Padi ladang yang telah dipanen oleh warga Desa Paring Raya saat musim panen raya tiba. Foto: Tyas/YMKL

Lumbung Padi Terakhir di Seruyan

Matahari belum begitu terik saat saya dan tim melakukan perjalanan menggunakan kapal klotok yang bermesin ketinting menuju Desa Paring Raya, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah. Saat turun dari kapal, hamparan padi ladang di depan rumah-rumah warga menyambut kedatangan kami.

Hari itu merupakan hari yang bahagia buat warga desa. Panen raya yang dinantikan akhirnya tiba jua.

Warga desa sedang sibuk-sibuknya. Perempuan dan laki-laki  bahu-membahu memanen padi ladang yang telah mereka tanam. Ada yang pergi ke lahan dan juga balik menuju ke pekarangan rumah hanya untuk menjemur padi.

Aktivitas warga desa memanen padi ladang dan cara mereka memproduksinya merupakan satu hal baru yang pertama kali saya lihat di Seruyan.

Malam pun tiba. Kami menginap di rumah Kepala Desa Paring Raya, Bapak Jairani, yang sudah begitu akrab seperti kerabat sendiri. Kami menghabiskan malam dengan obrolan seputar hasil panen warga.

Dalam obrolan itu, ada cerita yang membuat kami tertarik. Ternyata, sebagian masyarakat Desa Paring Raya tidak bisa bertani. Penyebabnya, ketersediaan lahan pertanian yang sangat minim.

Fajar mulai menyingsing dari ufuk timur. Saya dan tim mengelilingi kampung. Bertemu dan bertegur sapa dengan warga desa. Sampai akhirnya kami terhenti di salah satu rumah warga dan memulai obrolan dengan si empunya rumah. Pertemuan itu dimulai dengan obrolan seputar panen sampai keluh kesa sengketa lahan yang dialami oleh warga Desa Paring Raya.

Minimnya petani ladang di Desa Paring Raya bukan hanya dipengaruhi oleh  lahan garapan yang tidak tersedia. Akan tetapi, tumpang tindih kepemilikan lahan, dan tidak jelasnya kepastian pemberian plasma dari pihak perusahaan sawit adalah satu dari masalah yang dikeluhkan.

Di sela-sela obrolan yang menghangat, kami dikagetkan dengan seorang perempuan yang mendekat dan ikut nimbrung dalam obrolan. Perempuan itu ternyata seorang buruh sawit yang baru saja pulang kerja.

Dia menawarkan hasil panen padi saudaranya. Kami pun mengiyakan. Perempuan itu menyerahkan tawarannya. Beras 5 kilogram sudah di tangan.

Buruh perempuan itu lantas tidak langsung pergi setelah kami membeli berasnya. Ia melanjutkan aktivitas menapis beras di halaman rumah dan sambil menceritakan keluh kesahnya menjadi buruh sawit yang mendapatkan upah rendah.

Hari ini, kami habiskan waktu bercerita dengan warga. Mendengar setumpuk cerita, keluh kesah, dan sedugang persoalan yang dihadapi warga Desa Paring Raya.

Pagi berikutnya kami diajak Pak Kades pergi ke kebunnya. Sepanjang perjalanan kami melewati banyak kebun sawit milik warga Desa Paring Raya. Saat tiba di tempat tujuan, kami langsung memanen padi yang tersisa, tebu, dan mengambil buah rumbai.

Setelah menghabiskan hasil kebun milik Pak Kades, kami pun kembali ke rumah. Dalam perjalanan pulang, Kades Paring Raya itu bercerita tentang geliat warga desa yang begitu semangat memproduksi beras meskipun banjir sering melanda.

Semangat bertani warga desa itulah yang membuat Desa Paring Raya terkenal sebagai salah satu desa di Kabupaten Seruyan yang aktif memproduksi beras, baik untuk kebutuhan sehari-hari atau dijual untuk bisnis yang lukratif bagi warga desa.

Ada harapan masyarakat dan kepala desa untuk kemajuan Desa Paring Raya ke depannya, yakni mampu berkedaulatan pangan. Harapan lainnya yang muncul juga adalah keinginan untuk menumbuhkan kembali bibit padi hitam yang nilai ekonomisnya lebih bagus dibandingkan bibit yang selama ini ditanam.