Posts

YMKL dan Pusaka Gelar Pelatihan Paralegal Bagi Pembela HAM Lingkungan Di Papua Barat Daya

Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL) bersama Pusaka Bentala Rakyat menggelar kegiatan pelatihan paralegal Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua Barat Daya. Pelatihan paralegal ini melibatkan peserta dari masyarakat adat, komunitas lokal, organisasi masyarakat sipil, yang dilaksanakan selama tiga hari (21-23) Oktober 2024, Sorong, Papua Barat Daya.

Kegiatan ini bertujuan untuk menguatkan pemahaman secara bersama tentang peran masyarakat adat, komunitas lokal, organisasi masyarakat sipil, generasi muda, di Papua Barat Daya dalam memperjuangkan hak-hak mereka. Perjuangan hak atas tanah, hak atas lingkungan yang baik, dan strategi advokasi serta litigasi ketika menghadapi sebuah masalah.

“Pelatihan paralegal ini untuk kita belajar bersama bagaimana langkah-langkah advokasi yang bisa dipakai saat masyarakat berhadapan masalah. Hasil dari kegiatan ini juga diharapkan dapat melahirkan paralegal yang bersungguh-sungguh bekerja untuk masyarakat,” kata Tigor Hutapea, Pusaka Bentala Rakyat, pada pembukaan acara pelatihan paralegal.

Pelatihan paralegal ini dianggap penting, mengingat permasalahan HAM di Papua semakin hari semakin tinggi. Apalagi saat ini pemerintah sedang menggalakkan program pembangunan dan investasi skala besar di semua wilayah Papua. Dampak dari kehadiran investasi itu menyebabkan permasalahan dan konflik agrarian di Papua. Masyarakat Papua lekat kehidupannya dengan tanah dan sumber daya alam. Saat keduanya hilang, maka kehidupan orang Papua terancam.

Di tambah lagi, akses terhadap bantuan hukum di Papua sulit terjangkau. Jika pun ada, aksesnya begitu rumit. Padahal, bantuan hukum terhadap masyarakat merupakan kewajiban negara dalam menjamin hak-hak warga negara. Kurangnya penguatan pengetahuan mengenai HAM menyebabkan suara-suara masyarakat adat, komunitas lokal di Papua sering kali terabaikan.

“Upaya belajar bersama dalam pelatihan ini sangat diharapkan agar kita semua bisa belajar dan memahami bagaimana strategi litigasi, advokasi, mediasi, dan negosiasi. Dari upaya itulah masyarakat mempunyai posisi yang kuat khususnya pada saat mengambil kebijakan apalagi saat berhadapan dengan pemerintah atau perusahaan,” ungkap Rudiansyah, Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL) saat memberikan materi litigasi, advokasi, dan mediasi.

Peserta pelatihan paralegal bagi pembela HAM lingkungan sangat antusias dengan materi yang mereka terima dan aktif berdiskusi serta membagikan permasalahan yang mereka sedang hadapi. Dokumentasi/YMKL

Masyarakat adat Papua juga memiliki konteks hukum adat sendiri, yang pada dasarnya menjadi sebuah pegangan mereka dalam mempertahakan hak mereka. Tapi, lambat laun, hukum adat itu tidak memiliki kekuatan penuh untuk dijadikan pijakan advokasi bagi masyarakat adat Papua.

Mengingat perkembangan saat ini, isu masyarakat adat tengah menjadi diskursus bersama, hal ini berpengaruh kepada dengan terbentuknya peraturan internasional dan nasional yang memberikan peluang perlindungan bagi masyarakat yang melakukan pembelaan diri.  Peluang ini dapat di kombinasikan dengan  pengetahuan Masyarakat agar menjadi strategis advokasi yang tersistematis.

“Kami di Papua sudah lama berhadapan dengan kasus dan masalah. Masalah terkait perampasan lahan, tanah, wilayah adat, yang bahkan sampai saat ini belum jelas kepastiannya kapan selesai. Saya berharap melalui pelatihan ini dapat menambah pengetahuan kami dalam memperjuangkan wilayah adat dan tanah kami di Papua,” ujar Jimi Solemanibra, peserta pelatihan dari Masyarakat Adat Moi.

Peserta pelatihan paralegal mendiskusikan masalah yang mereka hadapi dan membagikan temuan dan solusi yang ingin mereka kerjakan dalam kerja-kerja litigasi dan advokasi. Dokuemntasi/YMKL

Diselnggarakan kegiatan pelatihan paralegal bagi pembela HAM di Papua Barat Daya dengan harapan dapat melahirkan sebuah solusi dalam menangani kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Papua dan menjadi penghubung antara para pembela HAM dan organisasi bantuan hukum dalam menangani kasus yang muncul di tingkat masyarakat.

Selain itu, kegiatan pelatihan paralegal ini ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan dan  keterampilan  advokasi para pembela HAM Lingkungan di Provinsi Papua Barat Daya.

Tiga Desa Di Kabupaten Seruyan Sepakat Menolak Calon Lahan Plasma dari PT WSSL

Akhir Oktober tahun 2023 adalah bulan-bulan yang kelam bagi warga Desa Bangkal, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah. Konflik antara masyarakat dan perusahaan sawit memuncak. Masyarakat menuntut hak-hak atas lahan dan plasma kepada pihak perusahaan. Namun, aksi masyarakat itu dihadang dengan segala bentuk tindakan kriminalisasi oleh arapat kepolisian yang berujung adanya penembakan dan menyebabkan korban berjatuhan sampai meninggal dunia.

Konflik masyarakat dengan perusahaan sawit tidak hanya terjadi di Desa Bangkal, hal serupa juga terjadi di Desa Paring Raya, Parang Batang, dan Tanjung Hanau. Warga dari tiga desa ini menerima kabar mengenai tindak lanjut pembangunan plasma dari salah satu perusahaan bernama PT Wana Sawit Subur Lestari (WSSL) yang menduduki daerah sekitar tiga desa lingkar perkebunan PT WSSL.

Kabar tersebut tertulis dalam “Keputusan Bupati Seruyan Nomor 100.3.3.2/90/2023 Tentang Calon Lahan Kebun Masyarakat Atas Nama Koperasi Hanau Lestari Sejahtera Kecamatan Hanau Kabupaten Seruyan Bermitra Dengan Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Wana Sawit  Subur Lestari”.

Peta rencana calon lahan PT WSSL yang dikeluarkan Pemkab Seruyan melalui Surat Keputusan Bupati Seruyan Nomor 100.3.3.2/90/2023

Mengetahui keputusan yang dikeluarkan pemerintah Seruyan pada akhir tahun 2023 tersebut, Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL) bersama PROGRESS Palangkaraya menginisiasi pertemuan dan berdiskusi dengan masyarakat dari ketiga desa yang akan terdampak. Setelah dianalisa dan didiskusikan bersama dengan masyarakat desa masing-masing, rencana pembangunan bakal calon lahan banyak mengalami tumpang tindih dengan area hidup dan tata guna lahan desa.

“Coba ikau pikir mau di mana lagi bangun plasma. Tanah desa sini sudah habis,” kata Umar, warga Desa Parang Batang.

Setelah mendapatkan kabar itu, warga Desa Paring Raya langsung membuat pemetaan desa dan ketika disandingkan dengan peta dalam keputusan Bupati Seruyan, ditemukan area calon lahan kebun masuk dalam pemukiman warga dan kebun masyarakat.

“Kita ini bukan lagi meminta plasma, justru kami ini menuntut hak plasma yang  di dalam kebun perusahaan,” ujar Endang, warga dari Tanjung Hanau.

Di Desa Parang Batang yang lebih bermasalah, calon lahan kebun itu berada di lokasi lahan plasma yang akan dibangun infrastruktur seperti fasilitas umum, pemukiman, dan kebun masyarakat. Sedangkan untuk Desa Tanjung Hanau area plasma nantinya akan menggusur pemukiman dan kebun masyarakat desa. Artinya rencana pembangunan plasma sebelum diterbitkannya peraturan, tidak melakukan pengecekkan lapangan dengan masyarakat yang ada di tiga desa terdampak.

“Pemukiman warga tabunan ikut kena kalau itu (surat keputusan bupati) jadi,” tegas Adri, Desa Tanjung Hanau.

Melihat permasalahan mereka hadapi, tiga desa terdampak ini sepakat membuat pertemuan dengan setiap masing-masing pemerintah desa dan membuat musyawarah untuk mengirim setiap perwakilannya. Musyarah dengan seluruh warga desa dan calon petani dilakukan untuk menentapkan poin-poin dan kesepakatan bersama untuk dituangkan dalam laporan keluhan ke Pemerintah Daerah Seruyan.

Tim YMKL dan Progress melakukan audiensi dengan pihak Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) terkait surat keputusan Bupati Seruyan dan mendampingi perwakilan masyarakat desa dalam memasukan hasil musyawarah antar tiga desa ke pihak DKPP. Progress/Dokumentasi

Masyarakat yang hadir dalam pertemuan tidak hanya didomimasi oleh laki-laki, tapi juga turut melibatkan peran perempuan dalam musyawarah tersebut. Alhasil, dari musyawarah yang dilakukan ini menghasilkan surat kesepakatan bersama dengan tegas “Menolak Calon Lahan Plasma” yang dikeluarkan melalui keputusan bupati dan secara sepakat juga menuntut kejelasan hak plasma dari dalam kebun inti perusahaan PT WSLL.

Setelah menarik garis besar permasalahan dari setiap desa, masing-masing desa bersama-sama membuat keluhan berdasarkan Peraturan Bupati Kabupaten Seruyan Nomor 11 tahun 2021 tentang Tata Cara Pengaduan dan Pengelolaan Data Konflik Usaha Perkebunan, dan Peraturan Bupati Nomor 48 tahun 2022 tentang Pedoman Penanganan Konflik Usaha Perkebunan Kelapa Sawit. Tiga desa yang tercantum berkumpul dan membuat berita acara menolak Surat Keputusan Bupati Nomor 100.3.3.2/90/2023.

Artinya, penanganan permasalahan terkait konflik perkebunan telah diatur dalam kebijakan pemerintah daerah dan menjadi pegangan kebijakan antara masyarakat dan perusahaan untuk menyelesaikan konflik atau permasalahan yang sedang berlangsung.

Laporan keluhan dari masyarakat desa itu kemudian diserahkan ke Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Kabupaten Seruyan yang befungsi sebagai kantor pusat sekratariat Pendekatan Yurisdiksi untuk sawit berkelanjutan (17/07). Laporan keluhan itu diterima langsung oleh Agus Sulino, perwakilan dari DKPP. Pihak DKPP menyampaikan bahwa pengeluaran surat ini sepenuhnya di bawah kuasa dinas bagian Perekonomian Seruyan dan dianjurkan untuk mengadu ke kantor dinas tersebut.

Lalu, laporan keluhan itu diajukan ke Bidang Perekonomian lebih khususnya Bidang Perekonomian Sekretariat Daerah Kabupaten Seruyan yang diwakili langsung oleh Ibu Sarinah. Tanggapannya bahwa saat ini dinas belum sepenuhnya memberlakukan Peraturan Bupati yang baru dan masih berpedoman pada peraturan provinsi. Masyarakat harus membuat surat resmi kepada Bupati yang harus disertakan kop dari pemerintah desa, sehingga berita acara yang dibuat sesuai dengan peraturan gubernur untuk pengaduan bisa diterima.

Laporan keluhan masyarakat tentang calon lahan PT WSSL diterima langsung oleh Pemerintah Daerah Seruyan. YMKL/Dokumentasi.

Mendengar arahan dan petunjuk tersebut, perwakilan masyarakat dari ketiga desa ini bergegas membuat surat resmi dan di tandatangani langsung oleh salah satu pemerintah desa yang hadir saat laporan keluhan itu dimasukan. Setelah membuat surat resmi, akhirnya Dinas Bidang Perekonomian menerima surat dan laporan keluhan dari masyarakat.

 

Sebagai catatan:

Waktu pada saat artikel ini ditulis dan dipublikasikan, (28/08), masyarakat masih menunggu tindak lanjut untuk peninjauan kembali dan dilaksanakannya pemetaan lapangan yang lebih partisipatif dengan masyarakat di tiga desa.