Posts

Temuan Studi Lapangan: Hak Adat Di Perkebunan April

Perusahaan pulp dan kertas, APRIL, telah memperluas perkebunannya di kawasan hutan dan lahan gambut menyalahi standar FSC yang melarang konversi hutan. Sejak 2014, APRIL telah membuat komitmen publik untuk mematuhi standar FSC dan masuk kembali ke FSC. Hal ini sekarang dimungkinkan di bawah Kebijakan untuk Mengatasi Konversi FSC yang baru, selama perusahaan melakukan pemulihan/penyelesaian atas kerusakan sosial dan lingkungan sesuai dengan Kerangka Kerja Penyelesaian FSC yang baru diadopsi.

Sejak tahun 2014, APRIL dan kelompok usaha Raja Garuda Emas/Royal Golden Eagle yang lebih luas yang menaunginya, telah mengadopsi kebijakan untuk menghormati hak asasi manusia, termasuk hak adat dan hak atas FPIC dari masyarakat adat. APRIL juga telah membuat komitmen publik untuk memberikan upaya pemulihan yang efektif.

Indonesia telah meratifikasi dan mengesahkan beberapa instrumen hak asasi manusia internasional utama dan konstitusi Indonesia menjunjung tinggi hak adat, tetapi undang-undang pelaksanaannya tidak mencukupi dan dalam praktiknya sebagian besar hak masyarakat adat atas wilayah dan tanah belum diakui dan dilindungi secara efektif. Wilayah yang luas telah diserahkan kepada perusahaan oleh pemerintah di areal-areal yang tumpang tindih dengan wilayah adat tanpa keterlibatan apalagi persetujuan masyarakat yang bersangkutan, ini yang mengakibatkan konflik tanah yang meluas di seluruh nusantara.

APRIL telah menerapkan prosedur resolusi konflik yang memberikan opsi untuk mengatur kepemilikan tanah dari penduduk yang sudah lama bermukim dan/atau mengganti kerugian kepada orang per orang, tetapi, sejauh ini, masih belum menangani masyarakat yang memiliki hak adat. Forest Peoples Programme (FPP), dengan mitra lokal Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL) dan Bahtera Alam (BA) telah terlibat dalam dialog dengan APRIL untuk mengeksplorasi bagaimana perusahaan kini dapat menerapkan kebijakannya sendiri, sesuai dengan standar dan kebijakan FSC dan sejalan dengan hukum hak asasi manusia internasional, untuk menghormati hak-hak adat dari masyarakat adat.

Masyarakat yang terkena dampak mencantumkan kerugian-kerugian yang signifikan dalam hal kehilangan tempat berburu, tempat memelihara dan menangkap ikan, lahan pertanian, kebun sagu, hutan dan hasil hutan, tanaman obat, kebun kelapa dan kerusakan lainnya, termasuk pencemaran akibat limpasan air dari perkebunan Akasia. Akses ke danau-danau suci telah terhalang dan identitas tradisional serta praktik keagamaan juga dirugikan.

Memang ada beberapa manfaat bagi masyarakat, termasuk akses ke pasar, penyediaan layanan pemerintah dan program-program tanggung jawab sosial perusahaan, namun semua ini juga telah membuka lahan mereka untuk perkebunan kelapa sawit. Kedua kelompok masyarakat ini menyambut baik komitmen APRIL baru-baru ini untuk memberikan pemulihan/penyelesaian. Mereka berusaha mendapatkan kembali hak mereka atas tanah mereka, dan merundingkan kesepakatan dengan APRIL yang dilandaskan pada penghormatan terhadap hak-hak mereka.

Laporannya bisa diunduh di bawah ini:

Bahasa Indonesia

Bahasa Inggris

Orang Sakai: Asia Pulp and Paper dan Masyarakat Adat Sumatra Menuju Pemulihan?

Orang Sakai adalah salah satu dari beberapa masyarakat adat yang berada di wilayah operasi APP (Asia Pulp and Paper) di Riau. Laporan ini mengkaji situasi salah satu masyarakat-masyarakat ini dan merupakan hasil dari undangan juru bicara Orang Sakai untuk mengunjungi wilayah mereka, guna memverifikasi status mereka sebagai masyarakat adat dan menjelaskan bagaimana mereka dapat memperkuat klaim lahan mereka, dalam konteks komitmen APP baru-baru ini untuk berasosiasi kembali dengan FSC. Tinjauan ini menemukan bahwa kebijakan-kebijakan APP secara umum sejalan dengan standar-standar FSC, namun tidak jelas atau ambigu mengenai bagaimana kebijakan-kebijakan tersebut akan menghormati hak-hak adat atas tanah dan hutan yang telah diabaikan oleh Pemerintah.

Orang Sakai adalah masyarakat hutan yang tersebar luas di ekosistem hutan yang luas di wilayah yang sekarang disebut Provinsi Riau, di mana mereka melakukan perladangan berpindah, mencari makan, menangkap ikan, dan memperdagangkan hasil hutan. Mereka telah menghuni wilayah tersebut sejak masa sebelum penjajahan dan memiliki hubungan erat dengan wilayah-wilayah spesifik dan tertentu yang diawasi oleh para pemimpin adat (disebut Bathin) yang masih diakui dan dihormati oleh masyarakatnya.

Mereka mempertahankan sistem kepercayaan tradisional mereka hingga tahun 1970-an dan hingga saat ini masih memelihara sebagian besar hukum adat mereka. Serangkaian intervensi di tanah mereka telah membawa perubahan sosial yang cepat termasuk akibat ekstraksi minyak bumi secara ekstensif sejak tahun 1920-an dan kemudian penebangan kayu, pemukiman kembali secara paksa, pemukiman transmigran, perkebunan kelapa sawit dan pemukiman spontan oleh para pendatang.

Sejak tahun 1990an, perkebunan kayu pulp APP telah merampas sebagian besar dari sisa hutan dan lahan mereka. Karena Pemerintah menggolongkan kawasan ini sebagai Kawasan Hutan Negara dan pada saat itu tidak mengakui hak-hak Orang Sakai, perkebunan-perkebunan APP tersebut didirikan tanpa persetujuan Orang Sakai, sehingga berdampak serius terhadap penghidupan mereka dan menyebabkan beberapa desa yang berada di dalam perkebunan meninggalkan kawasan tempat tinggal mereka. Sengketa pertanahan tidak dapat dihindari dan dalam beberapa kasus diredam oleh aparat keamanan negara.

Sejak jatuhnya rezim Soeharto, kebijakan Pemerintah mulai berubah. Pemerintah provinsi telah mengakui sebagian Orang Sakai sebagai desa adat, wilayahnya telah dipetakan dan sebagian dari wilayah-wilayah tersebut resmi ditetapkan sebagai hutan adat. Namun, belum ada tindakan yang diambil oleh Pemerintah untuk mengakui seluruh Orang Sakai sebagai desa adat dan wilayah mereka belum dilindungi.

Laporannya bisa diunduh di bawah ini:

Orang Sakai