Orang Sakai: Asia Pulp and Paper dan Masyarakat Adat Sumatra Menuju Pemulihan?
Orang Sakai adalah salah satu dari beberapa masyarakat adat yang berada di wilayah operasi APP (Asia Pulp and Paper) di Riau. Laporan ini mengkaji situasi salah satu masyarakat-masyarakat ini dan merupakan hasil dari undangan juru bicara Orang Sakai untuk mengunjungi wilayah mereka, guna memverifikasi status mereka sebagai masyarakat adat dan menjelaskan bagaimana mereka dapat memperkuat klaim lahan mereka, dalam konteks komitmen APP baru-baru ini untuk berasosiasi kembali dengan FSC. Tinjauan ini menemukan bahwa kebijakan-kebijakan APP secara umum sejalan dengan standar-standar FSC, namun tidak jelas atau ambigu mengenai bagaimana kebijakan-kebijakan tersebut akan menghormati hak-hak adat atas tanah dan hutan yang telah diabaikan oleh Pemerintah.
Orang Sakai adalah masyarakat hutan yang tersebar luas di ekosistem hutan yang luas di wilayah yang sekarang disebut Provinsi Riau, di mana mereka melakukan perladangan berpindah, mencari makan, menangkap ikan, dan memperdagangkan hasil hutan. Mereka telah menghuni wilayah tersebut sejak masa sebelum penjajahan dan memiliki hubungan erat dengan wilayah-wilayah spesifik dan tertentu yang diawasi oleh para pemimpin adat (disebut Bathin) yang masih diakui dan dihormati oleh masyarakatnya.
Mereka mempertahankan sistem kepercayaan tradisional mereka hingga tahun 1970-an dan hingga saat ini masih memelihara sebagian besar hukum adat mereka. Serangkaian intervensi di tanah mereka telah membawa perubahan sosial yang cepat termasuk akibat ekstraksi minyak bumi secara ekstensif sejak tahun 1920-an dan kemudian penebangan kayu, pemukiman kembali secara paksa, pemukiman transmigran, perkebunan kelapa sawit dan pemukiman spontan oleh para pendatang.
Sejak tahun 1990an, perkebunan kayu pulp APP telah merampas sebagian besar dari sisa hutan dan lahan mereka. Karena Pemerintah menggolongkan kawasan ini sebagai Kawasan Hutan Negara dan pada saat itu tidak mengakui hak-hak Orang Sakai, perkebunan-perkebunan APP tersebut didirikan tanpa persetujuan Orang Sakai, sehingga berdampak serius terhadap penghidupan mereka dan menyebabkan beberapa desa yang berada di dalam perkebunan meninggalkan kawasan tempat tinggal mereka. Sengketa pertanahan tidak dapat dihindari dan dalam beberapa kasus diredam oleh aparat keamanan negara.
Sejak jatuhnya rezim Soeharto, kebijakan Pemerintah mulai berubah. Pemerintah provinsi telah mengakui sebagian Orang Sakai sebagai desa adat, wilayahnya telah dipetakan dan sebagian dari wilayah-wilayah tersebut resmi ditetapkan sebagai hutan adat. Namun, belum ada tindakan yang diambil oleh Pemerintah untuk mengakui seluruh Orang Sakai sebagai desa adat dan wilayah mereka belum dilindungi.
Laporannya bisa diunduh di bawah ini: