Bisa dilihat dari penyajian piring makan di atas mejanya. Sagu harus berdampingan dengan nasi. Dan pergeseran ini berimbas pada budaya pangan itu sendiri.

Selain itu, temuan Zuhdi lainnya ialah peran perempuan jadi sangat penting dalam menjaga kehidupan Orang Moi. Perempuan tahu bagaimana menciptakan pangan dan mereka dekat hutan dan alam. Hutan menjadi area paling penting bagi perempuan Moi, tapi selalu dilupakan pada saat pengambilan keputusan dalam melepaskan tanah ke perusahaan.

“Distribusi sagu, pisang, kasbi, keladi, sayur gedi, dan pakis semua berasal dari tangan-tangan perempuan. Tapi sekarang kedekatan itu hilang. Alat berat lah yang paling dekat sekarang dengan hutan dan alam. Bukan manusianya lagi. Keretakan ini ala mini yang berimplikasi pada metabolis orang Moi. Hal ini semua karena tanah dijual. Dan Ketika tanah dijual, perempuan lah yang jadi korbannya,” terang Zuhdi saat memaparkan hasil risetnya pada kegiatan diskusi hasil riset pada perayaan hari pangan internasional di Sorong, 17 Oktober 2025.

Siaran Pers: FSC Mempertaruhkan Reputasi dengan Mencabut Penghentian Proses Pemulihan Asia Pulp & Paper

Siaran Pers: Dewan Pengelolaan Hutan (FSC) mengumumkan akan mencabut penangguhan Proses Pemulihan dengan Asia Pulp & Paper (APP) — membatalkan keputusan sebelumnya untuk menghentikan proses tersebut hingga hubungan APP dengan Paper Excellence diklarifikasi. Masyarakat Sipil mengkritik langkah tersebut, dengan menyebut kegagalan menyelesaikan investigasi terhadap lingkup kerajaan raksasa kehutanan tersebut dan misrepresentasi pandangan masyarakat yang sangat besar.

Sebuah koalisi kelompok lingkungan mengecam keputusan preemptif FSC dan mendesak lembaga sertifikasi tersebut untuk menyelesaikan investigasinya terhadap lingkup grup perusahaan tersebut dan mencabut sertifikat Paper Excellence hingga APP memenuhi janjinya yang dipublikasikan secara luas untuk mengakhiri deforestasi dan eksploitasi masyarakat.

FSC semakin merusak kepercayaan pemangku kepentingan terhadap implementasi Kerangka Kerja Pemulihannya di Indonesia dengan mengklaim bahwa keputusannya untuk mencabut penangguhan tersebut merupakan hasil dari “mendengarkan suara dari lapangan” dalam sebuah forum baru-baru ini yang diadakan di Jakarta.

Keputusan ini tidak hanya tampak mengabaikan kebijakan FSC sendiri, tetapi kami yakin ini merupakan salah tafsir yang sangat besar terhadap pandangan masyarakat terdampak, karena para peserta dalam acara tersebut mengutip konflik lahan yang sedang berlangsung dan intimidasi oleh perusahaan-perusahaan di bawah kendali APP dan menyerukan peningkatan pengawasan terhadap Proses Pemulihan.

Dengan terburu-buru mencabut penangguhan APP sebelum investigasi menyeluruh selesai dilakukan terhadap cakupan kepentingan kehutanan saat ini dan historis dari anggota keluarga Wijaya (yang diduga sebagai pengendali APP dan Paper Excellence), FSC mendiskreditkan skema sertifikasi globalnya. Hal ini secara efektif memungkinkan APP untuk melanjutkan penilaian dasarnya sebelum tercapai kesepakatan mengenai sejauh mana perusahaan dan konsesi kehutanan harus tunduk pada penilaian kerusakan sosial dan lingkungan.

Kini berganti nama menjadi Domtar, dan menjadi perusahaan pulp dan kertas terbesar di Amerika Utara, Paper Excellence tampaknya telah dikendalikan oleh APP sejak mengakuisisi pabrik di Saskatchewan, Kanada, pada tahun 2007. FSC memisahkan diri dari APP pada tahun 2007 karena praktik kehutanan yang merusak, dan aturannya melarang keanggotaan organisasi mana pun dalam grup perusahaan yang sama hingga pemisahan diri tersebut berakhir. Meskipun dikendalikan oleh APP, Paper Excellence telah diizinkan oleh FSC untuk memperoleh dan mempertahankan sertifikasi — dan untuk menjual produk bersertifikat FSC.

Di Indonesia, Asia Pulp & Paper terus melanjutkan operasi kontroversial yang merugikan masyarakat adat dan lokal, mendorong risiko deforestasi, dan memicu kebakaran tak terkendali di lahan gambut berkarbon tinggi. Sesuai dengan kebijakannya sendiri, FSC harus mencabut sertifikat Paper Excellence hingga APP memenuhi janjinya yang dipublikasikan secara luas untuk mengakhiri deforestasi, pengeringan lahan gambut, dan konflik dengan masyarakat. Dengan melanjutkan proses penyelesaian masalah dengan APP sebelum waktunya, FSC tidak hanya melemahkan standar dan kredibilitas FSC – namun juga memungkinkan terjadinya greenwash (pembersihan lingkungan) secara besar-besaran bagi salah satu perusahaan kehutanan yang paling merusak di dunia.

 

Penandatangan

Auriga Nusantara

Jaringan Kertas Lingkungan

Program Masyarakat Hutan

Greenpeace Indonesia

Institut Hutan Kita

Jaringan Masyarakat Gambut Riau (JMGR)

LPESM Riau

Dewan Pertahanan Sumber Daya Alam

Jaringan Aksi Hutan Hujan

TuK INDONESIA

Hutan & Tepi Jalan Internasional

Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL)

Pengawas Hutan Indonesia

Perkumpulan Rawang Sumatera Selatan

Temuan Studi Lapangan: Hak Adat Di Perkebunan April

Perusahaan pulp dan kertas, APRIL, telah memperluas perkebunannya di kawasan hutan dan lahan gambut menyalahi standar FSC yang melarang konversi hutan. Sejak 2014, APRIL telah membuat komitmen publik untuk mematuhi standar FSC dan masuk kembali ke FSC. Hal ini sekarang dimungkinkan di bawah Kebijakan untuk Mengatasi Konversi FSC yang baru, selama perusahaan melakukan pemulihan/penyelesaian atas kerusakan sosial dan lingkungan sesuai dengan Kerangka Kerja Penyelesaian FSC yang baru diadopsi.

Sejak tahun 2014, APRIL dan kelompok usaha Raja Garuda Emas/Royal Golden Eagle yang lebih luas yang menaunginya, telah mengadopsi kebijakan untuk menghormati hak asasi manusia, termasuk hak adat dan hak atas FPIC dari masyarakat adat. APRIL juga telah membuat komitmen publik untuk memberikan upaya pemulihan yang efektif.

Indonesia telah meratifikasi dan mengesahkan beberapa instrumen hak asasi manusia internasional utama dan konstitusi Indonesia menjunjung tinggi hak adat, tetapi undang-undang pelaksanaannya tidak mencukupi dan dalam praktiknya sebagian besar hak masyarakat adat atas wilayah dan tanah belum diakui dan dilindungi secara efektif. Wilayah yang luas telah diserahkan kepada perusahaan oleh pemerintah di areal-areal yang tumpang tindih dengan wilayah adat tanpa keterlibatan apalagi persetujuan masyarakat yang bersangkutan, ini yang mengakibatkan konflik tanah yang meluas di seluruh nusantara.

APRIL telah menerapkan prosedur resolusi konflik yang memberikan opsi untuk mengatur kepemilikan tanah dari penduduk yang sudah lama bermukim dan/atau mengganti kerugian kepada orang per orang, tetapi, sejauh ini, masih belum menangani masyarakat yang memiliki hak adat. Forest Peoples Programme (FPP), dengan mitra lokal Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL) dan Bahtera Alam (BA) telah terlibat dalam dialog dengan APRIL untuk mengeksplorasi bagaimana perusahaan kini dapat menerapkan kebijakannya sendiri, sesuai dengan standar dan kebijakan FSC dan sejalan dengan hukum hak asasi manusia internasional, untuk menghormati hak-hak adat dari masyarakat adat.

Masyarakat yang terkena dampak mencantumkan kerugian-kerugian yang signifikan dalam hal kehilangan tempat berburu, tempat memelihara dan menangkap ikan, lahan pertanian, kebun sagu, hutan dan hasil hutan, tanaman obat, kebun kelapa dan kerusakan lainnya, termasuk pencemaran akibat limpasan air dari perkebunan Akasia. Akses ke danau-danau suci telah terhalang dan identitas tradisional serta praktik keagamaan juga dirugikan.

Memang ada beberapa manfaat bagi masyarakat, termasuk akses ke pasar, penyediaan layanan pemerintah dan program-program tanggung jawab sosial perusahaan, namun semua ini juga telah membuka lahan mereka untuk perkebunan kelapa sawit. Kedua kelompok masyarakat ini menyambut baik komitmen APRIL baru-baru ini untuk memberikan pemulihan/penyelesaian. Mereka berusaha mendapatkan kembali hak mereka atas tanah mereka, dan merundingkan kesepakatan dengan APRIL yang dilandaskan pada penghormatan terhadap hak-hak mereka.

Laporannya bisa diunduh di bawah ini:

Bahasa Indonesia

Bahasa Inggris

Orang Sakai: Asia Pulp and Paper dan Masyarakat Adat Sumatra Menuju Pemulihan?

Orang Sakai adalah salah satu dari beberapa masyarakat adat yang berada di wilayah operasi APP (Asia Pulp and Paper) di Riau. Laporan ini mengkaji situasi salah satu masyarakat-masyarakat ini dan merupakan hasil dari undangan juru bicara Orang Sakai untuk mengunjungi wilayah mereka, guna memverifikasi status mereka sebagai masyarakat adat dan menjelaskan bagaimana mereka dapat memperkuat klaim lahan mereka, dalam konteks komitmen APP baru-baru ini untuk berasosiasi kembali dengan FSC. Tinjauan ini menemukan bahwa kebijakan-kebijakan APP secara umum sejalan dengan standar-standar FSC, namun tidak jelas atau ambigu mengenai bagaimana kebijakan-kebijakan tersebut akan menghormati hak-hak adat atas tanah dan hutan yang telah diabaikan oleh Pemerintah.

Orang Sakai adalah masyarakat hutan yang tersebar luas di ekosistem hutan yang luas di wilayah yang sekarang disebut Provinsi Riau, di mana mereka melakukan perladangan berpindah, mencari makan, menangkap ikan, dan memperdagangkan hasil hutan. Mereka telah menghuni wilayah tersebut sejak masa sebelum penjajahan dan memiliki hubungan erat dengan wilayah-wilayah spesifik dan tertentu yang diawasi oleh para pemimpin adat (disebut Bathin) yang masih diakui dan dihormati oleh masyarakatnya.

Mereka mempertahankan sistem kepercayaan tradisional mereka hingga tahun 1970-an dan hingga saat ini masih memelihara sebagian besar hukum adat mereka. Serangkaian intervensi di tanah mereka telah membawa perubahan sosial yang cepat termasuk akibat ekstraksi minyak bumi secara ekstensif sejak tahun 1920-an dan kemudian penebangan kayu, pemukiman kembali secara paksa, pemukiman transmigran, perkebunan kelapa sawit dan pemukiman spontan oleh para pendatang.

Sejak tahun 1990an, perkebunan kayu pulp APP telah merampas sebagian besar dari sisa hutan dan lahan mereka. Karena Pemerintah menggolongkan kawasan ini sebagai Kawasan Hutan Negara dan pada saat itu tidak mengakui hak-hak Orang Sakai, perkebunan-perkebunan APP tersebut didirikan tanpa persetujuan Orang Sakai, sehingga berdampak serius terhadap penghidupan mereka dan menyebabkan beberapa desa yang berada di dalam perkebunan meninggalkan kawasan tempat tinggal mereka. Sengketa pertanahan tidak dapat dihindari dan dalam beberapa kasus diredam oleh aparat keamanan negara.

Sejak jatuhnya rezim Soeharto, kebijakan Pemerintah mulai berubah. Pemerintah provinsi telah mengakui sebagian Orang Sakai sebagai desa adat, wilayahnya telah dipetakan dan sebagian dari wilayah-wilayah tersebut resmi ditetapkan sebagai hutan adat. Namun, belum ada tindakan yang diambil oleh Pemerintah untuk mengakui seluruh Orang Sakai sebagai desa adat dan wilayah mereka belum dilindungi.

Laporannya bisa diunduh di bawah ini:

Orang Sakai