Menegaskan Hak MAKL Atas Tanah

WALHI Sumatera Barat bersama Yayasan Masyarakat kehutanan Lestari (YKML) dalam dua tahun terakhir telah memberi perhatian terhadap proyek PSN Air Bangis. Terbaru kami melakukan riset untuk melihat lebih dalam hak-hak masyarakat adat dan komunitas lokal atas agrarianya, serta hubungan PSN Air Bangis dengan sektor energi. Berdasarkan temuan dan analisa tim riset, laporan ini kami beri judul Menegaskan Hak Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal atas Tanah : Evaluasi terhadap Kebijakan PSN Air Bangis. Kami menemukan, bahwa ambisi pembangunan yang mengabaikan hak MAKL atas tanah, telah memicu beragam konflik agaria di Sumatera Barat, termasuk Pembangunan berbasis proyek strategis nasional.

Pada tahun 2021, Gubernur Provinsi Sumatera Barat mengirimkan surat kepada Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia Perihal : Pengusulan Proyek Startegis Nasional. Melalui surat bernomor 070/774/Balitbang-2021 tertanggal 30 Juli 2021, Gubernur Sumatera Barat mengusulkan lahan seluas 30.162 ha di Nagari Air Bangis Kecamatan Sungai Beremas Kabupaten Pasaman Barat sebagai lokasi proyek strategis nasional untuk industri refinery dan petrochemical yang akan dikelola oleh PT Abaco Pasifik Indonesia. Dalam suratnya, gubernur menyatakan lahan yang di usulkan berstatus clear dan clean untuk digunakan sebagai lokasi PSN. Luas lahan yang dibutuhkan sama dengan setengah dari luas Kota Padang atau 12 kali luas Kota Bukittinggi.

Dalam konteks status kawasan, rencana PSN mencakup pada kawasan hutan seluas ± 20.000 ha, sisanya sekitar ± 10.162 ha merupakan areal pengunaan lain. Sementara realitas dilapangan, lahan rencana PSN merupakan areal pemukiman dan perkebunan masyarakat. Rencana proyek ini jelas akan berdampak pada ± 29.614 jiwa penduduk  Nagari Air Bangis Kecamatan Sungai Beremas2 dan juga masyarakat Nagari Batahan Kecamatan Ranah Batahan. Akibat pemaksaan rencana investasi yang rakus ruang ini, ribuan penduduk Nagari Air Bangis melakukan beragam aksi protes kepada Pemerintah Provinsi Sumatera Barat. Apa sesungguhnya yang mau dibangun ? pada paparan berikut ini kita akan melihat bagaimana rencana PSN tersebut memiliki keterhubungan kuat dengan proyek energi.

Baca lebih lengkap hasil laporannya:

Unduh di sini

Hasil Pengumpulan dan Pengungkapan Fakta Lapangan

Sampai saat ini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara masih menjadi penyumbang utama sumber listrik di Indonesia. Pada 2021, PLTU menyumbang 66% dari total kapasitas terpasang pembangkit listrik di Indonesia. Selain menyumbang utama sumber energi, PLTU juga menuai kritik, karena menjadi penyumbang emisi gas rumah kaca dari sektor energi. Selain ditengarai menyebabkan kenaikan suhu global, bahan baku utama PLTU yang menggunakan energi fosil tidak dapat diperbarui. Pemerintah Indonesia berupaya menjalankan komitmen perjanjian paris atau Paris Agreement. Komitmen negara-negara maju dan berkembang, termasuk Indonesia itu bertujuan menekan kenaikan suhu global dari 2°C menjadi 1,5°C. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah kita adalah transisi energi dengan mengalihkan penggunaan energi fosil menjadi biomassa.

Pemerintah juga mendorong penggunaan bahan baku pembangkit yang ramah lingkungan, dengan mencampurkan biomassa kayu sebagai pengganti batu bara. Cara ini disebut sebagai co-firing. Langkah pemerintah ini diklaim mampu mengurangi penggunaan energi fosil batu bara. Pada tahun 2025 ini, pemerintah menargetkan bauran energi terbarukan mencapai 25%, dan 31% pada 2050. Dalam dokumen RUPTL PLN 2021-2030, pemerintah merencanakan penggunaan campuran biomassa kayu untuk bahan bakar PLTU batu bara di Indonesia, hingga 10%.

Untuk mendukung pengembangan energi baru terbarukan (EBT) itu Perusahaan Listrik Negara (PLN) merencanakan sebanyak 52 PLTU batu bara yang akan menggunakan co- firing, dan cara ini diklaim lebih ramah lingkungan. Kebutuhan biomassa kayu dalam bentuk wood pellet diperkirakan mencapai 8-14 juta ton per tahun. Pemenuhan bahan baku biomassa ini akan dipenuhi dengan pembangunan hutan tanaman energi (HTE). Hingga pada tahun 2025 pemerintah menargetkan pemanfaatan EBT sebesar 23%. Kebijakan energi terbarukan ini tertuang dalam Kebijakan Energi Nasional (PP No 79/2014) dan Rencana Umum Energi Nasional (Perpres No 22/ 2017).

Atas kebijakan ini ada kekhawatiran yang meningkat atas penggunaan biomassa skala besar dan bentuk-bentuk bio-energi lainnya. Biomassa skala besar justru berisiko dan mendorong penggunaan lahan besar-besaran pula.

Baca hasil laporannya secara lengkap:

Unduh di sini

Transisi Semu Energi Di Papua

Pemerintah Indonesia punya ambisi besar terhadap pemanfaatan energi terbarukan. Kekayaan sumber daya alam yang melimpah dinilai menjadi solusi energi dari masalah sumber energi utama; fosil dan batu bara. Ide transisi energi pun menguat sebagai langkah awal dan penting oleh pemerintah Indonesia dalam menekan bahkan mengurangi suplai emisi karbon yang bersumber dari fosil atau batu bara yang secara nyata telah memberikan dampak yang buruk pada lingkungan dan masyarakat.

Komitmen Indonesia dalam menjalankan proyek transisi energi yang lebih ramah lingkungan juga digaungkan pada pelaksanaan forum Presidensi G20 pada tahun 2022. Transisi energi menjadi prioritas dengan target capaian sebesar 23 persen terlaksanakan pada tahun 2025.

Melalui Dewan Energi Nasional (DEN), transisi energi menjadi agenda nasional. Proyek ini ditujukan memanfaatkan cadangan energi di Indonesia yang lebih bersih dan  mendorong pemulihan ekonomi berkelanjutan. Hal ini tentunya akan mewujudkan akses semua pihak, baik dalam mengelola, memanfaatkan, dan menerima manfaatnya dalam suplai energi yang ramah lingkungan. Upaya lain dari tujuan pemerintah untuk menjaga ketahanan energi demi mewujudkan cita-cita Indonesia menuju ekonomi hijau. Dan kehadiran transisi energi adalah salah satu agenda nasional yang dianggap paling rasional.

Perlindungan untuk memuluskan ambisi energi hijau yang berkelanjutan, pemerintah menetapkan proyek transisi energi bagian dari skala prioritas besar pemerintah melalui Program Strategis Nasional. Namun, rencana pemerintah dalam mendorong energi hijau yang berkelanjutan dan harapan masyarakat mendapatkan manfaat dari agenda tersebut malah berbanding terbalik dari kenyataan.

Di lapangan, praktik dan penerapan kinerja dari tujuan transisi energi energi tidak semulus mengeluarkan kertas kebijakan dan payung hukumnya. Agenda ini malah memuluskan kerusakan lingkungan, masyarakat kehilangan hak atas tanahnya, serta mendorong penurunan kualitas hidup akibat lingkungan hidup yang buruk. Alhasil, atas nama transisi energi yang diupayakan pemerintah untuk menjamin keadilan iklim, lingkungan, dalam pemanfaatan sumber energi terbarukan menjadi masalah besar pada aspek ekologi, ekonomi, dan manusianya.

Di Papua, PSN yang terfokus pada proyek biomassa dan bioethanol menjadi ancaman serius terhadap lingkungan, budaya, dan sosial masyarakat Papua saat ini. Riset yang dilakukan Yayasan Pusaka Bentala Rakyat bersama YMKL menemukan, proyek transisi energi ini malah akan mendorong masyarakat hukum adat di Papua kehilangan hak atas tanahnya dan praktik ekosida yang bukan hanya berdampak pada hutan dan alam yang hilang. Lebih dari itu, akan menghilangkan kehidupan yang ada di tanah Papua menuju kepunahan.

Baca laporan risetnya di bawah ini:

Unduh di sini

Tantangan bagi FSC untuk Kerangka Kerja Perbaikan

Forest Stewardship Council (FSC) menerbitkan Kerangka Kerja Perbaikan (Remedy Framework/RF) yang baru pada tahun 2023 sebagai prosedur “terobosan” untuk menangani kerusakan sosial dan lingkungan di masa lalu yang disebabkan oleh perusahaan-perusahaan kehutanan. RF ini berlaku untuk perusahaan-perusahaan kehutanan yang sebelumnya telah melanggar standar FSC dan sekarang mencari asosiasi dan sertifikasi FSC sekali lagi. Asosiasi kembali dengan (dan kemungkinan sertifikasi oleh) FSC mengharuskan perusahaan itu sendiri dan juga perusahaan-perusahaan lain yang ditemukan oleh FSC berada di dalam kelompok perusahaan yang sama untuk menerapkan RF. Asia Pacific Resources International Holdings Ltd (APRIL), sebuah anggota dari kelompok perusahaan Royal Golden Eagle (RGE), merupakan perusahaan pertama yang mengupayakan penerapan RF, dan kelompok perusahaan ini (saat artikel ini ditulis) sedang terlibat dalam bagian kedua dari proses RF yang terdiri dari tujuh bagian.

Bagian kedua dari proses ini membutuhkan penilaian dasar atas kerugian sosial dan lingkungan yang mungkin perlu ditangani. Pada tahun 2024, sebuah perusahaan bernama Remark Asia dikontrak untuk melakukan penilaian awal untuk operasi grup APRIL di Sumatera Utara, sementara Hatfield Indonesia dikontrak untuk melakukan penilaian awal di Riau serta Kalimantan Utara dan Kalimantan Timur.

Pada saat laporan ini diterbitkan pada bulan Juni 2025, Remark Asia dilaporkan telah menyelesaikan penilaian baseline di Sumatera Utara; laporan penilaian baseline tersebut telah disampaikan kepada APRIL dan FSC, namun baik Remark Asia, APRIL, maupun FSC tidak merilis laporan tersebut untuk ditinjau oleh masyarakat yang terkena dampak atau publik. Sementara itu, kontrak Hatfield telah berakhir dan tidak diperpanjang dan Remark Asia kini telah dilibatkan untuk melanjutkan penilaian di Riau dan Kalimantan.

FSC dan APRIL, serta penilai independen, Remark Asia dan Hatfield Indonesia, telah menerima banyak kritik dari LSM lingkungan dan sosial yang menyatakan bahwa Kerangka Kerja Perbaikan belum dilaksanakan dengan baik. Beberapa kritik berpusat pada pelaksanaan penilaian dasar. Pada bulan November 2024, FPP, Bahtera Alam dan YMKL, bersama dengan organisasi mitra lokal, mengunjungi beberapa masyarakat yang terkena dampak operasi grup APRIL untuk memahami bagaimana pelaksanaan penilaian dasar sosial dilakukan di lapangan. FPP dan organisasi mitra mengunjungi total Sembilan komunitas: lima di Sumatera Utara, di mana penilaian baseline dilaporkan telah selesai dilakukan; dua di Riau; dan dua di Kalimantan Timur.

Lebih lengkapnya, silakan baca laporannya di bawah ini:

Unduh di sini

Orang Melayu: Hak, Tanah dan Identitas Adat

Istilah Melayu tampaknya berasal dari abad ke-4 atau ke-5 Masehi yang merujuk pada kerajaan-kerajaan Buddha awal yang muncul di Sumatra Selatan yang berusaha menguasai dan berkontribusi pada perdagangan antarbenua antara Tiongkok dan India serta Timur Tengah. Awalnya, istilah ini merujuk pada keluarga kerajaan dari kesultanan-kesultanan ini, yang dengan cepat menyebarkan jaringan mereka ke seluruh perairan Asia Tenggara, baru kemudian istilah ini diterapkan pada berbagai masyarakat yang mereka kuasai dan kemudian lebih luas lagi pada semua penutur rumpun bahasa yang tersebar di seluruh wilayah tersebut. Saat ini, istilah Melayu digunakan oleh berbagai kelompok masyarakat untuk mengidentifikasi diri mereka yang memiliki riwayat hubungan dengan kesultanan-kesultanan ini yang telah memeluk agama Islam.

Penelitian ini menunjukkan bagaimana – berdasarkan pengambilan sampel dan bukan survei menyeluruh – banyak dari berbagai kelompok masyarakat yang kini menganggap diri mereka sebagai orang Melayu masih menjunjung tinggi hubungan mereka dengan tanah dan lingkungan mereka berkenaan dengan konsep tradisional yang mungkin mendahului pemelukan agama Islam. Dengan demikian, kita menemukan masyarakat ‘Melayu’ yang memiliki sistem penguasaan tanah yang mirip dengan orang Minangkabau di Sumatra Barat, yang berdasarkan garis keturunan ibu/matrilineal, atau masyarakat hutan Bathin di Sumatra Timur, orang Dayak di Kalimantan, dan seterusnya. Mereka mungkin telah mengadopsi Islam dan hukum syariah, mereka mungkin menganggap diri mereka ‘modern’, tetapi dalam hal bagaimana mereka memerintah dan berkaitan dengan wilayah, tanah, dan sumber daya mereka, mereka mempertahankan versi hukum adat yang dimodifikasi, yang memiliki akar yang jauh lebih dalam.

Temuan-temuan ini memiliki implikasi besar terhadap bagaimana hak-hak masyarakat ini kini diperhitungkan oleh pemerintah, lembaga-lembaga pembangunan dan perusahaan – dan sistem sertifikasi sukarela seperti FSC. Laporan ini diakhiri dengan serangkaian rekomendasi tentang bagaimana masyarakat-masyarakat ini harus diperlakukan secara lebih adil di masa mendatang.

Studi ini dibangun berdasarkan kerja sama selama bertahun-tahun antara Forest Peoples Programme, yang berpusat di Inggris, Bahtera Alam, yang berpusat di Riau, dan Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari, yang berpusat di Jakarta, dalam mendukung ‘masyarakat hutan’ – yang kami artikan sebagai masyarakat yang telah lama tinggal di dalam dan di sekitar kawasan hutan, yang mengklaim hak adat atas tanah mereka.1 Dua dari tiga penulis naskah ini mengidentifikasi diri sebagai orang Melayu.

Program-program lapangan dari berbagai organisasi kami dalam mendukung masyarakat Melayu di Kalimantan dan Sumatra dalam dua decade terakhir ini telah membuat kami menyadari bahwa meskipun masyarakat Melayu mengklaim identitas yang sama dan menganut agama yang sama – Islam – cara mereka berhubungan dengan tanah mereka dan mengklaim hak atas tanah tersebut sering kali sangat berbeda.

Berbeda halnya dengan literatur tentang masyarakat Dayak di Kalimantan dan masyarakat lainnya seperti Minangkabau di Sumatra Barat, relative sangat sedikit LSM dan studi akademis tentang masyarakat Melayu yang berupaya mendokumentasikan sistem penguasaan tanah mereka atau, bahkan lebih sedikit lagi, untuk mengartikulasikan klaim dan harapan mereka tentang tanah dan sumber daya mereka saat berurusan dengan pemerintah dan sektor swasta.

Penelitian ini merupakan upaya sederhana untuk mengoreksi kesenjangan yang ada ini, yang didorong oleh fakta bahwa transformasi besar sedang berlangsung di Indonesia yang bertujuan untuk memberikan remediasi atas ‘kerugian sosial’ yang diderita oleh masyarakat akibat dampak dari sektor kayu pulp antara tahun 1994 dan 2020, sejalan dengan Kebijakan baru Forest Stewardship Council (FSC) untuk Mengatasi Konversi, Kebijakan Asosiasi yang direvisi, dan Kerangka Kerja Remediasi yang baru-baru ini diadopsi.

FSC menawarkan sebuah prosedur di mana masyarakat yang mengidentifikasi diri sebagai masyarakat adat dan ‘masyarakat tradisional’ lainnya yang memiliki hak-hak adat, baik yang telah maupun yang belum diakui oleh hukum perundang-undangan, dapat memperoleh remediasi atas kerugian yang ditimbulkan kepada mereka oleh perusahaan yang ingin berasosiasi dengan FSC dan kemudian memperoleh sertifikasi sesuai dengan standarnya.

Penelitian ini didasarkan pada tinjauan pustaka, refleksi atas pengalaman lapangan lembaga-lembaga kami selama tiga puluh tahun terakhir, sebagai organisasi hak asasi manusia dan organisasi pendamping yang bekerja dengan masyarakat yang mengidentifikasi diri sebagai orang Melayu, dan didasarkan atas serangkaian kunjungan lapangan singkat ke wilayah masyarakat Melayu di Riau yang dilakukan oleh para penulis bersama pada bulan Mei 2024.

Kami mengunjungi masyarakat Batu Songgan, di tepi barat Riau di kaki pegunungan Barisan Nasional; masyarakat Lubuk Jering, di dataran sebelah utara Pekanbaru di pusat provinsi, dan masyarakat Teluk Meranti, di muara sungai Kampar ke arah timur (lihat Peta 1).

Survei lapangan dilakukan dengan melakukan perjalanan ke, mengunjungi, dan tinggal sebentar dengan komunitas-komunitas ini, di mana kami meminta warga untuk berpartisipasi dalam wawancara dan bergabung dengan kelompok diskusi untuk menjelaskan hubungan mereka dengan tanah mereka dan membahas tantangan yang mereka hadapi saat ini dalam mengamankan hak-hak mereka. Kami menganggap kerja ini lebih bersifat ilustratif daripada definitif dan mendorong pihak lain dari lingkup akademis dan masyarakat sipil untuk memperdalam bidang pengetahuan ini.

Bisa unduh laporannya di bawah ini:

Orang Melayu – Bahasa Indonesia

The Melayu – Bahasa Inggris 

Memahami Kebijakan Dan Permasalahan Skema Plasma Perkebunan Kelapa Sawit 1986 – 2022

Indonesia adalah produsen minyak sawit terbesar di dunia, dan luas perkebunan kelapa sawit di seluruh negeri mencapai lebih dari 16 juta hektar1. Dari jumlah tersebut, sekitar 8-10 juta hektar ditanami oleh perkebunan kelapa sawit swasta. Sebagian besar lahan tersebut tumpang tindih dengan wilayah masyarakat adat, dan banyak pelanggaran hak atas tanah terjadi di industri kelapa sawit. Sejak tahun 1980-an, pemerintah Indonesia telah memperkenalkan skema “plasma” (petani plasma) yang mewajibkan pengalokasian sebagian area konsesi kelapa sawit perusahaan kepada masyarakat yang lahannya mereka ambil alih. Penyediaan kebun plasma telah menjadi kewajiban hukum di Indonesia sejak tahun 2007; namun, audit baru-baru ini menemukan bahwa hanya seperlima perusahaan perkebunan di Indonesia yang benar-benar mematuhi kewajiban plasma mereka. Bagi banyak masyarakat adat dan komunitas lokal di Indonesia, plasma adalah salah satu dari sedikit pilihan sumber penghidupan yang layak di bentang alam yang telah diubah menjadi perkebunan monokultur kelapa sawit2, namun tidak hanya penggambaran yang manipulatif oleh perusahaan tentang skema plasma digunakan untuk memaksa masyarakat dan keluarga agar menyerahkan tanah mereka kepada perusahaan kelapa sawit, plasma juga telah menimbulkan lilitan hutang 3.

Panduan praktis ini, “Memahami kebijakan dan permasalahan skema plasma perkebunan kelapa sawit: 1986-2022”, menjelaskan berbagai skema plasma di Indonesia serta peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Panduan ini bertujuan untuk membantu masyarakat adat dan komunitas lokal di Indonesia agar memahami kewajiban hukum yang dimiliki perusahaan kelapa sawit dan dapat menegaskan hak-hak mereka dalam konteks ini.

Beberapa perkiraan menunjukkan bahwa luas lahan yang ditanami kelapa sawit lebih tinggi dibandingkan data resmi Kementerian Pertanian

Investigasi yang diterbitkan pada tahun 2022 oleh The Gecko Project, BBC News, dan Mongabay memperkirakan masyarakat dirugikan ratusan juta dolar setiap tahunnya akibat perusahaan tidak melaksanakan kewajiban plasma mereka.

Untuk kajian sebelumnya mengenai tantangan-tantangan yang dihadapi petani plasma, lihat FPP/Sawitwatch, 2006, ‘Ghosts on Our Own Land’ (Hantu di Tanah Kita Sendiri)

Laporan bisa dibaca di bawah ini

Bahasa Inggris

Bahasa Indonesia

Temuan Studi Lapangan: Hak Adat Di Perkebunan April

Perusahaan pulp dan kertas, APRIL, telah memperluas perkebunannya di kawasan hutan dan lahan gambut menyalahi standar FSC yang melarang konversi hutan. Sejak 2014, APRIL telah membuat komitmen publik untuk mematuhi standar FSC dan masuk kembali ke FSC. Hal ini sekarang dimungkinkan di bawah Kebijakan untuk Mengatasi Konversi FSC yang baru, selama perusahaan melakukan pemulihan/penyelesaian atas kerusakan sosial dan lingkungan sesuai dengan Kerangka Kerja Penyelesaian FSC yang baru diadopsi.

Sejak tahun 2014, APRIL dan kelompok usaha Raja Garuda Emas/Royal Golden Eagle yang lebih luas yang menaunginya, telah mengadopsi kebijakan untuk menghormati hak asasi manusia, termasuk hak adat dan hak atas FPIC dari masyarakat adat. APRIL juga telah membuat komitmen publik untuk memberikan upaya pemulihan yang efektif.

Indonesia telah meratifikasi dan mengesahkan beberapa instrumen hak asasi manusia internasional utama dan konstitusi Indonesia menjunjung tinggi hak adat, tetapi undang-undang pelaksanaannya tidak mencukupi dan dalam praktiknya sebagian besar hak masyarakat adat atas wilayah dan tanah belum diakui dan dilindungi secara efektif. Wilayah yang luas telah diserahkan kepada perusahaan oleh pemerintah di areal-areal yang tumpang tindih dengan wilayah adat tanpa keterlibatan apalagi persetujuan masyarakat yang bersangkutan, ini yang mengakibatkan konflik tanah yang meluas di seluruh nusantara.

APRIL telah menerapkan prosedur resolusi konflik yang memberikan opsi untuk mengatur kepemilikan tanah dari penduduk yang sudah lama bermukim dan/atau mengganti kerugian kepada orang per orang, tetapi, sejauh ini, masih belum menangani masyarakat yang memiliki hak adat. Forest Peoples Programme (FPP), dengan mitra lokal Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL) dan Bahtera Alam (BA) telah terlibat dalam dialog dengan APRIL untuk mengeksplorasi bagaimana perusahaan kini dapat menerapkan kebijakannya sendiri, sesuai dengan standar dan kebijakan FSC dan sejalan dengan hukum hak asasi manusia internasional, untuk menghormati hak-hak adat dari masyarakat adat.

Masyarakat yang terkena dampak mencantumkan kerugian-kerugian yang signifikan dalam hal kehilangan tempat berburu, tempat memelihara dan menangkap ikan, lahan pertanian, kebun sagu, hutan dan hasil hutan, tanaman obat, kebun kelapa dan kerusakan lainnya, termasuk pencemaran akibat limpasan air dari perkebunan Akasia. Akses ke danau-danau suci telah terhalang dan identitas tradisional serta praktik keagamaan juga dirugikan.

Memang ada beberapa manfaat bagi masyarakat, termasuk akses ke pasar, penyediaan layanan pemerintah dan program-program tanggung jawab sosial perusahaan, namun semua ini juga telah membuka lahan mereka untuk perkebunan kelapa sawit. Kedua kelompok masyarakat ini menyambut baik komitmen APRIL baru-baru ini untuk memberikan pemulihan/penyelesaian. Mereka berusaha mendapatkan kembali hak mereka atas tanah mereka, dan merundingkan kesepakatan dengan APRIL yang dilandaskan pada penghormatan terhadap hak-hak mereka.

Laporannya bisa diunduh di bawah ini:

Bahasa Indonesia

Bahasa Inggris

Orang Sakai: Asia Pulp and Paper dan Masyarakat Adat Sumatra Menuju Pemulihan?

Orang Sakai adalah salah satu dari beberapa masyarakat adat yang berada di wilayah operasi APP (Asia Pulp and Paper) di Riau. Laporan ini mengkaji situasi salah satu masyarakat-masyarakat ini dan merupakan hasil dari undangan juru bicara Orang Sakai untuk mengunjungi wilayah mereka, guna memverifikasi status mereka sebagai masyarakat adat dan menjelaskan bagaimana mereka dapat memperkuat klaim lahan mereka, dalam konteks komitmen APP baru-baru ini untuk berasosiasi kembali dengan FSC. Tinjauan ini menemukan bahwa kebijakan-kebijakan APP secara umum sejalan dengan standar-standar FSC, namun tidak jelas atau ambigu mengenai bagaimana kebijakan-kebijakan tersebut akan menghormati hak-hak adat atas tanah dan hutan yang telah diabaikan oleh Pemerintah.

Orang Sakai adalah masyarakat hutan yang tersebar luas di ekosistem hutan yang luas di wilayah yang sekarang disebut Provinsi Riau, di mana mereka melakukan perladangan berpindah, mencari makan, menangkap ikan, dan memperdagangkan hasil hutan. Mereka telah menghuni wilayah tersebut sejak masa sebelum penjajahan dan memiliki hubungan erat dengan wilayah-wilayah spesifik dan tertentu yang diawasi oleh para pemimpin adat (disebut Bathin) yang masih diakui dan dihormati oleh masyarakatnya.

Mereka mempertahankan sistem kepercayaan tradisional mereka hingga tahun 1970-an dan hingga saat ini masih memelihara sebagian besar hukum adat mereka. Serangkaian intervensi di tanah mereka telah membawa perubahan sosial yang cepat termasuk akibat ekstraksi minyak bumi secara ekstensif sejak tahun 1920-an dan kemudian penebangan kayu, pemukiman kembali secara paksa, pemukiman transmigran, perkebunan kelapa sawit dan pemukiman spontan oleh para pendatang.

Sejak tahun 1990an, perkebunan kayu pulp APP telah merampas sebagian besar dari sisa hutan dan lahan mereka. Karena Pemerintah menggolongkan kawasan ini sebagai Kawasan Hutan Negara dan pada saat itu tidak mengakui hak-hak Orang Sakai, perkebunan-perkebunan APP tersebut didirikan tanpa persetujuan Orang Sakai, sehingga berdampak serius terhadap penghidupan mereka dan menyebabkan beberapa desa yang berada di dalam perkebunan meninggalkan kawasan tempat tinggal mereka. Sengketa pertanahan tidak dapat dihindari dan dalam beberapa kasus diredam oleh aparat keamanan negara.

Sejak jatuhnya rezim Soeharto, kebijakan Pemerintah mulai berubah. Pemerintah provinsi telah mengakui sebagian Orang Sakai sebagai desa adat, wilayahnya telah dipetakan dan sebagian dari wilayah-wilayah tersebut resmi ditetapkan sebagai hutan adat. Namun, belum ada tindakan yang diambil oleh Pemerintah untuk mengakui seluruh Orang Sakai sebagai desa adat dan wilayah mereka belum dilindungi.

Laporannya bisa diunduh di bawah ini:

Orang Sakai