Posts

Menakar Arah Kebijakan Pembangunan Papua Barat Daya: Menuju Ekonomi Berkelanjutan atau Perampasan Ruang Hidup Masyarakat Adat dan Lingkungan?

Sorong, Papua Barat Daya – Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya punya gagasan besar dalam memajukan ekonomi daerah yang berkelanjutan. Ide ini tertuang dalam master plan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Papua Barat Daya seperti yang disampaikan oleh Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Riset dan Inovasi Daerah (Bapperida) pada sesi diskusi perayaan hari pangan internasional yang dilaksanakan di Hotel Panorama Sorong, Kamis, 16 Oktober 2025.

“Visi jangka panjang PBD sebagai pintu gerbang arah pembangunan Papua yang maju dan berkelanjutan berbasis ekonomi biru. Ekonomi biru ini sebagai pilar karena garis pantai wilayah PBD sangat luas ditunjang dengan kekayaan sumber daya lautnya,” jelas Rahmat Kepala Bapperida Papua Barat Daya.

Menurut Rahmat, Papua Barat Daya meskipun baru seumur jagung tapi sudah matang dipersiapkan untuk arah pembangunannya ke depan. Misalnya arah pembangunan pada sektor ekonomi ekstraktif yang difokuskan pada pertumbuhan ekonomi jangka pendek. Selain itu, arah pembangunan Papua Barat Daya juga akan mengarah kepada pengembangan potensi transisi energi yang menunjung tinggi komitmen energi terbarukan dan rendah karbon.

“akan tetapi ada risiko dalam proyek transisi energi ini. Banyak masalah di lapangan seperti masyarakat adat yang hilang tanah. Makanya pemerintah mengupayakan prinsip transisi energi yang berkeadilan  dengan cara mengoptimalkan energi lokal seperti air, surya, dan laut,” tambah Rahmat.

Rahmat selaku Kepala Bapperida Papua Barat Daya saat memaparkan arah kebijakan pemerintah daerah terkait isu transisi energi dan pembangunan daerah yang berkelanjutan yang tertuang dalam RTRW.

Namun, paparan Kepala Bapperida ini tidak sesuai dengan kondisi yang terjadi di lapangan. Silas Kalami selaku Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Malamoi menjelaskan, banyak konflik yang terjadi antara masyarakat dengan perusahaan dan antara masyarakat sendiri. Konflik bukan hanya memicu perkelahian tapi turut memperburuk ikatan persaudaraan antar masyarakat dan antar marga.

Menurut Silas, investasi membawa dampak buruk bagi masyarakat adat. Kondisi lingkungannya rusak sehingga ruang hidup masyarakat juga ikut terganggu. Hutan yang dulunya selalu dimanfaatkan sebagai tempat makan. Saat ini tidak bisa lagi karena semua hutan dan tanah adat berubah menjadi lahan-lahan kebun sawit dan tambang. Hal ini harusnya menjadi Pelajaran kepada semua masyarakat adat agar tidak menerima investasi dengan cepat. Karena keburukannya sudah bisa dilihat di depan mata dan terjadi di mana-mana.

“masyarakat adat harus waspada dengan investasi atau proyek dari pemerintah. Harus belajar dari banyak kasus jangan menjual tanah lagi. Yang ada sekarang tanahnya harus dipertahankan. Jangan lagi dijual,” ujar Silas dalam sesi diskusi.

Apalagi kata Silas, Perda tentang perlindungan dan pengakuan masyarakat hukum adat di Kabupaten Sorong sudah tegas mengatur bagaimana investasi masuk ke tanah marga atau tanah adat harus mendapat persetujuan masyarakat adat itu sendiri. Artinya, tanah penting untuk dijaga. Alam untuk dijaga. Dan manusianya saling menjaga.

“kabupaten sorong sekarang ini memang sementara digempur habis-habisan investasi, tapi jangan terkecoh lagi. Belajar dari wilayah lain yang tanahnya hilang dan tidak kembali. Masyarakat adat lah yang menderita pada akhirnya,” tambah ketua LMA Malamoi tersebut.

Holand Abago perwakilan masyarakat adat dari Sorong Selatan juga sependapat dengan ketua LMA Malamoi. Katanya, tanah adat di kampungnya terancan menjadi kawasan investasi berbasis karbon. Proyek bernama transisi energi yang hijau, tapi meminggirkan hak masyarakat adat.

“Kalau melihat paparan RTRW Papua Barat Daya ke depan. Hal ini bisa bertentangan dengan kondisi masyarakat adat di lapangan. Kedok investasi biru atau berkelanjutan jangan sampai merugikan masyarakat adat,” tegasnya.

Natalis Yewen perwakilan masyarakat adat dari Tambraw juga mempertanyakan pengembangan SDM (Sumber Daya Manusia) yang dimaksud oleh pemerintah daerah. Dia juga menilai sikap pemerintah daerah belum jelas keberpihakannya dalam mendukung gerakan pengakuan masyarakat adat hingga ke perlindungan.

Maria Baru, pemantik dalam diskusi juga memberikan tanggapannya terkait investasi di Papua Barat Daya. Selama ini, pelepasan tanah adat dan tanah marga tidak pernah melibatkan perempuan dalam mengambil keputusan. Semua yang berbau tanah harus diselesaikan oleh laki-laki. Padahal aktivitas perempuan banyak berhubungan dengan tanah. Ketika tanah hilang mereka juga turut merasakan dampaknya. Ruang khusus keterlibatan perempuan perlu diupayakan agar urusan tanah bukan lagi urusan laki-laki, tapi urusan perempuan juga.

Kata Maria, semua kehadiran investasi pasti akan berdampak pada bagaimana sumber pangan masyarakat adat mulai bergser dan sedikit demi sedikit hilang. Alhasil, program pemerintah yang berkelanjutan itu hanya meminggirkan ruang hidup masyarakat adat di tanahnya sendiri.

Transisi Semu Energi Di Papua

Pemerintah Indonesia punya ambisi besar terhadap pemanfaatan energi terbarukan. Kekayaan sumber daya alam yang melimpah dinilai menjadi solusi energi dari masalah sumber energi utama; fosil dan batu bara. Ide transisi energi pun menguat sebagai langkah awal dan penting oleh pemerintah Indonesia dalam menekan bahkan mengurangi suplai emisi karbon yang bersumber dari fosil atau batu bara yang secara nyata telah memberikan dampak yang buruk pada lingkungan dan masyarakat.

Komitmen Indonesia dalam menjalankan proyek transisi energi yang lebih ramah lingkungan juga digaungkan pada pelaksanaan forum Presidensi G20 pada tahun 2022. Transisi energi menjadi prioritas dengan target capaian sebesar 23 persen terlaksanakan pada tahun 2025.

Melalui Dewan Energi Nasional (DEN), transisi energi menjadi agenda nasional. Proyek ini ditujukan memanfaatkan cadangan energi di Indonesia yang lebih bersih dan  mendorong pemulihan ekonomi berkelanjutan. Hal ini tentunya akan mewujudkan akses semua pihak, baik dalam mengelola, memanfaatkan, dan menerima manfaatnya dalam suplai energi yang ramah lingkungan. Upaya lain dari tujuan pemerintah untuk menjaga ketahanan energi demi mewujudkan cita-cita Indonesia menuju ekonomi hijau. Dan kehadiran transisi energi adalah salah satu agenda nasional yang dianggap paling rasional.

Perlindungan untuk memuluskan ambisi energi hijau yang berkelanjutan, pemerintah menetapkan proyek transisi energi bagian dari skala prioritas besar pemerintah melalui Program Strategis Nasional. Namun, rencana pemerintah dalam mendorong energi hijau yang berkelanjutan dan harapan masyarakat mendapatkan manfaat dari agenda tersebut malah berbanding terbalik dari kenyataan.

Di lapangan, praktik dan penerapan kinerja dari tujuan transisi energi energi tidak semulus mengeluarkan kertas kebijakan dan payung hukumnya. Agenda ini malah memuluskan kerusakan lingkungan, masyarakat kehilangan hak atas tanahnya, serta mendorong penurunan kualitas hidup akibat lingkungan hidup yang buruk. Alhasil, atas nama transisi energi yang diupayakan pemerintah untuk menjamin keadilan iklim, lingkungan, dalam pemanfaatan sumber energi terbarukan menjadi masalah besar pada aspek ekologi, ekonomi, dan manusianya.

Di Papua, PSN yang terfokus pada proyek biomassa dan bioethanol menjadi ancaman serius terhadap lingkungan, budaya, dan sosial masyarakat Papua saat ini. Riset yang dilakukan Yayasan Pusaka Bentala Rakyat bersama YMKL menemukan, proyek transisi energi ini malah akan mendorong masyarakat hukum adat di Papua kehilangan hak atas tanahnya dan praktik ekosida yang bukan hanya berdampak pada hutan dan alam yang hilang. Lebih dari itu, akan menghilangkan kehidupan yang ada di tanah Papua menuju kepunahan.

Baca laporan risetnya di bawah ini:

Unduh di sini