Tiga Desa Di Kabupaten Seruyan Sepakat Menolak Calon Lahan Plasma dari PT WSSL

Akhir Oktober tahun 2023 adalah bulan-bulan yang kelam bagi warga Desa Bangkal, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah. Konflik antara masyarakat dan perusahaan sawit memuncak. Masyarakat menuntut hak-hak atas lahan dan plasma kepada pihak perusahaan. Namun, aksi masyarakat itu dihadang dengan segala bentuk tindakan kriminalisasi oleh arapat kepolisian yang berujung adanya penembakan dan menyebabkan korban berjatuhan sampai meninggal dunia.

Konflik masyarakat dengan perusahaan sawit tidak hanya terjadi di Desa Bangkal, hal serupa juga terjadi di Desa Paring Raya, Parang Batang, dan Tanjung Hanau. Warga dari tiga desa ini menerima kabar mengenai tindak lanjut pembangunan plasma dari salah satu perusahaan bernama PT Wana Sawit Subur Lestari (WSSL) yang menduduki daerah sekitar tiga desa lingkar perkebunan PT WSSL.

Kabar tersebut tertulis dalam “Keputusan Bupati Seruyan Nomor 100.3.3.2/90/2023 Tentang Calon Lahan Kebun Masyarakat Atas Nama Koperasi Hanau Lestari Sejahtera Kecamatan Hanau Kabupaten Seruyan Bermitra Dengan Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Wana Sawit  Subur Lestari”.

Peta rencana calon lahan PT WSSL yang dikeluarkan Pemkab Seruyan melalui Surat Keputusan Bupati Seruyan Nomor 100.3.3.2/90/2023

Mengetahui keputusan yang dikeluarkan pemerintah Seruyan pada akhir tahun 2023 tersebut, Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL) bersama PROGRESS Palangkaraya menginisiasi pertemuan dan berdiskusi dengan masyarakat dari ketiga desa yang akan terdampak. Setelah dianalisa dan didiskusikan bersama dengan masyarakat desa masing-masing, rencana pembangunan bakal calon lahan banyak mengalami tumpang tindih dengan area hidup dan tata guna lahan desa.

“Coba ikau pikir mau di mana lagi bangun plasma. Tanah desa sini sudah habis,” kata Umar, warga Desa Parang Batang.

Setelah mendapatkan kabar itu, warga Desa Paring Raya langsung membuat pemetaan desa dan ketika disandingkan dengan peta dalam keputusan Bupati Seruyan, ditemukan area calon lahan kebun masuk dalam pemukiman warga dan kebun masyarakat.

“Kita ini bukan lagi meminta plasma, justru kami ini menuntut hak plasma yang  di dalam kebun perusahaan,” ujar Endang, warga dari Tanjung Hanau.

Di Desa Parang Batang yang lebih bermasalah, calon lahan kebun itu berada di lokasi lahan plasma yang akan dibangun infrastruktur seperti fasilitas umum, pemukiman, dan kebun masyarakat. Sedangkan untuk Desa Tanjung Hanau area plasma nantinya akan menggusur pemukiman dan kebun masyarakat desa. Artinya rencana pembangunan plasma sebelum diterbitkannya peraturan, tidak melakukan pengecekkan lapangan dengan masyarakat yang ada di tiga desa terdampak.

“Pemukiman warga tabunan ikut kena kalau itu (surat keputusan bupati) jadi,” tegas Adri, Desa Tanjung Hanau.

Melihat permasalahan mereka hadapi, tiga desa terdampak ini sepakat membuat pertemuan dengan setiap masing-masing pemerintah desa dan membuat musyawarah untuk mengirim setiap perwakilannya. Musyarah dengan seluruh warga desa dan calon petani dilakukan untuk menentapkan poin-poin dan kesepakatan bersama untuk dituangkan dalam laporan keluhan ke Pemerintah Daerah Seruyan.

Tim YMKL dan Progress melakukan audiensi dengan pihak Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) terkait surat keputusan Bupati Seruyan dan mendampingi perwakilan masyarakat desa dalam memasukan hasil musyawarah antar tiga desa ke pihak DKPP. Progress/Dokumentasi

Masyarakat yang hadir dalam pertemuan tidak hanya didomimasi oleh laki-laki, tapi juga turut melibatkan peran perempuan dalam musyawarah tersebut. Alhasil, dari musyawarah yang dilakukan ini menghasilkan surat kesepakatan bersama dengan tegas “Menolak Calon Lahan Plasma” yang dikeluarkan melalui keputusan bupati dan secara sepakat juga menuntut kejelasan hak plasma dari dalam kebun inti perusahaan PT WSLL.

Setelah menarik garis besar permasalahan dari setiap desa, masing-masing desa bersama-sama membuat keluhan berdasarkan Peraturan Bupati Kabupaten Seruyan Nomor 11 tahun 2021 tentang Tata Cara Pengaduan dan Pengelolaan Data Konflik Usaha Perkebunan, dan Peraturan Bupati Nomor 48 tahun 2022 tentang Pedoman Penanganan Konflik Usaha Perkebunan Kelapa Sawit. Tiga desa yang tercantum berkumpul dan membuat berita acara menolak Surat Keputusan Bupati Nomor 100.3.3.2/90/2023.

Artinya, penanganan permasalahan terkait konflik perkebunan telah diatur dalam kebijakan pemerintah daerah dan menjadi pegangan kebijakan antara masyarakat dan perusahaan untuk menyelesaikan konflik atau permasalahan yang sedang berlangsung.

Laporan keluhan dari masyarakat desa itu kemudian diserahkan ke Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Kabupaten Seruyan yang befungsi sebagai kantor pusat sekratariat Pendekatan Yurisdiksi untuk sawit berkelanjutan (17/07). Laporan keluhan itu diterima langsung oleh Agus Sulino, perwakilan dari DKPP. Pihak DKPP menyampaikan bahwa pengeluaran surat ini sepenuhnya di bawah kuasa dinas bagian Perekonomian Seruyan dan dianjurkan untuk mengadu ke kantor dinas tersebut.

Lalu, laporan keluhan itu diajukan ke Bidang Perekonomian lebih khususnya Bidang Perekonomian Sekretariat Daerah Kabupaten Seruyan yang diwakili langsung oleh Ibu Sarinah. Tanggapannya bahwa saat ini dinas belum sepenuhnya memberlakukan Peraturan Bupati yang baru dan masih berpedoman pada peraturan provinsi. Masyarakat harus membuat surat resmi kepada Bupati yang harus disertakan kop dari pemerintah desa, sehingga berita acara yang dibuat sesuai dengan peraturan gubernur untuk pengaduan bisa diterima.

Laporan keluhan masyarakat tentang calon lahan PT WSSL diterima langsung oleh Pemerintah Daerah Seruyan. YMKL/Dokumentasi.

Mendengar arahan dan petunjuk tersebut, perwakilan masyarakat dari ketiga desa ini bergegas membuat surat resmi dan di tandatangani langsung oleh salah satu pemerintah desa yang hadir saat laporan keluhan itu dimasukan. Setelah membuat surat resmi, akhirnya Dinas Bidang Perekonomian menerima surat dan laporan keluhan dari masyarakat.

 

Sebagai catatan:

Waktu pada saat artikel ini ditulis dan dipublikasikan, (28/08), masyarakat masih menunggu tindak lanjut untuk peninjauan kembali dan dilaksanakannya pemetaan lapangan yang lebih partisipatif dengan masyarakat di tiga desa.

 

 

250 Ribu Petisi Dukungan Publik Selamatkan Hutan Papua Diserahkan Ke Mahkamah Agung

Dua perwakilan masyarakat adat dari Papua: Suku Awyu dan Suku Moi, pejuang lingkungan hidup itu mendatangi kantor Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia (RI), pada Senin, 22 Juli 2024. Mereka jauh-jauh datang dari Papua Selatan dan Papua Barat Daya untuk kedua kalinya memperjuangkan hutan adat mereka yang terancam oleh sejumlah perusahaan sawit.

“Kami menerima 253.823 tanda tangan dalam petisi dukungan untuk suku Awyu dan Moi, yang hari ini akan diserahkan langsung ke MA. Petisi ini dan juga gerakan #AllEyesOnPapua yang viral beberapa saat lalu menjadi bukti kepedulian banyak orang pada perjuangan orang Awyu dan Moi,” kata Tigor Hutapea, anggota Tim Advokasi Selamatkan Hutan Papua dari Yayasan Pusaka Bentala Rakyat.

Kedatangan perwakilan Suku Awyu dan Sub Suku Moi Sigin ke MA tidak sendirian, mereka ditemani beberapa publik figur dari beragam latar belakang, seperti Melanie Subono, Farwiza Farhan, Kiki Nasution, dan Pendeta Ronald Rischard Tapilatu. Ada pula kelompok anak muda dan organisasi masyarakat sipil, seperti dari Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Extinction Rebellion, Ikatan Mahasiswa Papua (IMAPA), Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL), dan beberapa organisasi masyarakat sipil lainnya. Mereka bersolidaritas dengan membawa banner dan poster bertuliskan sejumlah pesan, seperti “All Eyes on Papua” dan “Selamatkan Hutan Adat dan Manusia Papua”.

Suku Awyu menari di hadapan kantor MA bersama koalisi selamatkan hutan Papua. Tarian ini sebagai pesan kepada pemerintah bahwa hutan Papua dalam ancaman kehadiran perusahaan sawit. Foto: Zulkifli/YMKL

Rombongan ini berkunjung ke MA dengan dua agenda: menyerahkan petisi dukungan untuk perjuangan masyarakat adat suku Awyu dan Moi Sigin, serta mempertanyakan perkembangan perkara kasasi yang diajukan pejuang lingkungan hidup dari Suku Awyu dan subsuku Moi Sigin ke MA, yang diajukan masing-masing pada Maret dan awal Mei lalu.

Pemilik siniar (podcast) Sabda Bumi, Kiki Nasution, mengungkapkan alasannya ikut menandatangani petisi untuk mendukung perjuangan Suku Awyu dan Subsuku Moi Sigin. Menurut Kiki, generasi muda mesti memperhatikan keterkaitan isu kerusakan lingkungan dengan isu-isu lainnya, seperti ketidakadilan terhadap masyarakat adat.

“Dulu saya melihat perubahan iklim itu semacam hitam-putih, dengan tidak memakai plastik itu sudah menyelamatkan Bumi. Namun setelah belajar dari masyarakat adat, saya baru sadar bahwa perubahan iklim itu isu yang interseksional, berhubungan dengan kesenjangan dan berbagai ketidakadilan lainnya. Wilayah adat yang akan diambil dari suku Awyu dan Moi cukup luas, dengan cadangan karbon yang juga besar. Jika kita tidak menghentikannya, dampaknya akan ke mana-mana,” kata Kiki, yang dikenal di media sosial dengan nama akun @kikitube ini.

Melani Subono menyerahkan petisi publik selamatkan hutan Papua. Foto: Zulkifli/YMKL

Diana Klafiyu, perempuan adat Moi Sigin, berterima kasih atas dukungan yang mengalir untuk perjuangan mereka.

“Saya merasa senang dengan dukungan dari semua orang yang sudah menandatangani petisi mendukung kami suku Moi dan suku Awyu. Harapan saya, semoga hakim mengambil keputusan mendukung kami masyarakat adat suku Moi dan suku Awyu,” ujarnya.

Sebelum penyerahan petisi ini, Hendrikus Woro mengajukan gugatan menyangkut izin kelayakan lingkungan hidup yang dikeluarkan Pemerintah Provinsi Papua untuk PT Indo Asiana Lestari (IAL). Perusahaan sawit ini mengantongi izin lingkungan seluas 36.094 hektare, atau lebih dari setengah luas DKI Jakarta, dan berada di hutan adat marga Woro—bagian dari suku Awyu.

Selain kasasi perkara PT IAL ini, sejumlah masyarakat adat Awyu juga tengah mengajukan kasasi atas gugatan PT Kartika Cipta Pratama dan PT Megakarya Jaya Raya, dua perusahaan sawit yang juga sudah dan akan berekspansi di Boven Digoel, atas keputusan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Putusan MA akan menentukan nasib hutan hujan seluas 65.415 hektare di konsesi PT KCP dan PT MJR.

“Hingga hari ini, kami belum mendapatkan informasi tentang nomor registrasi perkara kasasi yang kami masyarakat Awyu dan Moi Sigin daftarkan ke MA. Kami ingin menanyakan kepada Mahkamah, bagaimana perkembangan gugatan kami, apakah Mahkamah memprosesnya atau tidak? Kami sampai dua kali datang jauh-jauh dari Papua, ini karena kami menunggu-nunggu putusan yang menyelamatkan hutan adat kami,” kata Hendrikus Woro, pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu.

Hendrikus Woro, pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu datang ke Mahkamah Agung mengantarkan petisi publik atas gugatan selamatkan hutan Papua. Foto: Zulkifli/YMKL

Adapun sub suku Moi Sigin melawan PT Sorong Agro Sawitindo (SAS) yang akan membabat 18.160 hektare hutan adat untuk perkebunan sawit. PT SAS menggugat pemerintah pusat karena mencabut izin pelepasan kawasan hutan dan izin usaha mereka. Masyarakat Moi Sigin melawan dengan menjadi tergugat intervensi dalam perkara tersebut.

Bagi masyarakat Awyu dan Moi Sigin, hutan adat adalah warisan leluhur yang menghidupi mereka turun-temurun. Mereka bergantung kepada hutan yang menjadi tempat berburu dan ‘supermarket’ untuk berbagai sumber makanan hingga obat-obatan. Hutan juga merupakan identitas sosial dan budaya mereka sebagai masyarakat adat.

Hutan bagi masyarakat adat Papua adalah kehidupan. Menebang hutan sama saja menghilangkan ruang hidup bagi masyarakat Papua. Foto: Zulkifli/YMKL

“Menyelamatkan hutan Papua bukan hanya bakal memperkuat benteng kita menghadapi krisis iklim dan kepunahan biodiversitas, tapi juga menjaga kekayaan alam, sosial, dan budaya yang kita miliki dalam peradaban ini. Hari ini kita menyaksikan solidaritas mengalir begitu deras untuk Papua, selanjutnya giliran Mahkamah Agung menggunakan keyakinan dan hati nuraninya berpihak pada masyarakat adat dan hutan Papua,” kata Sekar Banjaran Aji, anggota Tim Advokasi Selamatkan Hutan Papua dari Greenpeace Indonesia.

Dalam aksi hari ini, perwakilan masyarakat adat Awyu dan Moi menyerahkan secara langsung petisi dukungan publik kepada lima hakim dari Biro Hubungan Masyarakat MA. Menurut Tigor Hutapea, para hakim tersebut menyampaikan akan meneruskan petisi ini kepada hakim agung di kamar Tata Usaha Negara.

“Mereka menyatakan MA sudah berkomitmen melakukan pelindungan lingkungan hidup, termasuk juga melindungi masyarakat adat. Hakim juga akan mencoba menerapkan PMA Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup. Ini sedikit kabar baik. Semoga perkara yang sedang ditelaah membuahkan hasil baik untuk masyarakat adat dan masa depan hutan Papua,” tegas Tigor.

Koalisi selamatkan hutan Papua mengantarkan petisi publik ke kantor Mahkamah Agung. Foto/Zulkifli

Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua

Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), Pusaka Bentala Rakyat Papua, Greenpeace Indonesia, Satya Bumi, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), WALHI Papua, PILNet Indonesia, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Perkumpulan HuMa Indonesia

Kontak Media:

Tigor Hutapea, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, +62 812-8729-6684

Sekar Banjaran Aji, Greenpeace Indonesia, +62 812-8776-9880

Budiarti Putri, Greenpeace Indonesia, +62 811-1463-105

 

 

Aduan Masyarakat Adat Ompu Ronggur ke Komnas HAM

Masyarakat Adat Ompu Ronggur pada pertengah tahun 2023 mendatangi kantor Komnas HAM Republik Indonesia (RI) dalam rangka menindaklanjuti laporan atau aduan masyarakat Adat Ompu Ronggur yang mengalami kriminalisasi dari aparat kepolisian saat mempertahankan hak atas tanahnya di Tapanuli Utara, Sumatera Utara. 

Laporan itu dimasukan oleh sejumlah organisasi masyarakat termasuk masyarakat Adat Ompu Ronggur kepada pihak Komnas HAM, dan sejak laporan itu dimasukan para pihak pelapor belum sama sekali menerima informasi tentang kelanjutan atau tindak lanjut dari aduan tersebut.

Saurlin P. Siagian, Sekretaris Badan Pengurus Bakumsu, yang merupakan perwakilan dari Komnas HAM RI, mengatakan, bahwa laporan mengenai kriminalisasi yang dialami masyarakat adat Ompu Ronggur sudah mendapatkan tanggapan dari pihak Komnas HAM RI. Selain Saurlin, Komisioner Pengaduan Komnas HAM RI, Hari Kurniawan, yang hadir saat pertemuan itu juga memberikan komentar yang sama.

Audiensi bersama pihak Komnas HAM RI dan perwakilan Masyarakat Adat Ompu Ronggur, dan beberapa lembaga pendamping lainnya seperti YMKL, Serbundo, dan Aman Tanobatak

Tanggapan itu berupa sebuah rekomendasi yang dikeluarkan Komnas HAM untuk penanganan kasus kriminalisasi yang dialami oleh masyarakat adat Ompu Ronggur dan telah disampaikan ke beberapa pihak terutama organisasi masyarakat yang terlibat dalam pendampingan kasus kriminalisasi tersebut. 

Saurlin juga menyampaikan, akan memberikan teguran keras kepada Kapolres Tapanuli Utara terkait kasus kriminalisasi yang dialami oleh masyarakat adat. Dia juga merekomendasikan kepada seluruh jajaran kepolisian di wilayah tersebut untuk menghentikan segala bentuk kriminalisasi yang dilakukan aparat terhadap masyarakat terutama masyarakat Adat Ompu Ronggur dan segera menerapkan RJK (Restorative Justice).

Restorative Justice atau keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara melalui dialog, musyawarah atau media dengan melibatkan beberapa pihak seperti korban, terdakwa, keluarga korban, pelapor, atau ada pihak-pihak lainnya yang terkait dalam penanganan kasus tersebut. Penyelesaian perkara dengan metode Restorative Justice ini ialah bagian dari program nasional untuk mendapatkan titik temu dari siapa saja yang sedang berperkara atau terlibat dalam perkara atau pelaporan kasus sebelum dilanjutkan pada tahap persidangan selanjutnya. 

Proses audiensi terkait laporan atau aduan kriminalisasi yang dialami oleh Masyarakat Adat Ompu Ronggur bersama pihak Komnas HAM RI

Saurlin juga mengajak beberapa lembaga organisasi masyarakat yang mendampingi kasus kriminalisasi yang dialami oleh Masyarakat Adat Ompu Ronggur seperti Serbundo, YMKL, dan Aman Tano Batak untuk segera mungkin melakukan penelitian bersama Komnas HAM terkait kasus-kasus masalah hak atas tanah bagi masyarakat adat. Dia juga mempertegas ingin mendorong adanya policy brief  ke seluruh kementerian untuk menuntaskan kasus yang sedang berproses tersebut. 

Pihak Komnas HAM juga akan segera mungkin mengeluarkan SP2K (Surat Perkembangan Penanganan Kasus) yang akan diserahkan ke beberapa pihak salah satunya Serbundo/OPUK.

Masyarakat Korban Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit Menuntut Keadilan

Siaran Pers

Pernyataan Sikap Masyarakat Korban Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit

 Jakarta, 19 November 2023

Kami, warga komunitas masyarakat adat dan komunitas lokal dari Riau, Sumatera Barat, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, yang berbicara saat ini di Jakarta, adalah korban beroperasinya perusahaan perkebunan kelapa sawit yang merampas tanah dan hutan kami tanpa persetujuan komunitas kami. Justru pimpinan dan warga komunitas kami dikriminalisasi oleh aparat kepolisian Republik Indonesia atas alasan-alasan yang direkayasa.

Kami telah menjadi korban selama belasan sampai puluhan tahun. Semua upaya melalui mekanisme negara yang tersedia, baik di tingkat daerah maupun di tingkat pusat, telah kami lakukan untuk mendapatkan keadilan, namun sampai saat ini keadilan itu masih berupa mimpi. Kami juga menempuh mekanisme yang disediakan oleh pasar, yaitu melalui mekanisme pengaduan RSPO, karena kami berharap mekanisme ini dapat memberikan harapan akan keadilan, jika pengaduan kami ditangani dengan jelas dan pasti.

“Masyarakat sangat berharap sistem pengaduan RSPO yang ada memiliki kepastian waktu dan kejelasan prosedur penanganan pengaduan keluhan, sehingga proses penyelesaian menjadi jelas” ungkap Irasan, Batin Talang Parit, Indragiri Hulu, Riau.

Namun upaya melalui mekanisme pengaduan RSPO sejauh ini pun tidak memberikan hasil yang kami harapkan. Berbagai alasan disampaikan oleh RSPO: bahwa kasusnya terjadi sebelum ada RSPO, adalah tidak berdasar sebagaimana dinyatakan oleh Nazar Ikhwan gelar Angku Imbang Langi, hakim adat dari Nagari Anam Koto, Kinali, Pasaman Barat, Sumatera Barat, “Menurut kami alasan penolakan oleh RSPO atas pengaduan yang kami ajukan tidak berdasar dan tidak sesuai dengan maksud kebijakan minyak sawit berkelanjutan, sebagaimana yang tertera dalam P&C RSPO” atau berbagai alasan lain seperti kasus yang diadukan masih dalam penilaian dan akan diuji di lapangan. Yang lebih menyakitkan, ada perusahaan dari kelompok usaha anggota RSPO yang sedang berkonflik dengan masyarakat namun bisa menjual anak perusahaan yang berkonflik tersebut kepada pihak lain.

Perkebunan skala besar khususnya sawit sudah menjamur di berbagai daerah di Indonesia. Berbagai kebijakan telah dikeluarkan oleh pemerintah untuk menjamin adanya manfaat sawit bagi masyarakat. Namun, kebijakan itu tidak dapat menolong kriminalisasi terhadap masyarakat adat dan masyarakat lokal yang hidup berdampingan dengan perusahaan sawit. Kekerasan, perampasan lahan, represifitas aparat, dan tidak dijalankannya FPIC adalah bentuk-bentuk ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat. Dokumentasi: Tyas/YMKL.

Semua hal ini melanggar prinsip dan kriteria RSPO dan sudah selayaknya dalam pandangan kami RSPO memberikan sanksi kepada perusahaan tersebut. Namun semua yang kami harapkan dari RSPO tidak pernah terjawab apalagi dipenuhi. Pelanggaran-pelanggaran dan pengabaian prinsip dan kriteria RSPO yang kami hadapi terus terjadi:

  1. Penggunaan tanah adat oleh perusahaan tanpa FPIC;
  2. Perusahaan tidak memenuhi kewajibannya membangun kebun plasma untuk masyarakat;
  3. Prosedur penanganan pengaduan yang tidak transparan dan mudah diakses informasinya oleh masyarakat korban;
  4. Serta kesenjangan ketenagakerjaan yang tidak adil bagi masyarakat, baik itu masyarakat adat maupun komunitas lokal karena tetap berstatus sebagai buruh harian lepas meskipun sudah bekerja belasan tahun di perusahaan.

 Kami mempertanyakan manfaat RSPO dalam hal perlindungan dan penghormatan hak-hak masyarakat adat, komunitas lokal dan para pengguna lahan yang kehilangan tanah dan hutan karena dirampas oleh persekongkolan perusahaan dengan oknum aparat pemerintah dan aparat keamanan. 

“RSPO sama sekali tidak memberikan perhatian kepada laporan yang kami sampaikan dalam pengaduan dan tidak memberi sanksi apapun atas pelanggaran hukum dan perampasan hak-hak kami atas tanah ulayat”, ungkap Ramadhan Tanjung, Sinaro Panghulu Basa, Pimpinan Adat Nagari Simpang Tigo Kotobaru dengan nada kekecewaan yang mendalam terhadap RSPO.

Kami juga mempertanyakan kesungguhan RSPO menegakkan prinsip dan kriteria-nya sendiri. Bahwa semua perusahaan anggota RSPO wajib mematuhi peraturan perundangan dan kebijakan negara sebagai salah satu prinsip utama. Namun pelanggaran peraturan perundangan dan kebijakan yang dilakukan oleh perusahaan tidak mendapat sanksi apa pun dari pihak RSPO.

“Kami tidak menemukan penerapan standar berkelanjutan dalam bisnis kelapa sawit Wilmar di PT AMP, kami sangat berharap RSPO dapat mengontrol penerapan P&C dan memberikan sanksi terhadap anggota yang melanggar” Gasmil, Masyarakat adat dari Jorong Labuhan, Nagari Tiku Limo Jorong, Agam, Sumatera Barat.

Kami memandang persoalan kepatuhan anggota RSPO terhadap prinsip dan kriteria RSPO adalah persoalan yang sangat penting namun telah diabaikan oleh RSPO sendiri sehingga diabaikan juga oleh perusahaan-perusahaan anggota RSPO yang berkonflik dengan masyarakat adat dan komunitas lokal.

“Kami meminta agar RSPO menjadi Lembaga yang independen dan selalu menghormati hak Masyarakat Hukum Adat dan komunitas lokal. Kami berharap proses sertifikasi selalu transparan. Kami juga berharap Lembaga auditor untuk bisa menilai sesuai temuan di lapangan” tegas Said Faizan Tas’Ad, Desa Petapahan, Tapung, Kabupaten Kampar, Riau.

Senada dengan itu, Weiz dari komunitas Dayak Bekati Riuk Sebalos, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat menegaskan harapan masyarakat, “Masyarakat adat ingin RSPO sebagai organisasi terbesar yang menaungi perusahaan industri minyak sawit untuk menindaklanjuti setiap keluhan masyarakat melalui mekanisme komplen RSPO yang dilayangkan masyarakat tentang perusahaan yang bermasalah dan agar RSPO tegas dalam memberikan sanksi terhadap perusahaan tersebut”.

 Kami mengingatkan kembali tujuan pendirian RSPO, yaitu untuk mendorong prinsip minyak sawit berkelanjutan di mana aspek menghormati hak-hak masyarakat adat dan komunitas lokal serta keberlanjutan lingkungan menjadi bagian penting di dalamnya. Oleh karena itu kami menuntut RSPO harus bertanggung jawab atas semua pelanggaran prinsip dan kriteria RSPO oleh perusahaan anggota RSPO. Kami juga berharap agar Pemerintah Daerah yang bekerja sama dengan RSPO menjalankan pendekatan yurisdiksi agar konsisten menjalankannya.

“Kami mengharapkan keseriusan Pemda Kabupaten yang menerapkan sertifikat berbasis pendekatan yurisdiksi dalam penyelesaian konflik perkebunan untuk menindak tegas perusahaan yang melakukan pelanggaran. Secara khusus kami alamatkan seruan ini kepada Pemda Kabupaten Seruyan” cetus Rusdiana, Desa Tanjung Hanau, Kabupaten Seruyan.

 

Jakarta, 19 November 2023

Kami masyarakat yang menyatakan sikap ini:

 – Masyarakat Nagari Kotobaru, Pasaman Barat, Sumatera Barat

– Masyarakat Anam Koto Kinali Pasaman Barat, Sumatera Barat

– Masyarakat Labuhan, Agam, Sumatera Barat

– Masyarakat Talang Mamak Luak Talang Parit, Indragiri Hulu, Riau

– Kelompok Tani Harapan Sp-3, Nagari Simpang Tigo Koto Baru, Kec.Luhak Nan Duo, Pasaman Barat, Smuatera Barat

– Masyarakat Tanjung Hanau, Seruyan, Kaliimantan Tengah

– Masyarakat Desa Lampasa, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah

– Masyarakat Adat Dayak Bekati Riuk Dusun Sebalos, Bengkayang, Kalimantan Barat

– Masyarakat Dayak Bekati Subah, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat

– Masyarakat Adat Dayak Hibun, Kerunang-Entapang, Sanggau, Kalimantan Barat

Organisasi yang mendukung masyarakat korban:

– Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL)

– PROGRESS Kalimantan Tengah

– Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalimantan Barat

– LemBAH, Kalimantan Barat

– Yayasan Ulayat Nagari Indonesia, Sumatera Barat

– ASM / Accountability Sustainable Monitoring, Riau

– Bahtera Alam, Riau

– Forest People Programme, Inggris