Posts

Penerapan Prinsip Pembangunan Hijau dalam Kebijakan Pangan dan Energi Nasional

Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari

Jakarta, 11 November 2025

 

Siaran Pers Seminar Nasional

“Penerapan Prinsip Pembangunan Hijau dalam Kebijakan Pangan dan Energi Nasional”

Pemerintahan Presiden Prabowo telah menetapkan Misi lima tahun pembangunan dalam masa pemerintahannya yang dikenal dengan Asta Cita. Berlandaskan pada Prinsip Ekonomi Pancasila, Asta Cita menempatkan ideologi Pancasila, demokrasi dan hak asasi manusia sebagai pilar utama pembangunan berlandaskan religiositas kehidupan berbangsa dan persatuan nasional yang kuat.

Cita kedua adalah memantapkan sistem pertahanan keamanan negara dan mendorong kemandirian bangsa melalui swasembada pangan, energi, air, ekonomi kreatif, ekonomi hijau dan ekonomi biru.

Pemerintahan Presiden Prabowo tampak lebih memberikan prioritas pada pelaksanaan Cita kedua yang justru menimbulkan pertanyaan serius tentang perhatian Pemerintah pada pelaksanaan Cita pertama. Upaya mendorong swasembada pangan dan kemandirian energi dilakukan melalui ekspansi berbasis lahan skala sangat luas yang dikemas dalam istilah Proyek Strategis Nasional.

Upaya ini telah menimbulkan masalah sosial, ekonomi, budaya, dan lingkungan bagi masyarakat di berbagai tempat di mana proyek energi dan pangan skala besar di laksanakan. Dalam rentang waktu singkat tanah-tanah adat dan lahan-lahan komunitas lokal serta hutan alam di berbagai lokasi Proyek Strategis Nasional beralih menjadi lokasi proyek.

Situasi tersebut mengancam kelangsungan hidup masyarakat adat dan komunitas lokal. Bahkan tak sedikit korban nyawa dan harta benda serta disorientasi sosial yang parah di komunitas-komunitas masyarakat adat dan lokal. Perlindungan bagi keselamatan hidup dan hak-hak dasar mereka menjadi sebuah keharusan yang perlu dilaksanakan oleh negara. Masyarakat sendiri perlu mengembangkan inisiatif-inisiatif perlindungan dan penyelamatan diri dan hak-hak mereka.

Saurlin P. Siagian, Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM, mengatakan, pembangunan yang direncanakan oleh pemerintah harus mengakomodir dan melindungi kehidupan dan hak-hak masyarakat.

“Meskipun menghadapi sejumlah tantangan, Komnas HAM bertekad untuk tetap menjalankan perannya secara efektif agar dapat beresonansi dan memberikan manfaat bagi masyarakat,” kata Saurlin pada seminar nasional yang diadakan oleh Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari bertema: Pangan, Energi dan Hak Hidup Warga Negara dengan Sub-tema Penerapan Prinsip Pembangunan Hijau dalam Kebijakan Pangan dan energi Nasioinal  pada Selasa, 11 November 2025, di Jakarta.

Saurlin juga menilai, salah satu isu utama yang menjadi fokus perhatian Komnas HAM adalah Undang-Undang Cipta Kerja, khususnya klaster Proyek Strategis Nasional.

“Kami telah menyampaikan pandangan kritis kami terkait UU ini. Dalam proses persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK), di mana OMS mengajukan gugatan, terungkap bahwa proses pembentukan UU Cipta Kerja dilakukan secara terburu-buru. Selain itu, terdapat catatan bahwa pengadministrasian proyek strategis yang seharusnya tidak diatur pada level undang-undang,” katanya.

Terkait dengan berbagai konflik dan sengketa yang melibatkan pelanggaran hak asasi manusia, Komnas juga mencatat adanya peningkatan kasus kriminalisasi terhadap pejuang HAM dan masyarakat. “Upaya penegakan HAM di era ini semakin sulit’ ungkap Saurlin seraya menambahkan bahwa orang yang memperjuangkan haknya tidak seharusnya dikriminalisasi. Perlu penguatan upaya perlindungan bagi individu dan kelompok masyarakat adat yang memperjuangkan hak-hak mereka.

Komnas HAM telah mengeluarkan Standar Norma dan Pengaturan (SNP) yang ditetapkan pada 2024 melalui rapat paripurna yang melibatkan partisipasi luas dari berbagai universitas, organisasi masyarakat sipil, serta para ahli dari Komnas HAM.

“Ini merupakan salah satu langkah menguatkan upaya perlindungan,” tegas Saurlin.

“Komitmen Indonesia terhadap perlindungan masyarakat adat berakar pada Konstitusi, dan diperkuat melalui ratifikasi berbagai konvensi internasional, mulai dari Konvensi ILO, CERD, hingga CEDAW. SNP ini selaras dengan komitmen global tersebut”.

Transisi Energi dan Swasembada Pangan

Semua tujuan dan target pembangunan yang mulia ini hanya mungkin tercapai bila kedaulatan Indonesia tetap terjaga utuh dan kukuh. Pangan dan Energi adalah dua sektor paling strategis bagi kelangsungan hidup berbangsa dan kehidupan seluruh rakyat Indonesia. Dua sektor ini pula yang menjadi kunci kedaulatan setiap negeri.

Pada sektor energi pemerintah ingin mewujudkan pengelolaan sumber daya yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Sementara di sektor pangan pemerintah menegaskan pencapaian swasembada pangan dalam waktu sesingkat mungkin.

Namun upaya ambisius ini memperlihatkan dampak tragis bagi masyarakat di kampung-kampung di lokasi proyek strategis nasional dalam dua sektor ini.

Terjadi perluasan zona pengorbanan (sacrifice zones) akibat watak ekstraktif dari ekspansi industri energi yang dibalut slogan ‘transisi energi’. Oleh karena itu, skema ini justru dinilai sebagai bentuk ekspansi perusahaan energi untuk memperkaya investor, bukan upaya nyata pelestarian lingkungan dalam rangka pembangunan hijau.

Muhammad Jamil Kepala Divisi Hukum dan Kebijakan JATAM menyoroti daya rusak yang terjadi atas nama transisi energi, terutama setelah tujuh tahun beroperasinya PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP), yang dia sebut sebagai “Rupa Perampokan dan Penaklukan Alam Berkedok Transisi Energi.” Fakta di lapangan menunjukkan bahwa transisi energi tidak membawa perubahan, bahkan cenderung memperburuk kondisi lingkungan melalui perluasan tambang untuk produksi baterai listrik.

“Di Desa Kawasi, Pulau Obi, Maluku Utara, sungai dan air laut telah tercemar lumpur tambang yang dipindahkan ke belakang gunung. Selain itu, terdapat upaya penghapusan administratif kampung. Terjadi penurunan kualitas kesehatan masyarakat di Weda Utara dan Weda Tengah. Warga Halmahera mengalami perampasan air di tengah kondisi pencemaran yang parah. Hasil uji laboratorium terbaru (2024) terhadap Sungai Sagea-Boki Mauru dan Sungai Kobe mengonfirmasi adanya kandungan BOD dan COD yang mengandung nikel.

Proyek transisi energi ini banyak terjadi di pulau-pulau kecil (pulau di bawah 2.000 km²) yang seharusnya dilindungi. Praktik penambangan ini juga memangsa lahan pertanian dan mengancam ketahanan pangan.

“Ironisnya, transisi energi justru memangsa pulau-pulau kecil di bawah 2.000 km² yang seharusnya dilindungi dari tambang minerba. Ini bukan hanya krisis lingkungan, tetapi ancaman langsung terhadap lahan pertanian dan ketahanan pangan nasional. Filosofi energi skala besar yang dianut negara ini sungguh aneh dan tidak berkelanjutan, terbukti dari kegagalan masif seperti MBG. Kami mendesak negara belajar dari masyarakat adat, yang sejak lama memikirkan pengelolaan sumber daya secara terkelola, dari hulu hingga ke hilir, tanpa mengorbankan alam,” papar Jamil pada sesi seminar.

Menurut Jamil model pambangunan di bidang energi yang berskala besar dan sulit dikelola secara selaras dengan semangat pembangunan berkelanjutan yang memperhatikan hak asasi manusia dan kelestarian lingkungan. ‘Sangat bermasalah’ tegas Jamil. Berbeda dengan pendekatan tersebut, masyarakat adat menerapkan skala yang terkelola, memikirkan siklus sumber daya dari hulu hingga hilir. Bisa disimpulkan bahwa kerusakan bentang politik di Indonesia saat ini secara sistematis mengorbankan manusia dan alam.

“Pemerintah perlu belajar dari masyarakat mengenai skala yang terkelola,” ungkap Jamil.

“Transisi energi saat ini adalah ilusi percepatan. Pemerintah hanya bicara peningkatan nilai tambah, percepatan produksi, dan semakin besarnya skala tambang. Semakin besar skala tambang, semakin masif pula kerusakannya,” tambahnya.

Theo Reffelsen, Manajer Hukum dan Pembelaan WALHI menegaskan pelaksanaan prinsip FPIC bagian dari pelaksanaan Deklarasi PBB tentang Hak Atas Pembangunan.

Pembangunan dan Ancaman Pembela Lingkungan dan HAM

Praktik pelaksanaan proyek pembangunan berbasis sumber daya alam sering memakan korban individu dan masyarakat yang mempertahankan tanah dan wilayah kelola mereka. Hal ini bersumber dari pengabaian dan pelanggaran terhadap prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC). Tanah-tanah dan hutan-hutan serta perairan diambil dengan cara-cara kekerasan, intimidasi dan manipulasi informasi. Menyoroti realitas ini, Theo Reffelsen, Manajer Hukum dan Pembelaan WALHI menegaskan pelaksanaan prinsip FPIC bagian dari pelaksanaan Deklarasi PBB tentang Hak Atas Pembangunan.

“Persetujuan masyarakat tidak boleh diwarnai intimidasi atau trauma kekerasan sebelumnya. Kami tegaskan, pembangunan berkelanjutan hanya sah jika didasarkan pada ‘persetujuan bebas tanpa paksaan’ (FPIC), informasi yang akurat, dan hak penentuan nasib sendiri. Sesuai Resolusi Komisi HAM PBB Nomor 77 Tahun 1993, penggusuran paksa dan segala bentuk tindakan tidak manusiawi yang menyertainya adalah pelanggaran HAM berat. Negara harus menghentikan praktik ini segera. Kami mencermati bahwa di lapangan, persetujuan sering didapat melalui paksaan, ancaman kriminalisasi, dan intimidasi,” kata Theo.

Theo menegaskan dua hal dalam pembelaan bagi para pembela HAM dan hak atas lingkungan. Penting untuk mendorong pengakuan dan perlindungan bagi pembela lingkungan hidup dan hak asasi manusia dan perluasan konteks subjek yang termasuk dalam kategori pembela HAM dan lingkungan. Dalam sejumlah kasus yang ditemui, Theo mengungkapkan bahwa upaya pembelaan bagi subjek menghadapi kendala sempitnya cakupan definisi pembela HAM dan lingkungan.

Isu perlindungan Pembela Lingkungan dan Hak Asasi Manusia (PL-HAM) diperburuk oleh praktik penegak hukum yang secara struktural dan kultural bermasalah. WALHI mencatat adanya kecenderungan APH (Aparat Penegak Hukum) untuk menyalahkan PL-HAM, menuduh mereka berkontribusi pada konflik karena dianggap tidak bertanggung jawab. Padahal, masalah utama terletak pada APH sendiri mengidentifikasi persoalan struktural, instrumental, dan budaya di kalangan APH. Mereka pada dasarnya mengetahui bahwa masyarakat adat sedang memperjuangkan hak-haknya. Namun, alih-alih melindungi, APH justru memfasilitasi terjadinya kriminalisasi terhadap para pejuang hak.

“Perlindungan Pembela HAM Lingkungan harus diperkuat melalui legislasi. Pengesahan segera UU Anti-SLAPP dan UU Partisipasi Publik adalah keharusan untuk memperluas subjek perlindungan dan menyediakan mekanisme pemulihan yang efektif bagi mereka yang dikriminalisasi. Instrumen Hukum Acara Pidana dan Perdata harus mampu mendeteksi ‘motif yang tidak benar’ (improper motive) di balik gugatan dan tuntutan. Ini adalah kunci untuk menghentikan praktik kriminalisasi berkedok proses hukum terhadap para pejuang lingkungan,” jelas Theo.

Oleh karena itu, perbaikan mendesak dalam tubuh APH harus dilakukan. APH wajib memahami motif perjuangan yang dilakukan masyarakat adat agar anggaran negara tidak terbuang percuma, terutama dalam konteks menurunnya indeks demokrasi Indonesia.

Theo menekankan perlunya kerja sama yang kuat untuk menghadapi situasi ini, termasuk melalui upaya judicial review terhadap Undang-Undang Cipta Kerja, khususnya klaster yang terkait Proyek Strategis Nasional (PSN), demi mempertahankan ruang hidup masyarakat. Kolaborasi lintas organisasi dan masyarakat harus terus dilakukan secara intensif dalam menangani kasus-kasus sengketa, karena terbukti bahwa kemenangan sekecil apapun hanya dapat dicapai melalui upaya kolaboratif.

“Bahwa kemenangan, meskipun kecil, hanya lahir dari kolaborasi intensif lintas organisasi dan masyarakat,” ungkapnya.

 

Respon Masyarakat Sipil Atas Tanggapan Pemerintah Terhadap Surat Sembilan Pelapor Khusus PBB Mengenai Proyek Strategis Nasional Merauke

Sembilan Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN Special Procedure Mechanism) menyurati pemerintah Indonesia maupun perusahaan PT Global Papua Abadi yang terlibat dalam Proyek strategis Nasional Merauke. Para Pelapor khusus menyoroti dugaan dan dampak pelanggaran Hak Asasi Manusia dan lingkungan hidup akibat PSN Merauke. Kesembilan Pelapor Khusus PBB telah meminta tanggapan baik dari Pemerintah Indonesia maupun PT Global Papua Abadi untuk memberikan klarifikasi termasuk menganalisis kemungkinan untuk menghentikan Proyek Strategis Nasional. Pada tanggal 6 Mei 2025 Pemerintah Indonesia memberikan tanggapan.

Solidaritas Merauke menilai pemerintah Indonesia telah membantah informasi dugaan pelanggaran HAM dan lingkungan hidup yang terjadi, bantahan tanpa realitis empirik sebab peristiwa hingga saat ini masih terjadi. Pemerintah Indonesia berusaha menghindari permintaan informasi atau klarifikasi dari para pelapor khusus PBB dengan memberikan jawaban yang tidak berhubungan langsung dengan masalah yang terjadi.

Tanggapan pemerintah memperlihatkan keengganan pemerintah menyelesaikan masalah yang terjadi dan memperpanjang permasalahan HAM dan lingkungan yang terjadi dari kebijakan PSN Merauke yang juga telah menjangkau tempat lain di luar Merauke. Tanggapan tersebut kami nilai bermasalah dan tidak dapat diterima, bertentangan dengan hukum konstitusi Indonesia, bertentangan dengan rekomendasi Komnas HAM terkait PSN Merauke dan bertentangan dengan standar HAM internasional. Kami meragukan komitmen pemerintah untuk memajukan dan melindungi HAM sesuai kerangka hukum HAM internasional jika program PSN masih terus dilanjutkan.

Solidaritas Merauke mendesak para Pelapor Khusus PBB untuk melakukan tindakan pemantauan secara langsung atas informasi-informasi pelanggaran ham dan lingkungan hidup di Merauke, Papua. Kami juga meminta para mandat special rapporteur mendesak pemerintah Indonesia untuk menghentikan pelaksanaan PSN guna mencegah terjadinya peristiwa pelanggaran HAM dan lingkungan hidup yang semakin luas di Merauke dan tempat lainnya.

Narahubung : 081295000221 (Dita)

Unduh Dokumen

  1. Surat pelapor khusus ke Pemerintah Indonesia.

https://bit.ly/SpecialRapporteurLettertoIndonesia

  1. Surat sembilan pelapor khusus ke PT GPA.

https://bit.ly/SpecialRapporteurLetter

  1. Surat balasan Pemerintah Indonesia.

https://bit.ly/IndonesiaGovermentResponseLetter

Masyarakat Korban Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit Menuntut Keadilan

Siaran Pers

Pernyataan Sikap Masyarakat Korban Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit

 Jakarta, 19 November 2023

Kami, warga komunitas masyarakat adat dan komunitas lokal dari Riau, Sumatera Barat, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, yang berbicara saat ini di Jakarta, adalah korban beroperasinya perusahaan perkebunan kelapa sawit yang merampas tanah dan hutan kami tanpa persetujuan komunitas kami. Justru pimpinan dan warga komunitas kami dikriminalisasi oleh aparat kepolisian Republik Indonesia atas alasan-alasan yang direkayasa.

Kami telah menjadi korban selama belasan sampai puluhan tahun. Semua upaya melalui mekanisme negara yang tersedia, baik di tingkat daerah maupun di tingkat pusat, telah kami lakukan untuk mendapatkan keadilan, namun sampai saat ini keadilan itu masih berupa mimpi. Kami juga menempuh mekanisme yang disediakan oleh pasar, yaitu melalui mekanisme pengaduan RSPO, karena kami berharap mekanisme ini dapat memberikan harapan akan keadilan, jika pengaduan kami ditangani dengan jelas dan pasti.

“Masyarakat sangat berharap sistem pengaduan RSPO yang ada memiliki kepastian waktu dan kejelasan prosedur penanganan pengaduan keluhan, sehingga proses penyelesaian menjadi jelas” ungkap Irasan, Batin Talang Parit, Indragiri Hulu, Riau.

Namun upaya melalui mekanisme pengaduan RSPO sejauh ini pun tidak memberikan hasil yang kami harapkan. Berbagai alasan disampaikan oleh RSPO: bahwa kasusnya terjadi sebelum ada RSPO, adalah tidak berdasar sebagaimana dinyatakan oleh Nazar Ikhwan gelar Angku Imbang Langi, hakim adat dari Nagari Anam Koto, Kinali, Pasaman Barat, Sumatera Barat, “Menurut kami alasan penolakan oleh RSPO atas pengaduan yang kami ajukan tidak berdasar dan tidak sesuai dengan maksud kebijakan minyak sawit berkelanjutan, sebagaimana yang tertera dalam P&C RSPO” atau berbagai alasan lain seperti kasus yang diadukan masih dalam penilaian dan akan diuji di lapangan. Yang lebih menyakitkan, ada perusahaan dari kelompok usaha anggota RSPO yang sedang berkonflik dengan masyarakat namun bisa menjual anak perusahaan yang berkonflik tersebut kepada pihak lain.

Perkebunan skala besar khususnya sawit sudah menjamur di berbagai daerah di Indonesia. Berbagai kebijakan telah dikeluarkan oleh pemerintah untuk menjamin adanya manfaat sawit bagi masyarakat. Namun, kebijakan itu tidak dapat menolong kriminalisasi terhadap masyarakat adat dan masyarakat lokal yang hidup berdampingan dengan perusahaan sawit. Kekerasan, perampasan lahan, represifitas aparat, dan tidak dijalankannya FPIC adalah bentuk-bentuk ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat. Dokumentasi: Tyas/YMKL.

Semua hal ini melanggar prinsip dan kriteria RSPO dan sudah selayaknya dalam pandangan kami RSPO memberikan sanksi kepada perusahaan tersebut. Namun semua yang kami harapkan dari RSPO tidak pernah terjawab apalagi dipenuhi. Pelanggaran-pelanggaran dan pengabaian prinsip dan kriteria RSPO yang kami hadapi terus terjadi:

  1. Penggunaan tanah adat oleh perusahaan tanpa FPIC;
  2. Perusahaan tidak memenuhi kewajibannya membangun kebun plasma untuk masyarakat;
  3. Prosedur penanganan pengaduan yang tidak transparan dan mudah diakses informasinya oleh masyarakat korban;
  4. Serta kesenjangan ketenagakerjaan yang tidak adil bagi masyarakat, baik itu masyarakat adat maupun komunitas lokal karena tetap berstatus sebagai buruh harian lepas meskipun sudah bekerja belasan tahun di perusahaan.

 Kami mempertanyakan manfaat RSPO dalam hal perlindungan dan penghormatan hak-hak masyarakat adat, komunitas lokal dan para pengguna lahan yang kehilangan tanah dan hutan karena dirampas oleh persekongkolan perusahaan dengan oknum aparat pemerintah dan aparat keamanan. 

“RSPO sama sekali tidak memberikan perhatian kepada laporan yang kami sampaikan dalam pengaduan dan tidak memberi sanksi apapun atas pelanggaran hukum dan perampasan hak-hak kami atas tanah ulayat”, ungkap Ramadhan Tanjung, Sinaro Panghulu Basa, Pimpinan Adat Nagari Simpang Tigo Kotobaru dengan nada kekecewaan yang mendalam terhadap RSPO.

Kami juga mempertanyakan kesungguhan RSPO menegakkan prinsip dan kriteria-nya sendiri. Bahwa semua perusahaan anggota RSPO wajib mematuhi peraturan perundangan dan kebijakan negara sebagai salah satu prinsip utama. Namun pelanggaran peraturan perundangan dan kebijakan yang dilakukan oleh perusahaan tidak mendapat sanksi apa pun dari pihak RSPO.

“Kami tidak menemukan penerapan standar berkelanjutan dalam bisnis kelapa sawit Wilmar di PT AMP, kami sangat berharap RSPO dapat mengontrol penerapan P&C dan memberikan sanksi terhadap anggota yang melanggar” Gasmil, Masyarakat adat dari Jorong Labuhan, Nagari Tiku Limo Jorong, Agam, Sumatera Barat.

Kami memandang persoalan kepatuhan anggota RSPO terhadap prinsip dan kriteria RSPO adalah persoalan yang sangat penting namun telah diabaikan oleh RSPO sendiri sehingga diabaikan juga oleh perusahaan-perusahaan anggota RSPO yang berkonflik dengan masyarakat adat dan komunitas lokal.

“Kami meminta agar RSPO menjadi Lembaga yang independen dan selalu menghormati hak Masyarakat Hukum Adat dan komunitas lokal. Kami berharap proses sertifikasi selalu transparan. Kami juga berharap Lembaga auditor untuk bisa menilai sesuai temuan di lapangan” tegas Said Faizan Tas’Ad, Desa Petapahan, Tapung, Kabupaten Kampar, Riau.

Senada dengan itu, Weiz dari komunitas Dayak Bekati Riuk Sebalos, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat menegaskan harapan masyarakat, “Masyarakat adat ingin RSPO sebagai organisasi terbesar yang menaungi perusahaan industri minyak sawit untuk menindaklanjuti setiap keluhan masyarakat melalui mekanisme komplen RSPO yang dilayangkan masyarakat tentang perusahaan yang bermasalah dan agar RSPO tegas dalam memberikan sanksi terhadap perusahaan tersebut”.

 Kami mengingatkan kembali tujuan pendirian RSPO, yaitu untuk mendorong prinsip minyak sawit berkelanjutan di mana aspek menghormati hak-hak masyarakat adat dan komunitas lokal serta keberlanjutan lingkungan menjadi bagian penting di dalamnya. Oleh karena itu kami menuntut RSPO harus bertanggung jawab atas semua pelanggaran prinsip dan kriteria RSPO oleh perusahaan anggota RSPO. Kami juga berharap agar Pemerintah Daerah yang bekerja sama dengan RSPO menjalankan pendekatan yurisdiksi agar konsisten menjalankannya.

“Kami mengharapkan keseriusan Pemda Kabupaten yang menerapkan sertifikat berbasis pendekatan yurisdiksi dalam penyelesaian konflik perkebunan untuk menindak tegas perusahaan yang melakukan pelanggaran. Secara khusus kami alamatkan seruan ini kepada Pemda Kabupaten Seruyan” cetus Rusdiana, Desa Tanjung Hanau, Kabupaten Seruyan.

 

Jakarta, 19 November 2023

Kami masyarakat yang menyatakan sikap ini:

 – Masyarakat Nagari Kotobaru, Pasaman Barat, Sumatera Barat

– Masyarakat Anam Koto Kinali Pasaman Barat, Sumatera Barat

– Masyarakat Labuhan, Agam, Sumatera Barat

– Masyarakat Talang Mamak Luak Talang Parit, Indragiri Hulu, Riau

– Kelompok Tani Harapan Sp-3, Nagari Simpang Tigo Koto Baru, Kec.Luhak Nan Duo, Pasaman Barat, Smuatera Barat

– Masyarakat Tanjung Hanau, Seruyan, Kaliimantan Tengah

– Masyarakat Desa Lampasa, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah

– Masyarakat Adat Dayak Bekati Riuk Dusun Sebalos, Bengkayang, Kalimantan Barat

– Masyarakat Dayak Bekati Subah, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat

– Masyarakat Adat Dayak Hibun, Kerunang-Entapang, Sanggau, Kalimantan Barat

Organisasi yang mendukung masyarakat korban:

– Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL)

– PROGRESS Kalimantan Tengah

– Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalimantan Barat

– LemBAH, Kalimantan Barat

– Yayasan Ulayat Nagari Indonesia, Sumatera Barat

– ASM / Accountability Sustainable Monitoring, Riau

– Bahtera Alam, Riau

– Forest People Programme, Inggris