Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid, setelah Rapat Koordinasi Terbatas (Rakortas) mengatakan bahwa pihaknya telah melepas 474.000 hektar lahan dari kawasan hutan untuk mendukung program swasembada pangan dan energi di Provinsi Papua Selatan, sebagaimana mendapat liputan media nasional (29/9/2025).
Nusron menegaskan lahan yang dilepas sebelumnya berstatus kawasan hutan milik negara dan tidak ada yang bermukim, sehingga merupakan tanah milik negara yang tidak memerlukan prosedur pembebasan tanah.
“Kan ini hutan, punya negara. Nggak ada (pembebasan lahan), belum ada penduduknya, nggak ada yang bermukim di situ”, ujar Nusron.
Sebelumnya (18/9/25), Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni menetapkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 591 Tahun 2025 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 430 Tahun 2025 tentang Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan menjadi Bukan Kawasan Hutan menjadi Bukan Kawasan Hutan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan dalam Rangka Review Rencana Tata Ruang wilayah Provinsi Papua Selatan, yang menetapkan penambahan luas areal Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan menjadi Bukan Kawasan Hutan/ Areal Penggunaan Lain (APL) seluas 486.939 ha untuk mendukung Percepatan Pembangunan Kawasan Swasembada Pangan, Energi dan Air Nasional, Provinsi Papua Selatan.
Pandangan dan kebijakan pejabat negara ini mengungkapkan masih berakarnya praktik kolonialis sebagaimana doktrin ‘terra nulius’, doktrin Tanah Kosong yang digunakan kolonial Eropa untuk merampas, menduduki dan menguasai tanah masyarakat adat guna perluasan daerah koloni. Doktrin Tanah Kosong senafas dengan ketentuan kolonial Belanda ‘domein verklaring’ yang menyatakan bahwa semua tanah yang orang lain tidak dapat membuktikan tanah miliknya berdasarkan hukum barat, menjadi tanah milik negara.
Negara paling kuasa menentukan kebijakan penetapan perubahan status peruntukan kawasan hutan dan pemberian izin perolehan dan pemanfaatan tanah untuk Proyek Strategis Nasional (PSN) pengembangan kawasan pangan, energi dan air di Papua Selatan, dengan dalil tidak ada penduduk, tidak ada pemukiman dan klaim ‘Tanah Milik Negara’, yang sejalan dengan doktrin Tanah Kosong dan hukum kolonial Domein Verklaring.
Kami Solidaritas Merauke menyatakan Protes Keras atas intensi kebijakan dan tindakan negara atas dasar Tanah Milik Negara telah merampas dan membatalkan kedaulatan dan hak masyarakat adat. Bahwa Papua Bukan Tanah Kosong, bahwa setiap jengkal tanah, hutan, savana, rawa-rawa dan perairan di Tanah Papua, dikuasai dan dimiliki masyarakat adat, berdasarkan ketentuan norma adat dan tradisi, yang diwariskan para leluhur. Hak masyarakat adat atas tanah, wilayah dan sumber daya tidak bisa menggunakan pandangan formalistik negara dan dokumen kepemilikan saja.
Intensi kebijakan dan tindakan perampasan tanah adat dan klaim tanah milik negara merupakan perbuatan melawan hukum konstitusi dan berbagai peraturan perundang-undangan. Negara mengabaikan kewajibannya untuk mengakui, menghormati dan melindungi hak masyarakat adat sebagaimana Pasal 18 B Undang-Undang Dasar 1945 dan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua yang sudah diubah melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2001, jelas mengatur pengakuan dan penghormatan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-haknya, termasuk hak atas tanah, hak untuk membuat keputusan dan kesepakatan penyerahan dan pemanfaatan tanah.
Aksi protes Solidaritas Merauke menolak kebijakan PSN Pangan, Energi, dan Pertahanan di Papua Selatan.
Kami juga mendiskusikan dan menganalisis percepatan proses hingga penerbitan berbagai kebijakan yakni Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 591 Tahun 2025, Ranperda RTRW Provinsi Papua Selatan, Persetujuan Bersama Gubernur Papua Selatan dan DPRD Provinsi Papua Selatan dan Pembahasan Lintas Sektor oleh Menteri Agraria Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional untuk Persetujuan Substansi Tata Ruang Provinsi Papua Selatan, dilakukan secara kilat, senyap dan tidak ada partisipasi bermakna yang melibatkan masyarakat adat, serta tidak mendapatkan persetujuan yang bebas oleh masyarakat adat sebagaimana Prinsip FPIC (Free Prior Informed Consent).
Masyarakat adat Malind Anim, Makleuw, Khimahima, Yei, di Kabupaten Merauke, Suku Wambon Kenemopte dan Awyu, di Kabupaten Boven Digoel, yang berdiam dan memiliki wilayah adat pada kawasan hutan, tidak dilibatkan dan tidak mengetahui keputusan tersebut. Berkali-kali mereka menyuarakan penolakan terhadap PSN Merauke, namun pemerintah mengabaikan tuntutan dan suara masyarakat adat, tidak ada gerakan kilat pemerintah untuk menanggapi dan mengupayakan pemenuhan penghormatan dan perlindungan terhadap hak hidup masyarakat adat, hak hidup bebas, damain dan aman, hak atas tanah, wilayah dan sumber daya, hak atas pangan, hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, hak perempuan dan anak, hak atas pembangunan.
Kebijakan Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dari Hutan Produksi, Hutan Produksi Terbatas, Hutan Produksi yang dapat Dikonversi menjadi Areal Penggunaan Lain seluas 486.939 dan Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Papua Selatan, justru ditujukan untuk mengakomodasikan kepentingan proyek komersial, perluasan modal dan lahan usaha dengan mengatasnamakan PSN Pengembangan Kawasan Pangan dan Energi, yakni: (1) proyek cetak sawah baru ; (2) pengembangan perkebunan dan industri minyak kelapa sawit ; (3) pengembangan perkebunan dan tebu dan industri bioethanol ; (4) peternakan hewan ; (5) industri amunisi propelan ; (6) dermaga dan bandara, termasuk landasan pacu pesawat tempur ; (7) sarana dan prasarana lainnya.
Kami, Solidaritas Merauke, menyatakan menolak sepenuhnya akal bulus perampasan kekayaan rakyat dan penghancuran lingkungan hidup lewat berbagai dalil kebijakan peraturan, keputusan perubahan peruntukkan kawasan hutan, revisi tata ruang wilayah (RTRW), perizinan usaha, atas nama Proyek Strategis Nasional dan Swasembada Pangan, Energi dan Air Nasional.
Kami menuntut pemerintah untuk menghentikan total kebijakan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan, revisi RTRW Provinsi Papua Selatan dan izin usaha untuk Proyek Strategis Nasional serta proyek-proyek atas nama kepentingan proyek strategis nasional lainnya yang jelas-jelas mengorbankan rakyat dan lingkungan hidup.
https://ymkl.or.id/wp-content/uploads/2025/10/5-scaled.jpg17072560ymkl.or.idhttp://ymkl.or.id/wp-content/uploads/2023/10/Logo-YMKL-PNG-300x300.pngymkl.or.id2025-10-09 05:13:482025-10-09 05:13:48Kebijakan PSN Papua Selatan Bertentangan dengan Konstitusi serta Cacat Hukum
Presiden Prabowo Subianto dalam sidang pidato kenegaraan dan beberapa pertemuan menyampaikan ungkapan serakahnomics. Presiden menyoroti keberadaan dan aktivitas bisnis korporasi yang dilandasi keserakahan, melakukan permainan manipulasi, tidak adil dan mendapatkan keuntungan dengan mengorbankan rakyat. Presiden menyebut mereka sebagai vampir ekonomi, parasit yang menghisap darah rakyat, untuk memperoleh sumber daya dalam jumlah yang berlebihan dan mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Pidato retorik presiden nampaknya keras dan hendak mengingatkan prinsip perekonomian sebagaimana Konstitusi UUD 1945 Pasal 33.
Pada selasa (16/9/25), Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan mengatakan pemerintah akan mempercepat pembangunan kawasan pangan, energi dan air nasional di Wanam, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan. Pemerintah menargetkan total pembebasan lahan untuk swasembada pangan, energi dan air di Merauke mencapai 1 juta hektar. Perubahan tata ruang dan Hak Guna Usaha, dan lain yang diperlukan akan diselesaikan.
“Dan yang sudah ada tata ruangnya, laporan menteri kehutanan ada 481.000 hektar”, kata Zulkifli Hasan.
Penjelasan Menko Pangan Zulkifli Hasan terkait kemudahan dan percepatan proyek dengan alih fungsi kawasan hutan dalam skala luas merupakan wujud kesewenang-wenangan penguasa (arbitrary power) dalam kebijakan dan tindakan negara untuk mengesahkan dan memberikan dukungan aktif terhadap korporasi dan operator proyek yang sedang mengembangkan Proyek Strategis Nasional (PSN) atas nama swasembada pangan dan energi di wilayah Kabupaten Merauke, meskipun bertentangan dengan konstitusi UUD 1945, melanggar Hak Asasi Manusia dan prinsip keberlanjutan lingkungan hidup.
Faktanya, PSN Merauke dilaksanakan tanpa adanya konsultasi dan keterlibatan bermakna masyarakat adat terdampak untuk memberikan persetujuan bebas atas pengembangan PSN Merauke di wilayah adat, yang sejalan dengan prinsip FPIC (Free Prior Informed Consent). PSN Merauke diterbitkan tanpa adanya keterbukaan informasi dan keterlibatan masyarakat adat dalam perolehan perizinan-perizinan lingkungan hidup, pengalihan dan pemanfaatan hak atas tanah adat, perizinan usaha perkebunan dan hak guna usaha, dan sebagainya, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Pelaksanaan PSN Merauke selama berlangsung lebih dari satu tahun telah menimbulkan kontradiksi dan luka serius yang mencemaskan dan merugikan masyarakat adat korban, terjadi kekerasan dan pemaksaan, penghancuran dan penghilangan sumber pangan, mata pencaharian tradisional (traditional occupation), kerusakan lingkungan dan kehilangan hutan dengan ekosistem penting hingga belasan ribu hektar.
Operator perusahaan pengembang Kawasan Sentra Produksi Pangan (KSPP) Merauke maupun operator perusahaan perkebunan tebu dan bioethanol, dengan dikawal aparat militer bersenjata telah menggusur dan menghancurkan hutan adat, rawa, savana, tempat-tempat keramat, tanpa memperdulikan hak dan suara keluhan rakyat, maupun keberlanjutan biodiversity yang bernilai konservasi tinggi. Kami mendokumentasikan semenjak tahun 2024 hingga Agustus 2025, PSN Merauke telah merusak dan menghilangkan kawasan hutan seluas lebih dari 19.000 hektar. Angka deforestasi ini berkontribusi mempertebal emisi Gas Rumah Kaca, sekaligus wujud pengabaian komitmen negara untuk mengatasi perubahan iklim.
Tanah Masyarakat Adat Papua Terancam PSN
Masyarakat adat Malind Anim dan Yei secara tidak bebas membuat keputusan dan terpaksa menerima kompensasi “uang tali asih” untuk menyerahkan hak atas tanah adat kepada perusahaan perkebunan tebu PT Global Papua Abadi (GPA) dan PT Murni Nusantara Mandiri (MNM), nilainya sekitar Rp. 300.000 per hektar (atau Rp. 3.000 per meter), nilai kompensasi yang tidak adil dan tidak sebanding dengan manfaat sosial ekonomi dan jasa lingkungan atas tanah dan hutan.
Pencaplokan tanah dan hutan adat melalui pemberian izin, pemberian kompensasi dan janji kesejahteraan pembangunan seolah-olah jalan normal dan legal. Cara-cara dan pelabelan legalitas ini membuat penguasa dan pengusaha serakah dapat menguasai dan memiliki alat produksi dalam skala luas. PT GPA dan PT MNM, serta 8 (delapan) perusahaan perkebunan tebu dan bioethanol dalam PSN Merauke memiliki konsesi seluas lebih dari 560.000 hektar, yang mana penerima manfaat (beneficial ownership) perusahaan oleh Fangiono Famili dan Martua Sitorus. Kedua penguasa ekonomi ini juga memiliki izin usaha perkebunan kelapa sawit di Merauke, Sorong, Sorong Selatan dan Teluk Bintuni, hingga lebih dari 300.000 hektar. Konsentrasi penguasaan tanah pada segelintir orang adalah wujud “serakahnomics”, pembatasan penguasaan tanah maksimum dilindas.
Kami Yayasan Pusaka Bentala Rakyat mengecam kebijakan dan praktik PSN (Proyek Strategis Nasional) atas nama pengembangan pangan, energi dan air nasional di Kabupaten Merauke, dengan memfasilitasi pemberian kemudahan dan percepatan pemberian izin perolehan tanah adat dan alih fungsi kawasan hutan skala luas, hal ini menunjukkan praktik serakahnomics. Kesewenang-wenangan Menteri Zulhas dalam mendorong dan menerbitkan perubahan tata ruang, HGU dan perizinan lainnya, adalah wujud serakahnomics dan tidak adil, yang menguntungkan korporasi dengan mengorbankan rakyat.
Kami meminta pemerintah menghentikan pemberian izin pelepasan kawasan hutan skala luas dan praktik ekstraktif sumber daya alam yang merusak lingkungan hidup, yang dilakukan tanpa kajian dan mempertimbangkan keseimbangan ekologis, keberlanjutan sumber daya alam dan kelangsungan hak lintas generasi, yang mengabaikan hak masyarakat adat, hanya untuk mendapatkan keuntungan ekonomi segelintir korporasi.
Kami meminta Presiden Prabowo segera mengevaluasi dan meninjau kembali PSN Merauke yang dikendalikan dan menguntungkan penguasa dan pengusaha serakah, dengan mengorbankan dan menyingkirkan masyarakat adat, dan lingkungan hidup. Pemerintah seharusnya mengambil langkah-langkah efektif untuk pemenuhan dan penikmatan Hak Asasi Manusia, bukan hanya retorika melainkan bertindak untuk menghormati dan melindungi hak masyarakat adat dan lingkungan hidup.
Kami juga meminta pejabat pemerintah daerah Kabupaten Merauke dan Provinsi Papua Selatan, untuk aktif menggunakan kewenangan khusus sebagaimana UU Otsus Papua, yang diakui untuk mengatur dan bertindak mengurus kepentingan masyarakat adat, menghormati dan melindungi aspirasi dan hak masyarakat adat terdampak PSN Merauke, mewujudkan perekonomian berbasis kerakyatan yang adil dan berkelanjutan.
Pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden M Jusuf Kalla (2009-2014) Zulkifli Hasan pernah menjabat Menteri Kehutanan dan menerbitkan izin pelepasan kawasan hutan kepada korporasi untuk menjadi perkebunan seluas sekitar 1,6 juta hektar. Sebagian besar izin tersebut berada di Tanah Papua seluas 680.188 hektar, yang diberikan kepada segelintir perusahaan. Masyarakat adat setempat tidak mengetahui dan tidak pernah dikonsultasikan pemberian izin dimaksud hingga menimbulkan konflik, misalnya antara Suku Awyu dengan tujuh perusahaan perkebunan kelapa sawit yang tergabung dalam Menara Group pengembang proyek Tanah Merah di Kabupaten Boven Digoel, yang menguasai lahan hutan alam seluas 270.000 hektar.
https://ymkl.or.id/wp-content/uploads/2025/09/WhatsApp-Image-2025-09-22-at-15.05.09-1.jpeg8821280ymkl.or.idhttp://ymkl.or.id/wp-content/uploads/2023/10/Logo-YMKL-PNG-300x300.pngymkl.or.id2025-09-23 05:51:432025-09-23 05:51:43Mengecam Kebijakan PSN dan Pembiaran Pelanggaran HAM dan Lingkungan Hidup di Merauke
Solidaritas Lawan Kriminalisasi bersama Koalisi Maba Sangaji yang berada di Jakarta menggelar aksi massa dan mimbar rakyat di depan Gedung PT. Position. Aksi dilakukan untuk mendesak Pengadilan Negeri (PN) Soasio, agar segera menghentikan dan membebaskan 11 masyarakat adat Maba Sangaji, yang hingga kini sedang mendekap di Rutan Tidore serta sedang menempuh proses persidangan di PN Soasio. Sedari awal warga ditangkap secara sewenang-wenang oleh Polda Maluku Utara dan pada akhirnya ditetapkan sebagai tersangka. Kendati demikian, Kejaksaan Negeri Halmahera Timur juga megakomodir apa yang dilakukan oleh Polda Maluku Utara.
Kasus ini bermula pada 18 Mei 2025, saat sekitar 27 masyarakat Maba Sangaji melakukan ritual adat secara damai dan memberikan surat keberatan dan tuntutan adat, karena di nilai PT. Position telah merusak dan merampas tanah, hutan dan sungai masyarakat adat. Ritual adat tersebut kemudian dibubarkan secara represif oleh aparat gabungan (TNI dan Polri), yang menyebabkan 11 orang ditetapkan menjadi tersangka dengan jeratan pasal-pasal dalam KUHP (Pemerasan dan Pengancaman), UU Darurat: membawa senjata tajam, serta UU Minerba: menghalangi dan merintangi pertambangan—yang pada akhirnya kriminalisasi tersebut sampai ke taham meja persidangan di PN Soasio, Tidore Kepulauan.
Hal tersebut bertentangan dengan Prinsip Anti-SLAPP yang sudah diakui dalam Pasal 66 UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup:“Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.” Bahkan Anti-Slapp diatur dalam Perma 1/2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup. “Jika aparat kepolisian dan Jaksa Penuntut Umum (JPU) bebal dan tidak mempertimbangkan terkait Anti-Slapp. Maka, sudah seharusya PN Soasio mempertimbangkan dan menghentikan kasus ini berdasarkan Perma Nomor 1 tahun 2023 sebagaimana menjadi pedoman bagi hakim untuk mengadili perkara tersebut” kata Wildan dari Trend Asia yang juga tergabung dalam Tim Advokasi Anti Kriminalisasi Maba Sangaji.
Eksploitasi tambang nikel di Halmahera terus mengalami perluasan. Hingga saat ini, ada 127 Izin Usaha Pertambangan (IUP) dengan luas 655.581,43 hektar di Maluku Utara, 62 IUP diantaranya dengan luas 239.737,35 ha adalah tambang nikel yang tersebar di Halmahera Timur, Tengah dan Selatan. Seluruh operasi tambang tersebut telah menghancurkan hutan, mencemari sungai dan laut, dan menyingkirkan masyarakat adat dari ruang hidupnya, bahkan suara penolakan rakyat direspon dengan tindakan kriminalisasi dari perusahaan tambang melalui TNI dan Polri.
“Apa yang dialami 11 warga Maba Sangaji, persis terjadi diberbagai wilayah operasi tambang lainnya: perusahaan tambang datang tanpa persetujan warga, kampung dihancurkan, setelah untung lalu pergi. Yang merasakan dampak buruknya adalah warga yang tinggal di sekitar tambang. Jika, ada warga yang berani menolak dan bersuara akan dihajar, diancam dan dikriminalisasi. Padahal PT. Position memiliki setumpuk catatan yang bermasalah, mulai dari izin yang diperoleh tanpa sepengetahuan warga, melakukan penambangan di kawasan hutan adat dan hutan lindung, sampai dengan mencemari sungai Sangaji,” kata Hema, dari JATAM dan Juru Kampanye Aksi.
Selain PT Position, ada sejumlah aktivitas tambang lainnya yang mencemari Sungai Sangaji, yaitu PT Wana Kencana Mineral, PT Nusa Karya Arindo dan PT Weda Bay Nickel yang menjadi bagian dari PT IWIP. Dampak masifnya operasi tambang di Halmahera, telah mengakibatkan permasalahan terhadap lingkungan dan kehidupan sehari-hari Masyarakat adat, termasuk hilangnya akses terhadap air bersih akibat pencemaran sungai, rusaknya lahan pertanian, dan terancamnya sumber penghidupan.
Karena itu, kami dari Solidaritas Lawan Kriminalisasi bersama Koalisi maba Sangaji menuntut:
1. PN Soasio segera menghentikan perkara a quo karena alasan SLAPP berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup.
2. Memulihkan hak serta kemampuan sebelas warga Maba Sangaji dengan harkat dan martabatnya dalam kedudukan yang semula.
3. Cabut izin PT. Position dan seluruh tambang yang merampas tanah merusak hutan dan sungai.
4. Pemerintah Indonesia harus menghentikan seluruh pertambangan nikel di Maluku Utara karena telah merusak lingkungan hidup dan mengancam keselamatan rakyat.
Narahubung:
– Mayang, Korlap Aksi Solidaritas Lawan Kriminalisasi (+62 881-0224-07456)
– Wildan, Trend Asia dan Tim Hukum Maba Sangaji (+62 821-2278-3240)
– Hema Situmorang, Juru Kampanye JATAM (+62 821 6578 2010)
https://ymkl.or.id/wp-content/uploads/2025/08/Bebaskan-Warga-Maba-Sangaji.jpeg8681160ymkl.or.idhttp://ymkl.or.id/wp-content/uploads/2023/10/Logo-YMKL-PNG-300x300.pngymkl.or.id2025-08-20 12:31:012025-08-20 12:31:47Siaran Pers: Bebaskan 11 Masyarakat Adat Maba Sangaji yang Ditahan
Siaran Pers: Dewan Pengelolaan Hutan (FSC) mengumumkan akan mencabut penangguhan Proses Pemulihan dengan Asia Pulp & Paper (APP) — membatalkan keputusan sebelumnya untuk menghentikan proses tersebut hingga hubungan APP dengan Paper Excellence diklarifikasi. Masyarakat Sipil mengkritik langkah tersebut, dengan menyebut kegagalan menyelesaikan investigasi terhadap lingkup kerajaan raksasa kehutanan tersebut dan misrepresentasi pandangan masyarakat yang sangat besar.
Sebuah koalisi kelompok lingkungan mengecam keputusan preemptif FSC dan mendesak lembaga sertifikasi tersebut untuk menyelesaikan investigasinya terhadap lingkup grup perusahaan tersebut dan mencabut sertifikat Paper Excellence hingga APP memenuhi janjinya yang dipublikasikan secara luas untuk mengakhiri deforestasi dan eksploitasi masyarakat.
FSC semakin merusak kepercayaan pemangku kepentingan terhadap implementasi Kerangka Kerja Pemulihannya di Indonesia dengan mengklaim bahwa keputusannya untuk mencabut penangguhan tersebut merupakan hasil dari “mendengarkan suara dari lapangan” dalam sebuah forum baru-baru ini yang diadakan di Jakarta.
Keputusan ini tidak hanya tampak mengabaikan kebijakan FSC sendiri, tetapi kami yakin ini merupakan salah tafsir yang sangat besar terhadap pandangan masyarakat terdampak, karena para peserta dalam acara tersebut mengutip konflik lahan yang sedang berlangsung dan intimidasi oleh perusahaan-perusahaan di bawah kendali APP dan menyerukan peningkatan pengawasan terhadap Proses Pemulihan.
Dengan terburu-buru mencabut penangguhan APP sebelum investigasi menyeluruh selesai dilakukan terhadap cakupan kepentingan kehutanan saat ini dan historis dari anggota keluarga Wijaya (yang diduga sebagai pengendali APP dan Paper Excellence), FSC mendiskreditkan skema sertifikasi globalnya. Hal ini secara efektif memungkinkan APP untuk melanjutkan penilaian dasarnya sebelum tercapai kesepakatan mengenai sejauh mana perusahaan dan konsesi kehutanan harus tunduk pada penilaian kerusakan sosial dan lingkungan.
Kini berganti nama menjadi Domtar, dan menjadi perusahaan pulp dan kertas terbesar di Amerika Utara, Paper Excellence tampaknya telah dikendalikan oleh APP sejak mengakuisisi pabrik di Saskatchewan, Kanada, pada tahun 2007. FSC memisahkan diri dari APP pada tahun 2007 karena praktik kehutanan yang merusak, dan aturannya melarang keanggotaan organisasi mana pun dalam grup perusahaan yang sama hingga pemisahan diri tersebut berakhir. Meskipun dikendalikan oleh APP, Paper Excellence telah diizinkan oleh FSC untuk memperoleh dan mempertahankan sertifikasi — dan untuk menjual produk bersertifikat FSC.
Di Indonesia, Asia Pulp & Paper terus melanjutkan operasi kontroversial yang merugikan masyarakat adat dan lokal, mendorong risiko deforestasi, dan memicu kebakaran tak terkendali di lahan gambut berkarbon tinggi. Sesuai dengan kebijakannya sendiri, FSC harus mencabut sertifikat Paper Excellence hingga APP memenuhi janjinya yang dipublikasikan secara luas untuk mengakhiri deforestasi, pengeringan lahan gambut, dan konflik dengan masyarakat. Dengan melanjutkan proses penyelesaian masalah dengan APP sebelum waktunya, FSC tidak hanya melemahkan standar dan kredibilitas FSC – namun juga memungkinkan terjadinya greenwash (pembersihan lingkungan) secara besar-besaran bagi salah satu perusahaan kehutanan yang paling merusak di dunia.
Penandatangan
Auriga Nusantara
Jaringan Kertas Lingkungan
Program Masyarakat Hutan
Greenpeace Indonesia
Institut Hutan Kita
Jaringan Masyarakat Gambut Riau (JMGR)
LPESM Riau
Dewan Pertahanan Sumber Daya Alam
Jaringan Aksi Hutan Hujan
TuK INDONESIA
Hutan & Tepi Jalan Internasional
Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL)
Pengawas Hutan Indonesia
Perkumpulan Rawang Sumatera Selatan
https://ymkl.or.id/wp-content/uploads/2025/07/FSC-scaled.jpg17072560ymkl.or.idhttp://ymkl.or.id/wp-content/uploads/2023/10/Logo-YMKL-PNG-300x300.pngymkl.or.id2025-07-25 08:10:222025-08-04 05:21:17Siaran Pers: FSC Mempertaruhkan Reputasi dengan Mencabut Penghentian Proses Pemulihan Asia Pulp & Paper
Sembilan Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN Special Procedure Mechanism) menyurati pemerintah Indonesia maupun perusahaan PT Global Papua Abadi yang terlibat dalam Proyek strategis Nasional Merauke. Para Pelapor khusus menyoroti dugaan dan dampak pelanggaran Hak Asasi Manusia dan lingkungan hidup akibat PSN Merauke. Kesembilan Pelapor Khusus PBB telah meminta tanggapan baik dari Pemerintah Indonesia maupun PT Global Papua Abadi untuk memberikan klarifikasi termasuk menganalisis kemungkinan untuk menghentikan Proyek Strategis Nasional. Pada tanggal 6 Mei 2025 Pemerintah Indonesia memberikan tanggapan.
Solidaritas Merauke menilai pemerintah Indonesia telah membantah informasi dugaan pelanggaran HAM dan lingkungan hidup yang terjadi, bantahan tanpa realitis empirik sebab peristiwa hingga saat ini masih terjadi. Pemerintah Indonesia berusaha menghindari permintaan informasi atau klarifikasi dari para pelapor khusus PBB dengan memberikan jawaban yang tidak berhubungan langsung dengan masalah yang terjadi.
Tanggapan pemerintah memperlihatkan keengganan pemerintah menyelesaikan masalah yang terjadi dan memperpanjang permasalahan HAM dan lingkungan yang terjadi dari kebijakan PSN Merauke yang juga telah menjangkau tempat lain di luar Merauke. Tanggapan tersebut kami nilai bermasalah dan tidak dapat diterima, bertentangan dengan hukum konstitusi Indonesia, bertentangan dengan rekomendasi Komnas HAM terkait PSN Merauke dan bertentangan dengan standar HAM internasional. Kami meragukan komitmen pemerintah untuk memajukan dan melindungi HAM sesuai kerangka hukum HAM internasional jika program PSN masih terus dilanjutkan.
Solidaritas Merauke mendesak para Pelapor Khusus PBB untuk melakukan tindakan pemantauan secara langsung atas informasi-informasi pelanggaran ham dan lingkungan hidup di Merauke, Papua. Kami juga meminta para mandat special rapporteur mendesak pemerintah Indonesia untuk menghentikan pelaksanaan PSN guna mencegah terjadinya peristiwa pelanggaran HAM dan lingkungan hidup yang semakin luas di Merauke dan tempat lainnya.
https://ymkl.or.id/wp-content/uploads/2025/06/WhatsApp-Image-2025-06-17-at-22.07.01.jpeg9601280ymkl.or.idhttp://ymkl.or.id/wp-content/uploads/2023/10/Logo-YMKL-PNG-300x300.pngymkl.or.id2025-06-20 17:19:312025-06-20 17:20:34Respon Masyarakat Sipil Atas Tanggapan Pemerintah Terhadap Surat Sembilan Pelapor Khusus PBB Mengenai Proyek Strategis Nasional Merauke
Merauke, 14 Maret 2025: Suara penolakan dan perlawanan atas berbagai Proyek Strategis Nasional (PSN) bermasalah bergema dari Merauke, Papua Selatan, provinsi paling timur Indonesia yang tengah disasar proyek cetak sawah dan kebun tebu warisan pemerintahan Presiden Joko Widodo, dan kini dilanjutkan Presiden Prabowo Subianto. Deklarasi ini diserukan masyarakat adat dan rakyat, yang menjadi korban sekaligus berjuang melawan kesewenang-wenangan program PSN dan berbagai proyek merusak lainnya.
“Kami menuntut penghentian total Proyek Strategis Nasional serta proyek-proyek atas nama kepentingan nasional lainnya yang jelas-jelas mengorbankan rakyat. Pelaku kejahatan-negara-korporasi wajib mengembalikan semua kekayaan rakyat yang dicuri dan segera memulihkan kesehatan dan ruang hidup rakyat di seluruh wilayah yang dikorbankan atas nama kepentingan nasional,” demikian petikan deklarasi yang dibacakan perwakilan rakyat dalam pertemuan di Merauke, Papua Selatan (14/3).
Warga terdampak PSN membubuhkan tandatangan dalam spanduk Tolak PSN dalam acara Konsolidasi Solidaritas Merauke, 11-14 Maret 2025.
Deklarasi tersebut adalah hasil pertemuan “Konsolidasi Solidaritas Merauke” yang berlangsung pada 11-14 Maret 2025 di Kota Merauke. Selama empat hari, lebih dari 250 masyarakat adat dan masyarakat lokal terdampak PSN, serta pelbagai organisasi masyarakat sipil, berkumpul untuk berbagi cerita tentang kejahatan negara korporasi dan kekerasan aparat militer dan polisi sebagai pengalaman kolektif.
Warga yang hadir merupakan masyarakat terdampak proyek food estate Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, Keerom – Papua, Merauke dan Mappi, Papua Selatan; proyek Rempang Eco City di Kepulauan Riau; proyek Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Kalimantan Timur; proyek geothermal Poco Leok di Nusa Tenggara Timur; industri ekstraktif Hutan Tanaman Energi dan bioenergi di Jambi; berbagai proyek PSN di Fakfak dan Teluk Bintuni, Papua Barat, serta ekspansi perkebunan sawit di seluruh tanah Papua.
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Atnike Sigiro, yang hadir dalam deklarasi mengatakan, sepanjang 2020-2023, lembaganya menerima setidaknya 114 kasus aduan terkait dengan PSN yang diduga kuat melanggar HAM dalam berbagai bentuk. Ia menyebutkan Komnas HAM juga telah menyampaikan sejumlah rekomendasi kepada kementerian dan lembaga terkait.
“Pada kenyataannya rekomendasi Komnas HAM tidak selalu diikuti, tetapi sangat penting untuk membuat rekomendasi. Sebab kalau tidak, kami tidak melanjutkan apa yang menjadi keluhan masyarakat kepada pemerintah atau kepada pihak yang bertanggung jawab,” kata Atnike Sigiro, seusai deklarasi.
Di sisi lain, lanjut Atnike, sebagai Komnas HAM, lembaganya perlu meminta maaf kepada masyarakat jika dirasa tak cepat dalam menghasilkan rekomendasi. Sebab, kata dia, kasus-kasus yang diadukan acapkali lebih terkait dengan kebijakan, bukan dengan penegakan hukum.
Turut hadir dalam kesempatan itu Wakil Menteri Hak Asasi Manusia Mugiyanto Sipin yang memilih tidak mendebat apa yang disampaikan para peserta. “Saya tidak akan mendebat apa yang disampaikan bapak ibu dan kawan-kawan sekalian. Saya akan membungkus yang disampaikan sebagai masukan kami, karena itu memang tanggung jawab kami untuk kami bawa ke Jakarta dan koordinasikan dengan kementerian/lembaga terkait dengan PSN,” katanya, menghadapi hujan protes para peserta konsolidasi.
(Dari Kiri) Agustinus Guritno, Asisten I Sekretaris Daerah Provinsi Papua Selatan; Mugiyanto Sipin, Wakil Menteri HAM RI; Atnike Sigiro, Ketua Komnas HAM RI; Teddy Wakum, Ketua LBH Papua Merauke; Simon Balagaize, perwakilan komunitas masyarakat adat Malind hadir mendampingi pembacaan Deklarasi Konsolidasi Solidaritas Merauke, 14 Maret 2025.
Koordinator Solidaritas Merauke, Franky Samperante mengatakan, deklarasi ini menjadi awal untuk melawan penghancuran kehidupan dan ruang hidup masyarakat. “Tugas kita berikutnya adalah memperbesar gerakan Solidaritas Merauke dan terus menolak dan melawan PSN serta proyek-proyek atas nama kepentingan nasional lainnya yang jelas-jelas mengorbankan rakyat, kemudian mendesak pelaku kejahatan negara dan korporasi untuk mengembalikan dan memulihkan ruang hidup rakyat di seluruh wilayah yang telah dikorbankan atas nama kepentingan nasional, yang sejatinya hanya menguntungkan segelintir orang,” kata Franky.
Sejak terbitnya Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 tentang percepatan pembangunan PSN, alih-alih membawa kemakmuran untuk rakyat, proyek ini justru memicu segudang masalah. Terutama, bagi masyarakat adat yang secara turun-temurun memiliki hak dan kontrol atas tanah dan hutan yang menjadi sumber penghidupan. Masalah-masalah yang muncul akibat proyek PSN kini dilanjutkan oleh Prabowo, yang baru-baru ini menetapkan 77 PSN. Kendati sejumlah proyek era Jokowi dicoret dari daftar PSN, ancaman perampasan tanah serta ruang hidup dan pelanggaran hak-hak masyarakat tak serta-merta hilang.
Laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyebutkan PSN tak ramah HAM dan menimbulkan pelbagai bentuk pelanggaran HAM. Karakteristik PSN yang ingin dilaksanakan secara cepat telah merampas hak-hak mendasar rakyat, utamanya hak atas tanah sebagai HAM. PSN juga telah menerabas banyak norma dan ketentuan perundang-undangan, hingga berimbas pada penghalangan dan pelanggaran HAM, baik dari sisi proses maupun substansi.
Pelaksanaan PSN, laporan menyebutkan, dilakukan tanpa pelibatan rakyat yang lebih memahami kebutuhan dan wilayahnya. Pada akhirnya, hal ini memicu letusan konflik agraria. Pendekatan represif di wilayah PSN yang berkonflik terus menambah catatan pelanggaran HAM di Indonesia. Mekanisme izin lingkungan dan AMDAL, yang semestinya menjadi instrumen pengendalian lingkungan hidup, tak berjalan semestinya.
Berdasarkan Catatan Akhir Tahun Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), tercatat sejak 2020-2024, setidaknya 103 ribu kaum ibu telah kehilangan sumber penghidupannya, akibat perampasan tanah atas nama PSN. Rusaknya sumber air, hilangnya sumber pangan, seperti sagu, sayuran yang tumbuh di hutan, ikan dan berbagai sumber protein di sungai dan laut, memaksa perempuan untuk membeli bahan-bahan pangan sehingga pengeluaran rumah tangga terus meningkat.
Narahubung Solidaritas Merauke:
Franky Samperante +62 811 1256 019
https://ymkl.or.id/wp-content/uploads/2025/03/150325_SolidaritasMerauke_oca_3625-scaled.jpg17072560ymkl.or.idhttp://ymkl.or.id/wp-content/uploads/2023/10/Logo-YMKL-PNG-300x300.pngymkl.or.id2025-03-17 10:58:532025-03-17 10:58:53Siaran Pers: Dari Merauke, Masyarakat Terdampak PSN Tolak Perampasan Tanah dan Ruang Hidup
Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL) bersama Yayasan Pusaka Bentala Rakyat bekerjasama dengan Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur menggelar kegiatan Diseminasi Hasil Penelitian dan Diskusi Bersama dengan tema “Metabolisme Sosial Orang Moi Yang Hilang dan Kerja Paksa Masyarakat Adat di Perkebunan Sawit Di Tanah Merauke dan Boven Digoel” yang dilaksanakan di Aula STFT Fajar Timur, Senin 24 Februari 2025.
Kegiatan diseminasi dan diskusi bersama ini merupakan rangkaian dari publikasi hasil penelitian yang dilakukan oleh YMKL bersama Yayasan Pusaka Bentala Rakyat yang tim penelitinya dari Pusat Kajian Hukum Adat Djojodigoeno, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) dan tim peneliti lainnya Laksmi Adriani Savitri serta Zuhdi Siswanto, pada tahun 2024.
Ada dua topik yang menjadi fokus penelitian, tentunya sejalan dengan konteks isu hak asasi manusia khususnya di Tanah Papua. Penelitian pertama tentang situasi kehidupan buruh perkebunan sawit di Merauke dan Boven Digoel, yang dikerjakan oleh tim peneliti Djojodigoeno, sementara penelitian kedua tentang perubahan budaya pangan dalam kaitan dengan perubahan penguasaan lahan, pada komunitas Suku Moi di Kabupaten Sorong yang kini banyak dikuasai oleh korporasi bisnis perkebunan, kehutanan, infrastruktur, dan pertambangan. Sebuah perubahan yang telah berlangsung – dan tak mampu mereka cegah – sejak masa kolonial. Penelitian ini dilakukan bersama Laksmi Adriani Savitri dan Zuhdi Siswanto.
Kedua gagasan di balik penelitian ini adalah untuk melihat dampak dari tingginya pembukaan lahan oleh proyek-proyek pembangunan seperti perkebunan sawit, proyek infrastruktur jalan dan perkebunan kayu (hutan tanaman/hutan tanaman energi) yang diluncurkan oleh pemerintah dengan janji untuk peningkatan ekonomi dan kesejahteraan rakyat, dengan memprioritaskan manfaat bagi masyarakat setempat. Di balik itu semua banyak pelanggaran yang terjadi atas hak-hak Masyarakat adat dan komunitas baik hak atas tanah, hak atas lingkungan hidup, hak atas sumber daya alam, hak atas pangan lokal dan hak-hak atas perlindungan di tempat bekerja.
Laksmi Adriani Savitri dan Zuhdi Siswanto yang melakukan penelitian di Sorong dengan lokasi penelitian di Suku Moi menemukan, terjadi perubahan-perubahan kehidupan sosial dan budaya. Kehadiran investasi yang begitu masif di Tanah Orang Moi menyebabkan banyak permasalahan yang muncul. Apalagi permasalahan terkait relasi sosial Orang Moi dan juga relasi kehidupan mereka dengan hutan dan alam.
Dalam penelitian mereka yang berjudul “Budaya Pangan, Identitas dan Metabolisme Sosial yang Retak: Cerita Orang Moi di Tanah Papua Barat” menemukan, ada relasi-relasi yang hilang atau retak antara Orang Moi dengan tanah apalagi alamnya. Penelitian ini mencermati dan mengkaji budaya pangan dan Identitas Moi yang mencoba menghubungkan antara ekonomi politik dan ekologi pangan dengan kebudayaan.
“Fokus yang retak itu menyebabkan kehilangan yang luar biasa. Orang moi merasakan kehilangan jati dirinya sehingga memunculkan sesuatu yang baru, Moi yang Baru,” kata Laksmi Savitri saat memaparkan hasil penelitiannya di Aula STFT, Senin 25 Februari 2025.
Kata Laksmi, hal ini menandakan bahwa Orang Moi dan alamnya terjadi keretakan. Pada awalnya hubungan Orang Moi dengan alam saling berkaitan, saling menghidupi, memiliki hubungan yang erat dengan saling menjaga antara satu dan lainnya; antara Orang Moi dan alamnya. Perubahan mulai terlihat atau mulai meretak saat Orang-orang Moi disibukkan dengan urusan organisasi. Urusan ganti rugi.
“Dulu bisa berkebun tanpa harus ada izin. Tapi sekarang orang yang mau bekerja atau menggarap tanah harus izin dulu dan tanya tanah ini milik siapa. Semua tergantikan dengan alasan uang,” terang Laksmi.
Sejalan dengan itu, sesuai dengan fakta terlihat, bahwa tidak semua Orang Moi sekarang hidup dari alam. Keretakan budaya dan pangan bagi Orang Moi terlihat dari penyajian makanan di meja makan. Nasi dan sagu berdampingan. Kadang hanya nasi saja. Ini disebabkan sagu yang dipanen akan dijual dan hasilnya untuk membeli beras. Karena kondisi alamnya sudah rusak sedemikian rupa dan relasi sosialnya yang berubah, sehingga yang paling dekat dengan alam atau hutan untuk berkebun adalah perempuan. Perempuan yang memiliki peran penghubung dengan alam.
“Perempuan paling dekat dengan pangan dan sagu. Sedangkan laki-laki masih sebagian besar berburu dan meramu,” kata Laksmi dalam paparannya.
Ayub R. Paa, perwakilan dari masyarakat adat Suku Moi Marga Kelim Paa, mengatakan, banyak sekali cerita dari Suku Moi yang belum tertulis dalam penelitian tersebut. Banyak suku dan marga yang punya banyak cerita tentang budaya dan pangannya di tanah Moi.
Menurut Ayub, hutan dan tanah Suku Moi mulai terdampak investasi sejak tahun 1910 dan kemudian terus berlangsung setelah Indonesia Merdeka pada 1945. Sejak investasi masuk, saat inilah yang membuat Suku Moi harus berjuang mempertahankan wilayah adat dan tanahnya untuk kehidupan.
“Bagi Suku Moi tanah itu adalah mama atau ibu yang harus dijaga,” kata Ayub saat menanggapi hasil penelitian yang dipaparkan.
Ayub bercerita, khususnya Moi Kelim masih banyak masyarakat yang berkebun, dengan banyak cerita tentang hutan dan tanahnya. Misalnya cerita dari kampungnya yang masih menjaga hutan mereka agar tidak rusak atau hilang.
“Kita tidak mau mengubah budaya kita dan kita mau menjaga budaya adat ini agar terus ada. Misalnya dari menjaga hutan kita bisa mempromosikan soal budaya dan hutan di tanah kami, agar bisa menarik perhatian orang banyak dan memberikan dampak dari segi sosial dan ekonomi tanpa harus merusak,” ungkap Ayub.
Sementara itu, pada waktu yang sama, penelitian lainnya oleh YMKL dan Pusaka yang dilakukan tim peneliti dari Pusat Kajian Hukum Adat Djojodigoeno membahas topik “Kerja Paksa dan Masyarakat Hukum Adat: Studi Perkebunan Sawit di Merauke dan Boven Digoel” menemukan banyak persoalan di lapangan. Penelitian ini menggunakan Konvensi ILO (International Labour Organization) dan kriteria ILO tentang kerja paksa sebagai dasar analisis pada buruh perkebunan sawit.
Perluasan industri perkebunan sawit telah membawa dampak besar terhadap masyarakat adat atau Orang Asli Papua, baik dalam hal hak-hak buruh hingga perubahan pola hidup masyarakat setempat. Dalam beberapa kasus, muncul indikasi kerja paksa terhadap masyarakat adat, yang menimbulkan berbagai persoalan hukum, ekonomi, dan sosial.
Almonika Cindy Fatika Sari, dari tim peneliti Djojodigoeno mengatakan, bahwa penelitian ini berangkat dari narasi tanaman sawit sebagai tanaman yang unggul, mendatangkan keuntungan, memberikan pendapatan ekonomi, serta membuka lapangan pekerjaan. Menurutnya, sudah banyak penelitian yang menunjukan bahwa tanaman sawit dari satu sisi mendatangkan banyak kemakmuran yang didapatkan dari petani sawit. Tapi di sisi lain, ada konsekuensi yang harus dibayar, semua itu tidak ada yang gratis, karena kemudian muncul persoalan banyak juga petani-petani yang mengalami kemiskinan dari perkebunan sawit.
Tim peneliti dari Pusat Kajian Hukum Adat Djojodigoeno, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), yang diwakili oleh Almonika Cindy Fatika Sari (tengah) dan Nailul Amany (kanan) dalam pemaparan temuan mereka terkait kerja paksa di perkebunan sawit yang berada di wilayah Merauke dan Boven Digoel, Senin 24 Februari 2025. Dok: Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari.
Khusus untuk Papua, meskipun secara luasan perkebunan sawit terbesar masih berada di Sumatra, tapi melihat ambisi investasi yang masif bergerak ke Papua menjadi satu alasan penelitian ini dilakukan, untuk menegaskan adanya praktik pelanggaran yang sudah terjadi dan belum diangkat selama ini.
“Yang tak kalah penting, sawit tidak hanya menimbulkan konflik soal tanah, tetapi dia juga menimbulkan pertanyaan dari sisi ketenagakerjaan. Bagaimana dengan orang lokal atau masyarakat adat Papua yang jadi pekerja dengan sistem perusahaan yang tidak memperhatikan Keselamatan, Kesehatan, dan Kesejahteraan (K3). Apalagi terkait jaminan kesehatan, jaminan keselamatan, jaminan sosialnya. Maka dari itu penelitian ini hadir untuk memaparkan temuan yang kami dapatkan dari lokasi penelitian,” papar Monic dalam presentasi hasil penelitiannya di Aula STFT Fajar Timur, Senin (24/2/2025).
Kata Monic, hasil dari penelitian yang dilakukannya bersama tim peneliti Djojodigoeno menemukan, adanya ketidaktaatan hukum kepada perusahaan sawit yang aktif beroperasi di wilayah Merauke dan Boven Digoel. Yang Paling kentara adalah izin usaha perkebunan yang mereka dapatkan pada beberapa perusahaan keluar pada tahun 2013, kemudian sudah dilakukan penanaman dan perekrutan pekerja, tapi pelepasan kawasan hutan baru dilakukan setelahnya, dan bahkan kapan HGU (Hak Guna Usaha) oleh perusahaan belum bisa dipastikan kapan diperolehnya. Menjadi satu indikasi perusahaan sawit melanggar prosedur hukum karena berbuat tidak sesuai dengan aturan.
Masuknya perusahaan sawit itu membuat masyarakat adat Papua di Merauke dan Boven Digoel semakin menjauh dari relasi hidupnya dengan tanah. Dan membuat mereka hidup dalam keputusasaan dan pasrah. Keterasingan masyarakat adat atau Orang Asli Papua dari tanahnya membuat atau memaksa mereka mencari sumber penghidupan yang lain.
Misalnya, orang yang sudah kehilangan tanahnya karena sudah dikuasai oleh perkebunan sawit, maka mereka menggantungkan hidupnya bekerja ke perusahaan. Alasan karena ingin bertahan hidup dalam wilayahnya, mereka terpaksa tinggal di barak atau tempat tinggal yang disediakan perusahaan, dengan syarat mereka harus bekerja di perusahaan dan itulah yang menjadi alasan mereka harus bekerja di perkebunan sawit.
Dan apakah ini masuk dalam kategori kerja paksa?
Dia menjelaskan, indikator penelitian yang mereka lakukan dengan menggunakan standar pendekatan ILO, dengan 11 indikator antara lain:
Pemanfaatan kerentanan secara negatif, 2. Pembohongan, 3. Pembatasan gerak, 4. Pengucilan atau isolasi, 5. Kekerasan fisik dan seksual, 6. intimidasi dan ancaman, 7. Penahanan dokumen identitas, 8. Penahanan upah, 9. Lilitan utang, 10. Kondisi kerja dan hidup yang menyiksa, dan 11. Lembur yang berlebihan.
“Dari 11 indikator menurut standar ILO ini, jika satu atau dua dari 11 indikator ditemukan di lapangan, maka perusahaan tersebut bisa diadukan karena telah melakukan kerja paksa,” jelas dosen UGM tersebut.
Nailul Amany, bagian dari tim peneliti Djojodigoeno dan pengajar di Fakultas Hukum UGM, menegaskan, temuan mereka tentang kerja paksa terhadap masyarakat adat Papua itu memang terjadi. Dari 11 indikator ILO yang dipakai dalam analisis kerja paksa, ada 5 indikator yang memenuhi syarat.
“kami menemukan terjadi kerja paksa di 3 perusahaan yang kami teliti. Dua di Merauke dan satu perusahaan sawit di Boven Digoel. Kami menemukan adanya pengucilan atau isolasi, misalnya, masyarakat dipaksa bekerja di perkebunan atau perusahaan sawit. Karena tidak ada pilihan dan mereka telah kehilangan tanah karena sudah jadi kebun sawit dan memaksa mereka untuk tinggal, tapi harus bekerja di perusahaan sawit tersebut. Mereka terpaksa bekerja karena mereka berada di situasi terkucil. Karena mereka berada di situasi seperti itu. Mau tidak mau mereka harus bekerja. Ditambah tidak ada transportasi umum sebagai transportasi public. Akses ke fasilitas umum juga sangat jauh,” kata Nailul, “indikator lainnya yang ditemukan ialah; pemanfaatan kerentanan secara negatif, lilitan utang, kondisi kerja dan hidup yang menyiksa, serta lembur yang berlebihan.”
Menurut Nailul, memang pada kenyataanya konstruksi hukum Indonesia belum memasukan kerja paksa atau spesifik adanya Undang-undang yang mengatur tentang kerja paksa. Akan tetapi, Indonesia sudah membuat UU ratifikasi dari konvensi kerja paksa.
“UU khusus kerja paksa tidak ada. Tapi kalau membeda dari 11 indikator di atas, lembur berlebihan, di UU ketenagakerjaan kita mengatur apa itu lembur yang berlebihan. Juga soal kekerasan fisik dan kekerasan seksual, di UU ketenagakerjaan sudah diatur apa itu kekerasan fisik dan seksual,” jelasnya.
Nailul menerangkan, bahwa studi atau kajian ini menyoroti dan fokus pada kerja paksa yang terjadi dalam relasi kerja. Antara pemberi kerja atau perusahaan dengan pekerja. Jika terjadi kekerasan fisik antar pekerja, itu tidak mengindikasikan sebagai kerja paksa. Karena kekerasan fisik yang terjadi itu bukan hubungan kerja atau relasi kerja dengan perusahaan atau pemberi kerja, melainkan kejadian antara kolega kerja.
“Kehilangan tanah bagi masyarakat adat Papua menyebabkan orang-orang dulu tinggal di dusun dan kampung, sekarang tinggal di barak menyebabkan relasi sosial berubah. Ditambah orang bekerja dari pagi sampai sore. Terjadi kelelahan dan membuat aktivitas berkumpul bersama keluarga dan kerabat sudah kurang. Hal ini membuat masyarakat adat menjadi rentan. Menghasilkan dampak sosial budaya akibat Kehilangan tanah,” tambah Monic dalam presentasi.
Studi kajian ini juga menjelaskan bagaimana kerja paksa pada masyarakat adat Papua yang berbeda dengan masyarakat yang lain. Hubungan kedekatan atau hubungan erat antara tanah dan orang Papua yang kemudian melepaskan tanahnya lalu bekerja di kebun sawit dan memiliki hubungan kerja dengan perusahaan sawit adalah point penting dari penelitian.
“Kedua penelitian ini penting karena mengangkat isu-isu kritis yang berkaitan dengan hak-hak masyarakat adat, perlindungan pekerjaan, keberlanjutan lingkungan, serta identitas budaya pangan masyarakat adat dalam relasi dengan tanah dan ruang hidup khususnya bagi masyarakat adat Papua,” kata Franky Samperante, Direktur Eksekutif Yayasan Pusaka Bentala Rakyat.
https://ymkl.or.id/wp-content/uploads/2025/03/IMG_0228-scaled.jpg17072560ymkl.or.idhttp://ymkl.or.id/wp-content/uploads/2023/10/Logo-YMKL-PNG-300x300.pngymkl.or.id2025-03-03 08:42:532025-03-03 09:46:13Siaran Pers Diseminasi Hasil Penelitian: Metabolisme Sosial Orang Moi Yang Hilang dan Kerja Paksa Masyarakat Adat di Perkebunan Sawit Di Tanah Merauke dan Boven Digoel
Masyarakat empat desa: Desa Parang Batang, Paring Raya, Sembuluh I, dan Sembuluh II, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah yang hidup di sekitar perkebunan sawit mengalami perubahan sosial yang siginifikan setelah investasi perkebunan sawit masuk ke wilayah desa. Perubahan sosial ini terlihat setelah Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL) melakukan survei lapangan terkait “Perubahan Sosial Masyarakat Di Sekitar Perkebunan Sawit” yang dilakukan pada bulan Oktober hingga November 2024.
Pekerjaan masyarakat dalam bertani tradisional dan berdagang pada era karet masih memungkinkan mereka untuk mengakses hutan dan danau. Namun, dengan adanya dominasi perkebunan sawit yang meluas di empat wilayah desa tersebut akses masyarakat ke sumber daya lahan, hutan dan danau semakin terbatas.
Akibatnya, kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat makin terhimpit karena kehilangan alat produksi dan struktur sosial yang mengaturnya. Satu-satunya pilihan yang tersedia adalah bekerja di Perusahaan sebagai buruh, karena lahan-lahan kebun masyarakat sudah beralih menjadi wilayah perkebunan sawit. Masyarakat bukan hanya kehilangan kontrol atas sumber utama mata pencaharian tradisional, namun terjebak dalam pola pekerjaan industrial di mana mereka tak punya daya kontrol dan adaptasi atas kerja mereka sebagai buruh. Kehidupan sosial ekonomi mereka hampir sepenuhnya dikuasai perusahaan.
Dari data yang diolah oleh Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL) menemukan ada 14 perusahaan perkebunan sawit yang tersebar di empat wilayah desa. Keempat belas perusahaan itu memiliki izin yang mencakup ribuan hectare tanah milik masyarakat desa hilang karena sudah dikavling oleh perusahaan.
Djayu Sukma Ifantara, Project Officer Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL) untuk Kalimantan saat memaparkan hasil temuan YMKL terkait survei lapangan tentang perubahan sosial masyarakat di sekitar perkebunan sawit yang berada di empat desa: Desa Sembuluh I, Sembuluh II, Parang Batang, Paring Raya, Seruyan, Kalimantan Tengah. Dokumentasi/YMKL
Di Desa Paring Raya misalnya, terdapat 2 perusahaan perkebunan sawit yang beroperasi aktif, di antaranya: PT Wana Sawit Subur Lestari II dengan luasan 1.242,48 ha dan PT Musirawas Citra Harpindo dengan luasan 1.622,63 ha dengan presentasi luasan lahan yang telah dibebani izin perkebunan sawit di Paring Raya sebesar 41 persen dan lahan yang tidak dibebani izin sekitar 59 persen.
Sementara itu, di Desa Parang Batang ada ada 3 perusahaan perkebunan sawit: PT Wana Sawit Subur Lestari II dengan luasan 3.521 ha. PT Sawitmas Nugraha Perdana dengan luasan 3.703,68 ha dan PT Musirawas Citra Harpindo dengan luasan 553.64 ha. Presentasi lahan yang dibebani izin perkebunan sawit sekitar 49 persen dan tidak dibebanai izin sekitar 51 persen.
Hal yang sama juga terjadi di Desa Sembuluh I. Ada 3 perusahaan perkebunan sawit yang aktif, yaitu, PT Keri Sawit Indonesia dengan luasan 9.801,12 ha, PT Rimba Harapan Sakti dengan luasan 1.386 ha, dan PT Salonok Ladang Mas dengan luasan 1.705,60 ha. Dengan presentasi lahan dibebani izin sekitar 71 persen dan tidak dibebani izin sekitar 29 persen.
Sedangkan untuk Desa Sembuluh II, ada 6 perusahaan perkebunan sawit; PT Keri Sawit Indonesia dengan luasan 4.099,92 ha, PT Mega Ika Kansa dengan luasan 724.110 ha, PT Salonok Ladang Mas dengan luasan 7.259,90 ha, PT Gawi Bahandep Sawit Mekar dengan luasan 3.807,069 ha, PT Sarana Titian Permata dengan luasan 72.586 ha, dan PT Sawitmas Nugraha Perdana dengan luasan 824.764 ha. Presentasi lahan yang dibebani izin perkebunan sawit sekitar 45 persen dan lahan yang belum terbebani izin perkebunan sawit sekitar 55 persen.
Perusahaan membuka kesempatan untuk skema plasma namun dengan syarat Masyarakat harus menyediakan lahan sementara Masyarakat sudah tak memiliki lahan. Manfaat ekonomi, kalaupun dikatakan manfaat, adalah upah sebagai buruh perkebunan sawit. Namun sebagian besar upah pekerja harian di desa jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hal ini perlu menjadi perhatian Perusahaan dan pemerintah daerah terkait perbaikan besaran upah.
“Perubahan besar akibat alih fungsi lahan menjadi perkebunan sawit di Kalimantan Tengah telah menyebabkan masyarakat kehilangan kontrol atas tanah mereka, beralih menjadi penerima plasma atau buruh dengan keterampilan mengelola lahan yang semakin hilang, sementara kemitraan koperasi dengan perusahaan sawit tidak memberikan kesempatan bagi mereka untuk mengelola lahan atau mengembangkan keterampilan yang diperlukan untuk ketahanan ekonomi jangka panjang, mengakibatkan ketergantungan pada perusahaan dan memperburuk ketimpangan sosial serta keberlanjutan ekonomi masyarakat,” kata Djayu Sukma Ifantara, Project Officer YMKL untuk Kalimantan.
Djayu menambahkan, adanya larangan pembakaran lahan dan peraturan yang membatasi pengelolaan tanah tradisional semakin memperlemah hubungan masyarakat dengan tanah mereka, memutuskan otonomi mereka dalam bertani, dan meningkatkan ketergantungan pada sistem ekonomi uang, sementara peraturan yang ada tidak memberikan kejelasan hak bagi masyarakat dalam mengelola lahan mereka.
Temuan YMKL juga menunjukkan, adanya perubahan tersebut ditandai dengan berkurangnya diversifikasi pekerjaan. Sebelum adanya perkebunan, masyarakat biasanya memiliki berbagai keterampilan, seperti bertani sekaligus berdagang, berburu, dan berkebun untuk kebutuhan hidup mereka.
Namun, dengan masuknya sistem perkebunan monokultur seperti sawit, banyak masyarakat menjadi pekerja upahan tanpa perlu menguasai keterampilan untuk mengelola lahan secara mandiri. Proses ini dikenal sebagai penurunan kemampuan atau deskilling, yaitu hilangnya keterampilan akibat terbatasnya akses untuk mengelola lahan. Dengan hanya bergantung pada pekerjaan di perkebunan perusahaan, kemampuan masyarakat untuk bertani secara mandiri menurun, sehingga mereka semakin bergantung pada perusahaan dan kehilangan kemandirian secara ekonomi dan hidup dalam was-was memikirkan sumber penghidupan.
“Perkebunan sawit menawarkan peluang ekonomi yang besar sebagai janji, tetapi dalam praktiknya sering mengabaikan hak dan akses terhadap tanah dan prinsip keberlanjutan bagi manusia yang tinggal di sekitarnya. Banyak masyarakat kehilangan hak atas tanah yang mereka tempati dan tidak memiliki kontrol atas apa pun yang tumbuh di atasnya. Analisa ini menjelaskan hadirnya perkebunan sawit mengubah struktur ekonomi masyarakat di Desa Paring Raya, Parang Batang, Sembuluh I dan SembuluhII,” tambah Astridningtyas, staf YMKL untuk Kalimantan.
Tim Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL) saat memaparkan hasil temuan dari survei lapangan yang dilakukan di empat desa di Seruyan, Kalimantan Tengah. Dokumentasi/YMKL
Selain perubahan dalam pekerjaan, kehadiran sawit juga menyebabkan pola kepemilikan lahan yang berbeda di setiap desa, akan tetapi, di setiap situasi mempunyai tingkat kerentanan terhadap kondisi tidak bertanah yang sama. Desa Paring Raya, meskipun mempunyai sisa lahan kepemilikan untuk berkebun, tapi tidak adanya surat tanah membuat rasa tidak aman untuk berkebun. Alhasil, masyarakat hidup dalam kebimbangan.
Kasus lainnya juga terjadi di Desa Parang Batang, minimnya lahan produktif untuk dikelola menyebabkan masyarakat bergantung pada pekerjaan menjadi Buruh Sawit. Pekerjaan harian di perkebunan sawit tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga karena upah yang hanya Sebesar Rp. 80.000/hari.
Sedangkan di Desa Sembuluh I dan II, kepemilikan plasma dimiliki oleh koperasi sebagai badan hukum dengan kepemilikan bukan individu, tapi intitusi yang mewakili seluruh anggotanya atas nama satu entitas Badan Hukum. Kondisi kepemilikan para penerima plasma juga mengalami kerentanan karena tidak memiliki kontrol penuh atas lahan tersebut sehingga rawan kehilangan akses ketika terjadi perubahan kebijakan atau faktor eksternal lainnya.
Dari survei lapangan yang dilakukan YMML, ditemukan Kehadiran sawit menyebabkan masyarakat beralih dari pengelolaan lahan menjadi penerima plasma atau buruh, mengakibatkan hilangnya keterampilan tradisional dalam berladang dan menyebabkan deskilling serta kekurangan pengetahuan pengelolaan lahan pada generasi sekarang. Mekanisme atau manajemen plasma pun seluruhnya bergantung pada perusahaan, sehingga pertukaran ilmu tidak terjadi utamanya dalam keterampilan mengelola lahan. Maka dari itu, ada tiga temuan besar yang dipertegas, di antaranya:
Bekerja sebagai buruh
Mayoritas masyarakat desa kini bekerja sebagai buruh harian di perkebunan sawit dengan penghasilan terbatas, yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tidak adanya transparansi pada manajemen perusahaan untuk berkonsultasi mengenai kondisi bekerja (Upah, Target Perusahaan).
Terjadi deskilling atau hilangnya keterampilan produktif untuk memenuhi pemenuhan kebutuhan hidup
Kehilangan akses lahan membuat mereka kesulitan mencari pekerjaan sampingan, sementara sistem kerja yang tidak transparan dan ketergantungan terhadap utang yang memperburuk kondisi ekonomi mereka.
Diversifikasi pekerjaan menjadi berkurang dan alternatif pekerjaan menjadi sulit
Perubahan kepemilikan tanah berdampak pada menurunnya diversifikasi pekerjaan. Dulunya pekerjaan mudah dicari hanya dengan mengakses hutan dan kebun, dan biaya hidup lebih rendah karena banyak kebutuhan dipenuhi secara mandiri hanya dengan memanfaatkan hasil sumber daya alam di hutan. Hilangnya akses untuk mengelola tanah akibat perluasan perkebunan sawit perusahaan menutup kemungkinan untuk mencari sampingan pekerjaan.
Narahubung:
Djayu Sukma Ifantara (081327841074)
Project Officer YMKL untuk Kalimantan
Astridningtyas (082301836788)
Staf YMKL untuk Kalimantan
https://ymkl.or.id/wp-content/uploads/2025/02/WhatsApp-Image-2025-01-31-at-13.12.41.jpeg10661600ymkl.or.idhttp://ymkl.or.id/wp-content/uploads/2023/10/Logo-YMKL-PNG-300x300.pngymkl.or.id2025-02-03 09:25:522025-02-03 12:06:57Siaran Pers: Hasil Survei Lapangan Perubahan Sosial Masyarakat Di Sekitar Perkebunan Sawit
Pagi yang buta di tanggal 8 Desember 2010, Nurtin Waminu bangun sebagaimana biasanya. Dia dan suaminya tinggal di wilayah perkebunan sawit milik PT WMP (Wira Mas Permai) anak perusahaan Kencana Agri yang berada di wilayah Desa Longkoga Barat. Mereka tinggal dan membuat rumah di wilayah perkebunan. Tempat tinggal itu mereka sebut kamp G10 beserta para pekerja lainnya yang telah lebih dulu menetap.
Akses yang jauh dari desa menuju perkebunan yang mengharuskan Nurtin tinggal di wilayah perkebunan. Dia juga turut membawa semua anak-anaknya untuk tinggal bersama di kamp G10 tersebut.
Hari itu, Nurtin melakukan aktivitas seperti biasanya. Mencuci piring, menyapu, menyiapkan sarapan bagi empat orang anaknya yang akan berangkat ke sekolah. Setelah anaknya pergi, perannya sebagai ibu rumah tangga hilang dan berganti menjadi buruh pekerja di perkebunan sawit.
Pukul 07.00 telah tiba. Waktunya Nurtin dan Muhdin suaminya bekerja. Meninggalkan tempat tinggalnya. Pemandangan dapur dan rumah berganti menjadi lahan sawit yang terbentang luas. Sawit yang dibibit dan dipupuk oleh Nurtin tumbuh dengan subur. Ia merawatnya sebagaimana mengasuh anak-anaknya sendiri. Sebab, dari situlah ia mendapatkan penghidupan.
Berbekal sebilah parang, dengan kedua tangan yang terbungkus, dan kedua kaki yang terlindungi dengan sepatu, Nurtin melangkah dengan pasti hari itu. Ia melaksanakan pekerjaannya seperti sedia kala.
“Tidak ada pekerjaan yang mudah, semua pasti berat, sekalipun bagi perempuan,” katanya.
Setelah beberapa jam bekerja, Nurtin merasakan ada yang aneh pada dirinya. Kepalanya mulai pusing, perutnya mulai sakit. Padahal waktu baru saja menunjukkan pukul 11.00 siang, dan tak seperti biasanya ia harus istirahat lebih dini dibandingkan hari-hari biasanya ia bekerja.
“Tolong, tolong, saya sudah tidak tahan,” teriak Nurtin mempraktikkannya.
Nafasnya tersengal-sengal. Menahan sakit. Matanya mulai lindap. Langit biru menjadi gelap.
“Di pikiran saya antara hidup dan mati. Saya sudah pasrah.”
Nurtin mencari tempat bersandar, tapi pilihannya terlambat. Dia jatuh terduduk di bawah pohon sawit yang masih remaja. Ia meringis kesakitan. Nurtin baru ingat, bahwa hari itu kandungannya sudah berumur sembilan bulan lebih. Sudah waktunya untuk melahirkan.
“Perut saya tiba-tiba sakit tak tertahankan. Saya mulai lemas, tapi saya tidak berhenti minta tolong,” katanya.
Bruaaarrrr.
“Air ketuban saya keluar. ”
Tidak lama Nurtin bangun dan segera mencari mandornya untuk minta izin.
Nurtin berjalan menuju kamp tempat tinggalnya. Di sana ia tak mendapati siapa pun. Kalimat minta tolong kembali didengungkan. Tak lama kemudian, seorang pekerja menghampiri Nurtin yang telah setengah sadar.
Dengan kondisi yang semakin buruk, Nurtin langsung dilarikan ke kampung. Sejauh delapan kilometer jarak yang harus ditempuh untuk bisa sampai ke perkampungan, dengan kondisi jalan yang bergelombang yang mereka lalui.
“Perut saya tambah sakit saat perjalanan ke kampung. Saya minta diantarkan ke dukun beranak saja waktu itu,” ungkapnya.
Terik matahari sudah di atas kepala. Jam sudah menunjukkan pukul 12.00. Suara tangisan anak perempuan melengking hebat. Peluh membasuh tubuh Nurtin. Linangan mengucur deras. Anak kelimanya yang telah lama dinanti, akhirnya bisa melihat dunia. Anak perempuan itu diberi nama Sawitri. Sawitri Al-Haddad lebih tepatnya.
“Saya beri nama Sawitri karena dia yang menemani saya bekerja sampai dia hadir ke dunia ini,” ucap Nurtin sambil memagut Sawitri yang ada di samping.
Tiga hari telah berlalu. Nurtin bergegas balik ke kamp G10 tempat tinggalnya. Ia membawa Sawitri yang masih merah tinggal di atas kamp. Ia takut, jika keempat harinya tidak masuk kerja, maka ia akan menghadapi masalah besar, yakni pemecatan.
“Semua anak-anak saya hidupi dari makan gaji di perusahaan. Makanya harus cepat balik biar tidak kehilangan pekerjaan.”
Dia kembali bekerja sebagaimana biasa. Menebang pohon, memangkas gulma, dan memupuk tanaman.
“Waktu bekerja di perusahaan apa pun yang dikerjakan laki-laki, itu yang dikerja perempuan juga. Kalau laki-laki menghabiskan 100 pohon, kami juga bisa menghabiskan 100 pohon yang ditebang. Hujan dan panas kami bekerja, tak ada kata berhenti,” katanya dengan begitu tegas.
Nurtin perempuan asal Salu tersebut memang tangguh. Sawitri baru beranjak dua tahun, ia sudah mengandung lagi. Kali ini ia bisa memprediksi dengan tepat, kapan waktu anak keenamnya akan lahir, dan tidak akan bernasib sama dengan Sawitri.
Firdaus Al-Haddad, anak laki-lakinya paling bungsu itu lahir. Firdaus yang dilahirkan Nurtin tahun 2012 tumbuh menjadi anak yang aktif.
Kisahnya sama juga dengan Sawitri, menjadi teman setia ibunya saat mengais upah di perusahaan sawit tanpa mendapatkan hak cuti hamil.
Foto Perkebunan Sawit Milik PT WMP di Kecamatan Bualemo, Banggai, Sulteng. Dokumentasi:Zulkifli M.
***
Medio 2011. Nasib yang sama juga dialami oleh Irma (bukan nama sebenarnya). Di usia pernikahan mereka yang belum senja, ia sudah dikarunia seorang anak. Tapi sialnya, proses persalinan yang telah ia rencanakan secara normal harus diurungkan. Ia harus rela perutnya dilewati pisau operasi.
“Anak saya itu dilahirkan secara operasi di rumah sakit,” katanya.
“Sebenarnya saya sudah berpikir akan mati, karena sudah empat hari menahan sakit luar biasa hebatnya. Bayi di dalam perut tidak bisa keluar. Padahal sudah waktunya melahirkan.
Irma menduga, proses operasi yang harus ia jalani adalah buntut dari rutinitasnya yang bekerja sangat keras di perkebunan sawit.
“Dari awal positif hamil sampai dengan menjelang lahiran tetap bekerja,” katanya.
Kebutuhan ekonomi yang mendesak yang membawa Irma dengan gigih bekerja. Mengandalkan tubuhnya yang masih kuat agar tetap berdaya.
“Posisi saya waktu itu hanya pekerja lepas, saya juga tidak mendengar soal cuti hamil yang disampaikan perusahaan. Hanya pernah sempat mengajukan ke mandor waktu itu, tapi jawabannya kalau cuti hamil hanya bisa dua minggu bukan tiga bulan lamanya,” kata Irma mempraktikkan perkataan mandornya waktu itu.
“Kalau saya berhenti bagaimana nasib anak-anak saya, dan anak yang saya kandung saat itu,” ucapnya dengan lirih.
Dan saat waktu melahirkan tiba, Irma memberanikan diri melapor ke pihak perusahaan melalui mandor yang bertanggung jawab terhadap para pekerja. Ia mendapatkan izin, tapi bayang-bayang harus bekerja setelah proses persalinan selesai terus menghantui pikirannya.
“Tiga hari tidak masuk akan dipecat,” begitu kata mandor perusahaan.
“Saat satu minggu telah lahiran, saya memaksakan diri langsung masuk kerja. Meski luka bekas sayatan di perut belum kering sepenuhnya. Saya tahan demi membiayai sang buah hati,” ucap Irma sekali lagi
Di masa-masa itulah, Irma mulai frustrasi dan merasa kesal dengan kehidupan yang ia jalani. Dengan beban kerja ganda yang dia pikul yang membuatnya sedikit putus asa dan patah arah.
“Saya tak tahu mau bagaimana lagi. Sakit saya rasa terus-menerus, tapi kalau tidak bekerja anak saya mau di kasih makan dan minum pakai apa. Saya sempat berpikir mau memberikannya kepada orang lain, tapi suami dan keluarga tidak mengizinkan.”
Selain Irma, nasib yang sama juga dialami oleh Amnawati. Ia juga pernah merasakan bekerja dalam kondisi hamil saat menjadi buruh di perkebunan sawit. Anak-anak Amnawati terlahir dari kerja kerasnya saat menjadi buruh, tapi nasibnya berbeda dengan Nurtin dan Irma. Ia melahirkan secara normal dan tak mengalami kendala.
Minimnya Jaminan Kerja
Apa yang dirasakan oleh Nurtin, Amnawati, dan para buruh perempuan lainnya merupakan gambaran secara umum bagaimana mereka kerap kali diabaikan oleh perusahaan dan kurangnya ruang aman bagi perempuan saat bekerja.
Dalam identifikasi masalah yang dilakukan oleh Trade Union Rights Centre tahun 2019, menunjukan, buruh perempuan sering kali mendapatkan perlakuan yang tidak adil, mengalami pelecehan dan kekerasan seksual, mendapat diskriminasi gender, dan hak-hak normatif perempuan seperti cuit haid dan hamil tidak terpenuhi, dan hal ini sudah menjadi kewajaran dialami oleh buruh perempuan di perkebunan sawit
Di Indonesia sendiri, ada dua regulasi yang bisa dipakai dalam melindungi para pekerja, yakni Undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia dan Undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang tenaga kerja. Akan tetapi, kurangnya pengawasan yang ketat terhadap perusahaan sawit akan memberikan peluang perusahaan tetap melanggar aturan-aturan tersebut.
Penulis: Zulkifli M.
Tulisan dibuat oleh penulis pada tahun 2022 setelah melakukan investigasi di Kabupaten Banggai tentang buruh perempuan di perkebunan sawit, dan dimuat kembali di website ini sebagai bahan bacaan dan pembelajaran terkait kisah dan cerita pekerja perempuan di perkebunan sawit.
https://ymkl.or.id/wp-content/uploads/2024/08/Potret-Perkebunan-Sawit-di-Indonesia-scaled.jpeg14402560ymkl.or.idhttp://ymkl.or.id/wp-content/uploads/2023/10/Logo-YMKL-PNG-300x300.pngymkl.or.id2025-01-15 09:08:222025-01-15 09:39:01Cerita Perempuan Salu Bekerja di Perkebunan Sawit
Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL) menggelar pertemuan tahunan bersama mitra selama tiga hari (19-21 November) di Novotel, Bogor, Jawa Barat. Kegiatan ini mempertemukan semua mitra YMKL dari Sumatera, Kalimantan, Papua, dan mitra internasional seperti Forest People Progamme (FPP).
Pertemuan itu mengangkat tema “Bela Alam, Lingkungan, dan Manusia”. Tema ini diangkat karena melihat situasi dan kondisi keberlanjutan lingkungan dan manusia di Indonesia semakin memprihatinkan. Ditambah lagi dengan kondisi politik ekonomi Indonesia yang sangat menitikberatkan pembangunan ekonomi negara berpusat pada aspek lingkungan dan alam yang memberi dampak pada manusianya.
Lan Mei (kiri) Koordintaor FPP Untuk Indonesia dan Emil Ola Kleden (kanan) Direktur Eksekutif YMKL saat memberikan sambuta pada kegiatan pertemuan tahunan mitra YMKL yang dilaksanakan selama tiga hari (19-21) di Novotel Bogor, Jawa Barat, (19/11/2024). Dokumentasi/YMKL
Selain itu, pertemuan tahunan mitra YMKL ini membahas berbagai macam persoalan yang dihadapi oleh masyarakat ditingkat tapak atau basis, khususnya di daerah dampingan setiap mitra YMKL. Persoalan kerusakan lingkungan di Sumatera dan Kalimantan akibat ekspansi perkebunan skala besar dan industri ekstraktif lainnya yang berdampak pada daya dukung lingkungan yang semakin memburuk membuat banyak masyarakat terkena imbasnya.
“Pertemuan tahunan mitra ini adalah pertemuan ke sekian kalinya, dan kita berharap ada banyak rumusan bersama yang kita hasilkan untuk memperkuat kerja-kerja kita untuk memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan,” kata Rudiansyah, saat memberikan pengantar pada kegiatan tersebut.
Menurutnya, pertemuan ini sangat penting untuk membahas rencana besar bersama antara YMKL bersama para mitra di daerah, nasional, dan internasional. Khususnya pada kerja-kerja penguatan kapasitas, peningkatan pengetahuan, penguatan jejaring, dan pengorganisasian masyarakat.
“Pertemuan ini harus dimanfaatkan sebaik mungkin dalam berbagi pengetahuan bersama dan rencana kerja bersama di masa depan,” tambahnya.
Emilianus Ola Kleden, Direktur Eksekutif YMKL, mengatakan, bahwa pertemuan tahunan mitra YMKL ini serupa tradisi atau ritual yang sudah dilakukan berulang kali. Dalam forum pertemuan ini kita berupaya membagikan pengalaman, kerja-kerja pengorganisasian, penguatan basis, dan bagaimana menguatkan masyarakat yang kehilangan hak atas tanahnya.
“Semoga ini bisa menjadi pertemuan yang menyenangkan bagi kita semua dan bisa menjadi wadah belajar bersama,” kata Emil dalam sambutannya.
Koordinator FPP untuk Indonesia, Lan Mei, juga mengatakan hal yang sama. Menurutnya, tantangan masyarakat adat dan komunitas lokal semakin sulit akibat banyaknya mekanisme pasar global. Akan tetapi, hal itu bisa dilakukan secara bersama melalui kegiatan pertemuan ini untuk berbagi cerita dan pengalaman di masing-masing wilayah mitra YMKL dan FPP yang hadir.
Peserta pertemuan tahunan mitra YMKL yang berasal dari Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Dokumentasi/YMKL
“Sekarang banyak mekanisme pasar global, dan perlu kerja bersama untuk mewujudkan keadilan bagi masyarakat yang terdampak,” katanya dalam sesi pertemuan tahunan mitra YMKL yang dilaksanakan di Novotel Bogor selama tiga hari.
Kartika Sari, Direktur Progress Kalteng, menambahkan, pertemuan tahunan mitra YMKL ini harus menjadi wadah sebagai alat perjuangan bersama dalam membahas berbagai persoalan yang sedang dan akan dihadapi oleh masyarakat adat dan komunitas lokal yang terdampak. Dukungan dari berbagai pihak sangat penting untuk mendukung kerja-kerja advokasi, litigasi, dan pengorganisasian di kalangan masyarakat.
Asep Yunan Firdaus, Dewan Pembina YMKL, saat memaparkan kerangka kerja advokasi di hadapan peserta pertemuan tahunan mitra YMKL. Dokumentasi/YMKL
“Saya berharap ini menjadi wadah berbagi pengetahuan dan belajar bersama dalam kerja-kerja pendampingan di tingkat tapak,” terang Kartika.
Di akhir sesi pertemuan, ada banyak hal yang dibahas dan akan menjadi kerja-kerja bersama dengan para mitra. Persoalan mekanisme aduan pasar yang semakin hari semakin rumit menjadi salah satu pokok bahasan, seperti halnya tentang aturan terbaru Uni Eropa dengan mengeluarkan mekanisme EUDR yang akan berlaku per awal tahun 2025 nanti.
Selain itu, keamanan para aktivis lingkungan dan pembela HAM (Human Rights Defender) menjadi perhatian serius. Mengingat banyaknya persekusi dan diskriminasi terhadap aktivis lingkungan dan pembela HAM di Indonesia di era pemerintahan Jokowi dan menghadapi tantangannya di era pemerintahan terbaru Prabowo-Gibran.
https://ymkl.or.id/wp-content/uploads/2024/12/O6502795-scaled.jpg17072560ymkl.or.idhttp://ymkl.or.id/wp-content/uploads/2023/10/Logo-YMKL-PNG-300x300.pngymkl.or.id2024-12-03 05:00:562024-12-03 10:42:53YMKL Gelar Pertemuan Tahunan Bersama Mitra Di Bogor